• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN, Nephrotic Syndrome) merupakan salah satu penyakit ginjal terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 atau dipstik > 2+) yang menyebabkan terjadinya hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia, dengan kadar < 2,5 g/dl) dan karenanya, mengakibatkan terjadinya udem. Sindrom nefrotik dapat disertai dengan terjadinya hiperkolesterolemia (kolesterol >200 mg/dl), hiperlipidemia, dan hiperlipiduria (Alatas dkk., 2005; Rudolph dkk., 2006).

Penyakit ini ditemukan 90% pada anak-anak dibandingkan dewasa. Angka kejadian penyakit SN adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak yang berumur kurang dari 15 tahun. Puncak onset terjadi pada usia 2-3 tahun. Diperkirakan 50% terjadi pada usia 1-4 tahun, 75% kurang dari 10 tahun (Wirya, 2002).

Sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua anak dari golongan ras mana pun, walaupun realita yang terjadi adalah ras kulit hitam lebih jarang terkena sindrom nefrotik bila dibandingkan dengan ras kulit putih, dan anak laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan anak perempuan (rasio 2:1). Kedua faktor risiko di atas masih belum diketahui dan ditemukan hubungannya sebagai penyebab sindrom nefrotik secara langsung (McBryde dkk., 2001).

(2)

Sindrom nefrotik biasanya terjadi karena kelainan glomerular dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sindrom nefrotik primer / idiopatik dan sindrom nefrotik sekunder. Penyebab primer umumnya idiopatik atau belum diketahui dengan pasti dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik sedangkan penyebab sekunder berasal dari luar ginjal dan biasanya berhubungan dengan penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, henoch schonlein purpura, diabetes melitus, post infeksi virus hepatitis B, efek obat anti-inflamasi non-steroid, keganasan dan lain-lain (McBryde dkk., 2001; Rudolph dkk., 2006; Gardillo, 2009). Patofisiologi dari SN belum diketahui secara pasti. SN diduga berhubungan dengan kelainan imunologik yang mengakibatkan permeabilitas glomerulus meningkat terhadap protein sehingga terjadi proteinuria (Wirya, 2002).

Pasien SN primer secara klinis dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (a) Kongenital, (b) Sensitif Steroid, dan (c) Resisten Steroid (Wirya, 2002). Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal, nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif (Gunawan, 2006). Ada juga yang membagi menjadi 3 kelompok, yaitu SN kelainan minimal (SNKM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan nefropati membranosa (NM). SNKM merupakan kelainan yang terbanyak ditemukan pada anak-anak, yaitu kurang lebih 85% kasus, sedangkan GSFS berkisar sekitar 10%-15% dari seluruh kasus SN, sedangkan NM yang ditandai dengan penipisan dinding kapiler glomerulus berkisar sekitar 4% kasus (Gardillo, 2009). Namun penelitian yang

(3)

dilakukan di Jakarta, pada 364 pasien sindrom nefrotik yang dibiopsi didapatkan 44,2% menunjukkan kelainan minimal. (Wirya, 1992)

Pilihan utama dalam pengobatan sindrom nefrotik hingga saat ini adalah prednison. International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, diberikan dalam dosis terbagi dua atau tiga kali sehari, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari atau 1,5 mg/kgbb/hr dengan dosis tunggal pagi hari secara selang sehari selama 4 minggu.

Dengan pengobatan inisial standar ini, dalam 2 minggu pertama telah terjadi remisi pada 80% kasus, sedangkan setelah pengobatan prednison 4 minggu pertama remisi ditemukan pada 95% kasus. Bila setelah 4 minggu pemberian prednison dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien tersebut dilabel sebagai SNRS (Sindrom nefrotik resisten steroid) (Haycock, 2003; Wirya, 2002). Namun, dengan pengobatan standar ini juga, banyak pasien kambuh setelah remisi, sehingga membutuhkan terapi steroid lebih lanjut sesuai dengan status penyakitnya. Sekitar 80% anak kambuh dalam satu tahun pertama apabila prednison diberikan dalam 4 minggu, 60% kambuh sesudah pengobatan 8 minggu, dan 30% kambuh apabila prednison diberikan selama 12 minggu (Wirya, 2002).

Sebagian besar anak dengan SN memberikan respon terhadap kortikosteroid. Walaupun dilaporkan bahwa pilihan utama pengobatan SN adalah prednison, namun demikian dikatakan juga penggunaan kortikosteroid memiliki efek samping seperti

(4)

osteoporosis, obesitas, gangguan pertumbuhan, hipertensi, dan diabetes melitus (ISKDC, 1981).

Penderita SN berisiko mengalami perubahan nilai pada faktor-faktor pembentuk tulang antara lain kalsium dan vitamin D yang disebabkan oleh perubahan biokimia yang disebabkan oleh penyakit ginjal itu sendiri dan terapi steroid. Penelitian yang dilakukan oleh Basiratnia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa BMD (Bone Mineral Density) pada pasien SN secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan anak normal dan penurunan itu berhubungan dengan dosis steroid kumulatif yang lebih tinggi. Dilaporkan pula bahwa insiden osteoporosis yang diinduksi oleh steroid terjadi pada 30-50% pada pasien dengan terapi steroid jangka lama. Penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dkk., pada tahun 2004 menunjukkan bahwa terapi glukokortikoid meningkatkan jumlah osteoklas setelah 7-10 minggu sejak dimulainya terapi steroid, dimana osteoklastogenesis meningkat yang diakibatkan oleh efek antiapoptik dari osteoklas matur, dan peningkatan ini berhubungan dengan berkurangnya kepadatan tulang.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dipecahkan pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah hubungan dosis kumulatif steroid terhadap densitas tulang pada pasien sindrom nefrotik?

(5)

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pengaruh dosis kumulatif steroid untuk penderita sindrom nefrotik pernah dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Pada tahun 2006, Basiratnia dkk., melakukan studi kohort konsekutif. Dilakukan pada 37 penderita dari usia 4 sampai dengan 21 tahun dan 37 individu sehat dimana usia dan jenis kelamin disesuaikan, sebagai kelompok kontrol. Pada awal penelitian semua penderita memiliki densitas tulang dan memiliki GFR (Glomerular filtration rate) yang normal. Semua penderita mendapat terapi prednison (60mg/m2/hari selama empat minggu diikuti dengan dosis tunggal 40mg/m2/48 jam selama 6 minggu.

Penderita yang mengalami kambuh diobati dengan prednison (60mg/m2/hr) sampai urin bebas protein selama tiga hari berturut-turut, kemudian dilanjutkan dengan 40mg/m2 setiap hari selama 6-8 minggu. Obat lain seperti levamisol digunakan oleh 18 pasien, siklofosfamid pada 8 pasien dan siklosforin digunakan oleh 7 pasien. Tidak ada satupun pasien yang mendapat kalsium atau vitamin D. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa persentasi densitas mineral tulang dan konten mineral tulanglebih rendah secara signifikan dibandingkan pada kelompok kontrol.

Gulati dkk., pada tahun 2005 pernah melakukan suatu studi retrospektif follow up

longintudinal pada 88 penderita sindrom nefrotik idiopatik untuk mengevaluasi penurunan densitas tulang dan peranan pemberian suplemen kalsium dan vitamin D pada peningkatan densitas tulang. Subyek dibagi atas dua kelompok, yakni kelompok pertama mendapat suplementasi kalsium dan vitamin D dan kelompok kedua mendapatkan plasebo. Pada penelitian ini tidak disebutkan cara randomisasi, serta cara

(6)

perhitungan sampel. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penurunan kepadatan tulang berkorelasi dengan total dosis steroid dan terdapat peningkatan densitas tulang secara bermakna (0,607±0,013g/cm2) pada penderita yang diberi suplementasi kalsium dan vitamin D dibandingkan dengan densitas tulang pada awal penelitian (0,561±0,010g/cm2) dimana p<0,0001. Kesimpulan penelitian ini adalah anak-anak yang menggunakan dosis steroid yang lebih besar memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan densitas tulang. Suplemen kalsium dan vitamin D secara signifikan meningkatkan densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik idiopatik.

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No Peneliti Tahun Pasien Metode Hasil

2 Basiratnia dkk.

2006 Pasien anak dengan sindrom nefrotik, n1=n2=37 Kontrol kasus BMD penderita sindrom nefrotik secara signifikan lebih rendah daripada kelompok kontrol 3 Gulati

dkk.

2005 Pasien anak dengan sindrom nefrotik idiopatik RCT Terdapat peningkatan rata-rata BMD pada pasien SN yang mendapat kalsium 4 Lettgen dkk.

1994 Pasien anak dengan sindrom nefrotik

Potong lintang

Terdapat hubungan korelasi negatif, r=0,5

(7)

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dosis kumulatif steroid terhadap densitas mineral tulang.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gambaran densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik. b. Untuk mengetahui korelasi dosis kumulatif steroid terhadap densitas mineral

tulang pada penderita sindrom nefrotik

c. Mengetahui hubungan densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik remisi dan sindrom nefrotik kambuh.

d. Mengetahui titik potong densitas mineral tulang dan dosis kumulatif steroid untuk memprediksi kejadian osteopenia dan osteoporosis.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk penderita

Bila diketahui gambaran kejadian penurunan densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik dan hubungan dosis kumulatif steroid terhadap densitas mineral tulang pada pasien sindrom nefrotik maka risiko kejadian osteoporosis pada penderita SN dapat diprediksi lebih dini.

2. Manfaat untuk pengabdian masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam menetapkan standar pelayanan medis mengenai penanganan pada penderita sindrom

(8)

nefrotik dalam upaya mendeteksi secara dini kejadian osteoporosis yang diinduksi oleh steroid.

3. Manfaat untuk keilmuwan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi ilmiah dalam bidang nefrologi pada umumnya dan dalam hal ini mendeteksi secara dini risiko kejadian osteoporosis yang diinduksi steroid pada anak dengan SN.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dra untuk otak berasal dari sumber visual dan otak mempunyai tanggapan cepat dan alami terhadap simbol, ikon dan gambar yang seder- hana dan kuat. Bersumber dari keyakinan

Kegiatan Buka Bersama With UPKKI (BUTIQ) ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 November 2012 dengan tema “ Menjalin Manisnya Ukhuwah di Antara Keluarga Mahasiswa PGSD UNNES UPP

Alkohol dan Minyak pada Pembuatan Biodiesel dari Limbah Lemak Sapi dengan Menggunakan Katalis Heterogen CaO dari Limbah Kulit Telur Ayam”.. Departemen

Jika pada hasil simulasi frekuensi kerja yang dianalisis hanya dibatasi pada range 1-2.7 GHz dengan tujuan untuk membandingkan hasil simulasi dengan hasil pengukuran

Azkenik, elkarrizketak, ikerketaren diseinuan aurreikusitako bestelako edukiez informazioa lortzeko planteatu dira ere, azaleratu nahi izan dugun langile esperientzia,

1) Putusan sela yakni putusan yang berkaitan dengan tindakan- tindakan yang harus dilakukan dipersidangan yang belum menyentuh pokok perkara. Putusan sela pun