• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Kerangka Pemikiran

Berisi alur pemikiran yang hendak ditempuh oleh Penulis yang dituangkan dalam bentuk skema/bagan.

BAB III : HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu tinjauan hukum pidana mengenai pengaturan illegal fishing menurut hukum pidana di Indonesia serta penerapan sanksi pidana terhadap pelaku illegal fishing di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Pada bagian akhir dari penulisan hukum ini, berisi tentang simpulan dari hasil penulisan hukum yang telah diteliti oleh penulis dan berisi tentang saran-saran terhadap beberapa kekurangan dalam penelitian yang menurut penulis perlu diperbaiki, yang penulis temukan selama penulisan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana a) Pengertian Hukum Pidana

Secara bahasa, istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda ”straafrecht”. Tidak ada pengertian baku mengenai hukum pidana ini. Pengertian hukum pidana dari beberapa sarjana memiliki beberapa pengertian. Kata-kata hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih dari satu pengertian, maka dapat dimengerti bahwa tidak ada satupun rumusan diantara rumusan-rumusan yang ada, yang dapat dianggap sebagai rumusan-rumusan sempurna yang dapat diberlakukan scara umum ( P.A.F Lamintang,1997:1 ).

Pengertian hukum pidana menurut beberapa sarjana hukum antara lain :

a) Soesilo

Soesilo mengatakan bahwa hukum pidana merupakan kumpulan dari seluruh peristiwa-peristiwa pidana atau perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang, yang apabila dilakukan atau dialphakan, maka orang yang melakukan atau mengalphakan tersebut akan mendapat sanksi atau hukuman ( R.Soesilo,1977:4 )

b) Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

1 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilanggar, dengan disertai ancaman atau sanksi

commit to user

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam.

3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut ( Moeljatno, 2008:1 ).

c) Pompe

Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya ( Pompe dalam Martiman Prodjohamidjojo,1997:5 ). d) Prof. Dr. W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. (Lemaire dalam PAF. Lamintang,1997:1-2)

e) Prof. Mr. W.F.C. Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. (Van Hattum dalam PAF. Lamintang,1997:2)

f) Prof. Simons

Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu

commit to user

13

penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan dimana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur (Simons dalam PAF. Lamintang,1997:4)

masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri.

b) Pembagian Hukum Pidana

Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pidana dan Tata Hukum Indonesia membagi hukum pidana sebagai berikut :

a) Hukum pidana obyektif (Ius Poenale), adalah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran maka diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.

Hukum Pidana Obyektif dibagi menjadi :

1. Hukum pidana materiil, yaitu hukum pidana yang mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum atau mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seorang dapat dihukum.

2. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu, contohnya : hukum pidana militer (berlaku bagi anggota militer) dan hukum pajak (berlaku bagi perseroan dan wajib pajak lainnya) b) Hukum pidana subyektif (Ius Poenindi), adalah hak Negara atau

alat-alat Negara untuk menghukum berdasar hukum pidana obyektif. Hukum pidana subyektif baru ada setelah ada peraturan-peraturan dari hukum pidana obyektif terlebih dahulu. (C.S.T Kansil,1989:264-265 ),

c) Fungsi Hukum Pidana

Fungsi umum hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

commit to user

Fungsi umum hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang ”sozi al relevan”, artinya yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat (Sudarto,1990:11).

b) Fungsi Khusus

Fungsi khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang akan memperkosanya

(Rechtguterscautz) dengan sanksi berupa pidana, yang sifatnya

lebih tajam dibandingkan sanksi dalam cabang hukum lain,sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum pidana berfungsi memberi aturan-aturan untuk menggulangi perbuatan jahat dengan pengaruh atau upaya preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum disamping sebagai alat kontrol ( social control) (Sudarto,1990:11).

d) Asas Hukum Pidana

1. Asas Legalitas ( Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale ).

Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan

2. Asas Lex Temporis Delicti

Bahwa peraturan perundang-undangan mengenaiperbuatan yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untut menuntut dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada waktu perbutan tersebut dilakukan.

Akibat dari asas tersebut adalah bahwa perundang-undangan tidak boleh berlaku surut.

commit to user

15

Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat dipidana, jika ada unsur kesalahan.

4. Asas Lex specialis derogat legi generalis

Artinya asas hukum yang menyatakan peraturan atau Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan atau Undang-Undang yang bersifat umum (Pasal 103 KUHP).

e) Teori Pemidanaan

Para penulis barat menganut berbagai teori pemidanaan atau strafrechts-theorien yang dasar pemikirannya berakar dari persoalan ”mengapa suatu kejahatan harus dikenai hukuman pidana ?”.Hal itu menimbulkan tumbuhnya teori-teori pidana yang berhubungan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus

puniendie) sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan

menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht ( jus

poenale) sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum

pidana.( Wirjono Prodjodikoro,1986:22 ).

Ilmu pengetahuan mengenal beberapa teori pemidanaan diantaranya :

a. Teori Absolut Mutlak

Aliran ini menganggap dasar dasar hukum dari pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau

vergeltung). Teori absolut mutlak disebut juga teori pembalasan

atau vergeldings theorie. Pada dasarnya aliran ini dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan.

Menurut teori absolut mutlak, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana dan tidak boleh tidak tanpa ditawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.

commit to user

Tidak dilihat akibat yang timbul dari dijatuhkannya pidana, hanya dilihat ke masa lampau tidak dilihat ke masa depan.

Teori ini menyatakan bahwa dasar hukum pidana ialah yang dilakukan oleh orang itu sendiri. Melakukan kejahatan sudah menjadi alasan untuk menjatuhkan pidana. Pidana yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan praktis dan menimbulkan nestapa bagi pelaku pidana (Bambang Poernomo,1994:27). Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan memiliki pengikut-pengikut dengan jalan pikirannya masing-masing seperti Immanuel Kant, hegel, Herbert dan Stahl. Immanuel Kant berpendapat bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka ia harus dibalas dengan ketidakadilan pula.(Taufik Makarao,1993:38).

Tindakan pembalasan mempunyai dua arah yaitu :

a. Pembalasan subjektif, ialah pembalasan yang langsung ditujukan terhadap kesalahan orang itu, diukur dari besar kecilnya kesalahan.

b. Pembalasan objektif, ialah pembalasan terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu. Jika akibatnya kecil maka pembalasannya kecil juga.

b. Teori Relatif atau Nisbi

Teori ini memiliki pengikut-pengikut seperti Anselm Von Feurbach, Van Hammel dan Von List. Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Tidak cukup dengan adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri.Tidak cukup hanya dilihat pada masa lalu tetapi juga pada masa depan. Teori ini ini menyatakan bahwa harus ada tujuan lebih jauh daripada sekedar menjatuhkan pidana saja. Teori ini dinamakan juga teori tujuan atau doel theorie.

Teori relatif menyatakan bahwa dasar hukum dari pidana ialah menegakkan tata tertib masyarakat, sebagai tujuan dan untuk

commit to user

17

mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya pidana. Ini berarti bahwa pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu mencegah adanya kejahatan, yang berarti tata tertib masyarakat dapat terjamin.

Pidana merupakan alat pencegahan, adapun pencegahan itu ada 2 macam yaitu :

1. Pencegahan umum (generale preventive)

Pencegahan umum dari pidana itu terletak pada cara melaksanaannya, yaitu cara yang menakutkan masyarakat,dengan melaksanakan pidana tersebut dimuka umum. Misalnya, si terpidana dipukuli sampai berdarah,dengan melihat kejadian itu masyarakat menjadi takut untuk melakukan suatu kejahatan.

2. Pencegahan khusus (speciale preventive)

Menurut Van Hammel tujuan pidana disamping mempertahankan ketertiban masyarakat juga mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu harus dibinasakan. Tujuan tersebut dengan menjatuhkan pidana kepada terpidana dengan maksud menakuti, memperbaiki, dan membuat ia tidak berdaya lagi.(Adam Chazawi,2002:161-166)

c. Teori Gabungan

Teori ini ditimbulak oleh keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan. Teori ini memiliki pengikut-pengikut seperti Vos, Hugo de Groot, dan Simons. Teori gabungan disebut juga Gemende Theorie. Teori ini digolongan menjadi 3 golongan yaitu :

1. Ada yang bertindak sebagai pembalasan : pembalasan disini dibatasi oleh penegakan tata tertib hukum artinya pembalasan hanya dilaksanakan apabila diperlukan untuk menegakkan tata tertib hukum. Jika tidak untuk dimaksud itu maka tidak perlu

commit to user

dilakukan pembalasan. Penegak aliran ini adalah Zeven Bergen yang menyatakan sifat pidana adalah pembalasan, tetapi untuk tujuan melindungi ketertiban hukum,untuk respek kepada hukum dan pemerintah.

2. Memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai tujuan di dalam menggunakan pidana untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat itu perlu diberikan batasan,bahwa nestapanya harus seimbang dengan perbuatannya. Apabila pencegahan umum itu tidak berhasil digunakan, pencegahan khusus yang terletak pada menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat ia tidak berdaya lagi.

Adanya batasan terhadap kejahatan ringan haruslah diberi pidana yang layak dan kelayakan ini diukur dengan rasa keadilan masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang mempergunakan jalan pikiran bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki, membinasakan serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus diselesaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat. 3. Titik pangkal pembalasan dan keharusan melindungi

masyarakat. Dalam hal ini Vos berpendapat :

”Bahwa daya menakut-nakuti itu terletak pada pencegahan umum dan ini tidak hanya pencegahan saja, juga perlu dilaksanakan ”.

Pencegahan khusus yang berupa memperbaiki dan membuat tidak berdaya lagi mempunyai arti penting. Teori gabungan yang dititikberatkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat.(Adam Chazawi,2002:166-168)

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana a) Pengertian Tindak Pidana

commit to user

19

Negara Belanda menggunakan istilah ”strafbaar feit” atau kadang ”delict” yang berasal dari bahasa Latin ”delictum”.Negara-negara Anglo Saxon menggunakan istilah ”offense” atau ”criminal act”.Sedangkan Indonesia menggunakan istilah yang menyesuaikan dengan sumber KUHPnya yaitu negara Belanda, kemudian oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh diartikan dengan ”perbuatan pidana” sedangkan istilah yang sama juga digunakan dalam UUDS 1950 yaitu ”perbuatan kriminal”.

Beberapa kata yang digunakan oleh para sarjana-sarjana Indonesia untuk menterjemahkan kata Strafbaarfeit antara lain : tindak pidana, delict, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pengertian kata Strafbaarfeit antara lain:

1) Peristiwa pidana, istilah ini anatara lain digunakan dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.

2) Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzzondere Strafbepalingen. 4) Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam

undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

5) Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang misalnya :

a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum

commit to user

b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

d. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Permasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan. ( Tongat,2009:102)

Pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum adalah : 1. Menurut Simons

Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam

dengan pidana oleh undang-undang yang bersifat melawan hukum

(onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.(Andi Hamzah,1991:66)

2. Menurut Hazewikel Suringa

Strafbaar feit dirumuskan sebagai suatu perilaku manusia

yang pada suatu tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai pelaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan saran-saran yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.(P.A.F. Lamintang, 1997:181) 3. Menurut Vos

Strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia

yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana, berupa kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.( E. Utrecht, 1986: 251-252)

commit to user

21

Strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah

(penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum (Bambang Poernomo,1994:90).

5. Menurut PAF Lamintang

Perkataan strafbaar feit, feit berasal dari bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau ‘een gedeelte van de werkelijkheid”. sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan “sebagai dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Terjemahan ini memang tidak tepat karena yang dapat dihukum adalah manusia sebgai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. ( E. Utrecht, 1986:172)

6. Menurut Van Hammel

Delik dirumuskan sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.(Andi Hamzah, 1991:66;)

b) Jenis Tindak Pidana

Pembagian tindak pidana seperti dimaksud diatas, memberikan kepada para pembentuk Code Penal (C.P.) tahun 1810 di Prancis, kemudian juga telah membuat suatu ”division tripartite” atau suatu pembagian ke dalam tiga jenis tindakan melanggar hukum yang telah mereka tuangkan di dalam pasal 1 C.P. yaitu masing-masing: crime,

delict, dan contravention yang didalam bahasa Belanda secara

berturut-turut disebut sebagai misdaden, wanbedrijven, dan

overtredingen, yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

maka artinya secara berturut-turut adalah kejahatan-kejahatan, perbuatan-perbuatan yang tercela dan pelanggaran-pelanggaran.

commit to user

Di dalam perkembangan selanjutnya, para guru besar telah membuat suatu pembagian dari tindakan-tindakan melawan hukum itu ke dalam dua macam ”onrecht” yaitu yang mereka sebut ”criminal

onrecht” dan ke dalam apa yang mereka sebut ”policie onrecht”.

Criminal onrecht adalah setiap tindakan melawan hukum yang

menurut sifatnya adalah bertentangan dengan kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalam masyarakat. Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.(P.A.F. Lamintang,1997:209).

Penggolongan jenis tindak pidana di dalam KUHP terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan diatur di dalam buku II KUHP dan pelanggaran diatur di dalam buku III KUHP. Risalah penjelasan undang-undang (Memorie

van Toelichting) yang terdapat di negeri Belanda membuat ukuran

kejahatan dan pelanggaran itu atas dasar teoritis bahwa kejahatan adalah rechtdelicten, sedangkan pelanggaran adalah wetsdelicten.

Ilmu pengetahuan lalu menjelaskan bahwa rechtdelicten

merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan di samping itu juga sebagai perbuatan tidak adil menurut undang-undang, sedangkan wetsdelicten merupakan perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.

Andaikata belum dilarang oleh undang-undang, akan tetapi oleh masyarakat telah dirasakan sebagai suatu perbuatan yang onrecht maka disitu terdapat rechtdelicten sebagai kejahatan misalnya : pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi yang karena dilarang dan diancam dengan pidana menurut ketentuan undang-undang itu barulah perbuatan bertentangan dengan ”wet”, karena masyarakat sebelumnya tidak menganggap demikian,misalnya larangan dengan

commit to user

23

rambu-rambu lalu lintas, peraturan lalu lintas untuk memakai jalan di lajur sebelah kiri bagi pengendara dan lain sebagainya. (Bambang Poernomo,1994:95).

Di luar tindak pidana yang diatur dalam KUHP itu, masih dikenal pembagian tindak pidana menurut rumusan yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, antara lain :

1. Tindak pidana material dan tindak pidana formal

Tindak pidana material dan tindak pidana formal disebut juga

materiele en formeledelicten. Tindak pidana material ialah

rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, seperti misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Tindak pidana formal ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, seperti misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Terkadang suatu tindak pidana meragukan sebagai tindak pidana formal ataukah material, seperti tersebut di dalam Pasal 279 KUHP tentang pelanggaran bigami,demikian juga dapat terjadi suatu tindak pidana dirumuskan secara formal-material yaitu Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

2. Tindak pidana komisi dan tindak pidana omisi

Tindak pidana komisi juga disebut delicta commissionis ialah tindak pidana yang terjadi karena suatu perbuatan seseorang yang dapat meliputi tindak pidana formil maupun tindak pidana materiil, diatur dalam pasal 362 dan pasal 378 KUHP. Tindak pidana omisi disebut juga delicta ommissionis yaitu tindak pidana yang terjadi karena seseorang tidak berbuat sesuatu atau dilakukan dengan membiarkan atau mengabaikan (nalaten), dan biasanya merupakan tindak pidana formil, misalnya dalam pasal 224 KUHP tentang orang yang yang tidak memenuhi panggilan pengadilan.

commit to user

Perbedaan anatara kedua macam tindak pidana itu dikatakan bahwa delicta commissionis merupakan tindak pidana karena berbuat (een doen) yang dialakukan dengan melanggar larangan, sedangkan delicta ommissionis merupakan tindak pidana karena tidak berbuat (een nalaten) yang dilakukan melangar keharusan. Tindak pidana omisi dibedakan antara tindak pidana omisi yang murni dan tindak pidana omisi yang tidak murni.

Tindak pidana omisi yang murni ialah membiarkan sesuatu yang diperintahkan, sedangkan tindak pidan omisi yang tidak murni disebut delicto commissionis per omissionem. Tindak pidana omisi yang tidak murni terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki suatu akibat dimana akibat itu dapat ditimbulkan dengan suatu pengabaian.

3. Tindak pidana selesai dan tindak pidana berlanjut

Tindak pidana yang selesai disebut juga aflopende delicten

yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat (een doen of nalaten) dan tindak pidana telah selesai ketika dilakukan, seperti misalnya kejahatan tentang penghasutan, pembunuhan, pembakaran dan sebagainya, ataupun pasal 330 dan 529 KUHP.

Tindak pidana berlanjut disebut juga voordurence delicten

yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Voordurence

delicten disebut juga delicta continua.

Pentingnya pembagian dari tindak pidana ke dalam ”aflopend

delict” dan ”voordurence delict” adalah untuk menentukan saat

dimulainya jangka waktu daluwarsa yaitu dihitung mulai hari berikutnya setelah tindak pidana yang bersangkutan dilakukan, sedang pada ”voordurence delict” jangka waktu tersebut dihitung

commit to user

25

mulai saat berhentinya keadaan yang terlarang. (Adam Chazawi,2002:130)

4. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Berdasarkan sumbernya, maka ada dua kelompok tindak pidana yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (buku II dan buku III KUHP). Sementara itu, Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana korupsi (UU No.31 Tahun 1999), tindak pidana psikotropika (UU No.5 Tahun 1997), tindak pidana perbankan (UU No.10 Tahun 1998), tindak pidana narkotika (UU No.22 Tahun 1997)

c) Unsur Tindak Pidana

Menurut pengetahuan hukum pidana setiap tindak pidana yang

Dokumen terkait