• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN. desain case control dengan memilih penderita DM Tipe II sebagai kasus dan bukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 METODE PENELITIAN. desain case control dengan memilih penderita DM Tipe II sebagai kasus dan bukan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik observasional dengan desain case control dengan memilih penderita DM Tipe II sebagai kasus dan bukan penderita DM Tipe II sebagai kontrol. Adapun alasan menggunakan desain ini karena studi kasus kontrol merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan penyakit dengan membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya (Murti, 2003). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

retrospektif dimana efek diidentifikasi pada saat ini kemudian faktor risiko diidentifikasi terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010).

Rancangan penelitian case control ini diajukan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Skema Rancangan Case Control Kontrol: Responden yang tidak

menderita DM Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-) Retrospektif Kasus: Responden dengan DM Retrospektif

(2)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara. Alasan pemilihan Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara sebagai tempat penelitian dikarenakan di Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Tipe B dan tersedia data tentang DM yang ingin diteliti.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini berlangsung mulai bulan Maret 2016 – Agustus 2016.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

a. Populasi kasus

Seluruh pasien yang datang berobat ke poli edukasi diabetes pada Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara yang dinyatakan menderita DM tipe II.

b. Populasi kontrol

Seluruh pasien yang datang berobat ke poli edukasi diabetes pada Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara yang dinyatakan tidak menderita DM tipe II.

(3)

3.3.2. Sampel a. Sampel Kasus

Sampel kasus adalah pasien baru yang menderita DM Tipe II yang berobat di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara yang dinyatakan dengan rekam medik dan didukung dengan hasil pemeriksaan Laboratorium yang tercatat di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupten Aceh Utara

b. Sampel Kontrol

Sampel kontrol adalah sebagian pasien yang berobat di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara tetapi tidak menderita DM Tipe II.

3.3.3. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi untuk Kasus

1. Tercatat sebagai pasien poli Edukasi Diabetes di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara yang baru didiagnosa menderita DM tipe II dan belum terjadi komplikasi.

2. Bisa berkomunikasi dengan baik 3. Bersedia menjadi Responden b. Kriteria Inklusi untuk Kontrol

1. Pasien baru yang berobat di poli edukasi diabetes dan dinyatakan tidak menderita DM tipe II

(4)

3.3.4. Besar Sampel

Untuk menghitung besar sampel digunakan rumus besar sampel untuk studi kasus kontrol berpasangan menurut Sostroasmoro (2013) yaitu:

ni = n2 = dimana p =

Keterangan:

n1=n2 = Sampel

α = Tingkat Kemaknaan 5%

zα = Nilai deviasi normal α 5% = 1.645 zβ = Nilai deviasi normal β 20 % = 0,842 OR = Odds Rasio

p = Proporsi faktor risiko

q = 1- p

Penentuan besar sampel penelitian dengan memperhatikan hasil OR dari beberapa penelitian terdahulu tentang variabel yang berhubungan dengan resiko kejadian penyakit DM Tipe II seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Besar Sampel Berdasarkan Odds Ratio Penelitan Terdahulu

Variabel OR n1 = n2 Referensi

Riwayat Keluarga Aktifitas Fisik

Tekanan Darah Tinggi Merokok 4,3 2,3 2,2 2,6 14 40 46 37 Syamiyah (2014) Garnita (2012) Manik (2012) Munawar (2014)

(5)

Untuk memenuhi jumlah sampel minimal maka digunakan OR terkecil dari variabel penelitian terdahulu. Perhitungan besar sampel dengan menggunakan OR dari hasil penelitian Manik (2012) di Rumah Sakit Umum Hadrianus Sinaga Kabupaten Samosir Sumatera Utara dengan variabel Tekanan Darah Tinggi (OR = 2,2) yaitu: P = = = 0,68 q = 1- p = 0,32 Besar Sampel: n1 = n2 = = = = 45,54= 46

Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapat besar sampel minimal adalah 46 orang penderita DM Tipe II. Sehingga jumlah sampel untuk kelompok kasus yaitu sebanyak 46 orang penderita DM tipe II dan kelompok kontrol sebanyak 46 orang bukan penderita DM Tipe II. Perbandingan kasus dengan kontrol adalah 1:1 dengan dilakukan matching terhadap kasus dan kontrol yaitu umur dan jenis kelamin.

(6)

3.3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel diperoleh dengan dengan teknik purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien baru pada poli rawat jalan, dengan mengikut sertakan semua usia dari populasi yang ada sampai mencapai 46 sampel kasus yang menderita DM tipe II dan 46 sampel kontrol yang tidak menderita DM tipe II.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, aktivitas fisik, pola makan, perilaku merokok.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder untuk mengetahui berat badan, tinggi badan, tekanan darah diperoleh dari data rekam medik Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas

Adapun pengujian validitas dan realibilitas dijelaskan sebagai berikut (Agus Riyanto, 2011) :

a. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah/valid atau tidaknya suatu keuisioner. Kuesioner dikatakan valid jika pernyataan pada angket mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh pernyataaan tersebut. Untuk menguji

(7)

validitas alat ukur terlebih dahulu dicari harga korelasi antara bagian-bagian dari alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah setiap skor butir, dimana nila rtabel = 0,361.

Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.00 untuk menguji keshahihan butir. Kriteria yang digunakan untuk menguji keshahihan butir yaitu sebagai berikut:

a. Jika rhitung > rtabel, dengan taraf signifikan α = 0,05 maka pertanyaan dikatakan valid

b. Jika rhitung < rtabel, dengan taraf signifikan α = 0,05 maka pertanyaan dikatakan tidak valid.

Tabel 3.2. Uji Validitas Instrumen

Item Pertanyaan rhitung rtabel Ket

Pengetahuan P1 0,645 0,361 Valid P2 0,619 0,361 Valid P3 0,596 0,361 Valid P4 0,499 0,361 Valid P5 0,426 0,361 Valid P6 0,626 0,361 Valid P7 0,616 0,361 Valid P8 0,780 0,361 Valid P9 0,721 0,361 Valid

Berdasarkan tabel 3.1 diatas menunjukkan bahwa seluruh pernyataan instrumen adalah valid, hal ini dapat dilihat dari rhitungoutput nilai korelasi antara tiap item dengan skor total item pada keseluruhan pernyataan lebih besar dari rtabel (0.361),

(8)

b. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau kostruk. Butir pertanyaan dikatakan reliable atau andal apabila jawaban dari responden terhadap pertanyaan adalah konsisten. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.00 dan butir pernyataan yang sudah dinyatakan valid dalam uji validitas ditentukan reliabilitasnya dengan kriteria sebagai berikut:

a. Jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,6 maka pertanyaan reliabel. b. Jika nilai Cronbach’s Alpha < 0,6 maka pertanyaan tidak reliabel.

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana suatu instrumen dapat dipercaya. Pengujian reliabilitas ini dilakukan dengan uji Alpha Cronbach. Variabel dikatakan reliabel jika nilai r Alpha Cronbach > 0,6, hal ini dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut :

Tabel 3.3. Hasil Uji Reliabilitas

Variabel Cronbach Alpha Keterangan

Pola makan 0,794 Reliabel

Merokok 0,790 Reliabel

Berdasarkan tabel 3.2 diatas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alpha dari seluruh variabel yang diujikan nilainya sudah diatas 0,6 maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini dalam uji reliabilitas dinyatakan reliabel.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap 20 responden yang datang berobat ke Praktek Dokter Bersama Kimia Farma Lhokseumawe, dimana responden

(9)

memiliki karakteristik yang sama dan pada responden yang telah ikut dalam uji validitas dan reabilitas tidak dibenarkan lagi menjadi sampel penelitian.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes), faktor risiko yang dapat dimodifikasi (IMT, aktivitas fisik, tekanan darah tinggi, pola makan dan kebiasaan merokok). Variabel dependen, yaitu kejadian Diabetes Mellitus.

3.5.2. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dari variabel penelitian ini adalah: 1. Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi

a. Umur adalah masa hidup responden dari lahir sampai ulang tahun terakhir pada saat dilakukan wawancara.

b. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis sejak responden lahir.

c. Riwayat keluarga dengan diabetes adalah kondisi keluarga yang dinyatakan positif menderita DM Tipe II dengan diagnosis oleh dokter baik orang tua responden maupun saudara kandung

(10)

2. Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi

a. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah pembagian berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat yang dihitung berdasarkan metode Antropometri.

b. Aktivitas fisik adalah seluruh kegiatan yang biasa dilakukan pasien DM Tipe II setiap hari selama 24 jam.

c. Tekanan darah tinggi adalah bila hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≤140 mmhg dan diastolik ≥90 mmhg.

d. Pola makan adalah kebiasaan makan makanan pokok, konsumsi sayuran/ buah dan jumlah konsumsi gula pasir.

e. Kebiasaan merokok adalah orang yang menghisap semua jenis rokok secara aktif dan rutin atau pernah merokok sebelumnya.

3.6.Metode Pengukuran a. Riwayat keluarga DM

0 = Tidak, jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang menderita DM 1 = Ya, jika bila salah seorang orang tuanya atau saudara kandung menderita

DM

b. Indeks Massa Tubuh (IMT), diukur dengan menggunakan metode antropometri yaitu membandingkan berat badan (kg) dengan tinggi badan kuadrat (m). Selanjutnya nilai IMT dikategorikan menjadi 2 yaitu :

(11)

1 = IMT berisiko, jika IMT pasien ≥ 25,0

c. Aktivitas fisik, menurut WHO adalah aktivitas fisik sedang sampai berat selama 30 menit atau lebih secara terus menerus dan dilakukan sekurang kurangnya 3(tiga) kali seminggu yang dapat meningkatkan kebugaran jasmani. Yang dibagi menjadi 2 kategori, berisiko dan tidak berisiko yaitu :

0 = Aktivitas fisik teratur, jika pasien melakukan aktivitas baik olahraga rutin 3 kali seminggu dan tidak ada jeda lebih dari 3 hari atau melakukan salah satu pekerjaan di industry ringan, mahasiswa, militer yang tidak sedang berperang, kerja rumah tangga, bersepeda, bowling, jalan cepat, berkebun, golf atau sepatu roda atau pekerjaan rumah yang dilakukan minimal 30 menit dalam sehari secara teratur.

1 = Aktivitas fisik tidak teratur, jika pasien tidak pernah olahraga atau olahraga ringan jika dilakukan 1-2 kali per minggu dan atau durasi kurang dari 30 menit setiap melakukan olahraga atau melakukan pekerjaan seperti pegawai kantor, guru, ahli hukum, sekretaris kantor, memancing atau supir. d. Tekanan darah tinggi, diukur menggunakan tensi meter dengan satuan mmhg.

Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah responden relaks (duduk atau berbaring selama 5 menit). pengelompokannya adalah sebagai berikut :

0 = Tekanan darah tidak berisiko, jika sistolik/diastolik < 140/90 mmHg 1 = Tekanan darah berisiko, jika sistolik/diastolik >140/90 mmHg

(12)

e. Pola makan, kebiasaan makan makanan pokok, mengkonsumsi sayuran/ buah dan jumlah konsumsi gula pasir yang di bagi menjadi 2 kategorikan sebagai berikut :

0 = Seimbang, jika pasien mengkonsumsi makanan pokok 3-4 porsi, sayuran/buah 3-5 porsi dan konsumsi gula pasir 2-3 porsi

1 = Tidak seimbang, jika pasien mengkonsumsi makanan pokok >4 porsi, sayuran/buah >5 porsi dan konsumsi gula pasir >3 porsi

f. Kebiasaan merokok, diukur dengan menanyakan pasien pada saat wawancara pernah merokok sebelumnya untuk semua jenis rokok, Selanjutnya kelompok dikategorikan kedalam 2 kategorikan yaitu :

0 = Tidak merokok, jika pasien tidak merokok atau sudah berhenti merokok sekurang-kurangnya 3 bulan terakhir

1 = Merokok, jika pasien merokok untuk semua jenis rokok. Tabel 3.4. Tabel Pengukuran Variabel Penelitian Nama Variabel Indikator Cara

Pengukuran Hasil Ukur

Skala Ukur Riwayat Keluarga 1 Kuesioner Tidak

Ya Ordinal IMT 1 Metode Antropometri IMT Tdk berisiko (<25,0) IMT berisiko ( ≥ 25,0) Ordinal Aktivitas Fisik 5 Kuesioner Teratur

Tidak Teratur Ordinal

Tekanan darah Tinggi 1 Tensimeter Tdk Berisiko (<140/90mmHg) Berisiko (>140/90mmHg) Ordinal

(13)

Tabel 3.4. (Lanjutan)

Pola makan 5 Kuesioner Seimbang

Tidak Seimbang Ordinal

Merokok 3 Kuesioner Tidak Merokok

Merokok Ordinal

2.7. Metode Analisis Data 2.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang menjelaskan setiap variabel penelitian dengan penyajian dalam tabel distribusi frekuensi. Adapun variabel independen yaitu umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, IMT, aktivitas fisik, tekanan darah, pola makan, merokok. Variabel dependen, yaitu kejadian Diabetes Mellitus.

2.7.2. Analisis Bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji Mc Nemar pada tingkat derajat kepercayaan 95%, yaitu α = 0,05 dengan ketentuan bila nilai p < 0,05 maka ada hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut. Selain itu digunakan juga perhitungan odds ratio (OR) yang digunakan untuk mengestimasi tingkat risiko antara variabel independen dengan variabel dependen.

Hasil interpretasi nilai OR adalah:

a. Bila OR = 1, artinya variabel independen bukan faktor risiko. b. Bila OR > 1, artinya variabel independen sebagai faktor risiko.

(14)

c. Bila OR < 1, artinya variabel independen sebagai faktor protektif (Sastroasmoro, 2011).

2.7.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel dependen dengan seluruh variabel independen yang diteliti, sehingga diketahui variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian DM tipe II dengan menggunakan uji

conditional logistic regression. Variabel independen yang diuji pada analisis multivariat adalah variabel yang pada hasil analisis bivariat mendapat nilai p < 0,25.

Selanjutnya untuk mengetahui kasus dengan DM tipe II yang dapat dicegah dengan memperbaiki faktor resiko yang dominan maka dilakuka perhitungan

Population Attributable Risk (PAR), yaitu : PAR =

Keterangan:

P = Proporsi kasus yang mempunyai faktor terpajan r = Rasio Odds variabel yang paling dominan.

(15)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1. Analisis Univariat

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Karakteristik Responden Meliputi Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan di Rumah

Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2016

Variabel Kejadian DM Tipe II Total Kasus Kontrol N % n % n % Umur 25-35 tahun 9 19,6 9 19,6 18 19,6 36-45 tahun 23 50,0 23 50,0 46 50,0 46-55 tahun 11 23,9 11 23,9 22 23,9 56-65 tahun 3 6,5 3 6,5 6 6,5 Jenis Kelamin Laki-laki 20 43,5 20 43,5 40 43,5 Perempuan 26 56,5 26 56,5 52 56,5 Pendidikan Tidak sekolah 1 2,2 1 2,2 2 2,2 SD 6 13,0 6 13,0 12 13,0 SMP 9 19,6 7 15,2 16 17,4 SMA 21 45,7 21 45,7 42 45,7 D3/S1 9 19,6 11 23,9 20 21,7 Pekerjaan Pegawai negeri 11 23,9 14 30,4 25 27,2 Wiraswasta 8 17,4 9 19,6 17 18,5 IRT 17 36,9 13 28,3 30 32,6 Petani 9 19,6 9 19,6 18 19,6 Supir 1 2,17 1 2,17 2 2,17

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus dan kontrol mayoritas responden memiliki umur 36-45 tahun, masing-masing sebanyak 23 orang (50%). Pada kelompok kasus dan kontrol masing-masing terdapat sebanyak 20 (43,5%)

(16)

berpendidikan SMA, masing-masing terdapat sebanyak 21 orang (45,7%). Pada kelompok kasus mayoritas responden memiliki pekerjaan pegawai negeri sebanyak 14 orang (30,4%) dan pada kelompok kontrol mayoritas responden memiliki pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 17 orang (36,9%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pasangan Kasus dan Kontrol di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2016

Kasus Kontrol Total E+ E- N % n % n % Riwayat keluarga DM Ya (E+) 9 19,6 15 32,6 24 52,1 Tidak (E-) 15 32,6 7 15,2 22 47,8 IMT Berisiko (E+) 12 26,0 21 45,7 33 71,7 Tidak berisiko (E-) 7 15,2 6 13,0 13 28,3 Aktivitas fisik

Tidak teratur (E+) 11 23,9 17 36,9 28 60,9 Teratur (E-) 3 6,52 15 32,6 18 39,1 Tekanan darah

Berisiko (E+) 16 34,8 8 17,4 24 52,1 Tidak berisiko (E-) 11 23,9 11 23,9 22 47,8 Pola makan

Tidak seimbang (E+) 14 30,4 22 47,8 36 78,3 Seimbang (E-) 4 8,7 6 13,0 10 21,7 Merokok

Merokok (E+) 10 21,7 4 8,7 14 30,4 Tidak merokok (E-) 6 13,0 26 56,5 32 69,6 Keterangan : E+ : Variabel yang terpapar

E- : Variabel yang tidak terpapar

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari jumlah pasangan kasus kontrol terdapat 15 (32,6%) responden yang memiliki riwayat keluarga DM pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut tidak memiliki riwayat keluarga DM, selanjutnya terdapat 15 (32,6%) yang tidak memiliki riwayat keluarga DM pada

(17)

kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki riwayat keluarga DM.

Dari jumlah pasangan kasus kontrol terdapat 21 (45,7%) responden yang berisiko IMT pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut tidak berisiko IMT, selanjutnya terdapat 7 (15,2%) responden yang tidak berisiko IMT pada kelompok kasus tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut berisiko IMT.

Dari jumlah pasangan kasus kontrol terdapat 17 (36,9%) responden yang memiliki aktivitas fisik tidak teratur pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki aktivitas fisik yang teratur, selanjutnya terdapat 3 (6,52%) responden yang memiliki aktivitas fisik teratur pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki aktivitas fisik yang tidak teratur.

Dari jumlah pasangan kasus kontrol terdapat 8 (17,4%) responden dengan tekanan darah yang berisiko pada kelompok kasus tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki tekanan darah yang tidak berisiko, selanjutnya terdapat 11 (23,9%) responden dengan tekanan darah yang tidak berisiko pada kelompok kasus tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki tekanan darah yang berisiko.

Dari jumlah pasangan kasus kontrol terdapat 22 (47,8%) responden dengan pola makan tidak seimbang pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari

(18)

responden dengan pola makan seimbang pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki pola makan tidak seimbang.

Dari jumlah pasangan kasus kontrol terdapat 4 (8,7%) responden yang merokok pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut tidak merokok, selanjutnya terdapat 6 (13%) responden yang tidak merokok pada kelompok kasus, tetapi kelompok kontrol dari pasangan tersebut memiliki kebiasaan merokok.

4.2. Analisis Bivariat dengan Uji McNemar

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh satu variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji Mc Nemar pada tingkat kemaknaan α < 0,05.

Tabel 4.3 Faktor Risiko Terhadap Kejadian Penyakit Diabetes Melitus Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2016

Kasus Kontrol p OR 95%CI E+ E- N % n % Riwayat keluarga DM Y Ya (E+) 9 19,6 15 32,6 1,000 1,000 0,455-2,195 Tidak (E-) 15 32,6 7 15,2 IMT Berisiko (E+) 12 26,0 21 45,7 0,008 * 3,000 1,228-8,353 Tidak berisiko (E-) 7 15,2 6 13,0

Aktivitas fisik

Tidak teratur (E+) 11 23,9 17 36,9 0,017

* 5,666 1,639-30,180 Teratur (E-) 3 6,52 15 32,6

Tekanan darah

Berisiko (E+) 16 34,8 8 17,4

0,491 0,727 0,253-1,985 Tidak berisiko (E-) 11 23,9 11 23,9

(19)

Tabel 4.3 (Lanjutan) Pola makan

Tidak seimbang (E+) 14 30,4 22 47,8 0,004

* 5,5 1,867-21,955

Seimbang (E-) 4 8,7 6 13,0 Merokok

Merokok (E+) 10 21,7 4 8,7

0,527 0,667 0,138-2,811 Tidak merokok (E-) 6 13,0 26 56,5

Keterangan : *Signifikan (p<0,05)

E+ : Variabel yang terpapar E- : Variabel yang tidak terpapar 4.2.1 Pengaruh Riwayat Keluarga DM terhadap Kejadian DM Tipe II

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 1,000 maka dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh riwayat keluarga DM terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 1 dengan 95%CI 0,455-2,195).

4.2.2 Pengaruh IMT terhadap Kejadian DM Tipe II

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,008 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh IMT terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 3 dengan 95%CI 1,228,8,353) artinya responden yang memiliki IMT berlebih 3 kali kecenderungannya berisiko dibanding dengan yang tidak memiliki IMT berlebih. 4.2.3 Pengaruh Aktivitas Fisik terhadap Kejadian DM Tipe II

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,017 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 5,7 dengan 95%CI 1,639-30,180) artinya responden yang melakukan aktifitas fisik tidak teratur 5,7 kali berisiko terkena DM Tipe II dibanding dengan yang teratur melakukan aktifitas fisik.

(20)

4.2.4 Pengaruh Tekanan Darah terhadap Kejadian DM Tipe II

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,491 maka dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh tekanan darah terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 0,7 dengan 95%CI 0,253-1,985).

4.2.5 Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian DM Tipe II

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,004 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh pola makan terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 5,5 dengan 95%CI 1,867-21,955) artinya responden yang pola makannya tidak seimbang 5,5 kali berisiko terkena DM tipe II dibandingkan dengan responden yang pola makannya sembang.

4.2.6 Pengaruh Merokok terhadap Kejadian DM Tipe II

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,527 maka dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh merokok terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 0,7 dengan 95%CI 0,138-2,811).

4.1.3. Analisis Multivariat dengan Uji Conditional Logistic Regression

Variabel yang dimasukan dalam uji conditional logistic regression adalah variabel yang mempunyai nilai p < 0,25 dimana hasil seleksi variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut.

(21)

Tabel 4.4 Hasil Seleksi Variabel yang Dapat Masuk Dalam Model Conditional Logistic Regression

No. Variabel p value Nilai Ketetapan Pemodelan

1. Riwayat keluarga DM 1,000 p > 0,25 Tidak masuk pemodelan 2. IMT 0,008 p < 0,25 Masuk pemodelan 3. Aktivitas fisik 0,017 p < 0,25 Masuk pemodelan 4. Tekanan darah 0,491 p > 0,25 Tidak masuk pemodelan 5. Pola makan 0,004 p < 0,25 Masuk pemodelan 6. Merokok 0,527 p > 0,25 Tidak masuk pemodelan

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari seluruh variabel independen terdapat tiga variabel yang dimasukkan ke dalam model yaitu variabel IMT, aktivitas fisik, dan pola makan. Variabel yang tidak dapat dimasukkan dalam model adalah variabel riwayat keluarga DM, tekanan darah, dan merokok, hal ini disebabkan karena variabel ini memiliki nilai p > 0,25.

Tabel 4.5 Hasil Analisis Multivariat dengan Conditional Logisitic Regression Faktor Risiko Kejadian DM Tipe II

Variabel Model 1 Model 2

OR(95%CI) OR(95%CI) IMT 0,7 (0,134-4,081) - Aktivitas fisik 2,8 (1,127-7,068) 2,8 (1,129-7,069) Pola makan 6,04 (1,080-33,864) 4,7 (1,843-12,032)

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa analisis multivariat dengan uji conditional logistic regression terdiri atas 2 model. Dari hasil analisis tersebut (model 2) maka variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian DM Tipe II di Rumah Sakit

(22)

pola makan (OR = 4,7 95%CI 1,843-12,032) artinya responden yang pola makannya tidak seimbang 4,7 kali kecenderungannya menderita penyakit DM tipe II dibandingkan dengan responden yang pola makannya seimbang.

Selanjutnya untuk memperoleh nilai Population Attributable Risk (PAR) untuk variabel pola makan dapat dihitung sebagai berikut dimana nilai p (perkiraan prevalensi paparan dalam populasi) sebesar 0,39 yaitu seperti berikut ini:

100 ) 1 ( 1 ) 1 ( x OR p OR p PAR     100 ) 1 7 , 4 ( 39 , 0 1 ) 1 7 , 4 ( 39 , 0 x PAR     100 44 , 2 44 , 1 x PAR 100 59 , 0 x PAR 59  PAR

Hal ini menunjukkan bahwa kejadian DM Tipe II dapat dicegah sebesar 59% dengan pola makan yang seimbang.

(23)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Riwayat Keluarga Penderita DM dengan Kejadian Penyakit DM Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara

Hasil uji bivariat diperoleh nilai p= 1,000 (OR = 1 dengan 95% CI 0,455-2,195)maka dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh riwayat keluarga DM terhadap kejadian DM Tipe II.

Dari hasil penelitian di ketahui bahwa tidak ada pengaruh secara signifikan antara riwayat keluarga menderita DM dengan kejadian penyakit DM tipe II. Riwayat keluarga menderita DM tidak merupakan faktor resiko. Berdasarkan hasil wawancara, responden tidak mengetahui apakah keluarga ada yang menderita DM atau tidak, karena sudah meninggal dan tidak pernah memeriksakan diri.

Faktor riwayat keluarga menderita DM merupakan salah satu faktor resiko penyakit DM, namun kejadian penyakit DM ini dapat juga terjadi pada penderita yang tidak memiliki riwayat keluarga DM apabila tidak menjalankan pola hidup sehat dengan pola makan seimbang dan aktifitas fisik teratur.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan resiko penderita DM bila salah satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orang tua memiliki DM maka risiko untuk menderita D M adalah 75% (Diabates UK, 2010). Risiko untuk mendapatkan DM

(24)

kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM adalah 10% dan 90% jika yang menderita adalah saudara kembar identik (Diabetes UK, 2010). Bagi masyarakat yang memiliki keluarga yang menderita DM, harus segera memeriksa kadar gula darahnya karena risiko menderitaDM besar.

Seseorang yang menderita diabetes mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Riwayat keluarga juga memiliki peranan penting sebagai pencetus timbulnya pradiabetes, sekitar 40% penderita diabetes terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap diabetes dan 60% sampai 90% kembar identik merupakan penyandang diabetes (Arisman, 2010). Menurut Codario (2005) jika seseorang memiliki saudara yang menderita diabetes maka akan mempunyai risiko sebesar 40% untuk mengalami pradiabetes dan diabetes.

5.2 Pengaruh IMT dengan Kejadian Penyakit DM Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara

Hasil analisis pengaruh IMT terhadap kejadian penyakit DM tipe II diperoleh nilai (OR = 0,7 dengan 95%CI 0,134-4,081) artinya tidak ada pengaruh IMT terhadap kejadian DM tipe II.

Berdasarkan hasil penelitian didapat pada kasus 13 orang penderita DM tipe II tidak memiliki IMT berlebih 9 orang diantaranya memiliki riwayat keluarga menderita DM dengan proporsi 69%, , hal ini dikarenakan faktor riwayat keluarga juga memiliki peranan penting sebagai pencetus timbulnya diabetes, sekitar 40% penderita diabetes terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap diabetes. Sedangkan pada kontrol 27 orang yang tidak

(25)

menderita DM tipe II dan tidak memiliki IMT berlebih 13 orang diantaranya memiliki riwayat keluarga menderita DM dengan proporsi 48 %. Peningkatan resiko terjadinya DM tidak hanya pada responden yang memiliki IMT berlebih dan faktor riwayat keluarga menderita DM, tetapi juga dapat terjadi pada responden yang memiliki IMT normal ini disebabkan karena perubahan gaya hidup yang kurang aktif atau kurang aktifitas sehingga terjadinya resistensi insulin. Kurangnya aktifitas fisik tidak sebanding dengan dampak terhadap obesitas, tetapi hal tersebut dapat menyebabkan otot otot tidak sensitive terhadap efek insulin (Nathan, 2010).

Penelitian ini tidak sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seprti penelitian yang dilakukan Hu et al., 2004 menunjukkan obesitas merupakan faktor risiko kejadian diabetes tipe II, dimana IMT 26 sampai 29,9 memilki risiko 1,72 kali mengalami diabetes tipe II dibanding dengan orang yang memilki IMT normal dan IMT ≥ 30 memilki risiko 5,68 kali mengalami diabetes tipe 2 dibanding dengan orang yang memiliki IMT normal.

5.3 Pengaruh Aktifitas Fisik dengan Kejadian Penyakit DM Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,017 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 2,8 dengan 95%CI 1,192-7,069) artinya responden yang tidak teratur

(26)

melakukan aktifitas fisik 2,8 kali berisiko terkena DM tipe II dibanding dengan yang teratur melakukan aktifitas fisik.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwasanya penderita diabetes masih banyak yang tidak melakukan aktivitas fisik secara teratur yaitu dalam 1 minggu kurang dari 3x atau kurang dari 30 menit, dan kebanyakan mereka hanya melaksanakan 1x seminggu, bahkan ada yang tidak melakukan olah raga. Olahraga dapat menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih sensitif terhadap insulin, sebagai hasilnya dapat menyimpan dan menggunakan glukosa dengan lebih efektif, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa, keadaan ini dapat berlanjut beberapa ja m setelah melakukan olah raga.

Aktiftas fisik yang dilakukan secara teratur sangat penting selain untuk menghindari kegemukan, juga dapat menolong mencegah terjadinya penyakit akibat pola hidup seperti diabaetes, serangan jantung dan stroke (Johnson, 1998).Pada waktu melakukan aktifitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada waktu tidak melakukan aktifitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa darah akan turun. Melalui aktifitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga dapat masuk kedalam sel untuk dibakar menjadi tenaga (Soegondo, 2010).

Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang

(27)

yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun didalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes,2010).

Diberikan juga edukasi tentang pentingnya berolah raga. Olah raga yang dianjurkan pada pasien dengan hipertensi yaitu tipe olah raga aerobik yaitu

jogging atau berjalan kaki selama minimal 30 menit dengan frekuensi 5-7 kali per minggu. Pada pasien dengan prediabetes belum memerlukan terapi farmakologi, dengan modifikasi gaya hidup yang sesuai dan dilakukan secara disiplin akan mengurangi resiko komplikasi selanjutnya.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wandasari (2013) yaitu ada hubungan antara aktifitas fisik dan kejadian DM tipe II. Seseorang yang teratur melakukan olah raga yaitu 3 kali/mingguselama minimal 30 menitdapat menurunkankejadian DM tipe Iisebesar 3,21 kali dibandingkan dengan yang tidak melakukan aktifitas fisik. Hasil penelitian Yusmayati (2008) yaitu orang yang kurang melakukan aktifitas fisik 3,2 kali lebih mudah terkena DM tipe II dibandingkan dengan orang yang sering melakukan aktifitas fisik.

Penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Prevention Program (2002) di Amerika Serikat terhadap 3.234 orang yang berisiko DM, dengan intervensi pola

(28)

untuk melakukan latihan fisik paling sedikit 150 menit dalam seminggu, sedangkan Diabetes Australia menganjurkan latihan fisik 30 menit minimal 3 kali seminggu seperti jalan kaki, jogging, berenang dan aerobik (Hotma,2014).

5.4 Pengaruh Tekanan Darah dengan Kejadian Penyakit DM Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,491 (OR = 0,7 dengan 95%CI 0,253-1,985)maka dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh tekanan darah terhadap kejadian DM Tipe II.

Disfungsi endotel bisa menjadi salah satu patofisiologi umum yang bisa menjelaskan hubungan kuat antara hipertensi dengan kejadian penyakit DM. Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh hipertensi terhadap kejadian DM disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit yang menyebabkan proses pengangkutan glukosa menjadi terganggu. (Conen dkk,2007).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai resiko 1,5 kali lebih besar terkena DM disbanding individu yang tidak hipertensi. Trisnawati (2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara hipertensi dengan kejadian DM yaitu penderita hipertensi 6,85 kali beresiko terkena DM dibanding yang tidak hipertensi.

Terjadinya hipertensi pada penderita DM dikaitkan dan hampir sama proses terjadi keduanya yaitu melalui suatu keadaan yang disebut sindroma metabolik satu

(29)

penelitian memperoleh hasil dimana dari sejumlah total 427 pasien hipertensi yang diteliti, 46 persen diantaranya adalah pasien DM, pasien cenderung berusia lebih tua, indeks masa tubuh yang lebih tinggi dan hiperlipidemia, cenderung akan mengalami komplikasi kardiovaskular dan gagal ginjal, opname lebih lama di Rumah Sakit (Webber, 2009).

Prevalensi hipertensi pada penderita DM secara keseluruhan adalah 70%, Pada laki laki 32%, wanita 45% pada masyarakat India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37% dan pada orang asia sebesar 35%, hal ini menggambarkan bahwa hipertensi pada DM akan sering ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes (Weir et al. 1999).

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2009) dengan kasus kontrol study, kontribusi hipertensi dengan terjadinya DM komplikasi stroke diperoleh hasil OR=8,574. Penelitian Kaban dkk (2005) disain kasus kontrol dengan sebanyak 45 responden yang diteliti hasil yang didapatkan tidak ada hubungan hipertensi dengan kejadian DM dimana diperoleh nilai chi square nilai p=0,073 (P > 0,05).

5.5 Pengaruh Pola Makan dengan Kejadian Penyakit DM Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,004 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh pola makan terhadap kejadian DM Tipe II. Hasil analisis diperoleh nilai (OR = 4,7 dengan 95%CI 1,843-12,032) artinya responden yang pola makannya tidak

(30)

Dari hasil wawancara denga responden didapat bahwa responden dengan DM tipe II memiliki kebiasaan makan lebih dari 3 kali sehari, begitu juga dengan lauk protein hewani dan nabati dan responden jarang memakan sayur sayuran dan buah buahan. Kurangnya konsumsi serat seperti sayur dan buah dapat menyebabkan proses absorbsi glukosa sangat cepat sehingga dapat meningkatkan kadar gula darah. Sedangkan kan sayur dan buah adalah makanan yang dapat memperlambat absorbsi glukosa sehingga dapat menurunkan kadar gula darah (Almatsier,2010)

Aceh sangat terkenal dengan kulinernya yang sangat kental khas Timur Tengah dan India terutama makanan yang berlemak terbuat dari santan kelapa dan kue kue yang sangat manis terbuat dari gula. Kebiasaan masyarakat aceh menghidangkan makanan tersebut pada hari hari besar seperti hari raya atau pada saat perayaan pesta. Begitu pula dengan minuman, kebiasaan masyarakat aceh adalah minum manis baik itu teh maupun kopi .Dari hasil wawancara dengan responden pria didapatkan juga bahwa mereka memiliki kebiasaan duduk di warung kopi bisa sampai 2-3 jam dan 1-2 kali dalam sehari, biasa mereka menikmati kopi bisa sampai 3-4 gelas perharinya. Begitu pula dengan kebiasaan makan makanan khas aceh seperti kari kambing yang biasanya hanya pada hari jumat saja, tapi pada saat ini penjual kari kambing sudah ada pada setiap harinya dan semakin banyak warung yang menyediakan menu kari kambing.

Diabetes UK(2010) menganjurkan pola makan yang teratur sebanyak 3 kali sehari bahkan lebih dengan asupan kalori yang seimbang dan dengan jadwal yang teratur. Keteraturan makan sangat penting dalam mengkondisikan sekresi insulin

(31)

teratur dan konsisten. Bila hal ini dapat berlangsung dengan baik maka ketahanan pankreas untuk menyekresi insulin dapat optimal (Hotma, 2014).

5.5 Pengaruh Merokok dengan Kejadian Penyakit DM Tipe II di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,527 (OR = 0,7 dengan 95%CI 0,138-2,811) maka dapat disimpulkan bahwa merokok tidak memengaruhi kejadian DM Tipe II.

Tidak ada pengaruh secara signifikan kebiasaan merokok terhadap kejadian DM. Terpapar asap rokok adalah merokok atau sering berada di dekat perokok. Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM Tipe 2. Asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin) merangsang kelenjar adrenal dan da pat meningkatkan kadar glukosa. Penelitian oleh Houston mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan (Irawan,2010).

Berdasarkan hasil di lapangan bahwa responden laki-laki memiliki kebiasaan merokok dengan mengkonsumsi 10-20 bantang per hari, sedangkan penderita DM perempuan tidak satupun yang merokok dikarenakan fakt or agama. Sebatang rokok dapat menurunkan khasiat insulin tubuh berkurang

(32)

resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan risiko terkena DM (Wicaksono, 2011).

(33)

84

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

1. Variabel yang mempengaruhi kejadian penyakit DM tipe II adalah pola makan dan aktifitas fisik.

2. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian DM tipe II adalah pola makan dengan OR = 4,7 yang berarti bahwa responden yang pola makannya tidak seimbang lebih mudah 4,7 kali terkena DM tipe II dari pada responden yang pola makannya seimbang.

6.2 Saran

1. Bagi pihak Rumah Sakit agar dapat meningkatkan pengetahuan pasien dan pendamping pasien mengenai pola makan dan gizi seimbang dan aktifitas fisik yang baik dilakukan oleh pasien sebagai upaya pencegahan penyakit DM tipe II dan upaya terjadinya komplikasi. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan misalnya dengan menayangkan video edukasi kesehatan melalui media televisi, menempelkan poster poster, menyediakan majalah dan booklet diruang tunggu pasien.

2. Bagi pihak Dinas Kesehatan agar lebih meningkatkan lagi upaya pencegahan Penyakit DM di tingkat kecamatan baik dengan panyuluhan atau penyebaran

(34)

85

seimbang dapat juga dengan melibatkan petugas Puskesmas dan tokoh masyarakat, baik pemuka agama ataupun kepala desa.

3. Bagi Puskesmas ditiap kecamatan agar melaksanakan program skrining diabetes di masyarakat agar dapat mendeteksi dini penderita DM sehingga cepat mendapatkan pengobatan dan dapat mencegah komplikasi diabetes

4. Disarankan kepada semua masyarakat usia 20 tahun keatas atau yang memiliki riwayat keluarga DM untuk secara dini menerapkan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan gizi seimbang dan melakukan aktifitas fisik teratur.

Gambar

Gambar 3.1. Skema Rancangan Case Control
Tabel 3.1 Besar Sampel Berdasarkan Odds Ratio Penelitan Terdahulu
Tabel 3.2. Uji Validitas Instrumen
Tabel 3.4.  Tabel Pengukuran Variabel Penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa dalam penetapan mahar masyarakat Desa Tangga Besi Simpang Kiri Kota Subulussalam ditetapkan oleh orang tua perempuan sendiri, untuk

Kesimpulan dari penelitian ini adalah larutan ekstrak daun Jati Belanda dengan dosis 2,6 mg/0.25ml, 5,34 mg/0.25ml dan 8,0 mg/0.25ml ekstrak daun jati belanda, dengan

hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup NOC :  Cardiac Pump effectiveness  Circulation Status  Vital Sign Status Kriteria Hasil: o Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan

Alat yang digunakan : Timbangan Ekstraksi Ampas Ember Plastik Labu Ukur 1001110 ml Corong Kertas Saring Gelas Tapis Tabung Pol 400 ml Polarimeter!Sacharomat. Bahan

Bila anda berpendapat bahwa untuk komponen risiko investasi jalan tol yang ada pada tahap perijinan administrasi dapat mengakibatkan kenaikan biaya komponen risiko ini sebesar

Fasilitas yang akan tersedia pada Yoga House for Children antara lain, lobby digunakan sebagai tempat untuk menunggu, receptionis dapat memudahkan bagi orang tua

Pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan materi adalah pendekatan Contekstual Teaching Learning (CTL). Pendekatan CTL bertujuan untuk menggali pengetahuan peserta didik

Subyek penelitian adalah orang – orang yang dapat memberikan sebuah informasi tentang sesuatu yang sedang di teliti. Peneliti akan memfokuskan penelitiannya