1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan/atau diastolik ≥90 mmHg (Susalit, 2001). Hipertensi dikenal sebagai “silent killer”. Penyakit ini seringkali
asimtomatik dan terdeteksi setelah terjadi kerusakan organ.
Peningkatan tekanan darah berkaitan dengan peningkatan risiko kerusakan
organ. Target kerusakan organ akibat hipertensi antara lain jantung (left ventricular hypertrophy, gagal jantung, iskemia dan infark miokardia), cerebrovascular (stroke), aorta dan pembuluh darah tepi (aneurisme dan atau
disseksi aorta dan arteriosklerosis), ginjal (nefrosklerosis dan gagal ginjal), dan
retina (penyempitan arteri, hemoragi dan edema edema) (Maholtra, dkk.,2003).
Hipertensi masuk dalam penyakit dengan prevalensi tinggi dan jumlah terus
meningkat. Prevalensi ini terus meningkat secara global. Proporsi yang lebih besar
disumbangkan oleh negara berkembang (Tibazarwa, 2014). Indonesia merupakan
salah satu dari negara berkembang tersebut. Data yang diambil dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa kasus hipertensi di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki posisi 5 teratas di atas rata-rata
nasional. Berdasarkan profil kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta
2012,hipertensi menempati posisi 3 sebanyak 29,564% pada 10 besar penyakit
berbasis STP Puskesmas di DIY sampai dengan Desember 2012. Berdasarkan
2
penyebab terbesar kasus kematian ibu melahirkan yaitu disebabkan perdarahan (32%)
dan hipertensi dalam kehamilan (25%) (Anonim, 2012). Selain itu, berdasarkan
Riskesda tahun 2007 menunjukkan bahwa Provinsi DIY masuk dalam 5 provinsi
dengan kasus hipertensi terbanyak (35,8%) di Indonesia. Sepuluh besar penyakit yang
didiagnosa pada pasien rawat jalan di rumah sakit adalah infeksi saluran nafas atas,
demam, diare, dispepsia, hipertensi, dermatosis, cedera, penyakit pulpa, faringitis dan
gangguan mental. Sedangkan di Puskesmas berdasarkan laporan sistem survailans
terpadu adalah influensa, diare, hipertensi, DM, pneumonia, tiphus, diare berdarah,
tersangka TB paru, campak dan TB BTA positif (Anonim, 2013). Dari beberapa data
di atas, dapat disimpulkan bahwa hipertensi memerlukan perhatian dan penanganan
agar dapat dikendalikan.
Tatalaksana terapi hipertensi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien
sampai batas tidak mengganggu atau merusak fungsi organ maupun fisiologis yang
lain, menurunkan morbiditas dan mortalitas, dan memperpanjang harapan hidup
pasien. Menurut Sigarlaki (2006), terdapat faktor-faktor yang berhubungan dengan
hipertensi. Faktor yang berhubungan yaitu: umur (28,43 %), jenis kelamin (30,39%),
tingkat penghasilan (51,95%), tingkat pendidikan (35,29%), pekerjaan (44,11%), dan
jumlah anak (42,15%), serta faktor makanan (29,41%). Dengan demikian, perlu
membekali masyarakat dengan pengetahuan mengenai hipertensi, agar hipertensi
dapat dicegah sejak dini dan agar masyarakat dapat menjalankan pola hidup sehat dan
3
Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan.
Puskesmas sebagai Primary Health Care diharapkan dapat menjadi tempat pertama untuk pelayanan kesehatan. Indonesia memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional
yang dalam hierarkinya, pasien yang berobat harus ke dokter keluarga atau
Puskesmas sebelum dirujuk ke unit pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Untuk itu,
pola penggunaan obat di tingkat Puskesmas menarik untuk diketahui profilnya.
Data Dinkes Sleman pada tahun 2010 menunjukkan bahwa hipertensi menempati
urutan pertama untuk umur di atas 45 tahun dan urutan kedua untuk semua golongan
umur (Budiman, 2013). Puskesmas Depok II merupakan salah satu Puskesmas yang
ada di Kabupaten Sleman. Puskesmas Depok II dipilih menjadi tempat penelitian
karena beberapa pertimbangan. Puskesmas Depok II dinilai oleh peneliti memiliki
kualitas yang bagus. Puskesmas Depok II pernah mendapatkan sertifikat ISO
9001:2000 ISO 9001 : 2008 pada tahun 2011 (Anonim, 2011). Puskesmas Depok II
juga pernah mendapatkan Piala Citra Pelayanan Prima dari Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai unit pelayanan publik berkinerja
sangat baik (Anonim, 2010). Selain itu, Puskesmas Depok II relatif dekat dengan
wilayah UGM. Faktor kemudahan akses ini menjadikan Puskesmas Depok II dipilih
4
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pasien hipertensi yang menggunakan terapi dengan
obat antihipertensi di Puskesmas Depok II Kabupaten Sleman?
2. Bagaimana pola penggunaan obat antihipertensi untuk pasien hipertensi di
Puskesmas Depok II Kabupaten Sleman?
3. Bagaimana kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Depok II
dengan standar JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun
2007?
4. Bagaimana gambaran kondisi akhir setelah penggunaan obat antihipertensi pada
pasien hipertensi di Puskesmas Depok II Kabupaten Sleman?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran pasien hipertensi dari segi jumlah pasien, umur, jenis
kelamin, tingkat hipertensi dan jenis pembayaran di Puskesmas Depok II
Kabupaten Sleman.
2. Mengetahui jenis obat yang diresepkan kepada pasien hipertensi di Puskesmas
Depok II Kabupaten Sleman.
3. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Depok II
dengan standar JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun
2007.
4. Mengetahui kondisi akhir setelah penggunaan obat antihipertensi pada pasien
5
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan obat antihipertensi di
Puskesmas.
2. Sebagai sumber informasi bagi tenaga kesehatan yang berhubungan dengan
peresepan obat untuk penderita hipertensi yang efektif untuk meningkatkan
kualitas hidup.
3. Sebagai bahan evaluasi mengenai penggunaan obat antihipertensi oleh
Puskesmas dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian berikutnya.
5. Menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti.
E. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah seseorang. Pengukuran tekanan darah dilakukan
pada dua atau lebih pengukuran pada posisi duduk. Seseorang dikatakan
terkena hipertensi jika rata-rata pada pengukuran dua kali atau lebih tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua
6 b. Etiologi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer merupakan hipertensi
idiopatik, artinya tidak diketahui secara jelas penyebabnya, sedangkan
hipertensi sekunder biasanya disebabkan oleh adanya penyakit atau
patofiologis lain.
Kebanyakan hipertensi, mencapai 95% tidak diketahui penyebab
spesifiknya. Hipertensi primer walaupun tidak diketahui penyebab spesifiknya
tetapi terdapat beberapa abnormalitas yang berpotensi berkontribusi terhadap
hipertensi tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi hipertensi primer
adalah:
1) Pembuluh darah
Terdapat abnormalitas secara fungsional dan struktural. Abnormalitas
secara fungsional antara lain sekresi nitrit oksida yang rendah, produksi
endotelin yang tinggi, kerusakan kanal Ca2+ atau Na+/K+ dan
hiperresponsibilitas terhadap katekolamin. Nitrit oksida merupakan
vasodilator endogen. Endotelin merupakan vasokonstriktor kuat yang
diproduksi oleh sel endothelium. Kanal Ca2+ atau Na+/K+ berperan di dalam
kontraksi sel otot. Sedangkan abnormalitas secara struktural yaitu hipertrofi
medial yang berlebihan.
7
Berupa malregulasi atau lemahnya katekolamin.
3) Ginjal
Berupa disfungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan kerusakan
kanal ion.
4) Reseptor tekanan/volume, berupa desensitisasi.
5) Sistem saraf pusat
Berupa sinyal basal simpatik tinggi, abnormalitas respon terhadap stress,
abnormalitas sinyal dari baroseptor dan reseptor volume (Maholtra,dkk., 2003).
Pada kasus hipertensi sekunder, terdapat beberapa kondisi yang telah
diidentifikasi menyebabkan hipertensi. Kondisi-kondisi penyebab tersebut
adalah penyakit ginjal kronik, koartikal aorta, Cushing’s syndrome dan
glucocorticoid excess states lainnya termasuk terapi steroid kronik, obstruksi uropati, pheochromocytoma, aldosteronisme primer mineralocorticoid excess states lainnya, hipertensi renovaskular, sleep apnea, penyakit tiroid dan paratiroid dan penggunaan obat (Chobanian, 2004).
c. Patofisiologi
Sistem kardiovaskular terdapat beberapa organ yang berpengaruh
terhadap homeostatis tekanan darah yaitu jantung, pembuluh darah, dan ginjal
(Stringer, 2001). Tekanan darah (TD) paling utama dipengaruhi oleh cardiac output (CO) dan tahanan vaskular perifer (TVP).
8
Sedangkan CO dipengaruhi oleh stroke volume (SV) dan heart rate (HR). SV merupakan jumlah darah yang dipompakan setiap kali darah dipompakan oleh
jantung. Sedangkan HR merupakan jumlah pemompaan oleh jantung setiap
menit.
CO = SV x HR
1) Jantung
Cardiac output merupakan penentu utama untuk tekanan darah sistolik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya CO adalah
peningkatan HR, peningkatan SV, peningkatan kontraktilitas, dan peningkatan
retensi natrium dan air (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Semakin besar
volume darah yang harus dipompakan, maka semakin tinggi TD yang
dihasilkan.
2) Pembuluh Darah
Tahanan vaskular perifer merupakan penentu utama untuk tekanan darah
diastolik. Peningkatan tahanan vaskular perifer dipengaruhi oleh adanya
vasokonstriksi (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Dinding pembuluh darah
arteri yang mengalami pengerasan akibat endapan kolesterol dan kapur
mengakibatkan tekanan darah lebih tinggi daripada dinding pembuluh darah
yang masih elastis (Tjay dan Raharja, 2002). Selain itu, di dalam lapisan
endothelium juga terdapat substansi untuk vasodilatasi. Jika terjadi kerusakan
pada bagian tersebut dapat mengganggu ekuilibrium vasokonstriksi dan
9
terhadap ketidakseimbangan tersebut yang menjadikan tahanan vaskular
perifer meningkat (Armstrong, dkk., 2005).
3) Ginjal
Sistem renin-angiotensin-aldostreron memegang peran penting dalam
homeostatis tekanan darah tersebut. Ginjal menghasilkan renin yang akan
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Selanjutnya oleh
Angiotensin Converting Enzim,angiotensin I diubah menjadi angiotensin II, yang merupakan vasokonstriktor poten dan stimulator sekresi aldostreron
(Stringer, 2001).
4) Sistem Saraf
Sistem saraf simpatik mengeluarkan neurotransmitter berupa adrenalin
dan noradrenalin. Neurotransmitter tersebut memiliki peran dalam konstriksi
arteri perifer sehingga dapat menaikkan tekanan darah. Kejadian ini terutama
terjadi ketika emosi terpacu (gelisah, cemas, takut, marah, dan sebagainya),
selama berolahraga bertenaga, sistem saraf adrenergik terangsang. Stress dan
merokok juga dapat memicu peningkatan noradrenalin (Tjay, 2002).
d. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan TD, antara lain:
1) Usia (pria di atas 55 tahun, wanita di atas 65 tahun),
2) Profil kolesterol tinggi, LDL tinggi, HDL rendah,
3) GFR <60mL/menit,
10
Rokok mengandung nikotin. Nikotin merupakan vasokonstriktor sehingga
dapat menaikkan tekanan darah.
5) Riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular,
6) Mikroalbuminemia,
7) Aktivitas fisik kurang aktif (Saseen dan Maclaughlin, 2008)
8) Garam
Ion natrium pada garam dapat mengakibatkan retensi air sehingga
meningkatkan volume darah dan tahanan vaskular pefifer. Ion natrium juga
dapat meningkatkan efek vasoknonstriksi noradrenalin (Tjay, 2002).
9) Stress
Peningkatan TD pada kondisi stress diperantarai dilepaskannya
neurotransmitter adrenalin dan noradrenalin.
10) Pil kontrasepsi
Estrogen dalam pil kontrasepsi memiliki sifat meretensi air dan garam.
Dengan adanya retensi tersebut, volume cairan akan meningkat dan dapat
meningkatkan TD.
11) Kehamilan
Kenaikan TD dapat terjadi selama kehamilan. Apabila uterus meregang
karena perkembangan janin, maka aliran darah ke daerah tersebut akan
berkurang sehingga memicu dilepaskannya zat-zat yang dapat memicu
kenaikan TD (Tjay, 2002).
11
Penderita hipertensi primer memiliki kaitan erat dengan hormon insulin.
Orang yang mengalami obesitas atau pun memiliki DM tipe II mengalami
gangguan terhadap transport glukosa ke jaringan perifer (biasa disebut
resistensi insulin). Akibatnya, level serum glukosa meningkat sehingga
menstimulasi pankreas untuk mensekresikan insulin dalam jumlah besar.
Seperti halnya hiperinsulinemia, secara teoritis dapat menaikkan tekanan
arteri dengan 4 mekanisme:
a. insulin menstimulasi reabsorpsi natrium di ginjal,
b. insulin meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan konsentrasi
katekolamin,
c. insulin merupakan mitogen yang menstimulasi hipertrofi pembuluh
arteri otot polos,
d. insulin mempengaruhi transport ion yang megarah pada meningkatnya
ion kalsium intraselular (Maholtra, dkk., 2003).
d. Tanda dan gejala klinik
Hipertensi termasuk asimptomatik, artinya tidak menimbulkan gejala
sampai terjadi manifestasi pada organ yang lain ketika sudah terjadi
hipertensi. Beberapa gejala yang dirasakan yaitu pusing, gangguan
penglihatan, dan sakit kepala. Pada banyak kasus, gejala ini dirasakan ketika
tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna (Anonim,
12
sakit kepala, epistaksis (perdarahan hidung) dan pening kepala (Maholtra,
dkk., 2003).
e. Diagnosis
Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah seseorang duduk atau
berbaring 5 menit, kaki menapak pada lantai dan posisi lengan sejajar jantung.
Konsumsi kafein, olahraga dan merokok perlu dihindari minimal 30 menit
sebelum pemeriksaan (Chobanian, 2004). Apabila pertama kali diukur tinggi
(140/90 mmHg) maka pengukuran diulang 2 x pada 2 hari berikutnya untuk
meyakinkan adanya hipertensi (Anonim, 2007).
f. Derajat
Penyakit hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi berdasarkan beberapa
ketegori. Klasifikasi berdasarkan JNC 7 dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 pada pasien dewasa >18 tahuna
Klasifikasi tekanan darah
Tekanan darah sistol (mmHg)
Tekanan darah diastol (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensib 120 – 139 atau 80 – 89
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100
Keterangan:
a Klasifikasi ditentukan berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah
diukur saat duduk, dari dua atau lebih kunjungan klinis pada tempat yang berbeda. Jika nilai tekanan darah sistolik dan diastolik menghasilkan klasifikasi yang berbeda, kategori tertinggi digunakan untuk tujuan menentukan klasifikasi
b Untuk pasien dengan diabetes melitus atau penyakit ginjal kronis, nilai ≥130/80 mmHg
dianggap berada di atas target tekanan darah
13
Tujuan dari tatalaksana terapi adalah untuk menurunkan mortilitas dan morbiditas
yang berkaitan dengan kerusakan organ. Pengobatan hipertensi dapat dikategorikan
menjadi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Target tekanan darah untuk
pasien secara umum adalah 140/90 mmHg; untuk pasien dengan DM adalah 130/80
mmHg; dan left ventricular dysfunction (gagal jantung) adalah 120/80 mmHg. Beberapa prinsip pengobatan hipertensi, yaitu:
a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal
(penyebab),
b. Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan dapat memperpanjang umur dann mengurangi timbulnya
risiko,
c. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat digunakan obat selain perubahan gaya
hidup,
d. Pengobatan hipertensi primer merupakan pengobatan jangka panjang, bahkan
dapat sampai seumur hidup,
e. Pengobatan menggunakan algoritma yang dianjurkan The Joint National Committee on Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure
(Susalit, dkk., 2001).
Adapun terapi yang dapat dilakukan pada pasien hipertensi dapat dibagi menjadi
2, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
14
Terapi non farmakologi biasa diterapkan pada pasien prehipertensi agar tidak terjadi perburukan kondisi. Terapi non farmakologi yaitu terapi tanpa menggunakan
obat. Terapi non farmakologi dilakukan dengan melakukan penurunan berat badan,
aktivitas fisik dan pengaturan pola makan. Masing-masing dari cara ini memiliki
kemampuan menurunkan level tekanan darah yang berbeda-beda. Terapi non
farmakologi dilakukan untuk pasien prehipertensi agar tidak berkembang menjadi
hipertensi tingkat selanjutnya. Selain itu, terapi non farmakologi juga dapat
menunjang turunnya tekanan darah pasien yang menjalani terapi secara farmakologi.
Tabel II. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi
Modifikasi Rekomendasi Penurunan tekanan
darah
Penurunan berat badan
Menjaga berat badan normal (indek masa
tubuh 18,5 – 24,9 kg/m2) 5 – 20 mmHg/10kg
Diet makan menurut DASH
Mengkonsumsi makanan berupa buah, sayur dan produk susu rendah lemak dan
mengurangi jumlah makanan yang mengandung lemak jenuh dan total lemak.
4 – 18 mmHg
Diet rendah garam
Mengurangi asupan garan menjadi kurang dari 100 mmol/hari (2,4 g natrium atau 6 g
natrium klorida)
2 – 8 mmHg
Aktivitas fisik
Rutin melakukan aktivitas fisik aerobik seperti jalan cepat (minimal 30 menit per hari, setiap hari)
15 (Cho bania n, 2004) Membatasi konsumsi alkohol
Membatasi konsumsi menjadi tidak lebih dari 2 kali porsi minum per hari (24 oz (1 oz = 28,35 gram) bir, 10 oz anggur) unuk laki-laki dan 1 kali per hari untuk perempuan dan yang memiliki berat badan kurang.
16
Gambar 1. Algoritma terapi untuk hipertensi (Chobanian, 2004)
Obat lini pertama pilihan
Tanpa penyulit Dengan penyulit
Hipertensi tingkat 1 (sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg) Diuretik tiazid atau ACEI, ARB, BB, CCB, atau kombinasi Hipertensi tingkat 2 (sistolik ≥160 mmHg atau diastolik≥ 100 mmHg) m Kombinasi 2 obat (biasanya diuretik tiazid dan ACEI atau
ARB atau BB atau CCB) Obat-obat untuk indikasi penyakit penyulit Obat-obat antihipertensi (diuretik, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan
Target tekanan darah tidak tercapai
Mengoptimalkan dosis atau ditambahkan obat tambahan sampai tercapai tekanan darah target. Pertimbangkan konsultasi kepada spesialis hipertensi.
Target tekanan darah (<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg untuk pasien diabetes atau
penyakit ginjal kronik) Modifikasi pola hidup
17
Gambar 2 Rekomendasi obat untuk hipertensi dengan penyulit
(Saseen dan Maclaughlin, 2008)
b. Terapi farmakologi
Tatalaksana terapi secara farmakologis merupakan terapi menggunakan agen antihipertensi. Obat-obat yang digunakan memiliki mekanisme dan tempat aksi yang
berbeda dalam menurunkan tekanan darah. Obat antihipertensi dapat diberikan secara
tunggal maupun kombinasi. Penggunaan obat tunggal seringkali mengalami toleransi
karena adanaya homeostasis oleh tubuh untuk menjaga tubuh tetap pada kondisi
normal. Untuk itu, penggunaan kombinasi obat dapat digunakan untuk mengatasi
kompensasi homeostasis yang berjalan.
1) Diuretik
Obat yang dapat meningkatkan laju pengeluaran urin disebut diuretik. Diuretik
18
menurunkan volume darah. Diuretik secara langsung akan berpengaruh terhadap
retensi air dan garam di dinding pembuluh. Ketika pembuluh meretensi air atau
garam yang menyerap air, maka volume darah juga akan meningkat. Meningkatnya
volume darah ini berimbas pada naiknya tekanan darah. Diuretik efektif menurunkan
tekanan darah 10 – 15 mmHg pada kebanyakan pasien. Pengobatan dengan diuretik
adekuat untuk hipertensi ringan sampai sedang. Sedangkan untuk hipertensi berat
membutuhkan kombinasi dengan kelas antihipertensi yang lain (Benowitz, 2007).
Diuretik sendiri terdapat beberapa kelas, yaitu tiazid (contohnya
hidroklorotiazid), loop diuretic (contohnya furosemid), diuretik hemat kalium (contohnya spironolakton). Perbedaannya terdapat pada target aksi dan kekuatan
menurunkan tekanan darah.
2) Beta blocker (BB)
Obat golongan ini bekerja dengan mengeblok reseptor beta di jantung dan ginjal
(pada juxtaglomerulus) (Benowitz, 2007). Pada awal penggunaan, penurunan tekanan
darah didapatkan melalui penurunan curah jantung. Sedangkan penggunaan kontinyu,
curah jantung kembali normal tatapi tekanan darah bisa bertahan rendah. Hal ini
disebabkan oleh tahanan vaskular perifer yang berada pada tingkat yang lebih rendah
dengan mekanisme yang tidak diketahui (Neal, 2000). Sumber lain mengatakan
bahwa BB menurunkan tekanan darah melalui pengurangan CO (melalui penurunan
HR dan kontraktilitas jantung)dan penurunan sekresi renin (Maholtra, dkk., 2003).
Efek samping dari obat golongan ini adalah bronkospasme akibat blokade reseptor β2 di bronkhiolus sehingga penguunaan pad apenderita asma sebaiknya
19
dihindari. Beta blocker juga dapat menyebabkan kenaikan kadar trigliserida dan penurunan kadar LDL. Contoh obat golongan ini adalah propranolol, atenolol, dan
labetalol.
3) Alfa 1 blocker
Alfa 1 blocker menghambat tonus vasomotor perifer, mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan tahanan perifer. Obat golongan ini memberikan manfaat bagi
beberapa pasien hipertensi laki-laki geriatrik karena pembesaran prostat yang diderita
dengan jalan mengendurkan ketegangan dinding saluran kemih (Tjay dan Raharja,
2002). Meskipun demikian, obat ini tidak disarankan karena dilaporkan banyak
mengalami adverse reaction pada sistem kardiovaskular (Maholtra, dkk., 2003). Penggunaan zat-zat yang tidak selektif dapat menurunkan tekanan darah disertai
takikardia. Obat ini bukan pilihan utama tetapi dapat digunakan untuk hipertensi
ringan sampai sedang jika diuretik dan BB kurang efektif (Tjay dan Raharja, 2002).
Penggunaan utama obat golongan ini adalah untuk terapi pada penyakit
pheochromocytoma. Contoh obat golongan ini adalah prasozin, terasozin dan doxasozin.
4) Agonis Alfa 2 Adrenergik
Obat golongan ini bekerja dengan menstimulasi reseptor alfa 2 adrenergik yang terdapat pada sistem saraf pusat. Akibat perangsangan ini muncul mekanisme
feedback negatif sehingga aktivitas saraf adrenergik perifer turun. Selain itu, pengikatan pad areseptor imidazolin II ditemukan dapat menurunkan aktivitas saraf
20
simpatik. Obat yang menduduki reseptor ini adalah klonidin dan moxonidin.
5) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin Converting Enzyme mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang merupakan vasokontriktor poten dan stimulator sekresi aldostreron. Aldosterone
meningkatkan retensi natrium dan air dan ekskresi kalium. Hal ini dapat
meningkatkan volume dalam pembuluh darah dan menaikkan vasular perifer. Dengan
demikian adanya ACE inhibitor dapat menurunkan kemampuan vasokonstriksi menghambat terjadinya retensi natrium dan air sehingga volume dalam sirkulasi
vasksular juga turun (Stringer, 2001). Contoh obat golongan ini adalah kaptopril dan
lisinopril.
6) Calsium Channel Blocker (CCB)
Kalsium yang masuk ke dalam sel otot polos dapat menyebabkan terjadinya
kontraksi. Jika otot polos yang berkontraksi adalah otot polos pada pembuluh darah,
maka tahanan vaskular perifer akan meningkat dan tekanan darah naik. Obat
tergolong juga sebagai vasodilator perifer. Contoh obat golongan ini adalah nifedipin,
amlodipine, dan diltiazem.
7) K+ Channel Openers
Obat golongan ini bekerja sebagai vasodilator. Contoh obat yang masuk dalam
golongan ini adalah minoxidil dan hidralazin. Minoxidil adalah metabotropic
21
respon untuk depolarisasi (Armstrong, dkk.,2005). Melemahnya depolarisasi dapat
22
8) Angiotensin Receptor Blocker
Sesuai dengan namanya, obat ini mengeblok reseptor angiotensin sehingga ketika angiotensin tidak dapat menduduki reseptornya, efek akan berubah. Angiotensin
ketika menduduki reseptornya akan muncul efek vasokonstriksi. Dengan demikian,
penghambatan terhadap reseptor tersebut menghambat vasokonstriksi dan
menghasilkan vasodilatasi. Contoh obat golongan ini adalah candesartan dan
irbesartan.
Terapi kombinasi dapat diberikan dengan menggunakan dua antihipertensi dari
kelas yang berbeda. Terdapat 6 alasan dianjurkannya pengobatan kombinasi pada
hipertensi, yaitu:
a) mempunyai efek aditif,
b) mempunyai efek sinergisme,
c) mempunyai sifat saling mengisi,
d) penurunan efek samping masing-masing obat,
e) mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu,
f) adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien
(adherence).
Menurut JNC 7, hipertensi tingkat 2 sudah membutuhkan terapi kombinasi.
Beberapa kombinasi yang dapat diberikan dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut
23
dilihat pada Gambar 3. Kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.
Gambar 3. Kombinasi antar kelas antihipertensi
(Anonim, 2006a)
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik pasien
(jenis kelamin, umur, tingkat tekanan darah, penyakit penyerta dan jenis pembayaran)
dan pola penggunaan obat antihipertensi (nama obat dan penggunaan tunggal atau
kombinasi), kesesuaian penggunaan obat antihipertensi dengan standar JNC 7 dan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007, dan kondisi akhir setelah pasien
hipertensi melakukan pengobatan dengan antihipertensi di Puskesmas Depok II