• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS YURIDIS

TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh:

ALFATAH AKBAR WICAKSONO NIM : E0005078

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS YURIDIS

TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

Disusun Oleh :

ALFATAH AKBAR WICAKSONO NIM : E0005078

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

WINARNO BUDYATMOJO, S.H M.S BUDI SETIYANTO, S.H M.H

(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS YURIDIS

TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

Disusun Oleh :

ALFATAH AKBAR WICAKSONO NIM : E0005078

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada

Hari : Senin

Tanggal : 2 Agustus 2010

TIM PENGUJI

1. Ismunarno , S.H., M.Hum ( ... ) NIP. 19660428 199003 1001

2. Winarno Budyatmojo, S.H, M.S ( ... ) NIP. 19600525 0198702 1002

3. Budi Setiyanto, S.H, M.H ( ...) NIP. 19570610 198601 1001

Mengetahui,

Dekan

( Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. )

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Alfatah Akbar Wicaksono

NIM : E0005078

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis

Yuridis Tindak Pidana Illegal Fishing Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

Tentang Perikanan” adalah benar-benar karya sendiri. Hal yang bukan karya saya

ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut diatas tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi alademik, yang berupa pencabutan

skripsi dan gelar saya peroleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 2 Agustus 2010

Yang Membuat Pernyataan

(5)

commit to user

v ABSTRAK

ALFATAH AKBAR WICAKSONO. E0005078. ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum 2010.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi isi data-data sekunder hasil dari studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan dari jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang digunakan penulis adalah content analysis atau analisis isi, yaitu berupa teknik yang digunakan dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 ini merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Diharapkan Undang-Undang-Undang-Undang tentang perikanan yang baru ini dapat membantu pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.

(6)

commit to user

vi MOTTO

H argailah segala yang kau miliki; anda akan memiliki lebih lagi. Jika anda fokus pada apa yang tidak anda miliki, anda tidak akan pernah merasa cukup dalam

hal apapun - Oprah Winf rey -

Untuk mencapai kesuksesan, kita j angan hanya bertindak, tapi j uga perlu bermimpi, j angan hanya berencana, tapi j uga perlu untuk percaya.

- Anatole France-

Semua impian kita dapat menj adi nyata, j ika kita memiliki keberanian untuk mengej arnya.

- Walt Disney-

COGI T O ER GO SUM

( aku berfikir maka aku ada )

- Descartes –

I t is hard to fail, but it is worse never to have tried to succeed. - T heodore R oosevelt –

Satu-satunya cara untuk mengetahui batas kemungkinan adalah dengan pergi melampaui batas kemungkinan itu menuj u kemustahilan.

(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

K arya kecil ini saya persembahkan kepada :

ƒ Bapak dan I buku yang

mensuport pendidikanku;

ƒ Adikku yang selalu

mensupportku;

ƒ Laily Dian K urniastuti,

(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul ; ”ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian

persyaratan dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan

yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, penulis

sampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak. Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan surat keputusan

ijin skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

2. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H.,M.S selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Seblas Maret Surakarta.

3. Bapak Suranto, S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Bapak Ismunarno, S.H.M.Hum selaku Kepala Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

5. Bapak Winarno Budyatmojo S.H.,M.S selaku Pembimbing Akademik Penulis

selama menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

6. Bapak Winarno Budyatmojo S.H.,M.S selaku Pembimbing I yang senantiasa

membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk dalam

(9)

commit to user

ix

7. Bapak Budi Setiyanto,S.H.,M.H selaku Pembimbing II yang senantiasa

membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk dalam

penulisan skripsi ini.

8. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah memberikan ilmu kapada penulis selama menyelesaikan studi di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Bapak dan Ibu Tata Usaha dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kemudahan kepada penulis

dalam mengurus administrasi kampus dan surat pengantar penelitian.

10.Bunda dan Ayahanda tercinta, terimakasih atas kasih sayang serta doanya,

yang selalu mendoakan dengan tiada henti-hentinya serta memotivasiku

selama ini.

11.Eyang putriku tersayang, terima kasih atas kasih sayang serta doanya, yang

selalu mendoakan dengan tiada henti-hentinya serta memotivasiku selama ini.

12.Adiku tersayang ( Gigih Priambodo Wicaksono ) yang selalu ada dan

menemaniku dalam sedih dan senang, setiap kali aku pulang dari kampus,

terimakasih atas canda tawa dan kebahagiaan yang telah mampu

menghilangkan kelelahan di setiap hari.

13.Laily Dian Kurniastuti , orang yang selalu ada di hati penulis dan selalu

menyayangi-ku apa adanya, terimakasih telah memberikan support, doa’,

menemaniku dan memberikan banyak inspirasi , sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.muach

14.Teman-temanku di Kampus: dhek liya, Nisa, Jenong, Wahyu, Asih, Detin,

terima kasih atas dukungan, canda, tawa, dan semangatnya buat penulis dalam

menyusun skripsi ini.

15.Teman-Teman angkatan ”05 terimakasih atas segala kekompakannya

16.Berbagai pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu yang telah

memberikan bantuan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(10)

commit to user

x

Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun

diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi

pembaca.

Surakarta, 2 Agustus 2010

(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 11

1. Tinjauan Tentang Hukum Pidana ... 11

a. Pengertian Hukum Pidana ………... ... 11

b. Pembagian Hukum Pidana ………. ... 13

c. Fungsi Hukum Pidana ………... ... 13

d. Asas Hukum Pidana ... 14

e. Teori Pemidanaan... 15

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana……… 18

(12)

commit to user

xii

b. Jenis - Jenis Tindak Pidana ……….. ... 21

c. Unsur – Unsur Tindak Pidana ……….. .... 25

3. Tinjauan Tentang Illegal Fishing ……… 26

a. Kelautan Indonesia ... 26

b. Arti Perikanan ... 31

c. Pengertian Tentang Perikanan Ilegal ... 32

d. Jalur-Jalur Penangkapan Ikan ... 41

e. Alat-Alat Penangkapan Ikan ... 45

B. Kerangka Pemikiran... 48

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN 1. Pengaturan Illegal Fishing menurut Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan... 2. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana llegal Fishing sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan... B. PEMBAHASAN ... BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 79

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA

51

60

(13)

commit to user

(14)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. pasal 1 ayat 1 dan 3

ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk

Republik, berdasarkan atas hukum ( Rechtstaat ) dan bukan berdasarkan atas

kekuasaan belaka. Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum

yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi

hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah serta wajib menjunjung tinggi

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh

dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja

orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan

hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk

bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu

merupakan salah satu proses penegakan hukum.

Di dalam suatu Negara, tidak hanya proses penegakan hukum yang

penting, pembangunan nasional pun menjadi prioritas.Dampak dari proses

pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat,

selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang

memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan

tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang

dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah illegal fishing. Tindak

pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat.

Masalah illegal fishing merupakan masalah utama di departemen

perikanan, illegal fishing sendiri mempunyai definisi atau kegiatan-kegiatan

(15)

commit to user

asing atau berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia tanpa izin dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sehingga dapat merusak biodiversity dan kekayaan laut. Dari

tindakan tersebut sangatlah memberikan dampak yang luar biasa bagi

peradaban dan generasi yang akan datang.

Perilaku ini juga dapat membawa dampak dalam perekonomian bangsa.

Tidak kalah pentingnya juga ekosistem ikan maupun ekosistem laut yang akan

terancam punah akibat dari pembalakan dan penangkapan ikan secara liar ini.

Dalam perekonomian misalnya, illegal fishing akan berakibat rusaknya

perekonomian hingga mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah, belum

lagi kerugian ekologi yang tidak dapat dihitung secara matematis. Dalam skala

nasional jutaan ekosistem laut yang hancur dan terancam punah tanpa sempat

menarik nilai ekosistem ikan bagi pemasukan keuangan negara berupa

Propinsi Sumber Daya Laut ( PSDL ). Dari kegiatan illegal fishing ini maka

generasi penerus bangsa akan banyak kehilangan kesempatan untuk mengenal

dan mengetahui serta menikmati kekayaan laut khususnya dalam bidang

perikanan,mereka hanya dapat mendengarkan lewat cerita saja tentang

kekayaan laut dan ekosistem didalamnya khususnya ikan atau perikanan tanpa

terjun secara langsung ikut menikmatinya

Sulit terungkapnya penanggulangan kasus-kasus tindak pidana illegal

fishing karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta

biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung

dan terorganisasi.oleh karena itu kejahatan ini sering disebut white collar

crime atau kejahatan kerah putih.

Melihat pentingya pemberantasan illegal fishing, maka hendaknya

pemerintah saat ini untuk merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam

menangani illegal fishing tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan

oleh pemerintah dalam menangani illegal fishing tersebut, yaitu pertama,

peningkatan kesadaran dan kerjasama antar seluruh stakeholders perikanan

dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktek illegal fishing. Hal ini

(16)

commit to user

3

oleh stakeholders perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha

perikanan. Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memberantas KKN

dalam penurusan ijin penangkapan ikan.

Kedua, peningkatan peran Indonesia dalam kerjasama pengelolaan

perikanan regional. Dengan meningkatkan peran ini Indonesia dapat meminta

negara lain untuk memberlakukan sanksi bagi kapal yang menangkap ikan

secara illegal di perairan Indonesia. Dengan menerapkan kebijakan anti illegal

fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan

serendah mungkin. Kerjasama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk

menekan biaya operasional MCS (Monitoring Controling Surveillance)

sehingga joint operation untuk VMS (Vessel Monitoring Systems) misalnya

dapat dilakukan.

Ketiga, mempercepat pembentukan Keputusan Presiden (Keppres)

illegal fishing yang saat ini masih dipersiapkan oleh Departemen Kelautan dan

Perikanan. Keppres tersebut hendaknya dapat dijadikan payung hukum dalam

memberantas illegal fishing di perairan Indonesia. Namun demikian

keberadaan Keppres tersebut hendaknya diikuti dengan adanya penegakan

hukum yang tegas dan berpihak kepada kepentingan nasional.

Antisipasi atas tindak pidana illegal fishing dapat dilakukan diantaranya

dengan memfungsikan instrument hukum pidana secara efektif melalui

penegakan hukum dan diupayakan perilaku yang melanggar hukum

ditanggulangi secara prefentif dan represif. Sesuai dengan sifat hukum pidana

yang memaksa dan dapat dipaksakan, maka setiap perbuatan melawan hukum

itu dapat dikenakan penderitaan yang berupa hukuman. Hukum pidana adalah

hukum yang mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan pelanggaran terhadap

kepentingan perseorangan, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang

merupakan syatu penderitaan atau siksaan.

Hukum yang baik tidak hanya tergantung pada asas-asas, sistematika

perumusan pasal-pasal, dan sanksi-sanksi yang ada, melainkan juga

tergantung pada tata pelaksanaan serta manusianya sebagai pelaksana dan

(17)

commit to user

hukum dalam mengungkap dan menyelesaiakan kasus tindak pidana illegal

fishing dituntut profesional yang disertai kematangan intelektual dan integritas

moral yang tinggi. hal tersebut diperlukan agar proses peradilan dalam

menyelesaikan kasus tindak pidana illegal fishing dapat memperoleh keadilan

dan pelaku dikenai sanksi pidana seberat-beratnya

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian hukum dengan judul : “ ANALISIS YURIDIS

TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANANB. Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang akan diteliti dapat dipecahkan, maka perlu

disusun dan dirumuskan suatu permasalahan yang jelas dan sistematik.

Perumusan masalah ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi penulis

dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya sehingga dapat

mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta sesuai dengan yang diinginkan.

Berdasarkan uraian latar belakang yang ada, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Illegal Fishing menurut Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan?

2. Apakah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku Illegal Fishing telah

diterapkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan

masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti

mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini.

Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Adapun

tujuan penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Illegal Fishing menurut

(18)

commit to user

5

b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidan terhadap pelaku Illegal

Fishing di Indonesia..

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya

Hukum Pidana.

b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan

skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajad sarjana (S-1)

di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

c. Untuk menambah wawasan dan memperluas pengetahuan serta

pemahaman penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang diterima

selama menempuh kuliah guna melatih kemampuan dalam

menerapkan teori-teori tersebut dalam prakteknya di masyarakat.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan

kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang

didapat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Pidana

pada khususnya.

b. Diharapkan dapat menambah bahan referensi dibidang karya ilmiah

serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

b. Memberikan manfaat untuk lebih mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

(19)

commit to user

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten ( Soerjono Soekanto, 1986:42).

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode penelitian sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan Penulis lakukan adalah penelitian

hukum normatif atau kepustakaan. Penelitian hukum normatif sering

disebut juga penelitian hukum doktrinal atau kepustakaan karena

penelitian ini hanya meneliti dan mengkaji bahan-bahan hukum tertulis

dan banyak dilakukan di perpustakaan.Penelitian hukum normatif yang

diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan

hukum primer, sekunder, dan tersier ( Soerjono Soekanto, 1986 : 52).

2. Sifat Penelitian

Apabila dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini termasuk

penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan

untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau

gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif ini adalah

terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu

didalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun

teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 :10).

3. Lokasi Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum secara

normatif, sehingga tidak memerlukan data dilapangan secara langsung,

melainkan data-data tersebut dapat diperoleh melaliu studi kepustakaan.

Lokasi penelitian ini adalah:

a) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Jenis data

Data adalah hasil penelitian baik berupa fakta-fakta angka yang

(20)

commit to user

7

hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan,Jenis data yang

dipergunakan Penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder.Data

sekunder merupakan data yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan

oleh orang diluar penyusun sendiri melalui studi kepustakaan, buku,

literatur, surat kabar, dokumen, Peraturan Perundang-undangan, laporan,

dan sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang

diteliti.Ciri-ciri data sekunder adalah sebagai berikut :

a. Pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat ( ready made )

b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh

peneliti-peneliti terdahulu

c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat dan dibatasi oleh tempat

dan waktu ( Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,1979 :35)

5. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan secara yuridis dan mengikat yang terdiri dari kaidah dasar,

peraturan dasar, perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

dikodifikasi, jurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman

penjajahan yang sampai saat ini masih berlaku (Soerjono Soekanto dan

Sri Mamudji, 2006 : 13).

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

b. UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta

memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian

dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti :

(21)

commit to user

(2)Kamus hukum

6. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian pasti akan membutuhkan data yang lengkap, dalam

hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai

validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian, lazimnya

dikenal paling sedikit tiga jenis teknik pengumpulan data yaitu : studi

dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara

atau interview (Soerjono Soekanto,1986 : 21).

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan, yaitu kegiatan pengumpulan data sekunder.

Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan

masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai katalogisasi.

Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklarifikasi dan

selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan

penelitian.

7. Teknik Analisis Data.

Data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dianalisis

menggunakan logika deduksi yaitu pola berpikir dari hal-hal yang bersifat

umum (premis mayor) kepada hal-hal yang bersifat khusus (premis

minor). Premis mayor berupa peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai perikanan,dihubungkan dan diterapkan pada premis

minor berupa penegakan hukum dan penerapan sanksi terhadap illegal

fishing. Dari premis mayor dan premis minor tersebut dapat ditemukan

jawaban yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.

Untuk memperoleh jawaban atau kesimpulan terhadap penelitian

hokum yang menggunakan logika deduktif ini, digunakan dengan metode :

a. Interpretasi bahasa (gramatikal), yaitu memberikan arti kepada atau

istilah atau perkatan sesuai dengan bahasa sehari-hari.Jadi untuk

mengetahui makna ketentuan undang,maka ketentuan

undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya

(22)

commit to user

9

b. Interpretasi sistematis, yaitu menafsirkan peraturan

perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau

undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum (Soedikno

Mertokusumo,2004:59).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 ( empat ) bab yang akan

dibagi dalam sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memahami materi

yang akan dirinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar

belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong

penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah

merupakan inti masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian berisi

tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat

penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian,

metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis

data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis

data, selanjutnya adalah sistematika penulisan yang merupakan

kerangka atau susunan isi penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori.

Pada bab ini diuraikan yang pertama tentang kerangka teori

yang berisi tinjauan kepustakaan yang menjadi literatur

pendukung dalam pembahasan masalah penulisan hukum ini.

Tinjauan pustaka dalam penulisan ini meliputi : Pertama tinjauan tentang Hukum Pidana diantaranya yaitu pengertian hukum pidana, pembagian hukum pidana, fungsi hukum

pidana, asas-asas hukum pidana, teori pemidanaan. Kedua tinjauan tentang Tindak Pidana diantaranya yaitu : pengertian tindak pidana, jenis tindak pidana, unsur tindak

(23)

commit to user

yaitu : pengertian perikanan, tentang perikanan ilegal,

jalur-jalur penangkapan ikan, alat penangkap ikan.

B. Kerangka Pemikiran

Berisi alur pemikiran yang hendak ditempuh oleh Penulis yang

dituangkan dalam bentuk skema/bagan.

BAB III : HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan

pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu tinjauan hukum

pidana mengenai pengaturan illegal fishing menurut hukum pidana

di Indonesia serta penerapan sanksi pidana terhadap pelaku illegal

fishing di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Pada bagian akhir dari penulisan hukum ini, berisi tentang

simpulan dari hasil penulisan hukum yang telah diteliti oleh penulis

dan berisi tentang saran-saran terhadap beberapa kekurangan dalam

penelitian yang menurut penulis perlu diperbaiki, yang penulis

temukan selama penulisan.

(24)

commit to user

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana a) Pengertian Hukum Pidana

Secara bahasa, istilah hukum pidana merupakan terjemahan

dari bahasa belanda ”straafrecht”. Tidak ada pengertian baku

mengenai hukum pidana ini. Pengertian hukum pidana dari beberapa

sarjana memiliki beberapa pengertian. Kata-kata hukum pidana

merupakan kata-kata yang mempunyai lebih dari satu pengertian, maka

dapat dimengerti bahwa tidak ada satupun rumusan diantara

rumusan-rumusan yang ada, yang dapat dianggap sebagai rumusan-rumusan sempurna

yang dapat diberlakukan scara umum ( P.A.F Lamintang,1997:1 ).

Pengertian hukum pidana menurut beberapa sarjana hukum

antara lain :

a) Soesilo

Soesilo mengatakan bahwa hukum pidana merupakan

kumpulan dari seluruh peristiwa-peristiwa pidana atau

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang,

yang apabila dilakukan atau dialphakan, maka orang yang

melakukan atau mengalphakan tersebut akan mendapat sanksi atau

hukuman ( R.Soesilo,1977:4 )

b) Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum

yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan

aturan untuk :

1 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

(25)

commit to user

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.

2 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam.

3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

tersebut ( Moeljatno, 2008:1 ).

c) Pompe

Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum

mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan

pidananya ( Pompe dalam Martiman Prodjohamidjojo,1997:5 ).

d) Prof. Dr. W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi

keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk

undang-undang) dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman

yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. (Lemaire dalam

PAF. Lamintang,1997:1-2)

e) Prof. Mr. W.F.C. Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan

peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat

hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari

ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya

tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan

pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu

penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. (Van Hattum

dalam PAF. Lamintang,1997:2)

f) Prof. Simons

Keseluruhan dari larangan-larangan dan

keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu

(26)

commit to user

13

penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan

keseluruhan dari peraturan-peraturan dimana syarat-syarat

mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari

peraturan-peraturan yang mengatur (Simons dalam PAF.

Lamintang,1997:4)

masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu

sendiri.

b) Pembagian Hukum Pidana

Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pidana dan Tata

Hukum Indonesia membagi hukum pidana sebagai berikut :

a) Hukum pidana obyektif (Ius Poenale), adalah semua peraturan

yang mengandung keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran

maka diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.

Hukum Pidana Obyektif dibagi menjadi :

1. Hukum pidana materiil, yaitu hukum pidana yang mengatur

tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum

atau mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran

serta syarat-syarat bila seorang dapat dihukum.

2. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku

khusus untuk orang-orang tertentu, contohnya : hukum

pidana militer (berlaku bagi anggota militer) dan hukum

pajak (berlaku bagi perseroan dan wajib pajak lainnya)

b) Hukum pidana subyektif (Ius Poenindi), adalah hak Negara atau

alat-alat Negara untuk menghukum berdasar hukum pidana

obyektif. Hukum pidana subyektif baru ada setelah ada

peraturan-peraturan dari hukum pidana obyektif terlebih dahulu. (C.S.T

Kansil,1989:264-265 ),

c) Fungsi Hukum Pidana

Fungsi umum hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2,

yaitu :

(27)

commit to user

Fungsi umum hukum pidana juga sama dengan fungsi

hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau

menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya

memperhatikan perbuatan-perbuatan yang ”sozi al relevan”,

artinya yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat

(Sudarto,1990:11).

b) Fungsi Khusus

Fungsi khusus hukum pidana adalah melindungi

kepentingan hukum dari perbuatan yang akan memperkosanya

(Rechtguterscautz) dengan sanksi berupa pidana, yang sifatnya

lebih tajam dibandingkan sanksi dalam cabang hukum

lain,sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum pidana berfungsi

memberi aturan-aturan untuk menggulangi perbuatan jahat dengan

pengaruh atau upaya preventif (pencegahan) terhadap terjadinya

pelanggaran-pelanggaran norma hukum disamping sebagai alat

kontrol ( social control) (Sudarto,1990:11).

d) Asas Hukum Pidana

1. Asas Legalitas ( Nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenale ).

Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan

Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan

aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum

perbuatan dilakukan

2. Asas Lex Temporis Delicti

Bahwa peraturan perundang-undangan mengenaiperbuatan yang

dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untut menuntut dan

menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada

waktu perbutan tersebut dilakukan.

Akibat dari asas tersebut adalah bahwa perundang-undangan tidak

boleh berlaku surut.

(28)

commit to user

15

Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat

dipidana, jika ada unsur kesalahan.

4. Asas Lex specialis derogat legi generalis

Artinya asas hukum yang menyatakan peraturan atau

Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan atau

Undang-Undang yang bersifat umum (Pasal 103 KUHP).

e) Teori Pemidanaan

Para penulis barat menganut berbagai teori pemidanaan

atau strafrechts-theorien yang dasar pemikirannya berakar dari

persoalan ”mengapa suatu kejahatan harus dikenai hukuman pidana

?”.Hal itu menimbulkan tumbuhnya teori-teori pidana yang

berhubungan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus

puniendie) sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan

menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht ( jus

poenale) sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum

pidana.( Wirjono Prodjodikoro,1986:22 ).

Ilmu pengetahuan mengenal beberapa teori pemidanaan

diantaranya :

a. Teori Absolut Mutlak

Aliran ini menganggap dasar dasar hukum dari pidana

adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau

vergeltung). Teori absolut mutlak disebut juga teori pembalasan

atau vergeldings theorie. Pada dasarnya aliran ini dibedakan atas

corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si

pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya

ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh

orang yang bersangkutan.

Menurut teori absolut mutlak, setiap kejahatan harus diikuti

dengan pidana dan tidak boleh tidak tanpa ditawar menawar.

(29)

commit to user

Tidak dilihat akibat yang timbul dari dijatuhkannya pidana, hanya

dilihat ke masa lampau tidak dilihat ke masa depan.

Teori ini menyatakan bahwa dasar hukum pidana ialah

yang dilakukan oleh orang itu sendiri. Melakukan kejahatan sudah

menjadi alasan untuk menjatuhkan pidana. Pidana yang

dimaksudkan untuk mencapai tujuan praktis dan menimbulkan

nestapa bagi pelaku pidana (Bambang Poernomo,1994:27). Teori

ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan memiliki pengikut-pengikut

dengan jalan pikirannya masing-masing seperti Immanuel Kant,

hegel, Herbert dan Stahl. Immanuel Kant berpendapat bahwa

kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka ia harus dibalas

dengan ketidakadilan pula.(Taufik Makarao,1993:38).

Tindakan pembalasan mempunyai dua arah yaitu :

a. Pembalasan subjektif, ialah pembalasan yang langsung

ditujukan terhadap kesalahan orang itu, diukur dari besar

kecilnya kesalahan.

b. Pembalasan objektif, ialah pembalasan terhadap akibat yang

ditimbulkan oleh perbuatan itu. Jika akibatnya kecil maka

pembalasannya kecil juga.

b. Teori Relatif atau Nisbi

Teori ini memiliki pengikut-pengikut seperti Anselm Von

Feurbach, Van Hammel dan Von List. Menurut teori ini, suatu

kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Tidak

cukup dengan adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan

perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si

penjahat sendiri.Tidak cukup hanya dilihat pada masa lalu tetapi

juga pada masa depan. Teori ini ini menyatakan bahwa harus ada

tujuan lebih jauh daripada sekedar menjatuhkan pidana saja. Teori

ini dinamakan juga teori tujuan atau doel theorie.

Teori relatif menyatakan bahwa dasar hukum dari pidana

(30)

commit to user

17

mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya pidana. Ini berarti

bahwa pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu

mencegah adanya kejahatan, yang berarti tata tertib masyarakat

dapat terjamin.

Pidana merupakan alat pencegahan, adapun pencegahan itu

ada 2 macam yaitu :

1. Pencegahan umum (generale preventive)

Pencegahan umum dari pidana itu terletak pada cara

melaksanaannya, yaitu cara yang menakutkan

masyarakat,dengan melaksanakan pidana tersebut dimuka

umum. Misalnya, si terpidana dipukuli sampai berdarah,dengan

melihat kejadian itu masyarakat menjadi takut untuk

melakukan suatu kejahatan.

2. Pencegahan khusus (speciale preventive)

Menurut Van Hammel tujuan pidana disamping

mempertahankan ketertiban masyarakat juga mempunyai

tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk

kejahatan tertentu harus dibinasakan. Tujuan tersebut dengan

menjatuhkan pidana kepada terpidana dengan maksud

menakuti, memperbaiki, dan membuat ia tidak berdaya

lagi.(Adam Chazawi,2002:161-166)

c. Teori Gabungan

Teori ini ditimbulak oleh keberatan-keberatan terhadap

teori pembalasan dan teori tujuan. Teori ini memiliki

pengikut-pengikut seperti Vos, Hugo de Groot, dan Simons. Teori gabungan

disebut juga Gemende Theorie. Teori ini digolongan menjadi 3

golongan yaitu :

1. Ada yang bertindak sebagai pembalasan : pembalasan disini

dibatasi oleh penegakan tata tertib hukum artinya pembalasan

hanya dilaksanakan apabila diperlukan untuk menegakkan tata

(31)

commit to user

dilakukan pembalasan. Penegak aliran ini adalah Zeven Bergen

yang menyatakan sifat pidana adalah pembalasan, tetapi untuk

tujuan melindungi ketertiban hukum,untuk respek kepada

hukum dan pemerintah.

2. Memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai tujuan di

dalam menggunakan pidana untuk memberikan perlindungan

kepada masyarakat itu perlu diberikan batasan,bahwa

nestapanya harus seimbang dengan perbuatannya. Apabila

pencegahan umum itu tidak berhasil digunakan, pencegahan

khusus yang terletak pada menakut-nakuti, memperbaiki, dan

membuat ia tidak berdaya lagi.

Adanya batasan terhadap kejahatan ringan haruslah diberi

pidana yang layak dan kelayakan ini diukur dengan rasa

keadilan masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang

mempergunakan jalan pikiran bahwa secara prevensi umum

terletak pada ancaman pidananya dan secara prevensi khusus

terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki,

membinasakan serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus

diselesaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.

3. Titik pangkal pembalasan dan keharusan melindungi

masyarakat. Dalam hal ini Vos berpendapat :

”Bahwa daya menakut-nakuti itu terletak pada pencegahan

umum dan ini tidak hanya pencegahan saja, juga perlu

dilaksanakan ”.

Pencegahan khusus yang berupa memperbaiki dan membuat

tidak berdaya lagi mempunyai arti penting. Teori gabungan

yang dititikberatkan sama antara pembalasan dan perlindungan

kepentingan masyarakat.(Adam Chazawi,2002:166-168)

(32)

commit to user

19

Negara Belanda menggunakan istilah ”strafbaar feit” atau

kadang ”delict” yang berasal dari bahasa Latin

”delictum”.Negara-negara Anglo Saxon menggunakan istilah ”offense” atau ”criminal

act”.Sedangkan Indonesia menggunakan istilah yang menyesuaikan

dengan sumber KUHPnya yaitu negara Belanda, kemudian oleh

Moeljatno dan Roeslan Saleh diartikan dengan ”perbuatan pidana”

sedangkan istilah yang sama juga digunakan dalam UUDS 1950 yaitu

”perbuatan kriminal”.

Beberapa kata yang digunakan oleh para sarjana-sarjana

Indonesia untuk menterjemahkan kata Strafbaarfeit antara lain : tindak

pidana, delict, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai

perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk

menunjuk pengertian kata Strafbaarfeit antara lain:

1) Peristiwa pidana, istilah ini anatara lain digunakan dalam

undang-undang dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam

pasal 14.

2) Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk

menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara

pengadilan-pengadilan sipil.

3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan

dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang

Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzzondere Strafbepalingen.

4) Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam

undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

5) Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai

undang-undang misalnya :

a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang

(33)

commit to user

b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana

ekonomi.

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

d. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang

Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka

Permasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan

tindak pidana yang merupakan kejahatan. (

Tongat,2009:102)

Pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum adalah :

1. Menurut Simons

Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam

dengan pidana oleh undang-undang yang bersifat melawan hukum

(onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.(Andi

Hamzah,1991:66)

2. Menurut Hazewikel Suringa

Strafbaar feit dirumuskan sebagai suatu perilaku manusia

yang pada suatu tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan

hidup tertentu dan dianggap sebagai pelaku yang harus ditiadakan

oleh hukum pidana dengan menggunakan saran-saran yang bersifat

memaksa yang terdapat di dalamnya.(P.A.F. Lamintang, 1997:181)

3. Menurut Vos

Strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia

yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana, berupa

kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam

dengan pidana.( E. Utrecht, 1986: 251-252)

(34)

commit to user

21

Strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah

(penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku

mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk

menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan

umum (Bambang Poernomo,1994:90).

5. Menurut PAF Lamintang

Perkataan strafbaar feit, feit berasal dari bahasa Belanda

berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau ‘een gedeelte van de

werkelijkheid”. sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum” hingga

secara harafiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan

“sebagai dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Terjemahan

ini memang tidak tepat karena yang dapat dihukum adalah manusia

sebgai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. (

E. Utrecht, 1986:172)

6. Menurut Van Hammel

Delik dirumuskan sebagai kelakuan manusia yang

dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut

dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.(Andi Hamzah,

1991:66;)

b) Jenis Tindak Pidana

Pembagian tindak pidana seperti dimaksud diatas, memberikan

kepada para pembentuk Code Penal (C.P.) tahun 1810 di Prancis,

kemudian juga telah membuat suatu ”division tripartite” atau suatu

pembagian ke dalam tiga jenis tindakan melanggar hukum yang telah

mereka tuangkan di dalam pasal 1 C.P. yaitu masing-masing: crime,

delict, dan contravention yang didalam bahasa Belanda secara

berturut-turut disebut sebagai misdaden, wanbedrijven, dan

overtredingen, yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

maka artinya secara berturut-turut adalah kejahatan-kejahatan,

(35)

commit to user

Di dalam perkembangan selanjutnya, para guru besar telah

membuat suatu pembagian dari tindakan-tindakan melawan hukum itu

ke dalam dua macam ”onrecht” yaitu yang mereka sebut ”criminal

onrecht” dan ke dalam apa yang mereka sebut ”policie onrecht”.

Criminal onrecht adalah setiap tindakan melawan hukum yang

menurut sifatnya adalah bertentangan dengan kepentingan-kepentingan

yang terdapat di dalam masyarakat. Pembagian dari tindak pidana

menjadi kejahatan dan pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar

bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan

pidana sebagai keseluruhan.(P.A.F. Lamintang,1997:209).

Penggolongan jenis tindak pidana di dalam KUHP terdiri atas

kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan

untuk kejahatan diatur di dalam buku II KUHP dan pelanggaran diatur

di dalam buku III KUHP. Risalah penjelasan undang-undang (Memorie

van Toelichting) yang terdapat di negeri Belanda membuat ukuran

kejahatan dan pelanggaran itu atas dasar teoritis bahwa kejahatan

adalah rechtdelicten, sedangkan pelanggaran adalah wetsdelicten.

Ilmu pengetahuan lalu menjelaskan bahwa rechtdelicten

merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan

sebagai perbuatan tidak adil dan di samping itu juga sebagai perbuatan

tidak adil menurut undang-undang, sedangkan wetsdelicten merupakan

perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan

sebagai perbuatan tidak adil baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang

karena undang-undang mengancam dengan pidana.

Andaikata belum dilarang oleh undang-undang, akan tetapi oleh

masyarakat telah dirasakan sebagai suatu perbuatan yang onrecht maka

disitu terdapat rechtdelicten sebagai kejahatan misalnya : pembunuhan,

pencurian, dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi yang karena dilarang

dan diancam dengan pidana menurut ketentuan undang-undang itu

barulah perbuatan bertentangan dengan ”wet”, karena masyarakat

(36)

commit to user

23

rambu-rambu lalu lintas, peraturan lalu lintas untuk memakai jalan di

lajur sebelah kiri bagi pengendara dan lain sebagainya. (Bambang

Poernomo,1994:95).

Di luar tindak pidana yang diatur dalam KUHP itu, masih

dikenal pembagian tindak pidana menurut rumusan yang dikehendaki

oleh pembentuk undang-undang, antara lain :

1. Tindak pidana material dan tindak pidana formal

Tindak pidana material dan tindak pidana formal disebut juga

materiele en formeledelicten. Tindak pidana material ialah

rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang

dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, seperti

misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Tindak pidana formal ialah rumusan undang-undang yang

menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh

undang-undang, seperti misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Terkadang suatu tindak pidana meragukan sebagai tindak pidana

formal ataukah material, seperti tersebut di dalam Pasal 279 KUHP

tentang pelanggaran bigami,demikian juga dapat terjadi suatu

tindak pidana dirumuskan secara formal-material yaitu Pasal 378

KUHP tentang penipuan.

2. Tindak pidana komisi dan tindak pidana omisi

Tindak pidana komisi juga disebut delicta commissionis ialah

tindak pidana yang terjadi karena suatu perbuatan seseorang yang

dapat meliputi tindak pidana formil maupun tindak pidana materiil,

diatur dalam pasal 362 dan pasal 378 KUHP. Tindak pidana omisi

disebut juga delicta ommissionis yaitu tindak pidana yang terjadi

karena seseorang tidak berbuat sesuatu atau dilakukan dengan

membiarkan atau mengabaikan (nalaten), dan biasanya merupakan

tindak pidana formil, misalnya dalam pasal 224 KUHP tentang

(37)

commit to user

Perbedaan anatara kedua macam tindak pidana itu dikatakan

bahwa delicta commissionis merupakan tindak pidana karena

berbuat (een doen) yang dialakukan dengan melanggar larangan,

sedangkan delicta ommissionis merupakan tindak pidana karena

tidak berbuat (een nalaten) yang dilakukan melangar keharusan.

Tindak pidana omisi dibedakan antara tindak pidana omisi yang

murni dan tindak pidana omisi yang tidak murni.

Tindak pidana omisi yang murni ialah membiarkan sesuatu

yang diperintahkan, sedangkan tindak pidan omisi yang tidak

murni disebut delicto commissionis per omissionem. Tindak pidana

omisi yang tidak murni terjadi jika oleh undang-undang tidak

dikehendaki suatu akibat dimana akibat itu dapat ditimbulkan

dengan suatu pengabaian.

3. Tindak pidana selesai dan tindak pidana berlanjut

Tindak pidana yang selesai disebut juga aflopende delicten

yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat

atau tidak berbuat (een doen of nalaten) dan tindak pidana telah

selesai ketika dilakukan, seperti misalnya kejahatan tentang

penghasutan, pembunuhan, pembakaran dan sebagainya, ataupun

pasal 330 dan 529 KUHP.

Tindak pidana berlanjut disebut juga voordurence delicten

yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas melangsungkan atau

membiarkan suatu keadaan yang terlarang walaupun keadaan itu

pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Voordurence

delicten disebut juga delicta continua.

Pentingnya pembagian dari tindak pidana ke dalam ”aflopend

delict” dan ”voordurence delict” adalah untuk menentukan saat

dimulainya jangka waktu daluwarsa yaitu dihitung mulai hari

berikutnya setelah tindak pidana yang bersangkutan dilakukan,

(38)

commit to user

25

mulai saat berhentinya keadaan yang terlarang. (Adam

Chazawi,2002:130)

4. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Berdasarkan sumbernya, maka ada dua kelompok tindak

pidana yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (buku II

dan buku III KUHP). Sementara itu, Tindak pidana khusus adalah

semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.

Misalnya tindak pidana korupsi (UU No.31 Tahun 1999), tindak

pidana psikotropika (UU No.5 Tahun 1997), tindak pidana

perbankan (UU No.10 Tahun 1998), tindak pidana narkotika (UU

No.22 Tahun 1997)

c) Unsur Tindak Pidana

Menurut pengetahuan hukum pidana setiap tindak pidana yang

terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada

umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya

dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur

objektif. Namun untuk menjabarkan rumusan tindak pidana ke dalam

unsur-unsurnya maka hal pertama adalah perbuatan atau tindakan

manusia yang dilarang oleh undang-undang.

Yang dimaksud dengan unsur subjektif dari tindak pidana adalah

unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan

dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu

yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di

dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku harus

dilakukan. Unsur-unsur tindak pidana menurut para ahli :

Menurut PAF Lamintang (PAF Lamintang, 1997:193-194)

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana yaitu :

(39)

commit to user

2) Macam-macam maksud atau oogmerk

3) Perasaan takut atau vress

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read

5) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana yaitu :

1) Kualitas dari si pelaku

2) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

3) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

Menurut Moeljanto (Moeljatno, 2008:69)

Menurut Moeljanto, unsur-unsur tindak pidana adalah :

a) Kelakuan dan akibat (= perbuatan)

b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

d) Unsur melawan hukum yang obyektif

e) Unsur melawan hukumnya yang menunjuk kepada keadaan

lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan

f) Unsur melawan hukum yang subyektif

g) Sifat melawan hukumnya tergantung dari bagaimana sikap

batin terdakwa

Menurut Kansil (C.S.T. KANSIL,1986:290)

Tindak pidana atau delik ialah tindak yang mengandung lima

unsur yakni :

a) Harus ada suatu kelakuan (gedraging)

b) Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang

(wettelijke omschrijiving)

c) Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak

d) kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku

e) kelakuan itu diancam dengan hukuman

(40)

commit to user

27

a) Potensi Kelautan

Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi

kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan

dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi

yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga

laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada

masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah

maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan

dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi :

1.Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan

110.000 spesies mikroba,

2.600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya

dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies

dari 7 genera,

3.Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources),

termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput

laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,

4.Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable

resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih

besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,

5.Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin,

dan Ocean Thermal Energy Conversion,

6.Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat

yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai

yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota

karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan

penampung limbah,

7.Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi

terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik

(41)

commit to user

8.Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu

: dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia

dan PNG.

Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang

sangat potensial dikelola, untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis

ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini,

seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun

karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di

darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan.

Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain

untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa yang salah satunya

dengan illegal fishing.

b) Kendala kelautan

Disadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia

hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain.

1. Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi

ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa

pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan

dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah

menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar,

2. Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2

(setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,

3. Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat

minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum

dan pengamanan kelautan,

4. Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan

Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah

modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50%

pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing,

5. Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal,

(42)

commit to user

29

kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga

hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,

6. Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam

rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat

terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,

7. Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan

perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan

limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah

mendegradasi habitat pesisir dan laut,

8. Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan

alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan

konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan

Jepang).

Faktor-faktor lain yang berpengaruh.

1). Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah kita ke

tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna

mewaspadai pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan

memberikan kesadaranbagi kita semua tentang pentingnya

pembinaan atas pulau-pulau tersebut,

2). Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih

banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang

lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV

asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing

(bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik

(Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas

(Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja

penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh

negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah

terhadap mereka sangat minim,

3). Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut

(43)

commit to user

keterbatasan aparat, sarana dan prasarana. Waspam laut banyak

dimanfaatkan sebagai alur perlintasan kriminal seperti

penyelundupan barang ilegal (illegal logging/ fishing/imigrants),

pengungsi, trafficking dan akhir-akhir ini terorisme Internasional

4). Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang

masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap

pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah,

5). Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis,

agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah

(Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang

bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi

permasalahan SARA tersebut.

c) Permasalahan batas laut

Beberapa Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap

Pertahanan Keamanan Negara menurut ketentuan Hukum Laut

Internasional (Hukla 1982), ada enam jenis batas laut, yaitu :

1. Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam

garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ

praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai

kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan

pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines)

sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga

saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines

tersebut.

2. Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini

Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi

kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent

passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara

ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang

menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian

(44)

commit to user

31

yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor

4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang

tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996

namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang

telah ada.

3. Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines

sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena

BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia

masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan

wilayah penuh.

4. Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12

mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT

nya juga belum dibuat.

5. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik

sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini,

Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ

dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian

ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan

melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan

(instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki

keabsahan/pengakuan yang pasti.

Batas Landas Kontinen (BLK). Landas Kontinen adalah ujung

kaki benua atau lanjutan daratan yang tenggelam, garis BLK ditarik

dari landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut) sampai 200

mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.

b. Arti Perikanan

Perikanan diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004

tentang Perikanan. Pada Pasal 1 butir 1 dimuat arti perikanan adalah

”semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari

(45)

commit to user

dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.” Sedangkan arti

penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan

yang tidak dalam keadaan yang dibudidayakan dengan alat atau cara

apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,

dan/atau mengawetkannya.

Wilayah perikanan diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang bunyinya sebagai

berikut :

”wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:

(i) perairan Indonesia;

(ii) ZEEI;

(iii) Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang

dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang

potensial di wilayah Republik Indonesia.”

c. Tentang Perikanan Illegal

Perikanan ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia termasuk

FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini

menggunakan beberapa terminologi seperti perikanan ilegal (illegal),

unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) atau biasa

disingkat dengan IUU Fishing. Penjelasan mengenai ketiga

terminologi ini adalah sebagai berikut :

1. Illegal Fishing

Adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan

wilayah atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara.Artinya

kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan

penangkapan ikan dari negara bersangkutan. Praktek terbesar

dalam IUU Fishing seperti yang ditulis oleh Bray (2000), pada

dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas perairan Teluk Kayeli dalam kondisi baik dan sesuai dengan bakumutu yang dipergunakan untuk kehidupan biota laut (budi daya laut) maupun wisata bahari.. Kaitannya

Topik yang dipilih dalam karya tulis ini adalah hipoglikemia yang dialami oleh penderita diabetes dirasa cukup relevan untuk didalami mengingat bahaya yang dapat

Both of these metrics help us understand how well each department writes code: the average number of defects per application, and a relative measure (BAR) of the mean aggregate

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Dana Bagi Hasil terhadap pengalokasian Belanja modal di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dengan

Apabila uji pengguna dilakukan survei kepada unit eksternal, kepala bagian, tim perbaikan produk, ahli sistem dan manajer pada PT Petrokimia Gresik dengan menggunakan

Pemilihan moda merupakan suatu tahapan proses perencanaan angkutan yang bertugas dalam menentukan pembebanan perjalanan atau mengetahui jumlah (dalam arti proporsi) orang dan

Review ini membahas tentang jenis-jenis senyawa bioaktif dari rumput laut yang berfungsi sebagai antioksidan dan mekanisme penetralan radikal bebas yang berkaitan

Tidak maksimalnya kepemimpinan Kepala Bagian dan Subbagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Kayong Utara dalam pengawasan disiplin pegawai, memberikan pembinaan dan