• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industrialisasi Kecantikan Histeria Kege doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Industrialisasi Kecantikan Histeria Kege doc"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

I.I Tubuh Perempuan dan Budaya Kapitalisme

Kapitalisme, sebagai legitimasi berkelanjutan dan dampak dari revolusi industry telah berhasil menegaskan kedudukan tiap individu dalam struktur stratifikasi masyarakat melalui pengaturan konsep pembagian kerja dan juga “ruang social”. Setiap individu kemudian diperkenalkan pada makna-makna budayanya, lalu belajar untuk ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang membentuk struktur sosialnya (Berger, 1991:19) Melalui pemetaan inilah kemudian, kelas-kelas social yang didasari oleh sifat professional – tidak professional, atau skilled dan

unskilled terbentuk, dan berawal dari sana pulalah dinamika kelas dalam perjuangan restrukturalisasi social. Menentukan “siapa yang di atas” dan “siapa yang di bawah” telah menjadi sebuah pertanyaan & tantangan tersendiri bagi tiap kelas social yang tercipta. Semakin terkotak-kotakannya manusia ke dalam hubungan yang bersifat professional

menjadikan manusia perlahan kehilangan kedudukannya sebagai “manusia”.

Sebagaimana Berger menjelaskan, di sini “budaya” memegang peran yang kuat dalam proses pemetaan individu dalam stratifikasi social. Budaya seolah menjadi legitimasi dibalik kesenjangan antar kelas. Ketika berbicara mengenai stratifikasi, maka “pemedaan” / “diferensiasi” menjadi salah satu kata kunci utama, dan proses diferensiasi kultural yang paling mudah untuk dilakukan tentulah berdasarkan biologis (perempuan dan laki-laki) Secara biologis, perbedaan perempuan & laki-laki mendapatkan artikulasi kultural yang menghasilkan anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan membutuhkan perlindungan (Abdullah, 2001:50) Kembali terlihat di sini bahwa, budaya kemudian melegitimasi kedudukan perempuan sebagai sosok inferior dibandingkan dengan lelaki (relasi subordinasi) melalui kualitas tubuhnya. Tradisi inferioritas ini kemudian diintervensi & dimanipulasi oleh kapitalisme sebagai dasar pemetaan wanita dalam struktur stratifikasi masyarakat modern. Norma-norma inilah yang terkooptasi dalam praktik sehari-hari di sekitar kita, dimana peran perempuan didefinisikan hanya dalam 3 spektrum: sumur, dapur, kasur, tidak lebih dan tidak kurang. Perempuan seolah tak memiliki area untuk berekspresi / untuk mendefinisikan tubuhnya dengan melekatkan nilai-nilai lain pada dirinya.

I.II Industrialisasi Kecantikan & Redefinisi Tubuh Perempuan

(2)

mendefinisikan dirinya. Industri kecantikan yang sedang berkembang, menjadi patron bagi perempuan yang ingin meredefinisikan fungsi dan kedudukan tubuhnya (Artinya, perempuan secara aktif dan sadar telah menempatkan dirinya sebagai konsumen dari industry ini). Nilai-nilai tradisional yang menekankan bahwa perempuan harus menjaga citra tubuhnya, kembali dihadirkan dan dimediakan melalui kehadiran industry baru ini.

Perubahan kontemporer dalam hidup kaum perempuan dimulai pada saat modernism

menjadi ideology masyarakat, ketika nilai dan ukuran menjadi seorang perempuan didefinisikan oleh negara dan capital. Masuknya ragam industry kecantikan telah berhasil mendefinisikan tubuh perempuan sebagai basis ekonomi baru, sebagaimana Tukiman menjelaskan bahwa salah satu alasan perempuan memperindah tubuhnya adalah untuk memberikan nilai tambah pada tubuh yang dapat mempertinggi nilai jual tubuh (Tukiman, 1998:71) Semakin ideal dan indah bentuk tubuh, semakin tinggi nilai tukar ekonomis yang diperoleh. Melalui penambahan nilai ekonomis ini, perempuan berharap kedudukannya dalam struktur stratifikasi social dapat berubah, sehingga status subordinasi dan inferioritas dapat tergantikan. Oleh karenanya, mengakses nilai tambah ini perlahan berubah menjadi kebiasaan dan gaya hidup. Terlihat bahwa kini rutinitas sumur, dapur dan kasur mulai berubah, perempuan menambahkan “perawatan tubuh” sebagai salah satu bagian dari rutinitasnya. Dalam masyarakat modern ini, individu manapun yang tinggal di dalamnya akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain (Mahetasari, 2008:8) Sebagaimana Lury menjelaskannya, klinik kecantikan dapat memberi focus bagi fantasi-fantasi kaum wanita, tempat hiburan dan alternative pelarian dari kungkungan feminimitas rumah tangga (Lury,1998:192)

I.III Perempuan Meredefinisikan Perempuan

(3)

persuasi yang menegaskan citra produk (sebagai bintang iklan) dan juga sebagai konsumen aktif produk kapitalisme (Fine & Leopold, 1993:208)

Sebagai “seorang” alat persuasi, perempuan dihadiahkan dengan posisi sebagai seorang bintang iklan yang mana mereka harus mengemas bagian tertentu dari tubuh mereka sedemikian rupa untuk memenuhi kriteria hasil akhir produk kecantikan yang mereka representasikan. Sebagai seorang konsumen aktif, perempuan juga dipaksa untuk secara repetitive mengeluarkan dana besar demi melakukan perawatan tubuh yang scopenya begitu luas. Suasana kontestasi keindahan tubuh sangat terasa dalam usaha-usaha restrukturasi perempuan dalam stratifikasi kelas social, namun permasalahannya adah baik disadari maupun tidak, perempuan selalu tersubordinasi dalam tatanan system ekonomi kita, dan oleh karenanya tetap terposisikan sebagai object dalam relasinya dengan kelas-kelas social lainnya.

Dalam keterkaitannya dengan proses redefinisi tubuh, 2 bentuk penyerapan kelompok/kelas ini menjelma menjadi bentuk kekerasan tersendiri, dimana perempuan kemudian menyatu ke dalam lingkaran kecemasan diri yang tereproduksi melalui semakin banyaknya iklan-iklan dan juga produk-produk industry kecantikan. Subordinasi dan obyekifikasi menjadi sebuah siklus tak terhindarkan dalam kelas social perempuan. Perempuan dibawa ke dalam lingkaran nafsu dan kebutuhan artifisial yang tidak berujung. Anggapan redefinisi tubuh ternyata hanya berhasil menambahkan nilai ekonomis pada diri perempuan, namun perkara relasi antar kelas, perempuan masih berada di tempat yang

(4)

II. KEKERASAN INDUSTRIALISASI KECANTIKAN: KEGELISAHAN & MENDISIPLINKAN TUBUH PEREMPUAN

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa usaha redefinisi tubuh perempuan melalui perawatan kecantikan tubuh dan penggunaan produk-produk kapitalisme telah mensubordinasi perempuan dalam siklus konsumsi nafsu artifisial yang tak berhenti, kita memahami bahwa industry kecantikan telah berhasil menanamkan benih dalam imaji tiap perempuan untuk terus menerus merasa gelisah terhadap citra tubuhnya. Tentu “kegelisahan” ini merupakan hasil dari penyerapan terhadap kelompok perempuan yang terjadi melalui 2 arah: menjadikannya sebagai alat persuasi dan konsumen pada waktu yang bersamaan.

Proses industrialisasi kecantikan dan pengkonsumsian produk-produknya merupakan usaha perempuan untuk dapat mendisiplinkan tubuhnya. Permasalahannya kemudian adalah, keinginan untuk “mendisiplinkan” ini juga artifisial dan bersifat sugestif yang terstruktur dari atas ke bawah, oleh karenanya tidak akan lepas dari suasana “pemaksaan” secara disadari maupun tidak. Namun demikian, pemaksaan dari atas tersebut juga didukung oleh sugesti dari bawah pula, yaitu dari diri perempuan sendiri untuk merasa “disiplin”. Pertanyaannya kemudian adalah, darimanakah sumber kegelisahan dan pendisiplinan tubuh ini? Apakah ada peraturan imajiner yang menjadi dasar dari kedisiplinan ini? Lalu, mengapa proses pendisiplinan ini dapat disebut sebagai bentuk kekerasan tersendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam sub bab-sub bab selanjutnya.

II.I Sumber Kegelisahan Tubuh Perempuan

(5)

memiliki pengertian yang ajeg, tidak statis dan terus mengalami perubahan sebagai dampak dari adanya usaha-usaha disipliner industry yang datangnya dari atas. Namun sayangnya, perubahan-perubahan ini tetap hanya terjadi dalam siklus kelas ekonomi perempuan yang tetap statis.

Pencitraan perempuan di dalam dunia iklan produk-produk kecantikan dan media massa menjadi ancaman bagi perempuan lainnya. Produk-produk kecantikan yang ditawarkan oleh sebuah iklan telah membangkitkan fantasi begitu banyak perempuan lain terhadap produk (Courtney & Whipple,1983:69) dan juga terhadap citra perempuan yang ditampilkan di iklan tersebut. Fantasi akan kecantikan erat kaitannya dengan visualisasi & empati, dan 2 aspek inilah yang industry kecantikan coba manipulasi melalui iklan-iklan produk mereka. Kekuatan visualisasi dan empati berarti pengungkapan wujud dari gambaran, keinginan dan harapan dalam empati yang kuat untuk merasakan secara nyata semua pengungkapan wujud yang ada dalam empati yang kuat. Masalahnya adalah, iklan cenderung menseleksi bagian-bagian tubuh tertentu dari perempuan (Abdullah,2001:33) misalnya bentuk tubuh, keindahan, kesegaran, dll. Akhirnya, citra perempuan yang seperti di iklan lah yang menjadi standart keindahan tubuh pada ruang dan waktu tersebut. Disadari ataupun tidak, akhirnya iklan tidak pernah menampilkan keseluruhan aspek dalam kehidupan sang artist di iklan karena yang dibutuhkan hanyalah factor-faktor dominan yang dimiliki oleh fisik si artist, bukan kekurangannya dibandingkan perempuan-perempuan lain. Hal ini berimplikasi pada citra tubuh perempuan yang ditunjukan kepada kelas-kelas lainnya, yakni: sebatas membangkitkan daya tarik erotis, yang berujung pada komodifikasi sexualitas. Perempuan tak pernah dilihat sebagai manusia secara keseluruhan, dan kembali lagi ke dalam struktur subordinasi.

II.II Industrialisasi Keindahan Tubuh: idolizing & Konsumerisme

Melalui pembahasan sebelumnya, kita mengetahui bahwa industrialisasi keindahan tubuh merupakan usaha-usaha produsen produk kecantikan (dalam hal ini tentu saja merujuk pada kelompok kapitalis) dalam memanipulasi citra “indah” itu sendiri melalui penghadiran sosok perempuan lain yang secara fisik memenuhi norma-norma kecantikan/keindahan yang sedang berlaku pada konteks ruang & waktu yang sama. Sosok perempuan ini perlahan berubah menjadi icon1 keindahan, dan dijadikan standart kedisiplinan tubuh, karena ia dianggap mewakili “indah” sesuai konteks ruang & waktu itu sendiri (Citra tubuh ideal) Pada

(6)

saat yang bersamaan, industry sedang mensugestikan kegelisahan kepada tiap individu terhadap citra dirinya sekarang.

Dalam kaitannya dengan sosok ideal tubuh, tentu saja berbagai macam konsep dan pandangan dapat dimunculkan secara bebas (Simanjuntak, 2014:6). Hal tersebut terbukti melalui beragamnya pandangan para narasumber wawancara saya, ketika dihadapkan dengan pertanyaan “wanita yang ideal itu yang seperti apa?”. Namun dari banyak pendapat terkait pertanyaan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa sosok ideal merupakan gabungan dari hasrat, tuntutan komunitas, idolizing, dan juga penabrakan dengan realita. Demikianlah muncul jawaban-jawaban seperti: “bersikap sesuai tuntutan”, “yang kayak mongoloid”, “secara fisik menarik”, “bodynya oke punya”, Dll. Di sini proses idolizing atau idolisasi juga mengikuti tuntutan komunitas / masyarakat menjadi point yang sangat penting.

Proses idolisasi yang terbentuk melalui iklan produk kecantikan jelas memberikan definisi utama dalam pengkonsepan sosok yang ideal. Dengan semakin terbatasnya definisi keindahan pada aspek fisik saja, atau secara spesifik sesuai fisik sosok yang diidolakan, proses perawatan kecantikan dan juga merebaknya pusat-pusat kebugaran menjadi idola baru dalam penentuan batas-batas ideal seorang wanita. Sehingga, tidak mengherankan jika perempuan berlomba-lomba dalam mengusahakan keindahan fisiknya, dan siapapun yang “menang” di perlombaan kecantikan tersebut menjadi sosok ideal dalam pembentukan citra perempuan yang “seharusnya”. Dalam kata lain, ia menjadi standart acuan disipliner tubuh yang dilakukan oleh industry (dalam ruang & waktu tertentu)

Peran idolisasi melalui iklan diciptakan oleh industry untuk merangsang pembeli (perempuan) agar mengkonsumsi suatu produk. Modernitas merupakan thema pendukung yang sangat kuat, terutama pada masyarakat yang mempunyai perbedaan dalam tingkatan kelas social dan tiap gaya hidup yang mengikutinya. Peran iklan dalam meningkatkan perilaku konsumtif sangat besar, karena iklan merupakan media yang bisa menciptakan berbagai produksi berupa kesan yang menjadi ciri utama budaya konsumerisme (Tukiman, 1998:57-58)

(7)

membentuk daya tarik erotic. Proses seperti ini sebenarnya menghambat perubahan peranan perempuan dengan terus menerus memotret diri mereka sebagai obyek seks (Fine & Leopold, 1993:209)

Dari jawaban-jawaban para narasumber, dapat dikatakan bahwa sebenarnya industry sendiri tidak pernah memiliki standart yang ajeg mengenai keindahan. Meminjam metafora Umar Kayam, “keindahan tak dapat dimonopoli”. Sosok yang indah pun sangat relative terhadap dimana dan kapan konsep keindahan tersebut dimunculkan. Artinya, menjadi “indah” bukanlah sebuah keadaan yang statis, ia merupakan sebuah usaha yang sangat cair dan dinamis. Industri berperan penting dalam “kecairan” tersebut, karena industry lah yang secara aktif mereproduksi standart indah, melalui slogan-slogan yang sangat provokatif dan sugestif, seperti: “Tidak ada wanita yang cantik. Yang ada adalah wanita yang tidak memelihara kecantikannya” sebuah slogan yang tertera di atas papan nama salah satu klinik kecantikan. Kalimat ini berfungsi sebagai sugesti kepada kaum perempuan yang menyatakan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang gemar melakukan perawatan, dan perempuan yang jelek adalah perempuan yang kurang merawat tubuhnya. Contoh lainnya seperti: “Jadikan kulitmu cantik ala Korea”, “… jadikan kulitmu selembut kapas”. Produksi mitos-mitos kecantikan ini tidak pernah berhenti, tentu saja dengan tujuan untuk mendinamiskan sosok “indah”, dengan motivasi ekonomis. Sebab, jika seorang perempuan telah berhasil mencapai tahapan “cantik ala Korea” tersebut, maka ia telah pantas untuk dikatakan “ideal indah”. Hal ini akan berimplikasi pada permasalahan ekonomis, dimana produsen produk kecantikan akan kehilangan income source-nya. Oleh karena itu, untuk mencegah berhentinya income, produksi makna keindahan selalu dibutuhkan.

II.II.I Konsumeristik

(8)

Mengutip Galbraith:

“Masyarakat dipojokan oleh barang barang konsumtif bukan karena kemauannya, namun karena membeli adalah suatu kegiatan menyenangkan yang bukan hanya diperbolehkan, namun karena secara aktif didorong oleh struktur politik” (Galbraith dalam Abdullah, 2001:218)

Mekanisme industry yang secara repetitive menciptakan supply-supply baru merupakan ciri masyarakat berkelimpahan, dan konsumen sebagai sebuah kelompok masyarakat berkekurangan. Proses konsumsi produk-produk kecantikan untuk merawat keindahan tubuh menghasilkan kegelisahan pada diri tiap individu (secara khusus perempuan). Kegelisahan ini ditimbulkan dari sugesti akan rasa “kurang” yang dimanipulasi oleh industry sehingga perempuan tak akan pernah merasa cukup / terpenuhi norma-nomra keindahan tubuhnya. Tentu ini perlahan mengalienasi perempuan dari struktur ekonomi inti, dan memposisikan mereka sebatas di periferi kehidupan ekonomi dengan tradisi pola konsumsi yang tinggi dan selalu merasa kekurangan. Sebuah dampak kolosal dari system kapitalisme terhadap tatanan stratifikasi social masyarakat kita yang semakin melegitimasi subordinasi perempuan terhadap kelas lainnya.

II.III Mengorbankan Tubuh Agar Disiplin

(9)

Di sinilah perempuan mengalami bentuk kekerasan lanjutan,yaitu: menjadi konsumen aktif dalam tatanan kapitalisme, dimana semakin ia mengkonsumi, semakin berjarak ia dari inti system ekonomi. Perempuan mematuhi tuntutan-tuntutan disipliner ini melalui pelegitimasian stratifikasi tradisional yang menyatakan bahwa perempuan merupakan subordinat lelaki dan berada di bawah kedudukan lelaki, karena lelaki lah yang lebih superior.

Sebagaimanapun usaha perempuan menolak proses pendisiplinan ini, mereka terpaksa untuk patuh dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa siklus pemenuhan nafsu dan kebutuhan artifisial menjebak posisi perempuan sebagai konsumen aktif, dengan legitimasi dari proses idolisasi, perempuan seolah tak dapat keluar dari siklus ini oleh karena proses reproduksi industry yang terjadi terus menerus. Namun demikian, pendisiplinan bentuk tubuh dibutuhkan oleh perempuan. Bentuk tubuh merupakan syarat atau factor dominan di dalam berbagai pertukaran social. Penerimaan social dan batas-batas hubungan social dipengaruhi oleh bentuk tubuh seseorang, yang itu menjadi ukuran menarik tidaknya seseorang (Abdullah, 2001:37) Oleh karena itu, perempuan akan merasa perlu mendapatkan bentuk atau penampilan tertentu dari tubuh untuk tampil dalam berbagai tingkatan relasi social.

(10)

III. PENUTUP

Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam konteks pendisiplinan tubuhnya berputar sekitar sugesti dari luar dirinya mengenai sosok ideal / standart disiplin tubuh perempuan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan dijadikan nilai serta norma ideal bagi kaum perempuan, sesuai dengan konteks ruang dan waktu dimana ia berada. Permasalahannya kemudian adalah sosok ideal ini selalu direproduksi melalui pembentukan mitos-mitos kecantikan sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya, oleh industry untuk melanggengkan pemasukan dan dominasi ekonomisnya.

Di sini kita melihat adanya 2 bentuk kekerasan yang terjadi secara structural (atas ke bawah dan sebaliknya) dan saling berkesinambungan: (1) perempuan dijadikan obyek persuasi oleh industry untuk memasarkan produk-produk kecantikannya, sehingga tubuh perempuan tersebut dipaksa untuk menjadi sedemikian rupa agar dianggap “pantas” dalam merepresentasikan produk tersebut, hasilnya adalah: munculnya sosok idola (2) setelah ada sosok idola, kelompok perempuan lain yang belum memenuhi norma-norma artifisial terkait keindahan tubuh yang sedang ditetapkan oleh industry akan berubah menjadi kelompok konsumen aktif yang secara regular mengkonsumsi produk-produk pemercantik tubuh agar dapat memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat terhadap citra diri perempuan.

Manipulasi industry yang membentuk siklus tak berhujung dari 2 bentuk kekerasan ini menempatkan perempuan sebagai seorang konsumen aktif, namun tetap pasif pada waktu yang bersamaan karena tak dapat melawan arus legitimasi tubuh ini. Sehingga, perempuan menjadi sebuah kelompok konsumen yang selalu merasa kekurangan / miskin di tengah-tengah tatanan stratifikasi masyarakat yang sudah berkembang secara ekonomis.

(11)

REFERENSI

Abdullah, Irwan. 1995. Tubuh, Kesehatan, dan Reproduksi Hubungan Gender, dalam

Populasi (Buletin penelitian kebijaksanaan), Vol. 6, No. 2., Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM

--- 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Berger, Peter

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Courtney, A & T. Whipple. 1983. Sex Stereotyping in Advertising. Lexington: Lexington Books

Fine, Beb & Ellen Leopold. 1993. The World of Consumption. London: Routledge

Mahetasari. 2008. Kecemasan Perempuan Terhadap Citra Tubuhnya (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya

Tukiman. 1998. Pembentukan Perilaku Konsumen: Kasus Konsumsi Kosmetika di Kalangan Mahasiswa Diploma III Pariwisata Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM

Howard, Richard Stephen. 1996, Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Fam-ily in Indonesia (Ph.D. dissertation), University of Illinois: Urbana-Champaign

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Dari nilai Gini Ratio dan kurva Lorenz petani kelapa sawit rakyat dan petani padi sawah dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan keluarga petani kelapa sawit rakyat

Kesimpulan dari penelitian fauna agroforest di Pekon Pahmungan dan Pekon Gunung Kemala Krui Pesisir Barat Provinsi Lampung Indonesia pada April 2017 ini ditemukan total

Pustakawan pada Dinas perpustakaan dan Arsip Provinsi Sumatera Utara akan berusaha mencapai keunggulan dalam profesi dengan cara menambah wawasan mengikuti seminar dan

3) Siswa dalam kelompok mengidentifikasi tokoh-tokoh dan latar dalam cerita rakyat. Menyebutkan tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerita rakyat yang disampaikan

2016 Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengkaji sikap dan kesediaan pelajar sekolah menengah terhadap penerapan kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) dalam

oleh Telkom Muntilan. Kualitas pelayanan tersebut dapat diketahui melalui penilaian nasabah terhadap kualitas pelayanan Telkom Muntilan. Besamya penilaian tersebut diukur

Teman-Teman Teknik Informatika Universitas Muria Kudus, yang sudah memberikan masukan dan nasehat untuk menyelesaikan skripsi ini dan proses akhir laporan skripsi, serta

Nilai Mean Platelet Volume (MPV) yang terdapat dalam pemeriksaan darah rutin dapat dijadikan penanda keparahan fibrosis hati pada pasien hepatitis B kronik.. Tujuan: