• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARMONISASI HUKUM TATA NEGARA DENGAN HUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HARMONISASI HUKUM TATA NEGARA DENGAN HUK"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM TATA NEGARA TERHADAP HUKUM ADAT

ASPEK-ASPEK HUKUM ADAT:

-TEORI TEORI TERKAIT HUKUM ADAT

-DASAR HUKUM

RUANG LINGKUP HTN DALAM HUKUM POSITIF:

PEMERINTAH MENGAKUI KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT

HUBUNGAN SALAH SATU ASPEK HTN DENGAN HUKUM ADAT

DALAM HTN ADA SISTEM NOKEN DALAM PEMILU:

-HUBUNGAN SISTEM NOKEN DENGAN MASYARAKAT ADAT

-TUJUAN SISTEM NOKEN

-PENJELASAN SISTEM NOKEN

-DASAR HUKUM

-TEORI TEORI TERKAIN

-DALAM SISTEM NOKEN TERPENUHI UNSUR UNSUR HUKUM ADAT

-SISTEM NOKEN MERUPAKAN BAGIAN DARI PROSES HTN DALAM LINGKUP

PEMILU

- SUATU HARMONISASI YANG LUAR BIASA ANTARA HUKUM ADAT, HTN,

MASYARAKAT ADAT, SERTA BUDAYA DALAM MASYARAKAT.

-HUBUNGKAN DENGAN BENTUK BENTUK MASYARAKAT ADAT.

-DENGAN SISTEM NOKEN INI, NEGARA SANGAT MENGAKUI DAN

(2)

HARMONISASI HUKUM ADAT, HUKUM TATA NEGARA, SERTA KEBUADAYAAN MASYARAKAT ADAT

Pembahasan:

HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN

1. Pengertian Kebudayaan

Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi, hasil.[1] Ada beberapa

pendapat mengenai pengertian kebudayaan diantaranya :

a. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatuyang turun temurun dari satu generasi ke generasi

kemudian.

b. Andreas Eppink mengemukakan kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma

sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious, dan segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi cirri khas suatu masyarakat.

c. Edward Burnett Tylor memandang kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks, yang di dalamnya

terkandung pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

d. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta

masyarakat.

Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat ada 3 wujud yaitu : a) Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb.

b) Kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

c) Benda-benda hasilkarya manusia.

Dari uraian di atas maka dapat diambil pengertian bahwa hukum adat sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang dengan ekstensinya sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan dalam wujud idiil, bertugas mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga hukum adat merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

2. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan

Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat merupakan aspek

dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.[2]

Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara

(3)

Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita harus berusaha memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur

kejiwaan bangsa Indonesia.[4]

Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berpikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri.

Hukum yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat, karena hukum itu adalah merupakan salah satu aspek dari kebuadayaan suatu masyarakat. Kebudayaan adalah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam sekelilingnya, karena kebudayaan setiap masyarakat mempunyai corak, sifat serta struktur yang khas, maka hukum yang berlaku pada masing-masing masyarakat juga mempunyai corak, sifat dan struktur masing-masing.

Proses perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus menerus sepanjang sejarah, mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena berbagai sebab. Hal ini menyebabkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum mereka, sedikit atau banyak, namun secara keseluruhan akan terlihat persamaan-persamaan pokok, baik corak, sifat maupun strukturnya, seperti juga yang terjadi dalam perbedaan bahasa. Hukum Adat yang mengatur masyarakat harus tetap dianut dan dipertahankan, tidak hanya berhubungan dengan pergaulan antar sesama manusia dan alam nyata, tetapi mencakup pula kepentingan yang bersifat batiniah dan struktur rohaniah yang berhubungan dengan kepercayaan yang mereka anut dan hormati.

(4)

jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Di mana ada masyarakat, disitu ada Hukum (Adat).

Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam dan struktur alam pikiran sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.

Von Savigny mengajarkan bahwa hukum adat mengikuti “Volksgeist” (jiwa / semangat rakyat)

dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masyarakat itu berlainan pula.

Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan, dalam arti bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tak boleh

meninjau Hukum Adat Indonesia terlepas dari “Volkgeist;, dari sudut alam pikiran yang khas orang

Indonesia yang terjelma dalam Hukum Adat itu. Kita juga tak boleh lupastruktur rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan.

Tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab masyarakat adalah sesuatu yang kontinu (berjalan terus/tidak berhenti). Masyarakat berubah tetapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi di dalam sesuatu masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur kembali yang lama serta menghasilkan synthese dari yang lama dan yang baru, sesuai dengan kehendak,

kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup sesuatu rakyat. [5]

1.1 Cara Berpikir Masyarakat Indonesia

Menurut Prof. Soepomo dilihat dari aspek struktur kejiwaan dan cara berpikir masyarakat

Indonesia mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat yaitu : [6]

a. Mempuyai Sifat Kebersamaan (Communal)

(5)

b. Mempunyai Corak Magis-Religius

Corak Magis-Religius yang berhubungan dengan aspek kehidupan didalam masyarakat Indonesia. c. Sistem Hukum Adat diliputi oleh Pikiran Penataan Serba Konkret

Misalnya : Perhubungan perkawinan antara dua suku yang eksogam, perhubungan jual (pemindahan) pada perjanjian tentang tanah dan sebagainya.

d. Hukum Adat mempunyai Sifat yang Sangat Visual

Hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dalam ikatan yang dapat dilihat.

1.2 Sifat-sifat Umum Hukum Adat

F.D. Holleman di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul de commune trek in het indonesische rechtsleven (corak kegotongroyongan di dalam kehidupan hukum indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4

sifat umum Hukum Adat Indonesia yaitu : [7]

a. Sifat Religio-magis.

Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a) Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam

semesta dan khusus.

b) Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda- benda.

c) Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat

dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.

d) Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai

perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib; e) Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan

timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan. Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan bertindak didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta.

b. Sifat komunal.

Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup terpencil dan kehidupannya sehari-hari sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.

c. Sifat Kontan.

Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan demikian segela sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau sebab akibat-akibatnya menurut hukum.

d. Sifat Nyata

(6)

3. Proses Terbentuknya Hukum

3.1 Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir

Hukum adat pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.

3.2 Hukum Adat Tidak Statis

Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan

berkembang seperti hidup itu sendiri. [8]

Van Vollen Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai berikut :

“Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat”

3.3 Timbulnya Hukum Adat

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama, dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi. Ajaran ini dikemukakan oleh Ter Haar yang dikenal sebagai Teori Keputusan.

4. Sumber Pengenal Hukum Adat 4.1 Corak Hukum Adat

Corak dalam hukum adat : 1. Tradisional

2. Keagamaan

3. Kebersamaan

4. Konkret dan Visual

5. Terbuka dan Sederhana

6. Dapat berubah dan menyesuaikan

7. Tidak dikodifikasi

8. Musyawarah Mufakat

Dalam hukum tata Negara di aspek pemilu terdapat sistem noken di Papua Barat yang

(7)

para masyarakat adat berkumpul untuk bermusyawarah sehinggah dalam poses ini merupakan keterbukaan antar warga dalam wilayah itu, serta proses ini merupakan proses yang sederhana dalam pendidikan politik yang di kombinasikan dengan kearifan local.

Hubungannya dengan hukum tata Negara, proses demokrasi di Indonesia yang di cerminkan melalui pemilihan langsung dengan dasar uu pemilu

4.2 Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat. Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :

Hukum Barat Hukum Adat

- Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu

- Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak ditangan hakim

- Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat

- Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat

- Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata

- Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)

4.3 Kekuatan Materiil Hukum Adat

Menurut Soepomo kekuatan materiil Hukum Adat bergantung pada beberapa factor, antara lain : 1. Lebih atau kurang banyaknya penetapan yang serupa yang memberikan stabilitas pada peraturan hukum

yang diwujudkan oleh penetapan itu.

2. Seberapa jauh keadaan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan mengalami perubahan.

3. Seberapa jauh peraturan yang diwujudkan itu selaras dengan sistem hukum adat yang berlaku.

4. Seberapa jauh peraturan itu selaras dengan syarat-syarat kemanusiaan dan rasa keadilan.

(8)

Dalam pemilu di Indonesia pengambilan keputusan dilakukan dengan sistem noken atau ikat. Di dalam tradisi masyarakat Papua untuk mengambil keputusan biasanya dalam rapat atau musyawarah yang melibatkan masyarakat keseluruhan atau orang-orang tertentu.

Mekanisme noken atau ikat dapat berdasarkan musyawarah bersama atau otoritas kepala suku yang merupakan representasi keputusan masyarakat.

"Kenyataan empiris pemilu di Papua dengan menggunakan sistem noken atau ikat dimulai pada pemilu 1971 di mana pemilu legislatif, pemilu kepala daerah atau pilpres dilakukan melalui sistem noken,"

MK mempertimbangkan putusan MK Nomor 47/81/PHPU.A/VII/2009. MK berpandangan, pemilu di Yahukimo tidak diselenggarakan sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Karena tidak dengan cara mencoblos atau mencontreng, melainkan kesepakatan warga atau aklamasi. MK menimbang dapat memahami dan menghargai nilai budaya di Papua sehingga MK menerima cara pemilihan kolektif dengan aklamasi.

Karena kalau dipaksakan pemilu sesuai peraturan undang-undang, dikhawatirkan akan timbul konflik masyarakat setempat. Penerimaan realistis ini harus dilaksanakan dengan baik oleh KPU kabupaten.

"Karena mekanisme pemungutan suara didasarkan pada hukum adat setempat dan tidak diatur dalam undang-undang pemilu. Tapi konstitusi memberikan pengakuan terhadap perlindungan masyarakat adat dan hak-hak konstutisonal,

5. Harmonisai hukum tata Negara dengan sistem noken dalam pemilu terhadap hukum adat

Kerahasiaan sistem noken maupun kepastian hukum dalam pemilu perlu ditinjau dari aspek hukum adat

(1). Filosofi kerahasiaan sistem Noken. Pro-kontra terhadap kerahasiaan sistem noken dalam pemilihan umum yang selama ini diperbincangkan adalah, menyangkut terbukanya asas “rahasia” pemilih karena dianggap tidak sesuai hati nurani, hilangnya sifat rahasia, keterwakilan dan terbukanya kondisi kotak suara (noken). Namun jika dianalisis dari segi filosofi kerahasiaan sistem noken bagi masyarakat setempat mengandung nilai rahasia kekompakan dalam mengamankan kepentingannya, dimana

masyarakat pemilih meyakini dengan cara sistem noken tentunya mengakmodir harapan akan terpilihnya pemimpin daerah maupun keterwakilan daerahnya di tingkat kabupaten, provinsi maupun tingkat pusat. Filosofi kerahasiaan sistem politik noken mengarah pada penemuan harga diri dan martabat kemanusiaan masyarakat pemilih setempat ditinjau dari perjalanan berbagai aspek pembangunan yang terkesan tidak seimbang atas partisipasi politik, birokrasi, pendidikan, kesehatan serta faktor infrastrukturnya.

(9)

di Indonesia, tetapi juga kegelisaan akan hilangnya jumlah suara pemilih bagi kandidat tertentu di wilayah pemilihan sistem noken maupun di luar daerah pemilihannya. Kilas balik atau latar belakang lahirnya sistem noken kebanyakan orang tidak memahami secara utuh ketika dihadapkan dalam situasi politik. Padahal politik identik dengan “proses perubahan pemerintahan” di lembaga legislatif maupun eksekutif di daerah pemilihan terkait guna menerjemahkan visi-misi pemenang pemilu dalam program

pembangunan berkelanjutan (sustainable development program).

(2)Koneksitas Sistem Noken dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan regulasi menyangkut sistem noken menjelang pemilihan umum legislatif pada hari Rabu 9 April 2014 mengundang reaksi berbagai elemen masyarakat seperti akademisi, politisi, praktisi maupun

penyelenggara pemilihan umum di daerah papua. Memang sempit terbatas dan keliru jika memandang hukum ditinjau dari acuan pelaksanaan tahapan pemilihan umum di Indonesia, terutama provinsi papua jika dikaitkan dengan sistem penyelenggaraan pemilu secara nasional, karena keutuhan nilai demokrasi tidak harus menilai secara parsial, cepat dan membingungkan.

Dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum sistem noken di beberapa kabupaten Pegunungan tengah dalam rangka menemukan kepastian hukum perlu ditinjau dari beberapa landasan hukum, diantaranya:

(a) Pancasila sebagai landasan filosofis NKRI dan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa, Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara,

sehingga dikaitkan dengan pemberlakuan sistem noken di beberapa daerah wilayah papua, tentunya dapat mengakomodir nilai kebinekaan.

(b) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, artinya menyangkut segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI mengacu pada UUD 1945. Sementara menyangkut sistem noken sudah jelas-jelas diatur dalam perubahan ke-II pasal 18B ayat (1) dan (2) yang mana pasal (1)

berisi: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus

atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, sedangkan pasal (2) menyebutkan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dari pasal 18B ayat (1), (2) di atas bertujuan mengakomodir upaya pemerintahan daerah yang bersifat kekhususan seperti Provinsi Papua, Provinsi NAD (Aceh), Provinsi Bali, DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka menerapkan kewenangan mengatur otonomi daerah. Menyangkut daerah-daerah tersebut negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tradisionalnya guna memperkuat proses penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia yang kaitannya dengan urusan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi khusus maupun keistimewaan seluas-luasnya. Pengecualiannya adalah yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah di Indonesia

meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter-fiskal nasional dan agama.

(10)

pengakuan warisan budaya oleh Arley Gill, ketua UnitedNations Education, scientific and Cultural Organization (UNESCO) tanggal 4 Desember 2012 sebagaimana dalam kutipan (Piter Ell dkk, 86: 2012) dijelaskan bahwa, noken merupakan warisan budaya dunia tak berbenda guna melindungi adat dan suku dani.

Otonomi khusus sangat bermakna dan relevan apabila pemerintah memberi “kewenangan mengatur” seluas-luasnya menyangkut urusan pemerintahan daerah sebagaiaman pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepercayaan pemerintah memberi kewenangan dalam urusan pemerintahan kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Papua, penggunaan atribut budaya dalam pemilihan umum menjadi jawaban atas harapan-harapan masyarakat papua selama ini.

Di lain sisi langkah pemerintah mengakui, menerima konsep budaya dan memberi kewenangan mengatur identik dengan menghargai jati diri dan martabat kesatuan-kesatuan masyarakat lokal di daerah pemilihan sistem noken, maupun orang asli papua jika sepakat serentak dilaksanakan di seluruh tanah papua. Tafsiran dan pemaknaan otonomi khusus diharapkan menemukan makna kekhususan substansial dan bukan terbatas pada makna kekhususan atas jumlah uang otonomi khusus yang banyak, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Orang Asli Papua serta kehadiran lembaga MRP maupun pertimbangan-pertimbangannya.

Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota dewan

perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah berisi, Pemilihan

Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan di atas jelas menunjukan terakomodirnya sistem noken dalam pancasila dan UUD 1945 , sehingga keliru bila pihak-pihak tertentu menanyakan dasar hukum atas sistem noken sebagai pengganti kotak suara.

Sedangkan ayat (2) berisi, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Uraian pasal 1 ayat (1) terfokus pada pemilihan DPR berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum maupun landasan konstitusional NKRI.

Pasal 154 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu DPR,DPD dan DPRD sebagaimana sistem noken diuji ke MK oleh Kamasan Institute dibawah pimpinan Habel Rumbiak (Cepos, 10 Maret

2014) menyebutkan bahwa, Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.

(11)

Analisis logisnya adalah pasal 54 pun memberi kesempatan untuk mencoblos gambar partai politik, tentu merupakan politisasi pimpinan partai dalam meraup suara. Padahal kemudaan seperti hal tersebut

merupakan kecolongan dan kelemahan sistem demokrasi yang tidak menididik rakyat dengan jujur, adil dan transparan terhadap kader internal partai politik maupun masyarakat umum.

Kelemaan politik hukum pasal 54 juga merupakan rahasia pelaku politik, sehingga dalam konteks lokal sistem noken menjadi simbol politik hukum lokal/adat untuk menunjukan sikap keberpiahkan potensi kepemimpinan calon setempat. Jikalau dalam amar putusan MK membatalkan pemilihan sistem noken di beberapa kabupaten, maka lembaga sekelas MK percuma memiliki hakim-hakim berjiwa negarawan dan konstitutif. Padahal lembaga yang memiliki kewenangan final dan mengikat terhadap persoalan UU yang bertentangan dengan UUD 1945 atau pun sengketa pemilu ini pernah mengeluarkan Keputusan Makamah Konstitusi No. 47-48 /PHPU.A-VI/2009, Tanggal 09 Juni 2009 dan Keputusan MK. No. 47-81/PHPUA-VII/2009 Tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif di Kabupaten Yahukimo tahun 2009 yang dapat mengakui dan meperbolehkan penggunaan sistem noken.

(3). Solusinya: Mengantisipasi Konflik, Biaya Murah dan Bermanfaat. Berhubung sistem noken,

instrumen Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) nomor 169 tentang pribumi dan

masyarakat adat dalam buku Sistem Noken Demokratiskah ? (Piter Ell dkk, 84-85: 2013) mengutip Pasal

2 ayat 1 menyebutkan: pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk menyusun dengan partisipasi dari

masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka. Sementara pasal 2

ayat1.b mengutip: mengupayakan terwujudnya secara penuh hak-hak sosial, ekonomi dan budaya dari

masyarakat hukum adat ini dengan penghormatan terhadap identitas sosial dan budaya mereka, adat- istiadat dan tradisi mereka.

Dari segi instrumen internasional maupun tata peraturan perundang-undangan dapat mengakomodir sistem noken. Permasalahannya adalah pertanggungjawaban pemerintah menjalin koordinasi, dalam rangka perlindungan dan koordinasi menjamin kehormatan masyarakat adat setempat melalui identitas sosial serta tradisi budayanya. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang

otonomi khusus papua menyebutkan bahwa, otonomi khusus adalah, kewenangan khusus yang diakui

dan diberikan kepada provinsi papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat papua.

Berhubung hal tersebut dapat dianalisis bahwa di era otonomi khusus, pemerintah provinsi papua memiliki kewenangan mengatur dan mengurus masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat papua. Untuk menjawab persoalan demikian dibutuhkan figur pemimpin yang berani tetapi juga memahami persoalan untuk menerjemahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam regulasi daerah. Karena selama pemberlakuan otonomi khusus pemerintah memang mengakui dan menghargai tetapi belum melindungi dan

mengembangkan secara intensif kontinyu dalam regulasi daerah .

Langkah solusi seperti tersebutlah yang menjawab pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, akan pengakuan, penghormatan, perlindungan,

(12)

Solusi ideal menyangkut sistem noken pada saat pemilu 2014 tetap dilangsungkan jika amar putusan MK memperbolehkan. Sementara untuk ke depannya pemerintah daerah segera merencanakan program legislasi daerah yang selanjutnya disebut prolegda guna pembentukan Peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis dengan

melibatkan pihak akademisi sebagai upaya pembentukan naskah akademik dari segi yuridis, antrologis dan sosiologis menuju pengakuan dan perlindungan sistem noken pengganti kotak suara prgogram pemilihan umum diseluruh tanah papua.

5.1 Kesimpulan

Unsur-unsur hukum adat:

1. Adanya tingkah laku terus menerus 2. Tingkahlaku tersebut memiliki nilai social 3. Tingkahlaku tersebut teratur dan sistematis 4. Adanya keputusan kepala adat

5. Adanya sanksi / akibat hukum 6. Tidak tertulis

7. Di taati dalam masyarakat

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional.2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta

Warjiyati, Sri. 2006.Memahami Hukum Adat. Surabaya : IAIN Surabaya

Wulansari, Dewi. 2010. Hukum Adat di Indonesia. Bandung : PT. Refika Aditama

Soepomo. 1989. Hukum Adat. Jakarta : PT. Pradnya Paramita

Soepomo.1996. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II.(Jakarta : PT. Pradnya Paramita

Wignjodipoero , Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung

[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,(Jakarta :2008)

[2] Sri Warjiyati,Memahami Hukum Adat,(Surabaya : IAIN Surabaya, 2006), h. 15

[3] Ibid, h.16

[4] Dewi Wulansari, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), h. 13

[5] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : PT. Toko Gunung

Agung, 1995), h.75-76

[6] Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II.(Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996), h. 140-141

[7] Ibid, Sri Warjiyati, Memahami Hukum………….. h. 17

[8] Soepomo, Hukum Adat. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1989), h. 3

[9] Ibid, Sri Warjiyati,Memahami Hukum………h. 22

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan yang sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul “Mekanisme Self Regulation pada Parkir Kendaraan Roda Empat di Jalan Berdasarkan Teori

Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Sarjana Strata Satu Sarjana

Diantaranya terkait sengketa proses Pemilu ditangani oleh Bawaslu dan PTUN, sengketa hasil Pemilu diadili oleh Mahkamah Konstitusi (MK), serta pelanggaran pidana diadili

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi penulis pada khususnya, mengenai desain badan peradilan khusus sengketa Pemilu di

Supriyadi & Aminuddin Kasim, “Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013”, Jurnal Konstitusi, Volume 17, Nomor

Dalam hak untuk dilupakan, data pribadi yang disebarkan hingga menimbulkan jejak digital, tanpa persetujuan orang yang memiliki atau berkaitan dengan data pribadi

Skripsi dengan judul “Diskualifikasi Delegasi Indonesia Dalam Kompetisi All- England Tahun 2021 Perspektif Lex Sportiva dan Fiqh Siyasah Dauliyah” yang ditulis

Namun, dalam kasus diskualifikasi delegasi PBSI dalam kompetisi All England tahun 2021 tidak diterapkannya asas hukum lex sportive, peserta bulu tangkis delegasi PBSI