• Tidak ada hasil yang ditemukan

LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

USAID LESTARI

MENGEMBALIKAN KEJAYAAN

KOMODITAS PALA

Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

PENGANTAR

Dalam wikipedia Indonesia disebutkan bahwa Pala (Myristica Fragrans) adalah salah satu jenis tumbuhan (pohon) yang berasal dari Kepulauan Banda, Maluku. Selanjutnya tana- man pala terus menyebar dan berkembang di Sulawesi Utara sampai ke Aceh1. Sebagai bagian dari rempah-rempah yang bernilai ting- gi, maka sejak era Romawi buah dan biji pala telah menjadi komoditas perdagangan yang penting bagi masyarakat banda khususnya. Menurut ensiklopedia karya Plinius "Si Tua", pala tersebar luas di daerah tropika lain seperti Mauritius dan Karibia (Grenada).

Indonesia sendiri merupakan negara pengeks-

por biji pala dan fuli terbesar di pasaran dunia. Sampai saat ini diperkirakan 85% kebutu- han pala di pasaran dunia berasal dari Indone- sia dan sisanya dipenuhi dari negara lainnya seperti Grenada, India, Srilangka dan Papua Newgini2. Tumbuhan ini berumah dua (dioe- cious) sehingga dikenal dengan pohon jan- tan dan pohon betina. Pala baru dapat ber- buah ketika berusia 7 - 9 tahun hingga maksimum setelah 25 tahun.

Sekalipun memiliki pasar yang baik, buah pala, sepertinya belum dikelola secara intensif sebagai komoditas perkebunan yang penting di Indonesia terutama dari Propinsi Aceh. Salah satu sebabnya adalah pandangan ma- syarakat masa itu yang semata menjadikan

LESTARI BRIEF

(2)

komoditas pala tak lebih sebagai bumbu dapur saja (rempah). Banyak praktisi pertanian tidak cukup memberi perhatian melalui riset, penyuluhan/pendidikan dan kebijakan terhadap tanaman pala sebagai sumber pendapatan.

Padahal, harga pala cukup menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Tahun 2017 misalnya, harga pala berkisar antara Rp 85.000,- di luar Jawa dan Rp 100.000,- hingga Rp. 130.000,- per kilogram (kg) untuk di Jawa. Inipun dalam bentuk biji. Sementara dari penutup biji pala atau petani menyebut- nya sebagai bunga pala harganya sekitar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg. Karenanya di beberapa daerah, pala menjadi salah satu tulang punggung perekonomian daerah. Sebagai contoh di Kabupaten Aceh Selatan, dengan produksi pala Aceh Selatan menca- pai 5.906 ton setara biji pala kering, kebera- daan perkebunan pala sangat penting dalam perekonomian daerah3.

PALA INDONESIA: MASALAH

DAN TANTANGAN

Sebagai komoditas yang sudah tua, pala merupakan satu diantara 15 komoditas perkebunan rakyat yang produktif hingga kini. Namun dengan nilai ekonomi yang belum signifikan, komoditas pala belum banyak dikelola oleh sektor perkebunan besar seper- ti kelapa sawit, teh, tembakau, kelapa sawit dan coklat. Sekalipun dalam statistik resmi pemerintah yaitu Direktorat Jendral Per- kebunan Indonesia, pala sudah dimasukan dalam kategori komoditas penting untuk dipublikasikan dari segi luasan areal, jumlah produksi, sebaran wilayahnya dan jumlah petani pemilik dan tenaga kerjanya. Sehingga tidak berbeda dengan komoditas kelapa sawit yang mudah diketahui profil usahanya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pada dasarnya telah memandang pala sebagai komoditas perkebunan yang perlu untuk dikembalikan kejayaannya betapapun belum maksimal upayanya.

TABEL 1. SENTRA AREA DAN PRODUKSI PALA INDONESIA, TAHUN 2013 Propinsi

Luas Areal (hektar)

Produksi (ton) Petani (kk) TBM Immature TM Mature TTR Damaged Jumlah 1. Maluku Utara 23.397 12.623 1.691 37.711 6.788 23.541 2. Maluku 19.062 9.996 2.958 32.016 4.729 20.079 3. Aceh 9.919 9.215 1.898 21.031 5.790 27.316 4. Sulawesi Utara 6.637 9.646 1.056 17.339 3.410 25.574 5. Papua Barat 2.305 4.567 670 7.548 1.373 5.316 6. Jawa Barat 2.554 2.358 295 5.207 836 27.813

(3)

Hingga tahun 2011 luas perkebunan pala di Indonesia mencapai 118.345 hektar yang tersebar di 11 propinsi dengan produksi 15.793 ton. Dimana 80,34% dari total areal berada di empat propinsi yaitu Maluku Utara, Maluku, Aceh dan Sulawesi Utara.

Produksi pala dunia rata-rata mencapai 18.000 ton per tahun. Dari data World Spice Cong- gres 2012, menunjukkan bahwa ada 4 negara sebagai suplai kebutuhan dunia yaitu Indone- sia (78%), Srilanka (12%), India (9%) dan Grenada (1%). Ekspor Indonesia meningkat sekitar 12% dibandingkan tahun sebelumnya dan rata-rata produksi pala dari berbagai negara meningkat sebesar 4% per tahun sejak 2001. Produksi pala dari negara Grenada sebenarnya cukup besar, namun sejak topan hurricane tahun 2004-2005 mengalami penu- runan yang tajam.

Nilai perdagangan pala di dunia termasuk re-ekspor dari negara asal mencapai nilai sekitar

US $ 115 juta sampai tahun 2011. Dimana pala dari negara-negara penghasil diekspor ke Vietnam dan kemudian diolah untuk diekspor terutama ke negara-negara Eropa. Sehingga sekalipun Vietnam tidak memiliki perkebu- nan pala, namun dikenal sebagai negara (hub) untuk ekspor produk pala4. Terkait dengan nilai ekspor, sekalipun Indonesia memiliki angka ekspor pala terbesar di dunia, namun harganya jauh dibanding Grenada dan India. Hal ini dikarenakan pala Indonesia masih dipandang kurang berkualitas.

Dari keempat wilayah di Indonesia yang me- rupakan sentra produksi pala, hanya di Propinsi Sulawesi Utara yang dikenal memiliki kuali- tas produksi terbaik. Sementara untuk pala dari wilayah Sumatera dan khususnya Aceh kualitasnya masih dianggap rendah. Karena itu, pala di Aceh lebih banyak diekstraksi menjadi minyak atsiri dan produk yang lain. Selain itu, produktivitas perkebunan pala di Indonesia juga dikenal masih rendah.

(4)

Rata-rata produktivitas pala dunia mencapai 451 kg/hektar. Produktivitas pala di Indone- sia jauh di bawah itu yakni sebesar 98,9 kg/ hektar. Sementara produktivitas pala di Grenada (sebagai negara penghasil pala terbesar kedua setelah Indonesia) mencapai 275,4 kg/hektar.

Karena itu, pada tahun 2015 sekitar 15 ton pala dari Indonesia ditolak masuk ke pasar Eropa karena Notifkasi dari Rapid Alert System on Food and Feed (RASFF) Portal UE tahun 2014, yang menemukan komoditas pala Indonesia mengandung Aflatoksin, sejenis ja- mur, diatas ambang batas. Peraturan Uni Eropa 165 Tahun 2010 mensyaratkan bahwa setiap pala yang diimpor ke negara-negara UE, tidak boleh melebihi kandungan Aflatok- sin B1 sebesar 5 ppm, dan Aflatoksin Total sebesar 10 ppb5. Hal ini disebabkan oleh perlakuan pada kegiatan pasca panen teruta- ma kondisi air pada waktu penyimpanan. Bahkan pada tahun 2014 sekitar 2.970 hektar (22,15%) dari 13.400 hektar tanaman pala di Aceh Selatan mengalami kematian akibat serangan hama penggerek dan jamur akar putih.6

Disamping masalah pengelolaan produksi pasca panen, rendahnya mutu pala di Indone- sia disebabkan juga oleh beberapa faktor teknis produksi yang belum mengalami per- baikan. Pertama, penanaman kembali (re- planting). Tanaman pala yang diusahakan oleh petani pada umumnya lebih meng- gantungkan pada bibit yang bersumber dari alam berupa biji secara generatif yaitu anakan yang tumbuh secara alamiah, bukan

mal karena proses penanaman belum dise- suaikan dengan standar yang ada. Ketiga,

masalah kemampuan dan ketrampilan budi daya tanaman pala yang belum standar di- antara petani mulai dari pemupukan, pe- nyiraman, perawatan hingga pemanenan.

REKOMENDASI

Pala sebagai tanaman perkebunan dan pro- duk hutan non kayu pada dasarnya merupa- kan kegiatan ekonomi sangat strategis dan bernilai ekonomi tinggi bagi rakyat dan pemerintah daerah. Keberhasilan mengelola pala sebagai komoditas ekonomi juga memberi dampak/pengaruh terhadap laju penurunan deforestasi di suatu kawasan. Upaya me- ngembangkan pala sebagai komoditas eko- nomi, sebenarnya bukanlah tanpa dasar mengingat beberapa faktor berikut:

1. Kebutuhan pala di dunia yang semakin meningkat, sementara pada sisi lain be- lum diikuti dengan suplai dari negara-negara penghasil secara optimal akibat pertumbuhan produksi yang lambat. Termasuk karena pemanenan lebih awal dilakukan petani dan kondisi peruba- han iklim di Indonesia. Menurut VOX Trading CO.LTD kebutuhan pala dunia sampai tahun 2020 akan meningkat hing- ga 5 % setiap tahunnya.

2. Grenada sebagai pesaing utama dari Indonesia dalam mensuplai kebutuhan pala dunia diperkirakan akan meningkat produksinya terutama dari tanaman baru pasca topan hurricane tahun 2004

(5)

 Pemerintah perlu memperkuat kegiatan penelitian dan pengembangan pala ter- utama dalam perbaikan kualitas pala Indonesia yang meliputi pembibitan, pe- nanaman, budidaya hingga pasca panen untuk menghilangkan penyakit aflatoxin.  Pemerintah perlu memperkuat proses

produksi pala khususnya dan komoditas rempah-rempah melalui kegiatan pelati- han, penyuluhan dan pembinaan secara intensif. Termasuk menyusun standari- sasi teknis pengolahan pala. Dengan demikian, ada jaminan mutu atas pro- duk pala yang dihasilkan petani.

 Pemerintah perlu memperkuat kegia- tan hilirisasi industri pengolahan pala di tingkat lokal (petani/koperasi) seperti minyak atsiri sehingga mengurangi pen- jualan (ekspor) pala dalam bentuk bahan mentah. Dengan demikian semakin me- ningkatkan nilai tambah bagi petani dan masyarakat lainnya.

 Pemerintah perlu melibatkan sektor swas- ta untuk membangun sistem tata niaga yang adil dalam rangka menjamin ke- pastian harga dan pasokan kebutuhan melalui skema Benefit Cost Sharing. Sehingga petani tidak terjebak pada tengkulak yang bersifat rente.

Publikasi ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi dari publikasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab

Gambar

TABEL 1. SENTRA AREA DAN PRODUKSI PALA INDONESIA, TAHUN 2013  Propinsi
GRAFIK 1 : HARGA PALA DARI NEGARA PRODUKSI UTAMA DI DUNIA

Referensi

Dokumen terkait