• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Siklus Hidrologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DASAR TEORI. 2.1 Siklus Hidrologi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Siklus Hidrologi

Daur hidrologi secara umum dapat diterangkan sebagai berikut. Air yang diuapkan oleh panas sinar matahari dan angin dari permukaan laut dan daratan akan terbawa oleh pergerakan udara. Di tempat-tempat tertentu, umumnya di atas dataran yang tinggi terjadi proses pendinginan dan uap air akan terkondensasikan menjadi butir-butir air yang akan turun kebumi sebagai air hujan, hujan es atau salju. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian akan meresap dan merembes kedalam tanah setempat dan akan mencapai muka air tanah, sebagian lainnya akan diuapkan kembali dan sebagian lainnya lagi akan mengalir di permukaan sebagai aliran permukaan (run off) sebagai sungai dan anak-anak sungai. Air yang merembes ke dalam tanah sebagian akan disimpan dalam lapisan pembawa air (akuifer). Aliran air tanah maupun aliran permukaan tersebut pada akhirnya akan kembali ke laut dan membentuk daur hidrologi kembali secara terus menerus.

(2)

2.2 Neraca Air

Neraca air menunjukkan hubungan antara komponen-komponen dalam siklus hidrologi yang dapat dinyatakan sebagai suatu persamaan sebagai berikut :

P = R + E + T + I + ∆S atau biasa ditulis :

P = R + ET + I + ∆S keterangan :

§ P = Curah hujan (Presipitasi)

§ R = Limpasan (Run off)

§ ET= Evapotranspirasi

§ I = Infiltrasi

§ ∆S = Cadangan air tanah

§ BF= Base Flow

(ET) (ET)

(P)

(BF)

Gambar 2. 2 Konsep Neraca Air

HUJAN

PERMUKAAN

LIMPASAN (R) INFILTRASI (I)

(3)

2.2.1 Presipitasi

Secara terminologi presipitasi adalah suatu proses mengembunnya uap air menjadi segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan, dan lain-lain) atmosfer yang kemudian jatuh ke atas vegetasi, batuan, permukaan tanah, permukaan air, dan saluran-saluran sungai. Jumlah presipitasi biasanya dinyatakan dengan dalamnya (depth) presipitasi (mm).

Hasil pengukuran data hujan dari masing-masing alat pengukuran hujan adalah merupakan data hujan suatu titik (point rainfall). Untuk kepentingan analisis neraca air yang diperlukan adalah data hujan suatu wilayah (area rainfall). Ada beberapa cara untuk mendapatkan data hujan wilayah, diantaranya yaitu dengan cara rata-rata aljabar, poligon Thiessen, dan Isohiet.

Cara Poligon Thiessen

Metoda ini berusaha untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weigthing factor) bagi masing-masing stasiun curah hujan. Masing-masing-masing stasiun diplot pada suatu peta, dan tarik garis yang menghubungkan stasiun-stasiun tersebut

Garis-garis bagi tegak lurus dari garis penghubung ini membentuk poligon-poligon disekitar masing-masing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon-poligon merupakan batas luar aktif yang diasumsikan untuk stasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing poligon dinyatakan sebagai persentase dari luas total. Curah hujan rata-rata untuk seluruh luas dihitung dengan mengalikan hujan pada masing-masing stasiun dengan persentase luasnya dan menjumlahkannya.

Penghitungan curah hujan rata-rata cara poligon Thiessen adalah sebagai berikut :

1 1 2 2 3 3 1 2 3

.

.

.

X X X

A P

A P

A P

A P

P

A

A

A

A

+

+

+

=

+

+

+

P = Curah hujan rata-rata

X

P = Curah hujan di titik tertentu

X

(4)

Gambar 2. 3 Perhitungan Rata-rata Curah Hujan Cara Poligon Thiessen

2.2.2 Evapotranspirasi

Evaporasi (E) adalah proses penguapan yang terjadi akibat pemanasan sinar matahari secara langsung ke badan air. Sedangkan transpirasi adalah proses penguapan yang terjadi dengan melalui proses osmose pada tumbuhan (air mengalir melalui akar tumbuhan, ke batang, dan kemudian menguap melalui lembaran daun). Evapotranspirasi adalah perpaduan antara proses evaporasi dan transpirasi.

Perkiraan evapotranspirasi adalah sangat penting dalam kajian-kajian Hidrologi. Pengukuran langsung evaporasi maupun evapotranspirasi dari air maupun permukaan lahan yang luas akan mengalami banyak kendala. Untuk itu dikembangkan beberapa metode pendekatan dengan menggunakan input data-data yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi. Apabila jumlah air yang tersedia tidak menjadi faktor pembatas, maka evapotranspirasi yang terjadi akan mencapai kondisi yang maksimal dan kondisi itu dikatakan sebagai evapotranspirasi potensial tercapai atau dengan kata lain evapotranspirasi potensial akan berlangsung bila pasokan air tidak terbatas bagi stomata maupun permukaan tanah.

Evapotranspirasi potensial (ETp) sebagaimana telah dikemukakan oleh Penman (Chang 1974), merupakan laju evapotranspirasi dari tanaman yang menutupi tanah secara sempurna, tinggi yang seragam, dan berada dalam keadaan cukup air. Untuk menduga besarnya evapotranspirasi potensial (ETp) tersedia banyak metoda, yang dalam proses perhitungannya memanfaatkan data iklim yang pada umumnya tersedia di stasiun klimatologi.

(5)

Tabel 2. 1 Beberapa Metode Pendugaan ETp

Metoda T Rs e u Lama Hari

Thorntwaite X X

Blaney-Cridle X X

Samari-Hargreaves X X X

Priestley-Taylor X X

Penman-Monteith X X X X

T = Temperatur, Rs = Radiasi surya, e = Kelembaban, u = Kecepatan angin

Metode Penman-Monteith

Penghitungan evapotranspirasi potensial dengan metode Penman-Monteith (Monteith, 1965) adalah sebagai berikut :

) U , ( γ ) a e s (e U ) T ( γ n R , ETp 2 34 0 1 2 273 900 408 0 + + ∆ − + + ∆ =

§ ETp = Evapotranspirasi potensial, (mm/hari).

§ Rn = Radiasi matahari netto di atas permukaan tanaman, (MJ/m2

/hari).

§ T = Suhu udara rata-rata, (oC).

§ U2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah, (m/s). § e s = Tekanan uap air jenuh, (kPa).

§ ea = Tekanan uap air aktual, (kPa).

§ ∆ = Kemiringan kurva tekanan uap air terhadap suhu, (kPa/oC).

§ γ = Konstanta psikrometrik, (kPa/oC).

Evapotranspirasi Terbatas

Potensial evapotranspirasi mengasumsikan bahwa air selalu tersedia cukup di alam, tetapi kenyataannya di alam tidak begitu, sehingga perlu dihitung evapotranspirasi minimal, yang memperhitungkan waktu tidak terjadi hujan. Evapotranspirasi minimal disebut juga sebagai evapotranspirasi terbatas (Limited Evapotranspiration).

(6)

ET ETp ETt= −∆ 30 ) 30 ( . .m n ETp ET= − ∆

§ ΔET = Nilai perbedaan antara ETp dan ETt (mm/bln)

§ ETp = Evapotranspirasi potensial (mm/bln)

§ ETt = Evapotranspirasi terbatas (mm/bln)

§ n = Jumlah hari hujan tiap bulan

§ m = Nilai perkiraan permukaan yang tidak tertutup tanaman Nilai m dapat dilihat dalam daftar dibawah ini :

1. Bulan kering, didefinisikan memiliki < 5 hari hujan

a. m = 0% untuk hutan belantara

b. m = 0 – 10% untuk daerah tumbuhan hijau / perkebunan

c. m = 10 – 40% untuk daerah erosi

d. m = 30 – 50% untuk daerah persawahan

e. m = 20 – 60% untuk daerah pertokoan

2. Bulan peralihan, didefinisikan memiliki 5 – 8 hari hujan, nilai m sama dengan musim kering

3. Musim basah, didefinisikan memiliki > 8 hari hujan, nilai m berkisar antara 10 – 20%

2.2.3 Infiltrasi

Proses masuknya air hujan ke dalam lapisan permukaan tanah dan turun ke permukaan air tanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama di absorbsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun ke permukaan air tanah dan mengalir kesamping. Dalam beberapa hal tertentu, infiltrasi itu berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi maximum setiap tanah bersangkutan.

Kecepatan infiltrasi yang berubah-ubah sesuai dengan variasi intensitas curah hujan umumnya disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi maksimum yang terjadi pada

(7)

suatu kondisi tertentu disebut kapasitas infiltrasi (f). Kapasitas infiltrasi itu adalah berbeda-beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan, suhu dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah.

Gambar 2. 4 Laju Infiltrasi f = fc + ( fo - fc ) e-kt

Rumus ini berlaku apabila i > f

§ f = Kapasitas infiltrasi saat waktu t

§ fc = Nilai infiltrasi setelah mencapai nilai grafik konstan

§ fo = Kapasitas infiltrasi saat mulai

§ k = konstanta

§ t = waktu

2.2.4 Run off

Run off (limpasan) adalah total air yang mengalir pada suatu daerah baik di permukaan ataupun di bawah permukaan (akuifer) yang akan mengisi sungai. Air limpasan yang terkumpul melalui saluran alami maupun buatan, akan membentuk aliran air yang lebih besar dan menjadi banjir yang mengalir melalui sungai-sungai yang ada. Sungai tidak hanya berasal dari limpasan air hujan, tetapi terutama berasal dari kumpulan air dibawah permukaan yang mengalir ke sungai (baseflow).

(8)

setelah terjadi hujan sampai mencapai kanal sungai atau langsung kembali ke atmosphere melalui evapotranspirasi. Besar variasi komponen relatif terhadap jumlah curah hujan dari data yang diberikan dapat tidak valid tergantung pada keadaan fisik , alam dan perubahan akibat manusia.

Gambar 2. 5 Run off dan Baseflow (http://www.bigelow.org/virtual/baseflow.gif)

2.2.5 Storage

Volume Simpan atau Storage adalah suatu kemampuan tanah/batuan untuk menyimpan sejumlah air dalam bulan tertentu dalam luas wilayah 1 m2. Volume simpan ini berada pada pori-pori atau celah-celah (rongga-rongga/ruangan-ruangan pada tanah/batuan). Harga volume simpan tidak dipengaruhi oleh infiltrasi saja, tetapi juga dipengaruhi oleh debit Run Off dan volume simpan bulan sebelumnya.

Gambar 2. 6 Storage

(9)

2.3 Cekungan Hidrologi Daerah Tangkapan Air

Batas dari suatu sistem hidrologi yang dapat dibedakan dengan sistem yang lain adalah daerah tangkapan air (water catchment area). Water Catchment area

adalah suatu cekungan topografi yang dibatasi oleh suatu garis yang menghubungkan puncak tertinggi pada sebagian sisinya, sehingga aliran air hanya terjadi pada sistem tersebut saja. Cekungan ini biasanya berasosiasi dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana tinggian atau punggungan merupakan batas antar DAS.

Gambar 2. 7 Skema Daerah Tangkapan Air (http://www.bigelow.org/virtual/baseflow.gif)

Cekungan Air Tanah

Cekungan air tanah adalah unit hidrogeologi yang mengandung suatu unit akifer yang besar atau beberapa unit akifer yang berhubungan dan saling mempengaruhi. Basementnya berupa lapisan batuan yang merupakan bagian dasar dari sistem air tanah yang ada, bersifat impermeabel dan tidak dapat dieksploitasi lagi.

Batas dari sistem cekungan air tanah tidak selalu sama dengan sistem cekungan air permukaan, meskipun berada di daerah yang sama. Cekungan airtanah umumnya lebih luas dibandingkan dengan cekungan air permukaan, karena masukan air pada sistem air tanah bisa berasal dari daerah di luar batas cekungan air permukaan.

(10)

Gambar 2. 8 Skema Cekungan Air Tanah

(http://www.fixfoundation.com/images/Groundwater_1.jpg)

2.4 Akuifer

Akuifer adalah lapisan batuan atau formasi geologi atau bagian dari formasi geologi yang jenuh air yang bersifat permeable dan mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang signifikan (C.W.Fetter, 1988). Akuifer tersebar luas dan dapat berada di atas atau di bawah lapisan pembatas (confined beds), yaitu material yang relatif kedap air yang terdapat berdekatan dengan satu akuifer atau lebih.

Selanjutnya, berdasarkan kemampuan untuk meloloskan air, maka lapisan batuan dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu :

1. Akuifer, yaitu lapisan batuan yang bersifat permeable dan mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang ekonomis. Contoh : Batu Pasir

2. Akuifuge, yaitu suatu lapisan batuan yang benar-benar kedap air (impermeable), sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air. Contoh : Batuan beku massif yang tidak terkekarkan 3. Akuitard, yaitu suatu lapisan batuan dengan permeabilitas yang rendah yang

(11)

yang relative terbatas ke suatu akuifer menuju akuifer lainnya. Contoh : Pasir lempungan

4. Akuiclud, yaitu suatu lapisan batuan akuifer yang mampu menyimpan air, namun hanya mampu mengalirkan air dalam jumlah yang tidak signifikan. Contoh : lempung

Sedangkan berdasarkan tingkat kemampuan untuk meloloskan air dari lapisan pembatasnya, maka akuifer dapat dibagi lagi menjadi 4 jenis akuifer, yaitu:

1. Akuifer bebas

Akuifer bebas adalah suatu lapisan batuan yang jenuh air yang tidak memiliki lapisan pembatas diantara zona jenuh air dengan permukaan bumi. Hal lain yang dapat menjelaskan bahwa suatu akuifer dikatakan sebagai akuifer bebas adalah akuifer ini berada pada bagian paling atas lapisan batuan yang lain, sehingga berhubungan langsung dengan atmosfer. Karena mengalami kontak langsung dengan akuifer, maka tekanan pada akuifer akan sama dengan tekanan udara luar yang mengalami kontak langsung dengan akuifer. Air tanah yang terdapat pada akuifer ini disebut air tanah bebas, dan sistem alirannya dikenal dengan sistem air tanah bebas.

2. Akuifer tertekan

Akuifer tertekan adalah suatu lapisan permeable yang jenuh air dan dibatasi oleh lapisan-lapisan impermeable pada bagian atasnya, sehingga tekanan muka air tanah yang ada pada lapisan ini tidak sama dengan tekanan atmosfer, menyebabkan akuifer ini berada dalam keadaan tertekan. Muka air tanah pada akuifer jenis ini disebut muka air tanah tertekan (potensiometrik). Jika tekanan pada akuifer lebih tinggi daripada tekanan atmosfer, maka disebut sebagai air tanah artesis.

3. Akuifer setengah tertekan

Akuifer setengah tertekan adalah suatu lapisan yang jenuh air pada bagian atasnya yang dibatasi oleh lapisan yang bersifat semi permeable, sedangkan pada bagian bawahnya dibatasi oleh lapisan yang bersifat impermeable.

(12)

Lapisan semi impermeable ini memiliki kemampuan meloloskan air dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan lapisan akuifer dibawahnya, sehingga nilai kelolosan airnya dapat diabaikan.

4. Akuifer setengah bebas

Jika lapisan semi permeable yang berada di atas akuifer memiliki kelulusan yang cukup besar dibandingkan dengan nilai kelulusan akuifer, maka aliran air yang terjadi tidak dapat diabaikan, dan akuifer tersebut digolongkan sebagai akuifer setengah bebas atau setengah tidak tertekan. Akuifer ini memiliki sifat diantara akuifer tertekan dengan akuifer setengah tertekan.

K = 0 K K' < K K' = K K K K' <<< K

Gambar 2.9 Jenis-jenis Akifer (Todt,1988)

2.5 Karakteristik Akifer Konduktivitas hidrolik

Konduktivitas hidrolik (K) merupakan suatu parameter dalam aliran air melalui media berpori yang menyatakan laju kelulusan air per satuan luas penampang media yang dilalui. Harga K dinyatakan dalam persamaan berikut :

(13)

dh dl -Q = A( ) K

Q memiliki dimensi volume/satuan waktu (L3/T), sedangkan luas (A) memiliki dimensi L2,dan gradient hidrolik L/L. Dengan mensubstitusikan dimensi ke dalam persamaan maka akan didapat dimensi K sebagai berikut:

3 2 ( ) ( / ) ( )( ) − = L T = K L T L L L

Nilai K ini dinyatakan sebagai suatu nilai konduktivitas hidrolik atau koefisien permeabilitas suatu media.

Nilai konduktivitas hidrolik akan dipengaruhi oleh karakter fisik yang dimiliki oleh media tersebut, diantaranya adalah besar butir, jumlah rekahan yang dimiliki, porositas, keseragaman butir, dan penyebaran (sorting) butiran. Pada media yang tidak mengalami kompaksi, maka media tersebut cenderung akan memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang dipengaruhi oleh ukuran besar butirnya, sedangkan pada media tipe lainnya, yaitu media yang mengalami kompaksi, maka media tersebut cenderung untuk memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang dikontrol oleh porositasnya, yang pada umumnya porositas ini berasal dari rekahan yang muncul pada media tersebut. Pada media yang tidak mengalami kompaksi, makin besar ukuran butir, maka konduktivitas hidroliknya akan menjadi semakin besar pula, seperti pada pasir kasar. Sedangkan, pada media dengan ukuran butir yang semakin kecil, misalnya pada lempung, maka akan memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang semakin kecil pula. Sedangkan pada media yang terkompaksi, konduktivitas hidroliknya akan dikontrol oleh rekahan yang muncul, yang kemudian digunakan sebagai media masuknya air.

(14)

Tabel 2. 2 Nilai K Pada Beberapa Jenis Batuan

No Material Konduktivitas Hidrolik

(m/sec) 1 Kerikil 3x10-4 – 3x10-2 2 Pasir kasar 9x10-7 – 6x10-3 3 Pasir sedang 9x10-7 – 5x10-4 4 Pasir halus 2x10-7 – 2x10-4 5 Lanau lepas 1x10-9 – 2x10-5 6 Lempung 1x10-11 – 4.7x10-9

7 Lempung laut segar 8x10-13 – 2x10-9

8 Karst dan batugamping terumbu 1x10-6 – 2x10-2

9 Batugamping, dolomit 1x10-9 – 6x10-6 10 Batupasir 3x10-10 – 2x10-6 11 Batulanau 10x10-11 – 1.4x10-8 12 Garam 1x10-12 –1x10-10 13 Anhydit 4x10-13 – 2x10-8 14 Serpih 1x10-13 – 2x10-9 15 Pelapukan basalt 4x10-7 – 2x10-2

16 Batuan beku terkekarkan dan batuan metamorf 8x10-9 – 3x10-4

17 Pelapukan granit 3.3x10-6 – 5.2x10-5

18 Pelapukan gabro 5.5x10-7 – 3.8x10-6

19 Basalt 2x10-11 – 4.2x10-7

20 Batuan beku masif dan batuan metamorf 3x10-14 – 2x10-10

(Pedoman Praktikum Hidrogeologi, Laboratorium Hidrogeologi Departemen Teknik Geologi ITB, Deny Juanda, 2004)

Transmisivitas adalah besar kecepatan aliran air melalui penampang vertikal akifer (tebal akifer), dengan satuan unit luas per unit waktu. Persamaan transmisivitas adalah :

0 =

b z

T K dz

Untuk konduktivitas hidraulik vertikal yang konstan

= T Kb =k wg K ρ µ 2 k = A d

(15)

Dimana :

T = Transmisivitas akifer [L2T-1] b = Ketebalan akifer jenuh [L] K = Hidraulik konduktivitas [LT-1] k = Permeabilitas [L2] A = Faktor shape [L2]

w

ρ = Densitas air [ML-3]

d = Rata – rata diameter pori ( L )

µ = Viskositas dinamik fluida ( MT-1 )

Faktor geologi berpengaruh terhadap permeabilitas media dimana litologi sebagai media mempunyai karakteristik seperti ukuran dan sorting dari butiran, packing, shape, roughness dan ukuran pori yang berhubungan terhadap ukuran butir. Media yang permeabilitasnya baik mempunyai porositas yang tinggi, contohnya pasir atau batupasir. Media yang poros tidak selamanya mempunyai permeabilitas tinggi, contohnya lempung yang mempunyai porositas sampai 70% namun permeabilitasnya buruk.

( )

( )

= = v

T V Volume Pori Rongga Porositas n

Volume Total V

Tabel 2. 3 Nilai Porositas Pada Beberapa Jenis Batuan.

No Material Porositas No Material Porositas

1 Kerikil kasar 28 13 Batupasir kasar 45

2 Kerikil sedang 32 14 Peat 92

3 Kerikil 34 15 Schist 38

4 Psir kasar 39 16 Batulumpur 35

5 Pasir sedang 39 17 Batulempung 43

6 Pasir halus 43 18 Shale 6

7 Lumpur 46 19 Tuff 41

8 Lempung 42 20 Basalt 17

9 Batupasir butir 33 21 Gabro lapuk 43

10 Batupasir sedang 37 22 Granit lapuk 45

11 Batu kapur 30

12 Dolomit 26

(Pedoman Praktikum Hidrogeologi, Laboratorium Hidrogeologi Departemen Teknik Geologi ITB, Deny Juanda, 2004)

(16)

)

2.6 Luahan dan Resapan

Pada suatu akuifer tak tertekan, beberapa karakteristik secara umum dapat ditemukan pada sebagian besar daerah resapan (recharge), seperti kebanyakan daerah recharge memiliki beberapa persamaan. Daerah recharge secara umum berada pada tempat yang memiliki topografi lebih tinggi, sedangkan daerah luahan (discharge) berada pada daerah dengan topografi yang lebih rendah. Pada daerah recharge, umumnya zona tidak jenuh berada pada lokasi yang lebih dalam antara muka air tanah dengan permukaan. Sebaliknya, muka air tanah umumnya ditemukan dekat atau bahkan pada permukaan untuk daerah discharge.

Garis alir pada jaringan aliran air tanah cenderung menyimpang atau menyebar dari daerah recharge dan kemudian berkumpul kembali ke arah daerah discharge. Penyimpangan ini tidak akan terjadi bila daerah discharge memiliki area pengeluaran yang sangat luas, seperti pantai. Kontur muka air tanah dapat digunakan untuk menentukan daerah recharge dan discharge.

Di alam, vegetasi dan air permukaan kadangkala dapat digunakan untuk menentukan letak dari daerah discharge. Terdapat berbagai wujud fisik dari daerah discharge, yang dapat berupa mata air, rembesan, danau, dan sungai. Kehadiran vegetasi dalam jumlah yang banyak diikuti dengan adanya tanah dalam kondisi basah dapat mengindikasikan suatu daerah discharge. Pada suatu daerah yang kering, air tanah akan keluar sebagai hasil dari evapotranspirasi atau transpirasi. Pada beberapa kasus, vegetasi yang tumbuh lebih tebal dari biasanya atau suatu deposit garam dapat mengindikasikan daerah tersebut merupakan daerah discharge.

(17)

Gambar

Gambar 2. 1 Siklus Hidrologi (Morr, 1977)
Gambar 2. 2 Konsep Neraca Air  HUJAN
Gambar 2. 3 Perhitungan Rata-rata Curah Hujan Cara Poligon Thiessen
Tabel 2. 1 Beberapa Metode Pendugaan ETp
+7

Referensi

Dokumen terkait

Disini terlihat bahwa bukan hal yang mudah untuk membangun kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan karena untuk membangun kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan

Dalam simulasi Wind Tunnel ini dilakukan studi tentang pengaruh parameter kecepatan aliran freestream, tinggi elemen kekasaran, dan kerapatan elemen kekasaran terhadap

Hasil Uji Mann- Whitney antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa p = 0,000 (p &lt; 0,05) yang berarti terdapat perbedaan antara kelompok eksperimen

Dari penelitian tentang kemampuan generik pada pembelajaran Biologi yang dilakukan oleh Rahman (2008) diperoleh hasil bahwa Program Pembelajaran Praktikum Berbasis Kemampuan

(3) Dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ketua dibantu pengelola keuangan Sekolah Tinggi wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya banggakan, Dalam kesempatan ini pula, BKKBN akan melakukan Peresmian Sertifikasi Penyuluh Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Badung Nomor 14 tahun 1982 tentang Larangan Mendirikan Bangun – Bangunan pada

300 Ruang kerja perkantoran, ruang sekolah dengan ketepatan visual tinggi, ruang pusat perhatian gedung ibadah, ruang pemeriksaan di rumah sakit, penerangan laboratorium, dan