• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG UTAMA

Pendahuluan

Tumbangnya rezim Orde Baru memberikan perubahan politik ter-hadap sistem politik di Indonesia. Sistem politik sentralistis yang di-jalankan rezim Orde Baru sebelum-nya dituntut untuk diubah ke arah sistem politik yang demokratis. Ber-kenaan dengan hal tersebut pe-merintahan Habibie yang mengganti-kan rezim Orde Baru mengeluarmengganti-kan berbagai kebijakan yang mengarah kepada tujuan terwujudnya peme-rintahan yang demokratis, salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah-an Daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah bertujuan untuk memberikan otonomi yang luas kepada seluruh daerah agar dapat menyelenggara-kan urusan rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab, sehingga pola hubungan antara Pusat dan Daerah yang bersifat paternalistik dan sentralistik berubah menjadi pola hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Peranan lembaga eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) disini sangat penting dalam mewujudkan otonomi daerah sebagai penyelenggara Pemerintah-an Daerah.

Implementasi dari otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 ini pada ke-nyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan karena mis-interpretasi terhadap Undang-undang No. 22 Tahun 1999 sehingga munculnya ketidakserasian antara eksekutif da n legislatif dimana legislatif lebih

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA

OTONOMI DAERAH

Siti Nuraini

Abstrak

Perubahan sistem politik pasca tumbangnya rezim Orde Baru berdampak pada semua sendi perpolitikan di Indonesia, salah satunya mengenai hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif di daerah. Pola lama yang masih menempatkan hubungan paternalistik dan sentralistik harus diubah dengan model yang baru yang lebih demokratis dan desentralistik. Tulisan ini mencoba membahas mengenai hubungan yang terjalin antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam konteks otonomi daerah.

(2)

2 mendominasi dan mengalahkan eksekutif yang sebelumnya selama ini lebih dominan dalam penyelenggara-an pemerintahpenyelenggara-an Daerah.

Atas dasar tersebut ketertarikan untuk membahas tentang hubungan eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) di era otonomi daerah dengan mengambil contoh kasus hubungan eksekutif dan legislatif pada Pemerintahan Daerah Sidoarjo

Konsep Pelaksanaan Otonomi Daerah

Otonomi Daerah sebagai im-plementasi dari azas desentralisasi dapat diartikan dari berbagai perspektif, salah satunya menurut Rondinelli dan Cheema yang dikutip oleh M. Mas’ud Said sebagai berikut:

Decentralization is the transfer of planning, decision making or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal (italics in original) organization, local government or non governmental organization1

Dari pengertian otonomi daerah tersebut memperlihatkan adanya penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah dari pemerintah pusat agar pemerintah daerah melaksanakan sendiri kegiatan pemerintahan di daerahnya dengan lebih mandiri.

1

M. Mas’ud Said,Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, Penerbitan Universitas

Muhammadiyah Malang, Malang, 2005, h. 5

Ada dua hal pada prinsipnya yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yaitu desentralisasi politik dan de-sentralisasi admi nistratif. Menurut Bryant, et. al, yang dikutip oleh Kaloh, desentralisasi administratif adalah sebagai suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal2. Sedangkan desentralisasi politik di-artikan sebagai kewenangan pem-buatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal. Dalam konteks kelembagaan, desentralisasi politik termanifestasi dengan adanya badan legislatif daerah (DPRD).3 Namun pada prinsipnya desentrali-sasi politik dan desentralidesentrali-sasi ad-ministratif tujuannya untuk mem-berikan kewenangan dalam meng-ambil keputusan dan kontrol oleh badan eksekutif dan badan legislatif daerah agar dapat terwujud pem-berdayaan dari kemampuan ke-lembagaan-kelembagaan lokal. Oleh karena itu sampai sejauhmana eksekutif dan legislatif melaksanakan kinerjanya.

Hubungan Eksekutif dan Legislatif Hubungan eksekutif dan legis-latif dalam konteks Undang-undang No. 22 Tahun 1999 adalah sejajar dan kemitraan.

Legislatif (DPRD) mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

2

J. Kaloh,Mencari bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 143

(3)

3 1. Memilih Gubernur/Wakil

Guber-nur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;

2. Memilih anggota MPR dan Utusan Daerah;

3. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; 4. Bersama dengan Gubernur,

Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;

5. Bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;

6. Melaksanakan pengawasan ter-hadap hal berikut:

a. Pelaksanaan Peraturan da-erah dan peraturan per-UU-an lain.

b. Pelaksanaan Keputusan Gu-bernur, Bupati dan Walikota. c. Pelaksanaan Anggaran

Pen-dapatan dan Belanja Daerah. d. Kebijakan p emerintah daerah. e. Pelaksanaan kerjasama

inter-nasional di daerah.

7. Memberikan pendapat dan per-timbangan kepada pemerintah terhadap rencana perjanjian inter-nasional yang menyangkut ke-pentingan daerah;

8. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat. DPRD mempunyai hak berikut: a. Meminta pertanggungjawaban

Gubernur, Bupati dan Wali-kota.

b. Meminta keterangan kepada p emerintah daerah.

c. Mengadakan penyelidikan. d. Mengadakan perubahan atas

rancangan peraturan daerah. e. Mengajukan pernyataan

pen-dapat.

f. Mengajukan rancangan per-aturan daerah.

g. Menentukan Anggaran Belanja DPRD.

h. Menetapkan peraturan tata tertib DPRD.

Eksekutif (kepala daerah) mem-punyai kewenangan sebagai berikut: 1. Kepala daerah memimpin

pe-nyelenggaraan pemerintahan da-erah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; 2. Dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya, k epala daerah ber-tanggung jawab kepada DPRD; 3. Kepala daerah wajib

menyampai-kan laporan atas penyelenggara-a n pemerintpenyelenggara-ahpenyelenggara-an dpenyelenggara-aerpenyelenggara-ah keppenyelenggara-adpenyelenggara-a Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada gubernur bagi kepala daerah kabupaten dan kepala daerah kota, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun atau jika dipandang perlu oleh kepala d aerah atau apabila diminta oleh Presiden.4

Dari kewenangan yang dimiliki oleh kedua lembaga daerah tersebut, dihasilkan antara lain manifestasi hubungan -hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif yang mem-berikan pola bagi kelancaran meka-nisme penyelenggaraan pemerintah-an di daerah.

Kewenangan legislatif demikian besarnya diberikan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 1999 untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang demokratis oleh karenanya peran legislatif demikian penting dan harus ditunjang oleh kemampuan maupun kecakapan para anggota legislatif tersebut.

(4)

4 Seperti halnya yang dikatakan oleh Sanit bahwa:

“Terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi legislatif di tingkat nasional maupun pada level daerah antara lain: Pertama, integritas dan ke-mampuan atau keterampilan anggota badan legislatif. Kedua, pola hubungan anggota badan legislatif dengan anggota masyarakat yang mereka wakili yang tecermin dalam sistem perwakilan yang berlaku. Ketiga, struktur organisasi badan legislatif yang merupakan kerangka formal bagi kegiatan anggota dalam bertindak sebagai wakil rakyat. Keempat, hubungan yang tecermin dalam pengaruh timbal balik antara badan legislatif dengan eksekutif dan lembaga-lembaga lainnya sebagai unit-unit di tingkat daerah, serta hubungan badan tersebut dengan lembaga-lembaga yang sama di tingkat yang lebih tinggi hirarkinya”.5

Legislatif yang memperoleh peningkatan peran sebagai upaya agar terciptanya mekanisme checks and balances ternyata berdampak pada kenyataan yang tidak diharap-kan di berbagai daerah. Konsep kemitraan yang dicanangkan tidak terwujud kedua lembaga daerah ini seolah-olah berada dalam kondisi yang saling berhadap-hadapan. Di beberapa daerah diberitakan dalam berbagai media terjadi kasus pe-nolakan oleh anggota DPRD ter-hadap laporan pertanggungjawaban Kepala daerah jauh sebelum laporan tersebut disampaikan, dibahas dan

5

Arbi Sanit,Perwakilan Politik di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1985, h. 205

diklarifikasi, serta ancaman akan dikeluarkannya mosi tidak percaya. Sebagian anggota DPRD meng-anggap gampang hal yang mudah untuk mengganti kepala daerah.

Kondisi demikian terjadi ber-kaitan dengan kualitas anggota DPRD yang kurang memahami tugas dan fungsi serta kewajibannya karena faktor kurangnya kemampuan yang dimiliki. Faktor kemampuan anggota DPRD salah satu faktor penting untuk menunjang pelaksanaan tugas -tugas DPRD seperti yang dikemukakan oleh Sanit:

“Kemampuan anggota Badan Le-gislatif memerankan fungsi per-wakilan dari lembaga tersebut diukur dari daya persepsi anggota terhadap masyarakat dan masalah yang di-hadapi, serta kepentingan pihak yang diwakili. Kemampuan anggota legis-latif untuk memahami masyarakat serta kepentingan-kepentingan yang terbentuk di dalam masyarakat di-landasi oleh proses sosialisasi dan pengalaman mereka”.6

Tetapi hal lain juga disebabkan euforia kekuasaan yang meng-hasilkan egoisme kelembagaan, sehingga berdampak pada muncul-nya masalah baru. Pada Pemerintah-an Daerah Sidoarjo perubahPemerintah-an baru pada hubungan eksekutif dan legislatif terjadi karena munculnya komposisi baru anggota DPRD.

Pemilu 1999 di Sidoarjo merubah posisi anggota legislatif yang semula didominasi oleh Golkar selama kurun waktu 20 tahun. Lalu digantikan oleh gabungan partai-partai baru seperti Partai Demokrasi

(5)

5 Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Berikut Tabel 1 tentang komposisi baru anggota DPRD sebagai berikut:

Tabel. 1 Hasil pemilu di Sidoarjo

N o Partai Politik Laki - laki Perem-puan Total 1 PDIP 7 7 2 PKB 2 2 4 3 GOLKA R 4 4 4 PAN 3 3 5 PPP 1 1 6 PBB 1 1 7 TNI-Polri 5 5 Total 43 2 43 Sumber:www.sidoarjo.go.id/legislative

Dengan komposisi anggota DPRD yang berasal dari multipartai DPRD di Sidoarjo menjadi lebih pluralistik. Dampaknya muncul masalah antara Bupati dan anggota DPRD baru terpilih dalam proses kerjasama dimana anggota DPRD baru terpilih belum memiliki pengalaman atau keterampilan. Dilain pihak Bupati harus bertanggung jawab kepada anggota DPRD.

Di tahun pertama masa jabatan Bupati Wien Hendarso mengalami masalah teknis dengan anggota DPRD yang tak cukup mempunyai pengalaman atau “keterampilan” sehingga solusi yang dilakukan dalam mengatasi kesenjangan antara eksekutif dan legislatif dengan melakukan komunikasi dan koordinasi yang intensif dari Bupati. Bupati mengusulkan sebuah program pe-latihan bagi anggota DPRD yang bertujuan untuk memberikan pe-mahaman yang lebih baik mengenai nilai dari otonomi daerah dan

pemerintahan yang lebih baik. Namun komposisi DPRD yang baru me-nimbulkan sikap kompetitif bagi anggota DPRD di antara fraksi dalam tubuh DPRD. Selain itu munculnya paradoks UU No. 22 Tahun 1999 memperbesar kekuasaan DPRD dan masih asing dengan tugas dan fungsinya. Proses demokratisasi pemerintahan secara keseluruhan telah memperburuk potensi ke-tegangan antara pihak eksekutif dan legislatif sekaligus juga menciptakan sebuah pemerintahan daerah yang demokratis.

Dengan kondisi DPRD seperti itu maka Bupati membentuk tim ahli untuk melakukan persiapan mem-bentuk badan-badan daerah yang lebih maju dengan organisasi yang berorientasi pasar, dengan anggota-nya para anggota birokrasi sipil yang terpilih dan cakap dan dipilih dari para pejabat intern birokrasi daerah.

Bupati Sidoarjo yang terpilih adalah mantan Sekretaris Daerah (SEKDA) seorang sipil yang mem -peroleh dukungan dari Golkar dan PKB latar belakang pendidikan Master Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada dengan latar belakang yang dimiliki dirinya dapat diterima oleh anggota DPRD dan kecakapannya menunjang pe-laksanaan otonomi daerah.

Hubungan eksekutif dan legis-latif dapat berjalan dengan baik atau harmonis karena keduanya dapat memahami kewenangan masing-masing dalam melaksanakan peran-nya, misalnya ketika Bupati mengeluarkan kebijakan subsidi yang cukup besar kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), DPRD mengeluarkan kritik keras serta beberapa nasehat terhadap kebijakan

(6)

6 tersebut hal ini atas dasar hasil penyelidikan faktual dan data dari laporan keuangan RSUD dimana neraca anggaran pos pengeluaran dan saldo tidak jelas.

Faktor lain yang menyebabkan keharmonisan hubungan eksekutif dan legislatif adalah kondisi era reformasi yang menuntut transparasi pemerintahan telah memberikan kesempatan pada LSM-LSM dan media lokal untuk terlibat dalam proses kebijakan pemerintahan dalam rangka memonitor dan memberikan laporan kepada publik mengenai kinerja DPRD dan Bupati sehingga hal tersebut dapat menciptakan sebuah hubungan yang lebih kompleks dan demokratis antara eksekutif dan legislatif.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat dilihat perubahan politik sangat mem-pengaruhi hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan da-erah. Hal tersebut terjadi karena faktor kebijakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digulirkan oleh pemerintahan Habibie telah memberikan otonomi yang luas kepada daerah untuk dapat mengelola, mengatur dan mem-bangun daerahnya.

Tetapi keberhasilan dari otonomi

daerah sangat tergantung juga pada hubungan eksekutif dan legislatif yang kondusif dapat bekerjasama untuk kepentingan masyarakat dengan ditunjang oleh kemampuan dan kecakapan yang diperoleh dari kedua belah pihak (eksekutif dan legislatif) seperti faktor pendidikan dan pengalaman serta moral yang baik. Serta didukung pula oleh sumberdaya manusia yang baik dari segi pendidikan dan moral dari birokrat yang dimiliki.

Oleh sebab itu perbaikan dari berbagai sektor manajemen pe-merintahan perlu dilakukan dengan mengoptimalkan kinerja eksekutif dan legislatif sehingga otonomi daerah yang bertujuan memberikan ke-sejahteraan, kemakmuran dan keadilan yang merata bagi semua masyarakat di daerah dapat terwujud. Daftar Pustaka

Kaloh, Johan. 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta.

Sanit, Arbi. 1985,Perwakilan Politik di Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta.

Said, M. Mas’ud. 2005, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, Penerbitan Universitas Muham-madiyah Malang, Malang.

Referensi

Dokumen terkait

peningkatan tersebut cenderung seragam pada tiap perlakuan, Hal ini disebabkan selain belum optimalnya penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman,

Kepatuhan ibu membawa buku KIA di Puskesmas PONED hampir seluruh responden patuh dan Puskesmas Non PONED seluruh responden patuh membawa buku KIA pada saat kunjungan ANC,

Kandungan fitoestrogen yang berasal dari ekstrak dapat meningkatkan proliferasi osteoblas dan meningkatkan diferensiasi osteoblas menjadi osteosit, sehingga pembentukan

Waktu pelayanan yang standar yaitu 30 menit untuk Surat Permintaan Pembayaran (SPP) Klim langsung, dan 60 menit untuk SPP Klim tidak langsung sepanj ang

I genomsnitt för samtliga försök 1992-96 gav led C (extra tidig sådd) l procent högre skörd än led B (tidig sådd) och konventionell sådd, som gav samma skörd. Slutsatsen är

[r]

Bentuk satuan lingual berupa kata tunggal berkategori nomina mencakup nama penyakit dalam kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional masyarakat dayak kanayatn

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah foto-foto yang terdapat dalam buku Genesis karya Sebastiao Salgado.. Buku ini menampilkan kurang lebih 500 karya