• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya tekanan darah sistolik 140mmHg dan/atau diastolik 90 mmhg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya tekanan darah sistolik 140mmHg dan/atau diastolik 90 mmhg"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan

meningkatnya tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan/atau diastolik ≥90 mmHg (Susalit, 2001). Hipertensi dikenal sebagai “silent killer”. Penyakit ini seringkali

asimtomatik dan terdeteksi setelah terjadi kerusakan organ.

Peningkatan tekanan darah berkaitan dengan peningkatan risiko kerusakan

organ. Target kerusakan organ akibat hipertensi antara lain jantung (left ventricular hypertrophy, gagal jantung, iskemia dan infark miokardia), cerebrovascular (stroke), aorta dan pembuluh darah tepi (aneurisme dan atau

disseksi aorta dan arteriosklerosis), ginjal (nefrosklerosis dan gagal ginjal), dan

retina (penyempitan arteri, hemoragi dan edema edema) (Maholtra, dkk.,2003).

Hipertensi masuk dalam penyakit dengan prevalensi tinggi dan jumlah terus

meningkat. Prevalensi ini terus meningkat secara global. Proporsi yang lebih besar

disumbangkan oleh negara berkembang (Tibazarwa, 2014). Indonesia merupakan

salah satu dari negara berkembang tersebut. Data yang diambil dari Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa kasus hipertensi di

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki posisi 5 teratas di atas rata-rata

nasional. Berdasarkan profil kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta

2012,hipertensi menempati posisi 3 sebanyak 29,564% pada 10 besar penyakit

berbasis STP Puskesmas di DIY sampai dengan Desember 2012. Berdasarkan

(2)

2

penyebab terbesar kasus kematian ibu melahirkan yaitu disebabkan perdarahan (32%)

dan hipertensi dalam kehamilan (25%) (Anonim, 2012). Selain itu, berdasarkan

Riskesda tahun 2007 menunjukkan bahwa Provinsi DIY masuk dalam 5 provinsi

dengan kasus hipertensi terbanyak (35,8%) di Indonesia. Sepuluh besar penyakit yang

didiagnosa pada pasien rawat jalan di rumah sakit adalah infeksi saluran nafas atas,

demam, diare, dispepsia, hipertensi, dermatosis, cedera, penyakit pulpa, faringitis dan

gangguan mental. Sedangkan di Puskesmas berdasarkan laporan sistem survailans

terpadu adalah influensa, diare, hipertensi, DM, pneumonia, tiphus, diare berdarah,

tersangka TB paru, campak dan TB BTA positif (Anonim, 2013). Dari beberapa data

di atas, dapat disimpulkan bahwa hipertensi memerlukan perhatian dan penanganan

agar dapat dikendalikan.

Tatalaksana terapi hipertensi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien

sampai batas tidak mengganggu atau merusak fungsi organ maupun fisiologis yang

lain, menurunkan morbiditas dan mortalitas, dan memperpanjang harapan hidup

pasien. Menurut Sigarlaki (2006), terdapat faktor-faktor yang berhubungan dengan

hipertensi. Faktor yang berhubungan yaitu: umur (28,43 %), jenis kelamin (30,39%),

tingkat penghasilan (51,95%), tingkat pendidikan (35,29%), pekerjaan (44,11%), dan

jumlah anak (42,15%), serta faktor makanan (29,41%). Dengan demikian, perlu

membekali masyarakat dengan pengetahuan mengenai hipertensi, agar hipertensi

dapat dicegah sejak dini dan agar masyarakat dapat menjalankan pola hidup sehat dan

(3)

3

Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah

kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan.

Puskesmas sebagai Primary Health Care diharapkan dapat menjadi tempat pertama untuk pelayanan kesehatan. Indonesia memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional

yang dalam hierarkinya, pasien yang berobat harus ke dokter keluarga atau

Puskesmas sebelum dirujuk ke unit pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Untuk itu,

pola penggunaan obat di tingkat Puskesmas menarik untuk diketahui profilnya.

Data Dinkes Sleman pada tahun 2010 menunjukkan bahwa hipertensi menempati

urutan pertama untuk umur di atas 45 tahun dan urutan kedua untuk semua golongan

umur (Budiman, 2013). Puskesmas Depok II merupakan salah satu Puskesmas yang

ada di Kabupaten Sleman. Puskesmas Depok II dipilih menjadi tempat penelitian

karena beberapa pertimbangan. Puskesmas Depok II dinilai oleh peneliti memiliki

kualitas yang bagus. Puskesmas Depok II pernah mendapatkan sertifikat ISO

9001:2000 ISO 9001 : 2008 pada tahun 2011 (Anonim, 2011). Puskesmas Depok II

juga pernah mendapatkan Piala Citra Pelayanan Prima dari Presiden Republik

Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai unit pelayanan publik berkinerja

sangat baik (Anonim, 2010). Selain itu, Puskesmas Depok II relatif dekat dengan

wilayah UGM. Faktor kemudahan akses ini menjadikan Puskesmas Depok II dipilih

(4)

4

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik pasien hipertensi yang menggunakan terapi dengan

obat antihipertensi di Puskesmas Depok II Kabupaten Sleman?

2. Bagaimana pola penggunaan obat antihipertensi untuk pasien hipertensi di

Puskesmas Depok II Kabupaten Sleman?

3. Bagaimana kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Depok II

dengan standar JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun

2007?

4. Bagaimana gambaran kondisi akhir setelah penggunaan obat antihipertensi pada

pasien hipertensi di Puskesmas Depok II Kabupaten Sleman?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran pasien hipertensi dari segi jumlah pasien, umur, jenis

kelamin, tingkat hipertensi dan jenis pembayaran di Puskesmas Depok II

Kabupaten Sleman.

2. Mengetahui jenis obat yang diresepkan kepada pasien hipertensi di Puskesmas

Depok II Kabupaten Sleman.

3. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Depok II

dengan standar JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun

2007.

4. Mengetahui kondisi akhir setelah penggunaan obat antihipertensi pada pasien

(5)

5

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan obat antihipertensi di

Puskesmas.

2. Sebagai sumber informasi bagi tenaga kesehatan yang berhubungan dengan

peresepan obat untuk penderita hipertensi yang efektif untuk meningkatkan

kualitas hidup.

3. Sebagai bahan evaluasi mengenai penggunaan obat antihipertensi oleh

Puskesmas dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.

4. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian berikutnya.

5. Menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti.

E. Tinjauan Pustaka

1. Hipertensi

a. Definisi

Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan

meningkatnya tekanan darah seseorang. Pengukuran tekanan darah dilakukan

pada dua atau lebih pengukuran pada posisi duduk. Seseorang dikatakan

terkena hipertensi jika rata-rata pada pengukuran dua kali atau lebih tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua

(6)

6 b. Etiologi

Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer merupakan hipertensi

idiopatik, artinya tidak diketahui secara jelas penyebabnya, sedangkan

hipertensi sekunder biasanya disebabkan oleh adanya penyakit atau

patofiologis lain.

Kebanyakan hipertensi, mencapai 95% tidak diketahui penyebab

spesifiknya. Hipertensi primer walaupun tidak diketahui penyebab spesifiknya

tetapi terdapat beberapa abnormalitas yang berpotensi berkontribusi terhadap

hipertensi tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi hipertensi primer

adalah:

1) Pembuluh darah

Terdapat abnormalitas secara fungsional dan struktural. Abnormalitas

secara fungsional antara lain sekresi nitrit oksida yang rendah, produksi

endotelin yang tinggi, kerusakan kanal Ca2+ atau Na+/K+ dan

hiperresponsibilitas terhadap katekolamin. Nitrit oksida merupakan

vasodilator endogen. Endotelin merupakan vasokonstriktor kuat yang

diproduksi oleh sel endothelium. Kanal Ca2+ atau Na+/K+ berperan di dalam

kontraksi sel otot. Sedangkan abnormalitas secara struktural yaitu hipertrofi

medial yang berlebihan.

(7)

7

Berupa malregulasi atau lemahnya katekolamin.

3) Ginjal

Berupa disfungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan kerusakan

kanal ion.

4) Reseptor tekanan/volume, berupa desensitisasi.

5) Sistem saraf pusat

Berupa sinyal basal simpatik tinggi, abnormalitas respon terhadap stress,

abnormalitas sinyal dari baroseptor dan reseptor volume (Maholtra,dkk., 2003).

Pada kasus hipertensi sekunder, terdapat beberapa kondisi yang telah

diidentifikasi menyebabkan hipertensi. Kondisi-kondisi penyebab tersebut

adalah penyakit ginjal kronik, koartikal aorta, Cushing’s syndrome dan

glucocorticoid excess states lainnya termasuk terapi steroid kronik, obstruksi uropati, pheochromocytoma, aldosteronisme primer mineralocorticoid excess states lainnya, hipertensi renovaskular, sleep apnea, penyakit tiroid dan paratiroid dan penggunaan obat (Chobanian, 2004).

c. Patofisiologi

Sistem kardiovaskular terdapat beberapa organ yang berpengaruh

terhadap homeostatis tekanan darah yaitu jantung, pembuluh darah, dan ginjal

(Stringer, 2001). Tekanan darah (TD) paling utama dipengaruhi oleh cardiac output (CO) dan tahanan vaskular perifer (TVP).

(8)

8

Sedangkan CO dipengaruhi oleh stroke volume (SV) dan heart rate (HR). SV merupakan jumlah darah yang dipompakan setiap kali darah dipompakan oleh

jantung. Sedangkan HR merupakan jumlah pemompaan oleh jantung setiap

menit.

CO = SV x HR

1) Jantung

Cardiac output merupakan penentu utama untuk tekanan darah sistolik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya CO adalah

peningkatan HR, peningkatan SV, peningkatan kontraktilitas, dan peningkatan

retensi natrium dan air (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Semakin besar

volume darah yang harus dipompakan, maka semakin tinggi TD yang

dihasilkan.

2) Pembuluh Darah

Tahanan vaskular perifer merupakan penentu utama untuk tekanan darah

diastolik. Peningkatan tahanan vaskular perifer dipengaruhi oleh adanya

vasokonstriksi (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Dinding pembuluh darah

arteri yang mengalami pengerasan akibat endapan kolesterol dan kapur

mengakibatkan tekanan darah lebih tinggi daripada dinding pembuluh darah

yang masih elastis (Tjay dan Raharja, 2002). Selain itu, di dalam lapisan

endothelium juga terdapat substansi untuk vasodilatasi. Jika terjadi kerusakan

pada bagian tersebut dapat mengganggu ekuilibrium vasokonstriksi dan

(9)

9

terhadap ketidakseimbangan tersebut yang menjadikan tahanan vaskular

perifer meningkat (Armstrong, dkk., 2005).

3) Ginjal

Sistem renin-angiotensin-aldostreron memegang peran penting dalam

homeostatis tekanan darah tersebut. Ginjal menghasilkan renin yang akan

mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Selanjutnya oleh

Angiotensin Converting Enzim,angiotensin I diubah menjadi angiotensin II, yang merupakan vasokonstriktor poten dan stimulator sekresi aldostreron

(Stringer, 2001).

4) Sistem Saraf

Sistem saraf simpatik mengeluarkan neurotransmitter berupa adrenalin

dan noradrenalin. Neurotransmitter tersebut memiliki peran dalam konstriksi

arteri perifer sehingga dapat menaikkan tekanan darah. Kejadian ini terutama

terjadi ketika emosi terpacu (gelisah, cemas, takut, marah, dan sebagainya),

selama berolahraga bertenaga, sistem saraf adrenergik terangsang. Stress dan

merokok juga dapat memicu peningkatan noradrenalin (Tjay, 2002).

d. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan TD, antara lain:

1) Usia (pria di atas 55 tahun, wanita di atas 65 tahun),

2) Profil kolesterol tinggi, LDL tinggi, HDL rendah,

3) GFR <60mL/menit,

(10)

10

Rokok mengandung nikotin. Nikotin merupakan vasokonstriktor sehingga

dapat menaikkan tekanan darah.

5) Riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular,

6) Mikroalbuminemia,

7) Aktivitas fisik kurang aktif (Saseen dan Maclaughlin, 2008)

8) Garam

Ion natrium pada garam dapat mengakibatkan retensi air sehingga

meningkatkan volume darah dan tahanan vaskular pefifer. Ion natrium juga

dapat meningkatkan efek vasoknonstriksi noradrenalin (Tjay, 2002).

9) Stress

Peningkatan TD pada kondisi stress diperantarai dilepaskannya

neurotransmitter adrenalin dan noradrenalin.

10) Pil kontrasepsi

Estrogen dalam pil kontrasepsi memiliki sifat meretensi air dan garam.

Dengan adanya retensi tersebut, volume cairan akan meningkat dan dapat

meningkatkan TD.

11) Kehamilan

Kenaikan TD dapat terjadi selama kehamilan. Apabila uterus meregang

karena perkembangan janin, maka aliran darah ke daerah tersebut akan

berkurang sehingga memicu dilepaskannya zat-zat yang dapat memicu

kenaikan TD (Tjay, 2002).

(11)

11

Penderita hipertensi primer memiliki kaitan erat dengan hormon insulin.

Orang yang mengalami obesitas atau pun memiliki DM tipe II mengalami

gangguan terhadap transport glukosa ke jaringan perifer (biasa disebut

resistensi insulin). Akibatnya, level serum glukosa meningkat sehingga

menstimulasi pankreas untuk mensekresikan insulin dalam jumlah besar.

Seperti halnya hiperinsulinemia, secara teoritis dapat menaikkan tekanan

arteri dengan 4 mekanisme:

a. insulin menstimulasi reabsorpsi natrium di ginjal,

b. insulin meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan konsentrasi

katekolamin,

c. insulin merupakan mitogen yang menstimulasi hipertrofi pembuluh

arteri otot polos,

d. insulin mempengaruhi transport ion yang megarah pada meningkatnya

ion kalsium intraselular (Maholtra, dkk., 2003).

d. Tanda dan gejala klinik

Hipertensi termasuk asimptomatik, artinya tidak menimbulkan gejala

sampai terjadi manifestasi pada organ yang lain ketika sudah terjadi

hipertensi. Beberapa gejala yang dirasakan yaitu pusing, gangguan

penglihatan, dan sakit kepala. Pada banyak kasus, gejala ini dirasakan ketika

tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna (Anonim,

(12)

12

sakit kepala, epistaksis (perdarahan hidung) dan pening kepala (Maholtra,

dkk., 2003).

e. Diagnosis

Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah seseorang duduk atau

berbaring 5 menit, kaki menapak pada lantai dan posisi lengan sejajar jantung.

Konsumsi kafein, olahraga dan merokok perlu dihindari minimal 30 menit

sebelum pemeriksaan (Chobanian, 2004). Apabila pertama kali diukur tinggi

(140/90 mmHg) maka pengukuran diulang 2 x pada 2 hari berikutnya untuk

meyakinkan adanya hipertensi (Anonim, 2007).

f. Derajat

Penyakit hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi berdasarkan beberapa

ketegori. Klasifikasi berdasarkan JNC 7 dapat dilihat pada Tabel I.

Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 pada pasien dewasa >18 tahuna

Klasifikasi tekanan darah

Tekanan darah sistol (mmHg)

Tekanan darah diastol (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensib 120 – 139 atau 80 – 89

Hipertensi tingkat 1 140 – 159 atau 90 – 99

Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100

Keterangan:

a Klasifikasi ditentukan berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah

diukur saat duduk, dari dua atau lebih kunjungan klinis pada tempat yang berbeda. Jika nilai tekanan darah sistolik dan diastolik menghasilkan klasifikasi yang berbeda, kategori tertinggi digunakan untuk tujuan menentukan klasifikasi

b Untuk pasien dengan diabetes melitus atau penyakit ginjal kronis, nilai ≥130/80 mmHg

dianggap berada di atas target tekanan darah

(13)

13

Tujuan dari tatalaksana terapi adalah untuk menurunkan mortilitas dan morbiditas

yang berkaitan dengan kerusakan organ. Pengobatan hipertensi dapat dikategorikan

menjadi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Target tekanan darah untuk

pasien secara umum adalah 140/90 mmHg; untuk pasien dengan DM adalah 130/80

mmHg; dan left ventricular dysfunction (gagal jantung) adalah 120/80 mmHg. Beberapa prinsip pengobatan hipertensi, yaitu:

a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal

(penyebab),

b. Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan dapat memperpanjang umur dann mengurangi timbulnya

risiko,

c. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat digunakan obat selain perubahan gaya

hidup,

d. Pengobatan hipertensi primer merupakan pengobatan jangka panjang, bahkan

dapat sampai seumur hidup,

e. Pengobatan menggunakan algoritma yang dianjurkan The Joint National Committee on Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure

(Susalit, dkk., 2001).

Adapun terapi yang dapat dilakukan pada pasien hipertensi dapat dibagi menjadi

2, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.

(14)

14

Terapi non farmakologi biasa diterapkan pada pasien prehipertensi agar tidak terjadi perburukan kondisi. Terapi non farmakologi yaitu terapi tanpa menggunakan

obat. Terapi non farmakologi dilakukan dengan melakukan penurunan berat badan,

aktivitas fisik dan pengaturan pola makan. Masing-masing dari cara ini memiliki

kemampuan menurunkan level tekanan darah yang berbeda-beda. Terapi non

farmakologi dilakukan untuk pasien prehipertensi agar tidak berkembang menjadi

hipertensi tingkat selanjutnya. Selain itu, terapi non farmakologi juga dapat

menunjang turunnya tekanan darah pasien yang menjalani terapi secara farmakologi.

Tabel II. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi

Modifikasi Rekomendasi Penurunan tekanan

darah

Penurunan berat badan

Menjaga berat badan normal (indek masa

tubuh 18,5 – 24,9 kg/m2) 5 – 20 mmHg/10kg

Diet makan menurut DASH

Mengkonsumsi makanan berupa buah, sayur dan produk susu rendah lemak dan

mengurangi jumlah makanan yang mengandung lemak jenuh dan total lemak.

4 – 18 mmHg

Diet rendah garam

Mengurangi asupan garan menjadi kurang dari 100 mmol/hari (2,4 g natrium atau 6 g

natrium klorida)

2 – 8 mmHg

Aktivitas fisik

Rutin melakukan aktivitas fisik aerobik seperti jalan cepat (minimal 30 menit per hari, setiap hari)

(15)

15 (Cho bania n, 2004) Membatasi konsumsi alkohol

Membatasi konsumsi menjadi tidak lebih dari 2 kali porsi minum per hari (24 oz (1 oz = 28,35 gram) bir, 10 oz anggur) unuk laki-laki dan 1 kali per hari untuk perempuan dan yang memiliki berat badan kurang.

(16)

16

Gambar 1. Algoritma terapi untuk hipertensi (Chobanian, 2004)

Obat lini pertama pilihan

Tanpa penyulit Dengan penyulit

Hipertensi tingkat 1 (sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg) Diuretik tiazid atau ACEI, ARB, BB, CCB, atau kombinasi Hipertensi tingkat 2 (sistolik ≥160 mmHg atau diastolik≥ 100 mmHg) m Kombinasi 2 obat (biasanya diuretik tiazid dan ACEI atau

ARB atau BB atau CCB) Obat-obat untuk indikasi penyakit penyulit Obat-obat antihipertensi (diuretik, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan

Target tekanan darah tidak tercapai

Mengoptimalkan dosis atau ditambahkan obat tambahan sampai tercapai tekanan darah target. Pertimbangkan konsultasi kepada spesialis hipertensi.

Target tekanan darah (<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg untuk pasien diabetes atau

penyakit ginjal kronik) Modifikasi pola hidup

(17)

17

Gambar 2 Rekomendasi obat untuk hipertensi dengan penyulit

(Saseen dan Maclaughlin, 2008)

b. Terapi farmakologi

Tatalaksana terapi secara farmakologis merupakan terapi menggunakan agen antihipertensi. Obat-obat yang digunakan memiliki mekanisme dan tempat aksi yang

berbeda dalam menurunkan tekanan darah. Obat antihipertensi dapat diberikan secara

tunggal maupun kombinasi. Penggunaan obat tunggal seringkali mengalami toleransi

karena adanaya homeostasis oleh tubuh untuk menjaga tubuh tetap pada kondisi

normal. Untuk itu, penggunaan kombinasi obat dapat digunakan untuk mengatasi

kompensasi homeostasis yang berjalan.

1) Diuretik

Obat yang dapat meningkatkan laju pengeluaran urin disebut diuretik. Diuretik

(18)

18

menurunkan volume darah. Diuretik secara langsung akan berpengaruh terhadap

retensi air dan garam di dinding pembuluh. Ketika pembuluh meretensi air atau

garam yang menyerap air, maka volume darah juga akan meningkat. Meningkatnya

volume darah ini berimbas pada naiknya tekanan darah. Diuretik efektif menurunkan

tekanan darah 10 – 15 mmHg pada kebanyakan pasien. Pengobatan dengan diuretik

adekuat untuk hipertensi ringan sampai sedang. Sedangkan untuk hipertensi berat

membutuhkan kombinasi dengan kelas antihipertensi yang lain (Benowitz, 2007).

Diuretik sendiri terdapat beberapa kelas, yaitu tiazid (contohnya

hidroklorotiazid), loop diuretic (contohnya furosemid), diuretik hemat kalium (contohnya spironolakton). Perbedaannya terdapat pada target aksi dan kekuatan

menurunkan tekanan darah.

2) Beta blocker (BB)

Obat golongan ini bekerja dengan mengeblok reseptor beta di jantung dan ginjal

(pada juxtaglomerulus) (Benowitz, 2007). Pada awal penggunaan, penurunan tekanan

darah didapatkan melalui penurunan curah jantung. Sedangkan penggunaan kontinyu,

curah jantung kembali normal tatapi tekanan darah bisa bertahan rendah. Hal ini

disebabkan oleh tahanan vaskular perifer yang berada pada tingkat yang lebih rendah

dengan mekanisme yang tidak diketahui (Neal, 2000). Sumber lain mengatakan

bahwa BB menurunkan tekanan darah melalui pengurangan CO (melalui penurunan

HR dan kontraktilitas jantung)dan penurunan sekresi renin (Maholtra, dkk., 2003).

Efek samping dari obat golongan ini adalah bronkospasme akibat blokade reseptor β2 di bronkhiolus sehingga penguunaan pad apenderita asma sebaiknya

(19)

19

dihindari. Beta blocker juga dapat menyebabkan kenaikan kadar trigliserida dan penurunan kadar LDL. Contoh obat golongan ini adalah propranolol, atenolol, dan

labetalol.

3) Alfa 1 blocker

Alfa 1 blocker menghambat tonus vasomotor perifer, mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan tahanan perifer. Obat golongan ini memberikan manfaat bagi

beberapa pasien hipertensi laki-laki geriatrik karena pembesaran prostat yang diderita

dengan jalan mengendurkan ketegangan dinding saluran kemih (Tjay dan Raharja,

2002). Meskipun demikian, obat ini tidak disarankan karena dilaporkan banyak

mengalami adverse reaction pada sistem kardiovaskular (Maholtra, dkk., 2003). Penggunaan zat-zat yang tidak selektif dapat menurunkan tekanan darah disertai

takikardia. Obat ini bukan pilihan utama tetapi dapat digunakan untuk hipertensi

ringan sampai sedang jika diuretik dan BB kurang efektif (Tjay dan Raharja, 2002).

Penggunaan utama obat golongan ini adalah untuk terapi pada penyakit

pheochromocytoma. Contoh obat golongan ini adalah prasozin, terasozin dan doxasozin.

4) Agonis Alfa 2 Adrenergik

Obat golongan ini bekerja dengan menstimulasi reseptor alfa 2 adrenergik yang terdapat pada sistem saraf pusat. Akibat perangsangan ini muncul mekanisme

feedback negatif sehingga aktivitas saraf adrenergik perifer turun. Selain itu, pengikatan pad areseptor imidazolin II ditemukan dapat menurunkan aktivitas saraf

(20)

20

simpatik. Obat yang menduduki reseptor ini adalah klonidin dan moxonidin.

5) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Angiotensin Converting Enzyme mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang merupakan vasokontriktor poten dan stimulator sekresi aldostreron. Aldosterone

meningkatkan retensi natrium dan air dan ekskresi kalium. Hal ini dapat

meningkatkan volume dalam pembuluh darah dan menaikkan vasular perifer. Dengan

demikian adanya ACE inhibitor dapat menurunkan kemampuan vasokonstriksi menghambat terjadinya retensi natrium dan air sehingga volume dalam sirkulasi

vasksular juga turun (Stringer, 2001). Contoh obat golongan ini adalah kaptopril dan

lisinopril.

6) Calsium Channel Blocker (CCB)

Kalsium yang masuk ke dalam sel otot polos dapat menyebabkan terjadinya

kontraksi. Jika otot polos yang berkontraksi adalah otot polos pada pembuluh darah,

maka tahanan vaskular perifer akan meningkat dan tekanan darah naik. Obat

tergolong juga sebagai vasodilator perifer. Contoh obat golongan ini adalah nifedipin,

amlodipine, dan diltiazem.

7) K+ Channel Openers

Obat golongan ini bekerja sebagai vasodilator. Contoh obat yang masuk dalam

golongan ini adalah minoxidil dan hidralazin. Minoxidil adalah metabotropic

(21)

21

respon untuk depolarisasi (Armstrong, dkk.,2005). Melemahnya depolarisasi dapat

(22)

22

8) Angiotensin Receptor Blocker

Sesuai dengan namanya, obat ini mengeblok reseptor angiotensin sehingga ketika angiotensin tidak dapat menduduki reseptornya, efek akan berubah. Angiotensin

ketika menduduki reseptornya akan muncul efek vasokonstriksi. Dengan demikian,

penghambatan terhadap reseptor tersebut menghambat vasokonstriksi dan

menghasilkan vasodilatasi. Contoh obat golongan ini adalah candesartan dan

irbesartan.

Terapi kombinasi dapat diberikan dengan menggunakan dua antihipertensi dari

kelas yang berbeda. Terdapat 6 alasan dianjurkannya pengobatan kombinasi pada

hipertensi, yaitu:

a) mempunyai efek aditif,

b) mempunyai efek sinergisme,

c) mempunyai sifat saling mengisi,

d) penurunan efek samping masing-masing obat,

e) mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu,

f) adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien

(adherence).

Menurut JNC 7, hipertensi tingkat 2 sudah membutuhkan terapi kombinasi.

Beberapa kombinasi yang dapat diberikan dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut

(23)

23

dilihat pada Gambar 3. Kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.

Gambar 3. Kombinasi antar kelas antihipertensi

(Anonim, 2006a)

F. Keterangan Empirik

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik pasien

(jenis kelamin, umur, tingkat tekanan darah, penyakit penyerta dan jenis pembayaran)

dan pola penggunaan obat antihipertensi (nama obat dan penggunaan tunggal atau

kombinasi), kesesuaian penggunaan obat antihipertensi dengan standar JNC 7 dan

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007, dan kondisi akhir setelah pasien

hipertensi melakukan pengobatan dengan antihipertensi di Puskesmas Depok II

(24)

Gambar

Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 pada pasien dewasa &gt;18 tahun a
Tabel II. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi
Gambar 1. Algoritma terapi untuk hipertensi (Chobanian, 2004) Obat lini pertama pilihan
Gambar 2 Rekomendasi obat untuk hipertensi dengan penyulit
+2

Referensi

Dokumen terkait

seduhan teh rosella pada pasien dengan hipertensi untuk menurunkan.

Dapat diterapkan pada lansia yang mengalami hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dengan melakukan terapi nonfarmakologi inspiratory muscle training dalam

Penanganan hipertensi non-obat termasuk mencegah dan mengatasi obesitas, meningkatkan latihan fisik dan olahraga, mengubah kebiasaan makan (termasuk mengurangi

Suplementasi magnesium memiliki efek antihipertensi pada orang dewasa. Suplementasi 500 mg magnesium dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 2,7-5,6mmHg dan

Berdasarkan jenis nya, hipertensi dibagi juga jadi dua, yang pertama hipertensi sistolik terisolasi yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik

Tujuan: Diketahuinya pengaruh pemberian jus mentimun dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik penderita hipertensi esensial pada lansia di PSTW Budi Luhur

Kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu memiliki efektivitas sebanding dengan kaptopril dalam menurunkan tekanan darah melalui dosis

Pasien dengan terapi antihipertensi kombinasi yang meminum obatnya pada saat malam (menjelang tidur) menunjukkan kontrol yang lebih baik terhadap tekanan darah,