• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstrak"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Isolasi

Sosial Menggunakan Pendekatan Model dan Konsep Teori

Hildegard Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Arimbi

Rumah Sakit Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor

Jek Amidos Pardede1, Achir Yani Hamid2, Yossie Susanti Eka Putri3

Email: jekpardedemi@rocketmail.com

Abstrak

Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan memberikan gambaran manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien isolasi sosial melalui pendekatan model dan konsep teori Hildegrad Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Social Skill Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training

(CBSST) diberikan kepada 32 klien. Hasil yang ditemukan SST dan CBSST efektif dalam menurunkan gejala isolasi sosial yang ditunjukkan melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. SST dan CBSST direkomendasikan sebagai terapi spesialis keperawatan pada klien isolasi sosial.

Kata kunci : Isolasi sosial, Social Skill Training, Cognitive Behavior Social Skill Training, Model Peplau dan Model Henderson

Abstract

This study aims to describe the case management specialist in mental nursing to the patients with social isolation using model and theory concepts Hildegard Pepalu and Virginia Henderson approach at Arimbi room Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor. Social Skill Training (SST) and Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) provided to 32 clients. The results of SST and CBSST were found effective in reducing symtoms of social isolation is demonstreted through the response of cognitive, affective, physiological, behavioral and social. SST and CBSST is recommended as therapy of nursing specialists at the client's social isolation.

Key Words : Social isolation, Social Skill Training, Cognitive Behavior Social Skill Training, Peplau Model and Henderson Model

Pendahuluan

Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir,

berkomunikasi, menerima,

menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi (Isaacs, 2005). Rhoads (2011) menambahkan definisi skizofrenia yaitu penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak yang ditandai dengan pikiran kacau, waham, halusinasi, dan perilaku aneh. Prevalensi skizofrenia diperkirakan sebesar 0,2% meningkat menjadi 1,5% setara untuk pria dan wanita di semua

tingkatan usia (Buchanan & Carpenter, 2005 dalam Barlow & Durand, 2011).

National Advisory Council Mental Health, 2001; National Institute Of Mental Health, 2008) dalam Shives , 2012), mengatakan 2–4 juta orang, atau 1,1% dari populasi di didunia menderita skizofrenia atau gangguan yang mirip dengan skizofrenia yang merusak kesadaran diri bagi banyak individu tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sakit dan membutuhkan pengobatan. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 40% jiwa (1,0 juta jiwa) tidak menerima perawatan psikiatri yang menyebabkan terjadinya tuna wisma, penahanan atau kekerasan.

(2)

Prevalensi skizofrenia yang cukup tinggi bukan hanya di dunia tetapi di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Penelitian Pardede, Keliat, & Wardani (2013) mendapatkan hasil kelompok skizofrenia juga menempati sebesar 83.3% klien di rumah sakit jiwa RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan dan Keliat (2006).

Klien skizofrenia 72% mengalami isolasi sosial (Keliat, 2006). Hasil penelitian Bobes et al (2009) mendapatkan hasil 45,8% klien skizofrenia mengalami isolasi sosial. Isolasi sosial merupakan salah satu masalah keperawatan yang banyak dialami oleh pasien gangguan jiwa berat. Menurut NANDA (2012) mendefiniskan isolasi sosial sebagai suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam. Townsend (2014) juga mengatakan bahwa isolasi sosialmerupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan fungsi pikiran dan perilaku atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Keliat dkk, 2011).

Beberapa penelitian sudah dilakukan pada klien yang mengalami masalah keperawatan isolasi sosial, ternyata dengan memberikan terapi generalis keperawatan dan terapi spesialis keperawatan mampu memberikan efek yang sangat baik dalam penurunan gejala dan peningkatan kemampuan klien dengan Social Skills Training (Renidayati, Keliat, & Sabri, 2008); Cognitive Behavior Social Skills Training (Jumaini, Keliat, & Daulima, 2010); Cognitive Behavior Therapy (Nyumirah, Yani & Mustikasari, 2012); Supportive Therapy (Surtiningrum, Hamid, & Waluyo, 2011). Terapi spesialis keperawatan yang sudah diberikan pada klien dengan masalah isolasi sosial terbukti sangat efektif.

Tindakan keperawatan akan lebih berkualitas apabila diberikan dengan penggunaan teori dan model konsep keperawatan sebagai kerangka pikir bagi perawat untuk

melaksanakan asuhan keperawatan.

Penggunaan model dan konsep teori keperawatan dalam pendekatan asuhan keperawatan yang diberikan dapat menjadi dasar penerapan serta pengembangan terapi spesialis keperawatan jiwa yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kemampuan klien khususnya yang mengalami gangguan jiwa dalam berfikir maupun berperilaku. Tindakan keperawatan ini menggunakan pendekatan model dan konsep teori keperawatan dalam merawat klien dengan isolasi sosial yakni model dan konsep teori Hildegard Peplau dan Virginia Henderson. Model konsep dan teori keperawatan ini bertujuan untuk membantu perkembangan kepribadian kearah kedewasaan dalam menjalin hubungan interpersonal (Peplau, 1991). Model konsep dan teori Virginia Henderson memberikan prinsip hubungan timbal balik antara klien, perawat dan lingkungan. Kedua Model konsep dan teori keperawatan ini membantu perawat dan klien dalam berhubungan dan berinteraksi sehingga tujuan perawat dan klien tercapai. Teori model keperawatan ini juga membantu perawat membuat kerangka fikir terhadap masalah yang sedang dialami klien, sehingga dapat diuraikan dalam rencana keperawatan terkait dengan masalah isolasi sosial. Penggunaan Model konsep dan teori keperawatan hubungan interpersonal Peplau dan hubungan timbal balik Handerson dapat melandasi pelaksanaan manajemen asuhan dan pelayanan pada klien isolasi sosial secara eklektik.

Metode

Karya ilmiah akhir ini merupakan analisis terhadap penerapan manajemen kasus pasien isolasi sosial menggunakan pendekatan model dan konsep teori Hildegard Peplau dan

(3)

Virginia Henderson di Ruang Arimbi Rumah Sakit dr Marzoeki Mahdi Bogor.

Hasil

Pelaksanaan asuhan keperawatan spesialis jiwa pada 32 klien yang mengalami isolasi sosial ini dilakukan mulai tanggal 17 Februari-18 April 2014 di Ruang Arimbi RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Karakteristik klien dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status pernikahan dan tingkat kemandirian. Secara rinci dapat dilihat pada instrument karakteristik klien.

Berdasarkan hasil distribusi karakteristik klien diperoleh bahwa klien berada dalam rentang usia 19-35 sebanyak 18 klien (56.2%) dan berjenis perempuan (100%). Klien memiliki latar belakang pendidikan menengah sebanyak 12 klien (37.5%), tidak bekerja sebanyak 29 (90.6%), dan status pernikahan sebanyak 14 klien (43.7%) belum menikah dan tingkat ketergantungan mayoritas partial care sebanyak 24 klien (75%).

Menurut Stuart (2013) faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Faktor predisposisi ini meliputi biologis, psikologis, dan sosiokultural. Pada klien yang mengalami masalah isolasi sosial yang sebanyak 32 orang akan diidentifikasi berdasarkan tiga aspek tersebut, dapat dilihat pada tabel 4.2.

Berdasarkan hasil distribusi faktor prediposisi dapat dijelaskan bahwa pada faktor predisposisi aspek biologis terbanyak yaitu adanya riwayat gangguan jiwa sebelumnya sebanyak 32 klien (100%). Gangguan konsep diri sebanyak 32 klien (100%) pada aspek psikologis. Sedangkan sosial kultural sebanyak 30 klien (93.7%) jarang terlibat dalam kegiatan sosial.

Faktor presipitasi merupakan stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu. Sesuai dengan model adaptasi

Stuart, faktor ini dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosialbudaya dan aspek yang dikaji meliputi sifat stresor, asal stresor, waktu dan jumlah stresor. Fakrtor presipitasi terjadinya masalah isolasi sosial.

Berdasarkan hasil faktor presipitasi klien diperoleh bahwa berdasarkan sifat stresor pada 32 klien isolasi sosial ditemukan stresor presipitasi biologis sebagian besar berupa riwayat putus obat sebanyak 32 klien (100%). Stresor tersebut berasal dari faktor internal klien yaitu merasa bosan minum obat, obat terasa pahit, merasa sudah sembuh, merasa tidak cocok karena jika minum obat badan menjadi lemas dan mengantuk sehingga tidak dapat bekerja serta rasa khawatir adanya ketergantungan akan obat sehingga klien tidak patuh terhadap program pengobatannya. Stresor biologis yang dialami klien kurang dari 6 (<6)bulan.

Faktor presipitasi klien yang bersifat psikologis semuanya bersumber dari internal klien. Pada stresor psikologis sebagian besar disebabkan karena keinginan tidak terpenuhi pada 28 klien (87.5%), kegagalan membina hubungan dengan lawan jenis pada 12 orang klien (37.5%), dan merasa tidak berguna pada 6 klien (18.7%). Sedangkan pada stresor sosio kultural masalah ekonomi merupakan stresor yang dialami oleh seluruh klien. Stresor ini dialami kurang dari 6 bulan dan bersumber dari eksternal klien. Klien yang mengalami 3 stresor yaitu stresor biologis, psikologis, dan sosiobudaya sebanyak 19 klien (59.4%). Sedangkan klien yang mengalami 2 stressor yaitu psikologis dan sosiokultural sebanyak 13 orang (40.6%).

Penilaian stresor merupakan proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2013). Penilaian stresor meliputi penentuan arti dan pemahaman terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stress bagi individu. Penilaian stresor ini menggunakan instrumen tanda gejala yang meliputi respon kognitif, afektif,

(4)

fisiologis, perilaku dan respon sosial. Secara rinci instrumen tanda gejala klienisolasi sosial

Berdasarkan respon klien dapat dijelaskan bahwa sebagian besar klien isolasi sosial memiliki respon kognitif, sulit membuat keputusan sebesar 31 klien (96.9%). Respon afektif klien isolasi sosial merasa ditolak orang lain yaitu sebanyak 26 klien (81.2%). Respon fisiologis klien isolasi sosial, merasa lelah dan letih dialami oleh 30 klien (93.7%). Respon perilaku yang paling banyak dilakukan oleh klien isolasi social, negativism (kurang aktivitas fisik dan verbal) sebanyak 27 klien (84.4%). Respon sosial klien isolasi sosial, sulit berinteraksi dengan orang lain yang ada didekatnya sebanyak 28 klien (87.5%)

Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam menhadapi berbagai stresor. Menurut Stuart (2013) bahwa sumber koping terdiri dari kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets), kepercayaan (positive beliefs).

Klien yang dikelola selaian mengalami masalah isolasi sosial, juga memiliki diagnosis keperawatan penyerta lainnya seperti terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Diagnosa Keperawatan yang Menyertai Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=32) Diagnosa Keperawatan Diagnosa penyerta Jumlah % Isolasi Sosial Halusinasi 14 43.7 RPK 7 21.9 Harga Driri Rendah 16 50 Defisit Perawatan Diri 12 37.5

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa klien yang dirawat tidak hanya memiliki satu diagnosis keperawatan saja, namun juga memiliki diagnosis keperawatan lain yang menyertai. Terapi yang akan diberikan juga harus mempertimbangkan diagnosa keperawatn penyerta tersebut, sehingga tidak hanya terfokus pada intervensi untuk satu diagnosis keperawatan saja dan klien dapat tertangani secara komprehensif.

Pemberian terapi psikofarmaka jenis anti

psikotik tipikal terbanyak pada

chlorpromazine 100 mg (1 tablet perhari), Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, namun juga mempertimbangkan diagnosa keperawatan penyerta lainnya sehingga saling berkontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai.

Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis keperawatan dan terapi spesialis keperawatan yang keduanya dilakukan oleh Peneliti serta bekerja sama dengan tim kesehatan di Ruang Arimbi RSMM Bogor , dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Pelaksanaan Terapi

Keperawatan Jiwa Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi Periode 17 Februari - 18 April 2014 (n = 32)

No Terapi Keperawatan Jumlah %

1. Terapi Generalis 32 100

2. Terapi Spesialis

a. Social Skills Training

(SST)

b. Cognitive behavior Social Skill Training (CBSST)

26 6

81.25 18.75

(5)

Terapi generalis atau tindakan keperawatan generalis dilakukan kepada 32 klien isolasi sosial, rata-rata dilakukan sebanyak 3-4 kali. Tindakan keperawatan untuk masalah isolasi sosial bertujuan agar klien mampu melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Tindakan keperawatan yang diberikan yaitu: membantu klien menyadari penyebab perilaku isolasi sosial, mendiskusikan manfaat dan kerugian tidak melakukan interaksi dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara bertahap, serta mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial. Tindakan keperawatan generalis dilakukan dengan bekerjasama dengan perawat ruangan dan mahasiswa D3 keperawatan, S1+Ners keperawatan di ruang Arimbi. Terapi spesialis keperawatan merupakan terapi lanjutan dilakukan pada 32 klien, pemberian terapi spesialis keperawatan dilakukan melalui analisa masalah klien serta kebutuhan yang harus dicapai berdasarkan pendekatan secara individu, keluarga, maupun kelompok. Terapi spesialis keperawatan yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial adalah Social Skills Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST).

Tindakan keperawatan generalis dilakukan pada 25 keluarga oleh perawat ruangan karena setiap keluarga ingin bertemu dengan perawat ruangan untuk menanyakan kondisi klien sekaligus memberikan uang jajan pada klien sehingga perawat berkesempatan memberikan terapi keperawatan generalis atau keluarga datang pada sore hari disaat penulis sudah lepas ship sehingga penulis tidak sempat untuk memberikan terapi sedangkan 7 keluarga memang keluarga yang ingin bertemu dan langsung meminta agar keluarga diajarin cara merawat klen pada penulis sehingga penulis berkesempatan untuk melakukan terapi pada keluarga, karena pada saat pertemuan keluarga di ruangan Arimbi penulis sebagai pembicara dimana topik yang dibahas mengenai cara merawat klien dengan berbagai masalah keperawatan terutama isolasi sosial. Sehingga dalam Karya Ilmiah Akhir ini tidak berfokus pada terapi generalis

keperawatan tetapi berfokus pada terapi spesialis keperawatan.

Social Skills Training (SST) diberikan pada 26 klien. Terapi SST ini rata-rata diberikan dalam 5 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan SST khususnya dengan masalah isolasi sosial yaitu melatih kemampuan berkomunikasi atau bersosialisasi, melatih menjalin persahabatan, melatik bekerjasama dalam kelompok, melatih menghadapi situasi yang sulit, serta melatih kemampuan untuk mengungkapkan pendapat tentang manfaat latihan keterampilan sosial. Setelah mengikuti Social Skills Training (SST), klien mampu menampilkan sikap terapeutik pada saat berinteraksi dengan orang lain, mampu menjalin persahabatan dan mempertahankan persahabatan dengan orang lain selain itu klien mampu menampilkan perilaku seperti meminta pertolongan pada orang lain

memberi pujian serta memberikan

pertolongan pada orang lain. Kemampuan lain yang diperlihatkan klien setelah mengikuti latihan keterampilan sosial adalah adanya peningkatan kemampuan klien untuk bekerja sama dalam kelompok. Semua klien yang

terlibat dalam kelompok mampu

menampilkan interaksi satu sama lain dalam bekerja sama selain itu klien mampu menampilkan perilaku penyelesaian masalah yang dihadapi pada saat bekerja sama dalam tim seperti klien tidak marah ketika mendapatkan kritik dari anggota tim terkait dengan kinerja klien dalam kelompok.

Terapi spesilis keperawatan yang lain diberikan pada 6 klien dalah Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST). Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) merupakan grup psikoterapi yang merupakan kombinasi cognitive beahavioral therapy (CBT) dan Social Skill Training (SST) untuk meningkatkan fungsi kognitif dan ketrampilan fungsi sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial. Menurut Granholm (2006) CBSST bertujuan untuk melatih teknik koping, meningkatkan fungsi

(6)

kognitif dan perilaku, ketrampilan fungsi sosial dan pemecahan masalah.

Teknik pelaksanaan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) terdiri dari 2 (dua) bagian, dimana bagian 1 (satu) berfokus pada Cognitive Behavioral Skills (CBT) yang terdiri dari 3 (tiga) sesi dan bagian 2 (dua) berfokus pada Social Skills Training (SST) yang terdiri dari 3 (tiga) sesi, sehingga total menjadi 6 (enam) sesi dan 30 menit setiap sesinya. Pada setiap sesi klien menggunakan

catatan atau buku kerja untuk

keberlangsungan latihan yang diberikan pada klien. Pada sesi 1-2 klien diarahkan untuk mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku negatif akibat pikiran otomatis negatif yaitu perilaku yang berhubungan dengan interaksi sosial.

Selanjutnya klien akan dilatih

mengidentifikasi pikiran untuk melawan atau memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif dan memilih perilaku baru yang akan dilatih sebagai pengganti perilaku negatif akibat pikiran otomatis negatif.

Pada sesi 3 - 6 klien akan diberikan latihan

untuk meningkatkan ketrampilan

berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial. Pelaksanaan sesi 3 - 5 dengan menggunakan 4 (empat) metode pada Social Skills Training (SST) yaitu: (1) modelling, metode dimana terapis melakukan demonstrasi tindakan ketrampilan yang akan dilakukan; (2)

role-playing, metode bermain peran, dimana klien mendapat kesempatan untuk memerankan

kemampuan/ketrampilan yang telah

dilakukan/diperankan oleh terapis; (3) performance feedback, metode pemberian umpan balik, dimana umpan balik harus diberikan segera setelah klien mencoba memerankan seberapa baik menjalankan latihan serta (4) transfer training, metode pemindahan ketrampilan yang diperoleh klien ke dalam praktik sehari-hari. Pada sesi 6 (enam) klien akan dilatih mengungkapkan pendapatnya tentang manfaat latihan kognitif dan perilaku/psikomotor : komunikasi.

Pengukuran untuk mengevaluasi respon atau tanda dan gejala terhadap stresor klien isolasi sosial dengan menggunakan standart assesment (evaluasi tanda dan gejala). Standart assesment yang diberikan pada klien isolasi sosial sudah uji expert validity oleh pakar keperawatan jiwa (Prof. Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M. App.Sc). Stantart assesment respon atau tanda dan gejala ini terdiri 37 pernyataan, pernyataan respon kognitif sebanyak 13 item, respon afektif sebanyak 10 item, respon fisiologis sebanyak 3 item, respon perilaku sebanyak 6 item dan respon sosial sebanyak 5 item. Pengukuran dilakukan saat pengkajian atau sebelum diberikan terapi dan setelah diberikan terapi spesilis keperawatan SST pada 26 klien dan CBSST pada 6 klien, dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4.

Tabel 4.3 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi SST di Ruang Arimbi RSMM Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=26)

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan rata-rata setelah diberikan SST dimana rata-rata-rata-rata

respon kognitif sebelum diberikan SST sebesar 8.78 dan setelah diberikan latihan SST menjadi 1.27. Berdasarkan nilai terhadap

No Penilaian Terhadap Stresor Jumlah Respon Isolasi Sosial Mean Sebelum Mean setelah Mean selisih 1 Respon kognitif 13 8.78 1.27 7.51 2 Respon Afektif 10 5.23 1.08 4.15 3 Respon Fisiologis 3 2.30 0.23 2.07 4 Respon Perilaku 6 3.57 0.73 2.84 5 Respon Sosial 5 3.19 0.23 2.96 Komposit 37 23.07(%) 3.54(%) 19.53(%)

(7)

penilaian stresor pada respon kognitif pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon kognitif klien isolasi sosial sebesar 7.51 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon Afektif sebelum diberikan latihan SST sebesar 5.23 dan setelah diberikan SST menjadi 1.08. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon afektif pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon afektif klien isolasi sosial sebesar 4.15 setelah mendapatkan SST.

Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon fisiologis sebelum diberikan latihan SST sebesar 2.30 dan setelah diberikan SST menjadi 0.23. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon fisiologis pada tabel 4.10

menunjukkan penurunan respon fisiologis klien isolasi sosial sebesar 2.07 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon perilaku sebelum diberikan SST sebesar 3.57 dan setelah diberikan SST menjadi 0.73. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon perilaku pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon perilaku klien isolasi sosial sebesar 2.84 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon sosial sebelum diberikan latihan SST sebesar 3.19 dan setelah diberikan SST menjadi 0.23. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon sosial pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon sosial klien isolasi sosial sebesar 2.96 setelah mendapatkan SST.

Tabel 4.4 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi CBSST di Ruang Arimbi RSMM Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=6)

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan rata setelah diberikan CBSST, dimana rata-rata respon kognitif sebelum diberikan CBSST sebesar 10.2 dan setelah diberikan CBSST menjadi 1.03. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon kognitif pada tabel 4.4 menunjukkan penurunan respon kognitif klien isolasi sosial sebesar 9.17 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon Afektif sebelum diberikan CBSST sebesar 7.8 dan setelah diberikan CBSST menjadi 0.88. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon afektif pada tabel 4.11 menunjukkan

penurunan respon afektif klien isolasi sosial sebesar 6.92 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon fisiologis sebelum diberikan latihan CBSST sebesar 2.7 dan setelah diberikan CBSST menjadi 0. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon fisiologis pada tabel 4.11 menunjukkan penurunan respon fisiologis klien isolasi sosial sebesar 2.7 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon perilaku sebelum diberikan CBSST sebesar 6 dan setelah diberikan latihan CBSST menjadi

No Penilaian Terhadap Stresor Jumlah Respon Isolasi Sosial Mean Sebelum Mean setelah Mean selisih 1 Respon kognitif 13 10.2 1.03 9.17 2 Respon Afektif 10 7.8 0.88 6.92 3 Respon Fisiologis 3 2.7 0 2.7 4 Respon Perilaku 6 6 0.17 5.83 5 Respon Sosial 5 4.3 0 4.3 Komposit 37 31(%) 2.08(%) 28.92(%)

(8)

0.17. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon perilaku pada tabel 4.11 menunjukkan penurunan respon perilaku klien isolasi sosial sebesar 5.83 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon sosial sebelum diberikan latihan CBSST sebesar 4.3 dan setelah diberikan CBSST menjadi 0. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon sosial pada tabel 4.4 menunjukkan penurunan respon sosial klien isolasi sosial sebesar 4.3 setelah mendapatkan CBSST.

Pengukuran untuk mengevaluasi kemampuan klien isolasi sosial dengan menggunakan standart assesment (evaluasi kemampuan dalam melaksanakan SST dan CBSST). Standart assesment yang diberikan pada klien isolasi sosial sudah uji expert validity oleh

pakar keperawatan jiwa (Prof. Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M. App.Sc). Stantart assesment kemampuan terapi SST ini terdiri 39 pernyataan, pernyataan untuk sesi 1 sebanyak 8 item, sesi 2 sebanyak 10 item, sesi 3 sebanyak 3 item, sesi 4 sebanyak 6 item dan sesi 5 sebanyak 18 item. Pengukuran dilakukan saat pengkajian atau sebelum diberikan terapi dan setelah diberikan terapi spesilis keperawatan SST pada 26 klien. Untuk Stantart assesment kemampuan terapi CBSST ini terdiri 38 pernyataan, pernyataan untuk sesi 1 sebanyak 8 item, sesi 2 sebanyak 1 item, sesi 3 sebanyak 6 item, sesi 4 sebanyak 4 item dan sesi 5 sebanyak 8 item. Pengukuran dilakukan saat pengkajian atau sebelum diberikan terapi dan setelah diberikan terapi spesilis keperawatan CBSST pada 26 klien, dapat dilihat pada tabel 4.5 dan 4.6.

Tabel 4.5 Distribusi Evaluasi Kemampuan Social Skill Training (SST) Sebelum dan Sesudah diberikan Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi RSMM

Bogor Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 26)

SST Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Komposit

Kemampuan 8 4 3 6 18 39

Sebelum 2.27 0.42 0.69 1.46 3.88 8.46

Sesudah 6.84 3.23 2.30 4.76 14.73 32.6

Selisih 4.57(%) 2.81(%) 1.61(%) 3.3(%) 10.85(%) 24.14(%)

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan kemampuan klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan rata setelah diberikan SST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 1 sebelum diberikan latihan SST sebesar 2.27 dan setelah diberikan latihan SST meningkat menjadi 6.84. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 1, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 4.57 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 2 sebelum diberikan SST sebesar 0.42 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 3.23. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien

pada sesi 2 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 2.81 setelah mendapatkan SST.

Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 3 sebelum diberikan latihan SST sebesar 0.62 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 2.30. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 3 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 1.61 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 4 sebelum diberikan

(9)

latihan SST sebesar 1.46 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 4.76. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 4 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 3.3 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata

kemampuan pada sesi 5 sebelum diberikan SST sebesar 3.88 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 14.73. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 5, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 10.85 setelah mendapatkanSST.

.

Tabel 4.6 Distribusi Evaluasi Kemampuan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) Sebelum dan Sesudah diberikan Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang

Arimbi RSMM Bogor Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 6)

CBSST Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Sesi 6 Komposit

Kermampuan 3 1 16 6 4 8 38

Sebelum 1.5 0.7 5 0.7 0.2 2.2 11

Sesudah 2.8 0.8 12.7 6 3 7.2 32.5

Selisih 1.3(%) 0.1(%) 7.7(%) 5.3(%) 2.8(%) 5(%) 21.5(%)

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan kemampuan klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan rata-rata setelah diberikan CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 1 sebelum diberikan CBSST sebesar 1.5 dan setelah diberikan CBSST meningkat menjadi 2.8. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 1, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 1.3 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 2 sebelum diberikan latihan CBSST sebesar 0.7 dan setelah diberikan CBSST meningkat menjadi 0.8. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 2 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 0.1 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikanterapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 3 sebelum diberikan CBSST sebesar 5 dan setelah diberikan CBSST meningkat menjadi 12.7. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 3 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial

sebesar 7 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 4 sebelum diberikan CBSST sebesar 0.7 dan setelah diberikan latihan SST meningkat menjadi 6. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 4, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 5.3 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 5 sebelum diberikan CBSST sebesar 0.2 dan setelah diberikan latihan CBSST meningkat menjadi 3. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 5 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 2.8 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 6 sebelum diberikan CBSST sebesar 2.2 dan setelah diberikan latihan CBSST meningkat menjadi 7.2. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 6 menunjukkan peningkatan kemampuan klien

(10)

isolasi sosial sebesar 5 setelah mendapatkan CBSST.

Pembahasan

Hasil Pengkajian klien dengan isolasi sosial diruang rawat Arimbi Rumah Sakit Marzoeki Mahdi terdiri dari karakteristik klien, faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor dan sumber koping. Hasil pengkajian karakteristik klien dengan masalah isolasi sosial terdiri usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan dan tingkat kemandirian klien. Berikut ini pembahasan tentang karakteristik klien dan hubungannya dengan masalah isolasi sosial :

Klien dengan masalah isolasi sosial diruang rawat Arimbi sebanyak 56.2 % berusia 19 - 35 tahun. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Sadock dan Sadock (2007), yang menyatakan bahwa gangguan jiwa ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Stuart (2009) juga menyebutkan bahwa resiko tinggi terjadinya gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa. Hasil diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan Renidayati (2009) menunjukkan usia klien isolasi sosial berada dalam rentang usia 28 - 35 tahun. Penelitian Jumaini, Keliat, & Daulima (2010) menunjukkan hasil rata-rata usia klien yang mengalami isolasi sosial adalah 33 tahun. Stuart (2013) berpendapat bahwa frekuensi tertinggi usia seseorang berisiko mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia 25-44 tahun. Sehingga bisa dikatakan usia klien yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah isolasi sosial dalam pemaparan di atas termasuk dalam kategori usia dewasa.

Jenis kelamin klien dengan isolasi sosial adalah 100% wanita karena ruangan yang digunakan dalam pengambilan data merupakan ruang rawat wanita (Ruang Arimbi RSMM Bogor). Menurut Sinaga (2007) bahwa prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan jenis kelamin, ras dan budaya adalah sama. Wanita dapat mengalami gejala

gangguan jiwa karena tanggung jawab dan peran dalam keluarga.

Klien dengan masalah isolasi sosial yang dirawat sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (37.5%). Klien isolasi sosial yang dirawat mempunyai pendidikan yang rendah, pendidikan SD sebanyak 8 klien (25 %) dari delapan klien ada 2 klien juga yang belum menamatkan pendidikannya sehingga dalam menerapkan terapi yang akan diberikan harus memiliki tehnik yang dapat membantu proses pemberian terapi terhadap klien. Tehnik yang diberikan yaitu jika pengetahuannya kurang dan sudah diikuti dengan perilaku yang kurang positif, penulis memberikan terapi CBSST sehingga terbantu dalam menangani kognitif dan perilaku. Klien yang mendapatkan SST, klien yang masih mudah di arahkan dan dari segi kognitif masih mampu dengan mudah mengikuti terapi. Sebelum terapi diberikan klien juga diberikan pre test untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki klien sehingga lebih mudah untuk mengetahui klien mempunyai pengetahuan yang baik atau tidak. Dari 32 klien rata-rata yang mendapatkan CBSST adalah yang pendidikannya rendah , ada sebanyak 6 klien. Menurut Stuart (2009), bahwa pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena klien dengan pendidikan rendah kurang mampu menyampaikan ide atau pendapatnya, sehingga mempengaruhi klien dalam mewujudkan harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Stuart (2013) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara klien berinteraksi, membuat keputusan, memecahkan masalah serta mempengaruhi cara penilaian klien terhadap stresor. Menurut Kopelowicz, Liberman dan Zarare (2002) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang

(11)

dimiliki. Sesuai dengan pendapat Stuart (2013) menyatakan bahwa aspek intelektual adalah salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menyampaikan idea atau pendapatnya, selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan klien untuk memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam kehidupannya sehingga sangat mempengaruhi terjadinya isolasi sosial. Pendidikan merupakan salah satu sumber koping seseorang dalam menyelesaikan masalahnya. Semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki.

Klien isolasi sosial yang dirawat sebagian besar tidak bekerja (90.6%). Hal ini menunjukan klien tidak produktif yang merupakan proses terjadinya gangguan jiwa dari faktor predisposisi dan presipitasi sosial budaya. Kondisi tidak memiliki pekerjaan pada kasus kelolaan ini semakin membuat klien mengkritik diri, merasa tidak berguna atau tidak berharga dan akhirnya individu merasa frustasi dengan kondisinya dan merasa iri jika melihat kemampuan orang lain, klien merasa malu dan marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Menurut pendapat Hawari (2007) masalah pekerjaan merupakan

sumber stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat diatasi yang bersangkutan dapat jatuh sakit. Towsend (2014) juga mengatakan sosial ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya angka gangguan jiwa termasuk skizofrenia.

Berdasarkan status pernikahan dari 32 klien isolasi sosial yang dirawat ada 43.7% klien belum menikah dan bercerai (janda) ada 31.3% yang disebabkan karena pengalaman kegagalan dalam membina hubungan dengan lawan jenis. Klien mengatakan dirinya belum menikah disebabkan trauma karena sudah berkali-kali membina hubungan tetapi selalu gagal, ada yang ditinggal menikah, ada yang ditinggal karena meninggal dan ada yang dipermainkan saja. Hal inilah yang membuat klien menjadi belum menikah sehingga bisa dikatakan menjadi sumber stresor pada klien. Klien yang gagal membina hubungan rumah tangga juga bisa menjadi sumber stres, terbukti dari beberapa klien yang mengatakan trauma dalam pernikahan karena suami menikah lagi dengan perempuan lain, suami yang selalu bersikap kasar, ada juga suami yang tidak pernah menafkahi keluarga dan ada juga tidak pernah perduli dengan rumah tangganya tetapi lebih perduli pada orang tuanya.

Berdasarakan hasil pengkajian pada 32 klien isolasi sosial bahwa 100% klien secara biologis ditemukan memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya dan klien yang mengalami trauma atau penyakit fisik 53.1%, klien dengan riwayat herediter 18.8%, serta riwayat menggunakan NAPZA sebesar 6.2%. Keseluruhan klien isolasi sosial yang dirawat di ruang Arimbi memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya karena ada pengaruh putus obat. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada 32 klien, sebagian besar klien mengatakan putus obat karena sudah merasa bosan minum obat terus menerus setiap harinya, obat yang diminum membuat kepala pusing, obat terasa pahit, dan obat membuat klien mengantuk. Wawancara dilakukan pada

beberapa keluarga saat mengunjungi klien di ruang Arimbi, keluarga mengatakan klien putus obat karena klien sudah lama tidak patuh minum obat, klien terkadang minum obat dan terkadang tidak mau minum serta klien sering keluyuran dan terkadang klien tidak pulang kerumah sehingga klien tidak m minum obat, itulah yang membuat klien tidak sembuh dan mempunyai riwayat gangguan jiwa.

Faktor predisposisi pada aspek psikologis teridentifikasi bahwa 81.2 % klien memiliki kepribadian introvert/ tertutup dan 100% klien mengalami riwayat kegagalan atau kehilangan sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2013) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian,

(12)

moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Kepribadian seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya, sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Sesuai dengan pendapat Hurlock (2000) bahwa kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimis, putus asa, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Isolasi sosial diperoleh dari dua sumber, yaitu dari faktor internal (diri sendiri) dan faktor eksternal (orang lain). Faktor yang mempengaruhi isolasi sosial yang berasal dari diri sendiri seperti kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis, sedangkan yang berasal dari orang lain adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis.

Faktor predisposisi lainnya adalah aspek sosial budaya, sesuai dengan pengkajian dilakukan pada klien di ruang Arimbi bahwa 87.5% klien memiliki status ekonomi yang rendah dan 93.7% jarang terlibat kegiatan sosial. Stuart (2013) menyatakan faktor sosial kultural yang dapat mempengaruhi munculnya gangguan jiwa yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan. posisi sosial, latar belakang budaya, nilai dan pengalaman sosial individu. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi termasuk dalam hal ini kemampuan dalam merespon stresor yang dihadapi yang menyebabkan klien mengalami masalah isolasi sosial. Pendidikan juga dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif, karena semakin tinggi pendidikan seseorang akan lebih mudah untuk mengintepretasikan sesuatu dan lebih mudah memperoleh informasi. Faktor pendidikan juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi rendah

karena jika tidak mempunyai biaya atau dana seseorang tidak mampu untuk sekolah maupun kuliah.

Pengkajian faktor presipitasi klien di ruang Arimbi didapatkan hasil bahwa 100% klien memiliki riwayat putus obat. Alasan klien dengan riwayat putus obat adalah perasaan bosan, obat terasa pahit, merasa sudah sembuh, merasa obat tidak cocok karena jika minum obat badan menjadi lemas dan mengantuk sehingga tidak bisa bekerja lagi dan adanya rasa khawatir menjadi ketergantungan obat. Menurut Wardani (2009) alasan klien memiliki perilaku tidak patuh minum obat dikarenakan klien dan keluarga tidak merasakan manfaat minum obat dan merasa tidak nyaman khususnya secara fisik dengan mengkonsumsi obat-obat antipsikotik serta kurangnya informasi kepada klien dan keluarga yang adekuat dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang manfaat dan efek obat berdampak pada kekambuhan sehingga memperburuk kondisi klien. Sehingga disimpulkan pada dasarnya banyak klien tidak patuh minum obat sehingga klien tidak sembuh.

Penilaian terhadap stresor yang dialami seluruh klien dengan isolasi sosial memiliki pandangan yang negatif terhadap stresor seperti hanya berfokus pada masalah, memilliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan merasa tidak mampu menghadapi stressor tesebut. Sesuai dengan pendapat Stuart (2009) penilaian stressor merupakan proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stress dengan tujuan untuk melihat makna dari kejadian yang dialami. Untuk menentukan repon atau tanda dan gejela klien, penulis menggunakan instrument penilaian stressor yang terdiri dari respon kogitif sebanyak 13 pernyataan, respon afektif sebanyak 10 pernyataan, respon fisiologis sebanyak 3 pernyataan, respon perilaku sebanyak 6 pernyataaan, dan respon sosial sebanyak 5 pernyataan.

Hasil yang diperoleh dari klien mengenai respon kognitif yang paling menonjol adalah

(13)

sulit mengambil keputusan, sebanyak 31 klien (96.9%), merasa kesepian dan ditolak oleh orang lain sebanyak 28 klien (87.5%) dan diikuti dengan merasa tidak berguna sebanyak 27 klien (84.4%). Sesuai dengan respon kognitif yang sudah dipaparkan di atas menujukkan awal dari klien menarik diri karena sulit mengambil keputusan, dalam hal ini sulit mengambil keputusan dalam berhubungan, berinteraksi dan menjalin persahabatan sehingga klien merasa kesepian dan ada perasaan ditolak oleh orang lain sehingga pada akhirnya klien merasa tidak mempunyai teman akrab. Menurut Stuart & Laraia (2005) Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stres, memilih koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial seseorang. Respon afektif yang paling banyak dialami klien adalah merasa ditolak oleh orang lain sebanyak 28 (87.5%) dan diikuti dengan merasa tidak diperdulikan oleh oran lain sebanyak 25 klien (78.1%).

Respon fisiologis yang paling banyak dialami klien adalah merasa lelah atau letih sebanyak 30 klien (93.7%). Hal ini dapat berpengaruh karena efek dari pikiran, dimana bila selalu berpikir yang negatif akan mempengaruhi fisik, dalam hal ini yang terjadi pada klien adalah kelelahan dan keletihan. Respon perilaku yang paling banyak yang dialami klien adalah kurang aktivitas dan verbal sebanyak 27 klien (84.4%).

Respon sosial yang paling banyak dialami klien adalah menarik diri sebanyak 30 klien (93.7%). Respon sosial merupakan hasil perpaduan dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku yang akan mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain. Klien isolasi sosial dalam kasus ini memiliki pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti kegagalan membina hubungan, komunikasi tertutup, jarang terlibat pada kegiatan sosial, penolakan, kegagalan-kegagalan lain. Kenyataan yang ada pada klien ini sesuai dengan yang diuraikan Fortinash & Worret

(2004) dan Townsend (2014) bahwa pada klien isolasi sosial penilaian individu bahwa adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Klien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.

Sumber koping merupakan strategi yang mampu membantu klien isolasi sosial menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah internal maupun eksternal. Stuart (2013) membagi sumber koping menjadi empat yaitu kemampuan personal, dukungan sosial, asset material dan keyakinan positif.

Berdasarkan hasil pelaksanaan pengelolaan 32 klien isolasi sosial di ruang Arimbi bahwa sumber koping yang dialami oleh klien diperoleh 25 klien (78.1%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isoslasi sosial demikian juga dengan keluarganya sebanyak 93.7% tidak tahu dan ketidakmampuan merawat anggota keluarga dengan isolasi sosial. Keseluruhan klien dapat menjangkau puskesmas dan memiliki jamkesmas dan yakin akan sembuh dengan pelayanan kesehatan. Kemampuan personal yang harus dimiliki klien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa klien harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau mengidentifikasi masalah, menentukan masalah yang akan diatasi, dan kemampuan menyelesaikan masalahnya. Menurut Stuart dan Laraia (2005), sumber koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Untuk menghadapi masalah yang dirasakan klien harus menggunakan sumber koping yang dimilki dari internal maupun eksternal.

(14)

Model dan konsep teori merupakan sebuah sistem yang terstruktur dan berdasarkan pemikiran rasional dalam bertindak dan menjadi landasan untuk menentukan tindakan keperawatan yang diberikan pada klien. Aplikasi model dan konsep teori yang sesuai, maka proses keperawatan yang diberikan pada klien lebih terarah dan akan diperoleh hasil asuhan keperawatan yang berkualitas dan mempunyai nilai profesionalisme.

Asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial dengan pemberian Social Skill Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, menetapkan rencana tindakan keperawatan, melakukan tindakan keperawatan dan melakukan evaluasi terhadap hasil dari tindakan yang sudah dilakukan. Aplikasi teori interpersonal Peplau digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan dengan tujuan dapat membantu meningkatkan keterampilan kognitif, perilaku dan berkomunikasi pada klien isolasi sosial (Peplau, 1991), didukung dengan tujuan dan harapan Henderson bahwa klien harus ditingkatkan pengetahuan, keinginan, dan kekuatannya (Fitzpatrick & Whall, 1989) sehingga hubungan interaksi antara perawat dan klien berjalan dengan baik dan asuhan keperawatan yang diberikan mampu mengurangi gejala dan meningkatkan kemampuan klien isolasi sosial.

Model teori Peplau menggunakan 4 fase dari hubungan perawat dan klien yaitu orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi (Aligood, 2014). Fase orientasi lebih difokuskan untuk membantu klien menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien. Ditahap ini perawat dan klien melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi proses pengumpulan data. Fase orientasi dimulai diawal pertama sekali perawat dan klien bertemu dimana perawat berperan sebagai orang asing bagi klien. Perawat harus

menempatkan klien dengan penuh perasaan dan secara sopan serta menerima keberadaan klien apa adanya sebagai manusia yang utuh (Peplau, 1991). Fase ini diharapkan klien menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan atau bantuan dari perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah klien (Peplau, 1990). Penggunaan diri secara terapeutik dan kemampuan melakukan tehnik terapeutik dalam berhubungan sehingga memiliki pengaruh yang besar membina hubungan saling percaya. Sehingga dapat disimpulkan kemampuan melakukan tehnik terapeutik yang baik dan empati merupakan cara yang dapat menciptakan hubungan saling percaya antara perawat dan klien. Henderson mengatakan bila hubungan tercipta dengan baik antara perawat dan klien harus mempergunakan interaksi yang baik tercapailah tujuan dan harapan, dimana diharapkan klien mempunyai pengetahuan, keinginan dan kekuatan sehingga terapi keperawatan yang diberikan perawat kepada klien tersampaikan yang pada akhirnya klien bisa sembuh dari sakitnya. Klien yang mengalami isolasi sosial akan sulit berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain sehingga dengan menggunakan teori Peplau dapat membantu klien untuk berhubungan dengan orang lain (hubungan perawat dan klien) dan teori Henderson membantu perawat dan klien untuk

berinteraksi dengan menggunakan

komunikasi terapeutik sehingga tujuan perawat dan klien tercapai.

Kesimpulan

Karakteristik klien isolasi sosial di ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor didapatkan mayoritas berusia 19-35 tahun (56.2%), seluruhnya klien berjenis kelamin wanita, tingkat pendidikan rata–rata pendidikan menengah (SMP) 37.5%, hampir semua tidak bekerja sebelum menjalani perawatan (90.6%), belum menikah (43.7%)

(15)

dan tingkat kemandirian mayoritas rata-rata partial care (75%).

Faktor predisposisi terjadinya isolasi sosial, seluruhnya klien pada aspek biologi yaitu riwayat gangguan jiwa dan aspek psikologis yaitu riwayat kegagalan/tidak menyenangkan sedangkan jarang terlibat kegiatan sosial sebanyak 30 klien (93.7%)

Faktor presipitasi, keseluruhan klien mengalami putus obat pada aspek biologis, dilanjutkan dengan keinginan tidak terpenuhi pada aspek psikologis sebanyak 28 klien (87.5%) dan masalah ekonomi pada aspek ekonomi sebanyak 30 klien (93.7%).

Sumber koping sebagian besar klien (78.1%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isolasi sosial, 56.2% keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara merawat klien isolasi sosial, keseluruahn klien memiliki jamkesmas/BPJS dan 81.2% klien memiliki keyakinan akan sembuh dari penyakit yang dialami.

Social Skill Training (SST) bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan interpersonal klien maupun menjalin persahabatan pada orang lain dengan cara melatih ketrampilan yang selalu digunakan dalam berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. Semua klien (26 klien) yang diberikan SST telah mampu mengikuti atau laithan untuk bersosialisasi, bekerjasama dalam kelompok, menjalin persahabatan, dan menghadapi situasi yang sulit. Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan sesudah diberikan SST sebanyak 5 sesi. Kemampuan klien secara komposit pada semua sesi (5 sesi) adalah 39 kemampuan. Kemampuan klien sebelum diberikan SST adalah 8.46 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 32.6 dan selisihnya 24.14. hal ini menujukkan bahwa SST sangat mampu meningkatkan kemampuan klien yang mengalami isolasi sosial.

CBSST dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku sosialisasi pada klien

isolasi sosial. Semua klien (6 klien) yang diberikan CBSST telah mampu melakukan latihan mengenal pikiran dan perilaku negatif, melakukan latihan melawan pikiran negatif menggunakan tanggapan rasional berbicara yang baik, melakukan latihan berbicara untuk menjalin persahabatan, dan melakukan latihan berbicara untuk menghadapi situasi sulit. Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan sesudah diberikan CBSST sebanyak 6 sesi. Kemampuan klien secara komposit pada semua sesi (6 sesi) adalah 38 kemampuan. Kemampuan klien sebelum diberikan SST adalah 11 kemampuan dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 32.5 kemampuan dan selisihnya 21.5 kemampuan. hal ini menujukkan bahwa

CBSST sangat mampu meningkatkan

kemampuan klien yang mengalami isolasi sosial.

Social Skill Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) dapat menurunkan tanda dan gejala pada klien yang mengalami isolasi sosial.

Pendekatan model hubungan interpersonal

Peplau membantu klien dalam

mengembangkan kemampuan kognitif dan perilaku sosialisasi dengan orang lain serta lingkungan yang diperoleh dengan menggunakan hubungan secara interpersonal sehingga meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku bersosialisasi klien dan menurunkan tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami sedangkan model hubungan timbal-balik Henderson memberikan dampak lebih ke interaksi dengan adanya hubungan timbal balik antara perawat dan klien mampu mencapai tujuan dengan harapan untuk memperoleh pengetahuan, keinginan dan kekuatan sehingga meninggalkanpun bisa dengan tenang.

Referensi

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work. (8th ed). St. Louis: Elsevier Mosby

(16)

Bobes, J., Fillat, O., & Arango, C. (2009). Violence Among Schiphrenia Out-Patients Compliant With Medication: Prevalence and Associated Factors. Acta Psychiatric Scandinavica journal, 119; 218-225.

Evelyn, W.M & Melanie, M (2002). Theoretical Basis for Nursing. Philadelphia. Lippincott Williams& wilkins.

Fitzpatrick, J.J. and Whall, A.L. (1989). Conceptual Models Of Nursing Analysis And Application. 2nd ed. USA : Appleton & Lange

Fortinash, K.M. dan Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd ed.). St. Louis: Mosby

Frisch, N.C., & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3 th ed). Canada : Thomson Delmar Learning.

Granholm, et.al. (2005) A randomized, controlled trial of cognitive behavioral social skills training for middle aged and older outpatients with chronic schizophrenia. The american journal of psychiatry, 162(3), 520-529

Hawari, D (2007) Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta: FKUI

Henderson, V. (1991). The nature of nursing--Reflections after 25 years. New York: Macmillan.

Henderson, V. (1990). Excellence in nursing 1969: Classic article. American Journal of Nursing, 90(4), 76-77.

Isaacs, A. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatri. (3th ed). Jakarta: EGC Jumaini, Keliat, B. A, & Daulima, N. H. C.

(2010). Pengaruh Cognitive Behavioral

Social Skills Training (CBSST) Terhadap Peningkatan Kemampuan Bersosialisasi Klien Isolasi Sosial di BLU RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis FIK UI. Tidak Dipublikasikan. Keliat, dkk (2011). Keperawatan Kesehatan

Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta. EGC

Kneisl, C.R., Wilson, H.S & Trigoboff, E. (2004). Contemporary Psychiatric Mental Health Nursing, New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Kopelowicz, Liberman & Zarare. (2002). Psychosocial Treatment For Shizoprenia. New York: Oxford University.

Kurtz, M, Kim M, K., & Wexler, B .(2012). Augmenting Social Skills Training with

Cognitive Remediation in

Schizophrenia. Schizophrenia Research 136, S1–S375

McQuaid, et al. (2000). Development Of An Integrated Cognitive-Behavioral And Social Skills Training Intervention For Older Patients With Schizophrenia. The Journal Of Psychotherapy Practice And Research, 9 (3), 149-156

Pardede, J.A, Keliat, B.A., & Wardani, I.Y. (2013). Pengaruh Acceptance and Commitment Therapy dan Pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat terhadap perubahan gejala, peningkatan kemampuan menerima dan berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan klien skizofrenia di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.Tesis Tidak Dipublikasikan Peplau, H.E. (1991). Interpersonal Relations

in Nursing : A conceptual Frame of Reference for Psychodynamic Nursing. Springer Publishing Company. New York

(17)

NANDA. (2012). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 2012-2014. Philadelphia: NANDA International Renidayati, Keliat. B. A, & Sabri, L. (2008)

Pengaruh Sosial Skill Training pd Klien dengan Isolasi Soisal di RS Prof Hb Saanin Padang. Tesis tidak Dipublikasikan

Sadock, B.J., Kaplan, Harold. I., & Sadock, V.A. (2003). Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. (9th ed) Lippincott Williams & Wilkins

Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2007). Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. (10th ed). Lippincott Williams & Wilkins

Shives L.R. (2012). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing.(8th ed). Philadelphia:Lippincott William & Wilkins

Stuart, Gail W. (2009). Principles & Practice of Psychiatric Nursing (9th ed) Philadelphia: Elsevier Mosby

Stuart, Gail W. (2013). Principles & Practice of Psychiatric Nursing (10th ed) Philadelphia: Elsevier Mosby

Stuart, Gail W & Laraia, Michele T.( 2005). Principles & Practice of Psychiatric Nursing (8th ed). Philadelphia: Elsevier Mosby

Townsend, Mary C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of care in evidence-based practice. (5Th ed). Philadelphia: F.A Davis Company Townsend, Mary C. (2014). Essentials of

Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of care in evidence-based practice. (6th ed). Philadelphia: F.A Davis Company

Wardani, I.Y., Hamid, A.Y., & Wiarsih,W.

(2009). Pengalaman Keluarga

Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota Keluarga Dengan Skizoprenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik :

Pengobatan. Tesis. Tidak

Gambar

Tabel 4.3 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan Sesudah  Pemberian Terapi SST di Ruang Arimbi RSMM Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=26)
Tabel 4.4 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan Sesudah Pemberian  Terapi CBSST di Ruang Arimbi RSMM Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=6)
Tabel 4.5 Distribusi Evaluasi Kemampuan Social Skill Training (SST) Sebelum dan Sesudah   diberikan  Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi RSMM
Tabel 4.6 Distribusi Evaluasi Kemampuan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST)    Sebelum dan Sesudah diberikan Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Fitri et al (2013) yang meneliti mengenai pengaruh gaya kepemimpinan, komitmen organisasi, sumber daya manusia, reward dan punishment terhadap efektivitas

kesuksesan yang terbuka terhadap perubahan &amp; cerdas merespon tantangan global (visioner) serta peduli terhadap pengembangan masyarakat sebagai media pengembangan entrepreuner

Jika total permintaan beban lebih kecil dari daya keluaran sel surya dan turbin angin maka kebutuhan beban hanya akan dipenuhi oleh pembangkit energi baru-terbarukan dan

Standar deviasi vertikal yang didapat menghasilkan nilai terkecil 0,7 cm pada baseline 2 km dan nilai tertinggi 37,78 cm pada baseline 20 km; (2) pada pengujian kepresisian

a. Peletakan penzoningan pada site yang disesuaikan dengan kebutuhan dari kegiatan Sekolah Mode dengan kondisi lingkungan sekitar, yang menghasilkan pola tatanan

Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang dipengaruhi oleh angin monsun yang cukup kuat terlihat dari pola angin dominannya.. Salah satu ciri angin monsun

Pada soal latihan 5.1 kita membuat tabel hiperbolik-trigonometri yang diketahui sebagai berikut :.. Sinh, cosh, dan tanh rentang -5 ≤ x

Suwardi, perempuan tidak dilarang untuk memiliki “kemampuan” tetapi tidak juga diperintah untuk memiliki kemampuan, hal ini dikarenakan suami adalah orang yang bertanggung