• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diantara Cinta dan Hasrat Gempuran Ident

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diantara Cinta dan Hasrat Gempuran Ident"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DIANTARA CINTA DAN HASRAT

Gempuran Identitas Nasional Indonesia Terhadap Homoseksualitas

Oleh

Atmaezer Hariara Simanjuntak

(`3/350043/SA/17032)

Antropologi Budaya

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

(2)

I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, tubuh bersifat individual. Namun demikian pada praktiknya, tubuh selalu dihadapkan dengan proses disposisi yang kemudian mengakibatkan terikatnya tubuh kedalam berbagai ruang. Disposisi tubuh terjadi secara berlapis-lapis, dimulai dari “ruang keluarga”, meningkat menuju “ruang komunitas”, “ruang masyarakat” dan kemudian dibatasi oleh “ruang negara”. Setiap ruang memiliki kemampuan dan batasan yang berbeda-beda dalam mendefinisikan tubuh, dan dari titik interseksi antar ruang itulah “body value” dapat dikonsepsikan.

Terdapat tiga institusi yang mampu memonopoli dan menghegemoni wacana body value di Indonesia: negara, agama dan ideology (Kadir, 2007:17)1. Hegemoni yang dihasilkan

oleh tiga institusi ini memberikan legitimasi terhadap diri mereka sendiri sebagai sumber kekuatan yang mampu mendefinisikan haluan moralitas masyarakat. Dalam kata lain, institusi negara, agama dan ideology mampu menentukan “benar-salah” yang kemudian “diimani” oleh masyarakat luas. Batasan-batasan moralitas ini diimbuhkan kepada tubuh setiap individu, yang kemudian diartikulasikan secara terbatas sebagai “identitas”. Perlu diingat bahwa tubuh yang telah teridentifikasi, dapat terekspresikan kembali melalui cara yang berbeda-beda, atau dalam kata lain, bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan oleh adanya tekanan dari ruang-ruang social serta fisik terhadap tubuh individu. Ragam tekanan inilah yang memaksa terjadinya re-identifikasi tubuh secara berkala dan berulang dalam rangka adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena kemampuan individu untuk terus menerus merubah identitas yang telah diimbuhkan terhadap tubuhnya, “rezim kuasa” negara, agama dan ideology harus terus mengontrol segala proses yang terkait dengan reidentifikasi tubuh agar perubahan yang terjadi tetap berada dalam control dan batasan moralitas yang telah ditentukan sebelumnya.

Salah satu variable identitas yang selalu berada dalam pengawasan “rezim kuasa” adalah seksualitas manusia. Seksualitas menjadi suatu kontradiksi oleh karena sifatnya yang dualistik, dimana pada satu sisi ia muncul dalam wujud ekspresi (dalam istilah Abdullah, disebut sebagai “rekreasi”), namun pada sisi lain ia direpresikan. Seksualitas dengan sifat “ekspresi” sering kali dimaknai sebagai suatu tindakan yang profane oleh karena tidak memenuhi atau melewati standart moralitas rezim kuasa yang menuntut seksualitas sebagai tindak prokreasi. Sedangkan seksualitas yang direpresi dimaknai sebagai suatu kesakralan oleh karena sifatnya yang legal berdasarkan standart moral. Permasalahan konseptualisasi dan diferensiasi seksualitas ini sangat penting. Hal ini karena pengkategorian tersebut merupakan perlambang dari permainan kekuasaan. Kelompok yang mengusung dan memenangkan ideology salah satu sisi akan memiliki wewenang dalam menerapkan kebijakan ideologis yang mempengaruhi kedua sisi.

Homoseksualitas selalu jatuh pada kategori profane oleh karena sifatnya yang dinilai melampaui batas moralitas yang ditentukan rezim kuasa, Kemenangan kelompok

(3)

heteroseksual sebagai perwujudan dari seksualitas yang sacral, menempatkan homoseks sebagai suatu “penyimpangan”2. Sedangkan wacana dominan yang menguasai seksualitas

sacral adalah patriarkis, moralitas dengan sumber nilai utama agama. Fakta ini mengindikasikan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah deviansi dari system yang berlaku. Namun demikian, kelompok homoseksual tetap ada, walaupun mengalami pelarangan dan masih memperjuangkan tiap-tiap sekat kecil resistensi ditengah dominasi wacana heteroseksualitas. Resistensi ini menjadi bukti dari pernyataan Foucault bahwa deviansi sangat dibutuhkan di dalam suatu kelompok, karena dapat memunculkan semangat solidaritas.

Dalam kaitannya dengan identitas kenegaraan Indonesia, dominasi heteroseksualitas dalam diskursus wacana seksualitas menjadikannya batasan “normal” dalam takaran moralitas masyarakat. Mengikuti pendapat Dwyer,

“Sexuality had become, in multiple ways, a primary idiom through which national identity was articulated, intra-national diversions were stated or smoothed, and international conflicts were defined and waged” (Dwyer, 2000:38)

Heteroseksualitas menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia yang harus dimiliki oleh tiap anggota masyarakat. Untuk menjadi seorang “lelaki sepenuhnya” pun, di Indonesia, seorang lelaki diharuskan untuk menikah dengan pasangan lawan jenis dan menjalani segala tahapan life cycle setelahnya (Howard, 1996:3). Hal ini mengindikasikan tidak adanya ruang “homoseksualitas” dalam batasan moralitas bangsa. Oleh karenanya, seorang homoseksual tidak akan memiliki tempat dan akses terhadap resource negara, sebagaimana seorang heteroseksual mendapatkannya. Menjadi Indonesia, adalah dengan mengikat hasrat seksualitas ke dalam institusi pernikahan heterogen dan mengekspresikannya secara diam-diam. Dalam kata lain, tubuh yang homoseks dipersepsikan sebagai tidak “meng-indonesia”.

(4)

II

STUDI PUSTAKA

“On the subject of sex, silence became the rule. The legitimate and procreative couple laid down the law. The couple imposed itself as model, enforced the norm, safeguarded the truth and reserved the right to speak while retaining the principle of secrecy. A single locus of sexuality was acknowledged in social space as well as at the heart of every household, but it was a utilitarian and fertile one: the parent’s bedroom. The rest had only to remain vague, proper demeanor, avoided contact with other bodies and verbal decency sanitized one’s speech. And sterile behavior carried the taint of abnormality: if it insisted on making itself too visible, it would be designated accordingly and would have to pay the penalty” (Foucault, 1978:3-4)

Mengacu kepada pandangan Foucault mengenai keabsahan seksualitas pada era

Victorian, hal yang sama pula termanifestasi dalam system moral bangsa Indonesia dewasa ini. Batasan seksualitas yang dapat diterima dan mencerminkan “keindonesiaan” adalah suatu relasi prokreasi yang dilegalkan melalui lembaga pernikahan. Terlihat kemudian bahwa untuk menjadi bebas berekspresi, tubuh terlebih dahulu harus diikat dalam suatu “ruang” keluarga. Kebebasan tersebut pun masih dibatasi oleh budaya malu dan konsep “tabu”, sehingga mengekspresikan seksualitas di Indonesia menjadi suatu kerahasiaan dan perlu ditutup-tutupi. Meminjam istilah Foucault, perilaku seksualitas hanya dapat diterima di dalam “kamar tidur orangtua”.

Bagi masyarakat Indonesia, pernikahan merupakan gerbang suci untuk mencapai jenjang seksualitas yang lebih tinggi (Kadir, 2007:226). Memasuki suatu jenjang seksualitas yang “lebih tinggi”, tentulah berkaitan dengan adanya acknowledgement dari “rezim penguasa” bagi individu yang telah menikah untuk mengakses resources di ruang-ruang social yang baru ( secara eksklusif hanya untuk dan dapat diakses oleh individu yang telah menikah). Resource di sini dapat diartikan secara luas, beberapa contoh diantaranya: hak untuk memiliki keturunan, peningkatan pendapatan, dll3. Menikah diasumsikan sebagai

“kodrat” seorang lelaki Indonesia, yang hanya dapat terwujudkan melalui suatu hubungan pernikahan (Howard, 1996:3). Visi negara terhadap relasi pernikahan terartikulasikan melalui program-program keluarga berencana (Dwyer, 2000; Robinson, 1989; Warren, 1993) dan juga pemahaman prinsipil negara terhadap sebuah ikatan keluarga, yakni bahwa sebuah negara tidak didirikan diatas sekumpulan individu, melainkan atas sekumpulan keluarga (Boelstorff, 2005:104).

Ditengah gempuran hegemoni “heteroseksual” dan wacana “pernikahan”, kaum homoseksual Indonesia menjadi semakin termarjinalkan dan tertekan. Bahkan menurut Boelstorff, adat dan negara mengemas pernikahan seturut dengan pendisiplinan umur tubuh yang kemudian juga menjadi bagian dari batasan “cukup” seksualitas,

“for gay men the key predicament typically takes place in one’s twenties as the pressure for marriage increases. To not marry by thirty represents a crisis, requiring excuses of not having a good

3 Dilansir dari data penelitian pada laman

(5)

enough job to support new household or not having found the right penggantian orientasi seksual, “dosa” lah yang akan datang menghampiri oleh karena sikap mereka yang tidak mendukung “keputusan pemerintah”, dimana seara tidak langsung mereka dinilai menghambat kesejahteraan kehidupan bersama. Sedangkan jika mereka memutuskan untuk tetap menikah sesama homoseksual, “dosa” juga hadir dalam bentuk “penyimpangan terhadap kehendak dan takdir” yang telah ditentukan oleh Tuhan sejak awal. Disinilah kemudian lagi-lagi homoseksualitas menjadi tantangan terhadap identitas nasional oleh karena: (1) tidak mengikuti aturan keagamaan, sebagaimana termanifestasi pada sila pertama dari Pancasila, (2) tidak menikah.

Salah satu batasan yang ditentukan oleh rezim kuasa dalam mendisiplinkan seksualitas masyarakat, adalah bagaimana tubuh ditampilkan dalam berbagai lapisan ruang social. Kaum homoseksual dinilai tidak sesuai dengan standart “ketubuhan” laki-laki, maupun perempuan. Hal ini dikarenakan kerap kali kaum homoseks mempersepsikan diri mereka sebagai (konsisten) feminime atau maskulin dan lebih cenderung masuk ke dalam suatu relasi seksual dengan lelaki yang merefleksikan system gender yang bersebrangan dengan dirinya (Boelstorff, 2005:166). Karena tubuh yang homoseks sering kali tidak mencerminkan kepatuhan terhadap system gender tertentu, ia dianggap sebagai abnormal dalam batasan moralitas berbagai ruang.

Dari pemaparan-pemaparan di atas, terlihat bahwa rezim penguasa sangat menolak homoseksualitas yang dinilai sebagai seksualitas profane. Hal ini dikarenakan dalam seksualitas profane, tubuh benar-benar terliberalisasi dari segala pendisiplinan. Negara sebagai entitas hukum, tentu tidak dapat mengakomodir segala bentuk perbedaan yang distinctive satu dengan yang lainnya, oleh karenanya dibutuhkan hegemoni dalam memandang seksualitas. Disinilah kemudian, masyarakat Indonesia yang menganut pandangan seksualitas sebagai ars erotica, dimana pengalaman seks dianggap sebagai bagian dari erotisme tubuh yang esoteric (Kadir, 2007) mendapat resistensi dari kelompok

4 Sebagai contoh, dalam konteks kekristenan, Alkitab secara konsisten memberitahu bahwa homoseksual adalah dosa (Kejadian 19:1-13; Imamat 18:22; Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9). Roma 1:26-27 secara khusus mengajarkan bahwa homoseksual adalah akibat penyangkalan dan penolakan seseorang terhadap Allah. Ketika seseorang terus hidup di dalam dosa dan ketidakpercayaan, Alkitab mengatakan bahwa Allah “menyerahkan mereka” kepada hawa nafsu sehingga mereka menjadi lebih jahat dan berdosa, untuk menunjukkan kepada mereka kesia-siaan dari hidup yang

terpisah dari Allah.

Melalui 1 Korintus 6:9, Paulus mengatakan bahwa “pelaku-pelaku” homoseksualitas tidak

akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.

Allah tidak menciptakan seseorang sebagai homoseksual. Alkitab memberitahu kita bahwa seseorang menjadi homoseksual karena dosa (Roma 1:24-27), dan, pada

akhirnya, karena pilihan mereka sendiri.

(6)

homoseksual yang melandaskan perjuangannya pada konsep Scientia sexualis (Foucault, 1978).

III STUDI KASUS

Usaha rezim penguasa dalam mengontol perilaku, bahkan orientasi seksual masyarakat terefleksikan melalui sebetapa “serius-nya mereka dalam pengimplementasian kebijakan keluarga berencana (KB). Kebijakan ini tentu saja tidak hanya mengubah orientasi kaum heteroseks untuk segera “mensakralkan” aktivitas seksual mereka, namun juga menekan kaum homoseks untuk melakukan pernikahan dengan lawan jenisnya. Artinya, tubuh menjadi wilayah kontestasi makna, dimana rezim penguasa dan hasrat saling beradu kekuasaan. Dari perspektif penguasa, tentu saja tindakan ini dianggap “wajar” untuk dapat menjaga stabilitas system social yang diusung. Namun demikian bagi kaum homoseks yang notabenenya “kelompok yang paling dirugikan”, kebijakan ini menjadi momok yang menyiksa.

Kisah Seorang Homoseks: Patah Hati karena Pasangan Menikah

Narasi ini merupakan salah satu contoh dampak yang muncul diantara kalangan homoseksual sebagai suatu implikasi dari implementasi kebijakan pro-pernikahan rezim penguasa. Kisah singkat ini adalah sebuah rangkuman dari jawaban seorang narasumber yang berprofesi sebagai waria dan mengaku homoseks5

“kami sudah menjadi kekasih selama 17 tahun, sampai tahun 1996 ketika ia menikah dan membuat saya sangat sedih. Saya menangis setiap malamnya. Kini ia tinggal dengan istrinya. Kadang kala ketika saya melintas di depan rumahnya saat malam, saya bisa melihat dia dengan istrinya dari luar jendela. Saya bahkan tidak berani untuk mampir atau sekedar menyapa. Saya hanya memandangi dia dari kejauhan. Masalahnya, ini terlalu berat bagi saya … Bahkan orangtua nya mengetahui tentang ‘hubungan’ kami. Mereka tidak memiliki masalah dengan kami berhubungan; bahkan mereka sudah menganggap saya sebagai anak sendiri … Lalu suatu hari orangtuanya datang menemui saya lalu menyatakan bahwa anak mereka ingin menikah, dan saya diminta untuk memberikan izin / merestui keinginannya itu. Sungguh, bagi saya masa itu adalah masa yang sangat berat karena saya tidak ingin itu terjadi sama sekali. Namun pada akhirnya saya hanya bisa menjawab ‘silahkan’. Di saat yang sama, hati saya seolah mati.Ia dipaksa untuk masuk ke dalam suatu hubungan pernikahan oleh

5 Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber yang berprofesi sebagai waria.

(7)

orangtuanya… Jadi saya hanya bilang ke dia untuk menganggap saya seperti ‘ayah’nya saha. Bahkan istrinya sekarang ini juga memanggil saya ‘ayah’, tanpa ia tahu sedikitpun tentang masa lalu kami”

Dalam narasi di atas, sebenarnya terangkum bentuk-bentuk relasi yang dialami oleh kaum homoseks / gay dengan the others-nya. Kenyataan bahwa pada awalnya ekspresi seksual nya dapat diterima oleh kelompok lain (keluarga pasangan) menggambarkan bahwa di Indonesia, terdapat celah bagi pemikiran yang lebih “terbuka” dan menerima perbedaan. Namun demikian, perlu diakui bahwa model kasus seperti ini tidak mungkin dialami juga oleh seluruh anggota komunitas homoseks. Permulaan dimana relasi homogen tersebut dapat diterima, tentu menuntut adanya perbedaan paradigma dan perspektif dalam menerima serta menyikapi fenomena yang dianggap “aneh” dalam struktur masyarakat Indonesia, baik pada saat itu maupun sekarang.

Relasi antar rezim pemerintah terhadap kaum homoseks tercermin melalui pernyataan “ia dipaksa untuk masuk ke dalam relasi pernikahan oleh orangtuanya”. Rezim penguasa berhasil menghegemoni “heteroseksualitas” sebagai satu-satunya bentuk seksualitas yang normal, dan hanya dapat disakralkan keberadaannya melalui pernikahan. Institusi keluarga, sebagai unit terkecil dalam struktur negara Indonesia difungsikan sebagai media represi yang kemudian menurunkan value kebangsaan yang didominasi oleh budaya patriarchal dan heteroseksualitas.

Secara eksplisit terlihat bahwa sikap yang diambil oleh narasumber adalah menjadi “passif” atau diam. Disinilah terlihat indicator keberhasilan tindak represi dalam membungkam resistensi kaum heteroseks. Rezim penguasa membatasi pergerakan tubuh homoseks ke dalam ruang-ruang yang tidak vocal, dan dengan membuatnya sangat rentan akan penetrasi ide-ide baru (rekonseptualisasi) dan rekonstruksi identitas yang baru. Dalam hal ini, secara ideal proses rekonstruksi identitas mewujud dalam “penormalan” kembali kaum homoseks menjadi heteroseks.

Pertunjukan Bisu dan Pembungkaman Seksualitas

Dalam wawancara lainnya dengan seorang6 yang mengaku gay dan berprofesi sebagai

seorang pegawai swasta, didapati contoh kongkrit bahwa salah satu dampak dari hegemoni heteroseksualitas adalah hilangnya kemampuan kaum homoseks untuk mengartikulasikan ekspresi seksual mereka.

“Di lingkungan kerja, saya sangat khawatir jika orang lain tahu bahwa saya seorang gay. Saya khawatir kalau-kalau sampai digossipkan, atau dikontak oleh kawan gay saya ke nomor kantor … Jadi saya harus pintar –pintar mengontrol diri, terlebih soal bagaimana saya mengekspresikan diri sendiri. Untungnya saya berhasil melakukan control tersebut, bisa dikatakan hidup saya sekarang ini 50-50. Ketika saya bersama kelompok gay, kadangkala saya harus jadi ngondek. Saya senang kalau ngondek, karena saya sangat senang dapat mengekspresikan diri saya seperti

(8)

itu. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari (hetero) saya harus menjaga diri sendiri. Kadang kala saya bisa menyembunyikan

kengondekan saya, namun sejujurnya sangat susah. Tentu saja karena menjadi hetero itu bukanlah diri saya yang sebenarnya … saya ciut dan pembawaan saya kalem olleh karena bentuk ekspresi saya sebagai seorang gay di kalangan yang mayoritasnya tidak”

Menurut Kadir, fenomena seksualitas abad 21 adalah publisitas seks yang dinamis penuh dengan ancaman, malu-malu kucing, suka sama suka, paksaan bahkan hingga kekerasan (Kadir, 2007). Mengekspresikan seksualitas menjadi sebuah kebutuhan dan tuntutan, oleh karena itulah individu mengimbuhkan berbagai macam atribut identifikasi diri yang berkenaan dengan orientasi seksualitasnya. Melalui penegasan peran gender tubuhnya, diharapkan pesan “kenormalan” identitas dapat tersampaikan kepada individu lainnya. Namun demikian, kebebasan tubuh pada skala tersebut tidak memungkinkan untuk diakomodir oleh rezim penguasa. Oleh karenanya, lembaga-lembaga control tersebut berusaha menekan hasrat ekspresi seksualtas tubuh dan mempersempit ruang pergerakannya. Hal ini mengakibatkan “disembunyi-sembunyikannya” pengekspresian seksual tersebut.

(9)

IV ANALISA

Dalam kaitannya dengan proses konstruksi identitas nasional Indonesia, seksualitas dan gender menjadi atribut yang sangat vital dan bahkan tak terbantahkan (Dwyer, 2000:27) Bahkan menurut Bunzl, “memiliki” seksualitas adalah salah satu penanda kemodernan, dan secara global memegang peranan yang besar dalam pengidentifikasian diri sebagai seorang warga negara sepenuhnya (Bunzl, 2004). Jelaslah kemudian bahwa dengan kesignifikanan seksualitas, terdapat batasan-batasan moral yang perlu ditaati. Namun dengan catatan, ekspresi seksualitas tersebut bersifat heterogenic.

Dari pemaparan-pemaparan sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yakni homoseksualitas itu ada, ditekan dan resisten. Keberadaan homoseksualitas yang selalu dibawah bayang-bayang hegemoni heteroseksualitas disebabkan oleh sifatnya, yang menurut Kadir, profane dan tidak prokreasi. Ekspresi seksualitas apapun yang tidak prokreasi, dianggap tidak sacral oleh kemampuan monopoli wacana rezim penguasa. Dengan demikian, homoseksualitas tidak berada dalam batas pemakluman moralitas bangsa, dan oleh karenanya dinyatakan sebagai suatu “kesalahan”, atau yang dalam terminology agama disebut sebagai “dosa”.

Homoseksualitas dinilai sebagai penyimpangan atas batas-batas moralitas, dan oleh karenanya, rezim kuasa merasa perlu untuk merepresi keberadaannya. Sebab, apapun yang melanggar keteraturan dari system adalah sebuah “penyimpangan” yang sangat membahayakan, sebuah sumber kejahatan dan anarki (Bouhdiba, 1998) Namun demikian, “pemusnahan” di sini tidak berarti pengentasan secara total, melainkan pendisiplinan tubuh melalui kebijakan pemerintah, seperti: program Keluarga Berencana. Dengan terus menerus mereproduksi wacana heteroseksualitas, kaum homoseks perlahan termarjinalkan ke periferi struktur masyarakat. Ditambah dengan pengimbuhan “dosa” dalam diri si penyimpang oleh institusi agama, menjadi homoseks di Indonesia berarti menjadi warga negara yang gagal.

Keputusan Untuk Menikah Atau Tidak Menikah

Terdapat dua kemungkinan dampak dari diterapkannya kebijakan pro pernikahan di Indonesia, yakni: kaum homoseks dipaksa menikah dengan pasangan yang berlawanan jenis kelamin, atau tidak menikah sama sekali. Tergantung dengan perspektif dan pendekatan yang digunakan, dua opsi ini mungkin saja tidak menguntungkan sama sekali bagi kaum homoseksual. Wajar saja, karena orientasi rezim penguasa dari pengimplementasian kebijakan pro-pernikahan adalah hegemoni konsep “menikah” pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Kaum homoseksual yang terpaksa menikah dihadapkan dengan permasalahan cinta dan pilihan, atau meminjam terminology Boelstorff,

“heterosexuality made real through love and choice, not arrangements” (Boelstorff, 2005:118)

(10)

dan hasrat merupakan ‘motor’ utama yang menjalankan system social mereka. Ketika ternyata tidak ada “cinta” yang mendasari, maka keluarga sebagai kesatuan organisasi terkecil negara berada dalam posisi yang terancam malfungsi pula.

Bagi sebagian yang memutuskan untuk tidak menikah, mereka dihadapkan dengan dampak kerugian besar dalam konteks social dan ekonomi. Dalam system masyarakat yang memaksa tubuh untuk terikat dalam suatu relasi yang imajiner, “menikah” merupakan sebuah kewajiban. Pada dasarnya, kultur Indonesia menempatkan seorang yang bujang sebagai “belum dewasa” secara mental. Oleh karenanya, untuk dapat mengakses tingkatan yang lebih tinggi tersebut, seseorang diharuskan untuk menikah. Terlebih lagi karena adanya budaya masyarakat Indonesia yang mengaitkan “kedewasaan” dengan batas umur tertentu, ketika seorang belum menikah sampai pada umur yang dianggap sebagai universal standart

tersebut, masyarakat secara tak sadar melakukan control / disiplinisasi tubuh melalui body shaming .

Mencari Ruang Imajiner Baru

Baik memilih untuk menikah ataupun tidak, terlihat bahwa seorang homoseks akan tetap berada dalam posisi yang dirugikan dan dimarjinalkan dari struktur social-ekonomi dan politik masyarakat Indonesia. Dampak negative ini sebenarnya terkait dengan konsep ethno-locality yang diusung oleh Bowen. Ethnolocality dapat dipahami sebagai suatu framing titik awal / mulai (titik asal muasal) yang sangat terkait dengan dialektika antara konsep ruang “local” terhadap ruang “global”.

“This grounding in ethnolo- cality often leads to a shared frame of reference for modern- day Indonesian and modern-day Indonesianist alike: "I start from the level of the village disputes and work upwards" (Bowen 2003:6)

Dapat dipahami kemudian bahwa Indonesia kini merupakan sebuah etnolokalitas, yang tidak lagi diakronik, namun sinkronik dan progressive. Koneksitas global menjadi relasi yang determinan dalam memodernkan Indonesia dalam konteks perekonomian (Weber, 1994).

Menjadi homoseks merupakan konsekuensi dari adanya koneksitas global, dikarenakan konsep ini tidak muncul “dari dalam negri”. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: lalu bagaimana seorang homoseks diposisikan dalam peta social masyarakat Indonesia modern ini? Mengikuti konsep ethnolokalitas yang sinkronik (jika kita setuju bahwa homoseksualitas merupakan konstruksi social, dan bukan given) maka seorang homoseks tidak dapat dikembalikan ke keadaan “normal”.

Permasalahan baru kemudian muncul, dimana tubuh yang homoseks sebenarnya tidak dapat “dinormalkan”, berhadapan dengan tantangan rezim penguasa yang memerlukan pendisiplinan seksualitas. Kondisi yang ‘berhadap-hadapan’ ini pada akhirnya memaksa kaum homoseksual untuk mencari ruang-ruang pendefinisian baru diluar batasan imajiner negara. Hal ini dikarenakan negara sebagai suatu ruang social, tidak mampu mengakomodir ekspresi seksualitas yang homogeny. Maka dari itu, kaum homoseks yang terpinggirkan dari struktur masyarakat Indonesia dituntut untuk menciptakan ruang-ruang imajinernya sendiri, dimana ekspresi seksualitas mereka dapat diakomodir dan kedudukannya akan tetap berada pada periferi struktur utama masyarakat.

(11)

V

KESIMPULAN

Homoseksualitas sebagai bentuk ekspresi seksual yang tidak “diridhai” oleh rezim penguasa menuntut adanya celah-celah baru untuk dapat mengaktualisasikan kebutuhan biologis mereka. Namun demikian, dengan adanya hegemonisasi konsep seksualitas yang “sacral” yakni melalui institusi pernikahan heteroseksual dan juga berbagai kebijakan represi, kaum homoseksual dibuat tidak berkutik dalam usaha pencarian celah pendefinisian baru bagi diri mereka dalam batasan imajiner negara. Artinya, seorang homoseksual tidak mendapat tempat dalam struktur masyarakat Indonesia, oleh karena keberadaannya yang tidak sesuai dengan identitas nasional “Indonesia”.

Rezim penguasa dan segala modal budaya, social dan simbolik yang berhasil mereka monopoli (Bourdieu, 1986) berhasil melegitimasi keabsahan “pernikahan heteroseksual” sebagai wujud batas moral seksualitas yang masih dalam batasan “normal”. Dengan adanya wacana utama / major ini, wacana-wacana tandingan seperti homoseksualitas pun semakin terepresi dan perlahan dipaksa untuk dapat menyesuaikan diri dengan wacana utama yang beredar di kalangan masyarakat. Dengan kata lain, seorang homoseksual, untuk dapat menjadi seorang “Indonesia sepenuhnya” diharuskan untuk menginstitusikan dirinya dalam lembaga pernikahan. Namun, oleh karena kaum homoseks terobyektifikasi dalam relasi kuasa ini, mereka dihadapi dengan pilihan yang terbatas dan tidak dapat memunculkan saran / opsi liannya, yakni: menikah dengan lawan jenis, atau tidak menikah sama sekali.

Baik memilih opsi menikah ataupun tidak sama sekali, sebenarnya kaum homoseksual tetap tidak terbebaskan dari kungkungan strukturasi tubuh yang memposisikan mereka sebagai kelompok yang kalah. Jika ia memilih untuk menikah, maka tantangan utama yang dihadapi adalah pertanyaan apakah pernikahan tersebut dilandaskan atas rasa “cinta”, karena jika tidak, maka kelompok keluarga yang terbentuk tidak dapat memaksimalkan fungsi kenegaraan yang terimbuhkan dalam kesatuannya (Mengingat bahwa negara tidak berdiri atas kumpulan individu, melainkan atas kumpulan keluarga). Di sisi lainnya, jika ia mengikuti idealismenya untuk tetap tidak menikah, tantangan utama datang dari kultur dan standart-standart moral yang memberikan standarisasi usia dalam pernikahan dan bagaimana “menikah” adalah suatu kewajiban bagi seorang Indonesia.

Ditengah gempuran kebijakan pro-heteroseksualitas pemerintah, implikasi opsi terbatas yang sama-sama merugikan dan tuntutan represi rezim penguasa, kaum homoseksual senantiasa dibuat tidak memiliki ruang ekspresi di Indonesia. Walaupun demikian, “cinta” dan “hasrat” yang menjadi motor utama dari komuitas homoseksual, mendorong mereka untuk tetap mampu memenuhi kebutuhan ekspresi seksual. Oleh karena adanya dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan ini (homoseksual – rezim penguasa), kaum homoseks terpaksa terlempar dari struktu utama masyarakat dan membentuk ruang-ruang pendefinisian baru bagi diri mereka diluar batas imajiner “negara”. Dalam ruang-ruang baru inilah kemudian, homoseksualitas walaupun tertekan, tetap dapat mendefinisikan eksistensinya berdasarkan resistensi-resistensi yang mereka lakukan. Bahkan, ruang resistensi baru ini kemudian menjadi sarana “pelarian” bagi mereka yang “dibisukan” oleh strukturasi seksualitas tubuh.

Walaupun “membentuk ruang baru” dan bermaneuver di dalamnya terkesan sangat

(12)

melalui berbagai gimmick yang mereka lakukan ketika berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya, sehingga mereka dapat diterima sebagai sosok yang “normal”.

DAFTAR PUSTAKA

Boellstorff, T. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. New Jersey: Princeton University Press

--- Between Religion and Desire: Being Muslim and Gay in Indonesia.

American Anthropologist Association

Bowen, John R. 2003. Islam, Law, and Equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press

Bouhdiba, Abdelwahab. 1998. Sexuality in Islam. Alan Sheridan, trans. Los Angeles: Saqi Books.

Bourdieu, Pierre. 1983. The Forms of Capital. Goettingen: Otto Schartz & Co

Bunzl, Matti. 2004. Symptoms of Modernity: Jews and Queers in Late- Twentieth-Century Vienna. Berkeley: University of California Press

Dwyer, Leslie K. 2000. Spectacular Sexuality: Nationalism, Development and the Politics of Family Planning in Indonesia. In Gender Ironies of Nationalism: Sexing the Nation. Tamar Mayer, ed. Pp. 25-62. London: Routledge.

Foucault, M. 1978. The History of Sexuality (Vol 1: An Introduction). London: Penguin Books Ltd.

Howard, Richard Stephen. 1996. Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Fam-ily in Indonesia. Ph.D. dissertation, University of Illinois at Urbana-Champaign.

Kadir, H. A. 2007. Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks dam Seks Bebas di Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress

Robinson, K. 1989. Choosing Contraception: Cultural Change and the Indonesian Family Planning Programme. Pp. 21-38 in Creating Indonesian Cultures, Paul Alexander, ed. Sydney: Oceania Publications

Referensi

Dokumen terkait

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.. kontriktor superior, biasanya

KETIGA : Membebankan biaya tugas Tim sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA Keputusan ini pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 Dinas Pendidikan

Makna Pancasila sesungguhnya bagi Indonesia, yaitu: sebagai identitas bangsa Indonesia, sebagai dasar dan pedoman (pancasila itu berperan sebagai pondasi atau landasan tempat

Hasil dari pengolahan data menunjukkan transparansi informasi dapat terbangun melalui pemanfaatan teknologi informasi, standar oprasional layanan informasi yang diberlakukan di

Dan yang dimaksud oleh penulis dengan "Orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga" dalam skripsi ini adalah seorang istri, karena dalam pembahasan bab selanjutnya

Lama tinggalnya santri yang tinggal di pondok pesantren memungkinkan tidak adanya perbedaan kemampuan interaksi sosial antara remaja yang tinggal di pondok

Dari hasil pengujian kedua berbeda dengan hasil pengujian yang pertama yang menyatakan bahwa Environmental Performance tahun berjalan berpengaruh signifikan terhadap