• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Landasan Teori

1. Pembelajaran Tematik

Teori pembelajaran Tematik dimotori para tokoh Psikologi Gestalt, yang menekankan bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian atau unsur-unsur yang dipelajari, Koffka, 1963 (dalam Olson 2008).

Menurut Kohler (1925) dalam Olson (2008), belajar menurut Gestalt adalah fenomena yang terjadi pada otak manusia (Kognitif). Setiap manusia dapat memikirkan suatu solusi setelah menatap suatu masalah. Orang yang sedang belajar akan memikirkan semua aspek dan unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan menempatkan bersama (secara kognitif) dalam suatu cara dalam pemecahan masalah dan kemudian seseorang yang sedang belajar dapat menggunakan cara yang lain berdasarkan unsur-unsur yang ada sampai masalah yang dihadapi dapat terselesaikan. Permasalahan yang dihadapi akan menghadirkan wawasan baru tentang cara atau solusi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Wawasan tersebut adalah masalah terpecahkan dan masalah tak terpecahkan. Proses pemecahan masalah dapat

(2)

13

diartikan sebagai upaya seorang manusia dalam menggabungkan semua unsur yang ada dalam masalah yang dihadapinya untuk digunakan dalam proses pemecahan masalah. Adapun dalam hasilnya, masalah yang dihadapi dapat terselesaikan atau tidak tetap akan menghadirkan sebuah wawasan baru.

Belajar adalah proses memuaskan secara personal atau individu dan tidak perlu mendapat dorongan dari pihak-pihak atau faktor eksternal (Olson, 2008). Dalam proses pembelajaran, kelas yang berorientasi Gestalt akan dicirikan dengan hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Guru akan membantu siswa memandang suatu fenomena yang dihadapi dengan menggabungkan pengalaman yang mereka punya untuk menjadi pola yang bermakna. Belajar berdasarkan Gestalt bisa dimulai dari sesuatu yang dekat dengan siswa dan setiap langkah dalam pembelajaran didasarkan pada hal-hal yang sudah dikuasai berdasarkan pengalaman mereka. Olson (2008) menjelaskan bahwa “Semua aspek pelajaran dibagi menjadi unit-unit yang bermakna, dan unit-unit itu harus berkaitan dengan seluruh konsep atau pengalaman”.

Guru yang berorientasi Gestalt mungkin akan menggunakan ceramah, tetapi ia akan berusaha agar selalu ada dalam interaksi antara guru dan siswa

(3)

14

dalam proses pemaduan unit-unit yang saling bermakna. Mengingat fakta tanpa pemahaman akan dihindari. Setelah siswa memahami prinsip dibalik pengalaman belajar barulah mereka bisa memahami dengan sesungguhnya. Ketika hal-hal yang dipelajari telah dipahami, bukan hanya diingat, maka ia dapat mudah diaplikasikan ke situasi yang baru dan dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Peneliti menyetujui aliran psikologi Gestalt, bahwa proses pembelajaran di kelas rendah SD diawali oleh penggabungan berbagai unsur yang saling berhubungan dalam suatu fenomena atau masalah untuk digunakan dalam proses belajar, sehingga dari berbagai unsur yang ada akan digabungkan menjadi sesuatu yang utuh dan bermakna.

Proses penggabungan berbagai unsur yang saling berhubungan dalam suatu fenomena atau masalah untuk digunakan dalam proses belajar menjadi dasar terbentuknya Pembelajaran Tematik. Pembelajaran Tematik dimaknai sebagai pembelajaran yang dirancang berdasarkan unsur-unsur tertentu yang ada dalam sebuah pembelajaran. Penggabungan unsur-unsur dapat diambil dari tema-tema yang ada dalam setiap kompetensi dalam mata pelajaran. Tema-tema yang digabungkan atau dikaitkan dalam setiap mata pelajaran harus saling berkaitan, sehingga

(4)

15

pembelajaran yang dilakukan menjadi bermakna bagi siswa.

Proses pembelajaran yang menganut aliran Gestalt menjadi dasar pemerintah dalam membuat peraturan pemerintah tentang Pembelajaran Tematik. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 menyebutkan bahwa pembelajaran yang ditekankan untuk kelas 1 sampai kelas 3 SD adalah Pembelajaran Tematik. Penetapan pemerintah tentang pembelajaran tematik telah melalui pertimbangan dan kajian dari berbagai pihak terkait sebagai pengambil kebijakan, yaitu bahwa pembelajaran dengan pendekatan tematik dianggap bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan anak kelas awal sekolah dasar. Penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik anak dimana pada usia tersebut mereka masih berada pada rentangan usia dini 0-6 tahun (masa kanak-kanak awal) yang masih perlu penggabungan berbagai unsur-unsur atau tema-tema dalam memadukan suatu pelajaran sehingga menjadi sesuatu yang utuh dan bermakna bagi siswa.

Pelaksanaan pembelajaran Tematik perlu direncanakan secara matang dalam implementasi di kelas (Ernawati, dkk. 2011). Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

(5)

16

Pendidikan, disebutkan dalam pasal 16, ayat 1 yang berbunyi ”penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP”. Perencanaan suatu kurikulum merupakan rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang telah ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus. Dalam KTSP (2011) perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Menurut pendapat Joyce (1992) dalam Trianto (2010) “Each model guides us as we design instruction to help students achieve various objectives”.

Artinya bahwa setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Diharapkan setiap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun pada masing-masing tingkat satuan pendidikan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai kebutuhan masing-masing tingkat satuan pendidikan.

(6)

17

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 menyebutkan bahwa pembelajaran yang ditekankan untuk kelas 1 sampai kelas 3 SD adalah Pembelajaran Tematik. Penyusunan RPP yang digunakan juga harus RPP dengan model Tematik. Pada dasarnya prinsip-prinsip pengembangan RPP tematik tetap memuat komponen-komponen sebagaimana RPP yang ada dalam RPP mata pelajaran, hanya saja dalam RPP tematik penting memperlihatkan keterkaitan rumusan-rumusan komponen utama RPP dengan Tema yang diterapkan. Tanpa perencanaan yang matang, mustahil target pembelajaran bisa tercapai secara maksimal.

2. Kemampuan Membaca, Menulis, dan Berhitung (Calistung)

a. Membaca

Membaca masuk dalam perkembangan kognitif anak. Anak mulai dapat menguasai membaca ketika menginjak umur 6 tahun atau pada pertengahan masa kanak-kanak (Papalia dkk. 2008).

Anak dapat mengidentifikasi kata-kata melalui dua cara, yaitu decoding dan visually based retrival. Menurut Papalia dkk. (2008) Decoding diartikan sebagai mengucapkan suatu kata, menerjemahkan kata yang tersebut dari

(7)

18

yang tercetak kepada suara sebelum mengingatnya dari memori jangka panjang. Agar dapat melakukan proses decoding, seorang anak harus menguasi kode fonetik yang menyesuaikan alfabet tercetak dengan suara yang keluar. Sedangkan metode yang kedua adalah visually based retrival, dimana anak melihat huruf kemudian mengingatnya kembali.

Papalia dkk. (2008) menyebutkan bahwa metode decoding dan visually based retrival telah mengispirasi pendekatan pembelajaran membaca yang saling bertolak belakang. Pertama, pendekatan profesional yang menekankan decoding disebut fonetik atau pendekatan yang menekankan pada kode. Kedua, pendekatan keseluruhan bahasa yang lebih menekankan pada kemampuan mengingat visual dan penggunaan isyarat kontekstual. Program keseluruhan membaca dibangun berdasarkan literatur yang sebenarnya dan aktifitas mandiri siswa dalam mempelajari suatu bacaan. Program keseluruhan membaca bertolak belakang dengan tugas-tugas yang diarahkan guru yang lebih melibatkan instruksi fonetik atau pengucapan bunyi suatu bahasa.

Menurut Papalia dkk. (2008), pendekatan keseluruhan membaca didasarkan pada

(8)

19

keyakinan bahwa anak dapat belajar membaca dan menulis secara alami, sebanyak mereka belajar memahami dan menggunakan dalam percakapan. Untuk mendorong proses ini, sejak awal anak didorong untuk mengetahui tujuan bahasa yang tertulis dalam mengkomunikasikan maknanya. Stahl, McKenna dan Pagnucco (1994 dalam Papalia dkk. 2008) menjelaskan bahwa membaca merupakan keterampilan yang harus diajarkan kepada seorang anak.

Pencampuran dari pendekatan fonetik dan keseluruhan bahasa sangat dianjurkan dalam proses belajar membaca (Papalia dkk. 2008). Anak belajar keterampilan fonetik disertai dengan berbagai strategi membantu mereka memahami apa yang mereka baca. Pendekatan kombinasi fonetik dan keseluruhan bahasa seperti ini sesuai dengan cara kerja otak anak. Anak-anak yang dapat memilih strategi berbasis visual atau fonetik, akan menggunakan pengingat visual untuk kata yang telah akrab dengan memori anak, sedangkan pengkodean fonetik sebagai cadangan untuk kata yang tidak akrab dengan memori anak (Siegler, 1998 dalam Papalia dkk. 2008).

Menurut Siegler (1998 dalam Papalia dkk. 2008), proses perkembangan yang dapat

(9)

20

meningkatkan pemahaman kalimat yang tertulis sama dengan perkembangan yang meningkatkan memori. Seiring dengan semakin otomatisnya pengidentifikasian kata, anak-anak dapat lebih fokus pada makna dari apa yang anak-anak baca. Strategi baru yang lebih rumit memungkinkan anak untuk menyesuaikan kecepatan membaca serta kemampuan dalam memahami isi dari suatu bacaan.

Pendapat lain yang sesuai dengan teori kognitif, menurut Tarigan (1990) membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di SD. Dalam Bahasa Indonesia, kegiatan manusia dibagi menjadi 4 aspek yaitu: menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Keempat aspek tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) Keterampilan yang bersifat menerima (reseptif) yang meliputi keterampilan membaca dan menyimak, (2) Keterampilan yang bersifat mengungkapkan (produktif) yang meliputi menulis dan berbicara.

Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis yang reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca seseorang akan dapat memperoleh informasi ilmu pengetahuan dan pengalaman baru. Semua yang

(10)

21

diperoleh melalui bacaan itu akan memungkinkan orang tersebut mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangannya dan memperluas wawasannya. Dengan demikian, maka kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat diperlukan oleh siapapun yang ingin maju dan meningkatkan diri, oleh karena itu pembelajaran membaca permulaan di SD mempunyai peran penting (Tarigan, 1990).

Papalia dkk. (2008) menyebutkan bahwa membaca juga dapat didefinisikan sebagai proses memperoleh makna dari cetakan. Kegiatan membaca bukan sekedar aktifitas yang pasif dan reseptif saja, melainkan menghendaki pembaca untuk aktif berpikir. Untuk memperoleh makna dari teks, pembaca harus menyertakan latar belakang “bidang” pengetahuannya, topik, dan pemahaman terhadap sistem bahasa itu sendiri. Tanpa latar belakang pengetahuan yang dimiliki pembaca selembar teks tidak berarti apa-apa bagi pembaca. Dalam kegiatan membaca terjadi proses pengolahan informasi yang terdiri atas informasi visual dan informasi nonvisual (Papalia dkk, 2008). Informasi visual merupakan informasi yang dapat diperoleh melalui indera penglihatan, sedangkan informasi nonvisual merupakan informasi yang sudah ada dalam benak pembaca.

(11)

22

Karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda dan dia menggunakan pengalaman itu untuk menafsirkan informasi visual dalam bacaan.

Berdasarkan pendapat dari Papalia dkk. (2008) dan Tarigan (1990), peneliti sependapat dengan Papalia dkk. (2008) yang menyebutkan bahwa kegiatan membaca bukan sekedar aktifitas yang pasif dan reseptif saja, melainkan menghendaki pembaca untuk aktif berpikir mengenali huruf demi huruf sesuai dengan kode fonetik untuk mendapatkan makna dari teks bacaan.

b. Menulis

Menulis berasal dari kata tulis, yang berarti suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya (Yunus, 2002). Penguasaan keterampilan menulis bergerak beriringan dengan perkembangan membaca (Papalia dkk. 2008). Ketika anak belajar untuk menerjemahkan kata yang tertulis ke dalam perkataan, mereka juga mencoba menggunakan kata yang tertulis untuk mengekspresikan ide, pemikiran, dan perasaan.

Menurut Whitehurst dan Lonigan (1998 dalam Papalia dkk. 2008) pada tahap prasekolah, anak mulai mengenal huruf, angka, dan bentuk

(12)

23

seperti huruf sebagai simbol untuk merepresentasikan kata atau bagian dari kata. Sering kali ejaan yang mereka juga berdaya cipta, bahkan karena jumlahnya yang beraneka ragam berdasarkan kreatifitas anak, mengakibatkan anak sendiri tidak dapat membacanya.

Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang di pahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca langsung lambang- lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu (Supriyadi, 1994). Menulis adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat di pahami pembaca (Tarigan,1986).

Papalia dkk. (2008) menyebutkan bahwa menulis adalah sesuatu yang sulit bagi anak, sehingga karangan pertamanya biasanya pendek. Sering kali tugas menulis yang diberikan seolah mengandung topik yang tidak akrab pada diri anak. Semua memori jangka panjang berusaha dikumpulkan menjadi satu untuk dapat menulis suatu karangan. Berbeda dengan percakapan yang memberikan umpan balik seketika, menulis mensyaratkan anak untuk menilai secara independen apa tujuannya sudah tercapai. Anak

(13)

24

juga harus mengingat kembali batasan lainnya, seperti ejaan, tanda baca, tata bahasa, dan huruf besar.

Berdasarkan pengertian menulis yang disampaikan oleh Yunus (2002), Papalia dkk. (2008), Supriyadi (1994), dan Tarigan (1986), peneliti sependapat dengan Papalia dkk. (2008) yang menyebutkan bahwa menulis merupakan kegiatan menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang di pahami oleh seseorang yang berasal dari memori jangka panjang, sehingga inti dari tulisan dapat dipahami oleh pembaca.

c. Berhitung

Berhitung merupakan bagian dari pembelajaran Matematika. Matematika mulai dipelajari oleh anak sejak masa usia dini umur 3 tahun (Henniger, 2009). Pada masa anak usia dini, anak-anak mengembangkan pemahaman kognitif yang mendasar untuk dapat mempelajari isi dari matematika.

Menurut Henninger (2009), dalam mempelajari Matematika terdapat 5 aspek, yaitu: 1) Operasi Hitung

Pada masa tahun-tahun anak usia dini, mereka harus belajar konsep dasar Matematika tentang penomoran. Anak pada jenjang

(14)

25

Sekolah Dasar juga siap untuk mengembangkan pemahaman mereka tentang operasi hitung Matematika seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.

2) Aljabar

Kebanyakan orang menganggap aljabar harus diajarkan di sekolah menengah dan sekolah tinggi, namun anak-anak pada usia dini akan mendapat keuntungan yang lebih apabila sudah mulai diajarkan tentang dasar-dasar aljabar.

3) Geometri

Anak-anak usia awal sekolah mulai diperkenalkan pada bentuk geometris dasar dan keterampilan menganalisis dengan menggunakan penalaran awal mereka.

4) Pengukuran

Pengukuran dipelajari anak usia dini karena langsung dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Ada banyak kesempatan untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan pengukuran yang lebih, karena anak-anak dapat mengukur tinggi, lebar, berat, dan volume berdasarkan dari apa yang mereka jumpa dalam kehidupan sehari-hari.

(15)

26

Penalaran statistik memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk merumuskan pertanyaan dan mengumpulkan data untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Matematika.

Berdasarkan pemahaman dari kelima aspek yang perlu dipelajari, anak-anak akan mempunyai kemampuan mengklasifikasikan objek atau ide yang mereka temukan. Misalnya mampu menempatkan abjek-objek yang memiliki kesamaan bentuk. Keterampilan klasifikasi merupakan dasar dari konsep-konsep Matematika (Henniger, 2009), seperti penulisan nomor 46 yang perlu memahami tentang puluhan dan satuan. Menurut Murry dan Mayer (1998 dalam Hanniger, 2009) mulai anak memahami konsep bilangan akan berkembang pesat selama tahun-tahun awal anak usia dini. Pada awal 3 tahun-tahun sampai 4 tahun seringkali anak hanya memahami bahwa angka 1 adalah angka yang paling kecil. Pemahaman anak prasekolah, pemahaman tentang penomoran berasal dari pengalaman menghitung berulang-ulang. Banyak lagu anak-anak yang dapat membantu belajar berhitung dan memberikan kesempatan kepada anak untuk memudahkan dalam mengingat angka-angka.

(16)

27

Bertambahnya umur otomatis membawa anak untuk masuk pada masa sekolah dasar. Anak-anak mulai dapat mengembangkan kemampuan untuk menghitung maju dan mundur, berhitung melompat, dan memahami angka sampai ratusan yang lebih khususnya pada masa usia 7 tahun atau pada jenjang Sekolah Dasar (Charlesworth 2005 dalam Henniger, 2009).

Peneliti sependapat dengan Charlesworth (2005 dalam Henniger, 2009) yang menjelaskan bahwa kemampuan berhitung merupakan kemampuan yang dimiliki anak untuk menghitung maju dan mundur, berhitung melompat, serta memahami angka sehingga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan objek atau ide yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Supervisi Klinis

Supervisi mengandung pengertian melakukan kegiatan pengawasan, membantu dan turut serta dalam perbaikan dan meningkatkan mutu (Sagala, 2010). Pada penelitian ini, supervisi yang digunakan adalah supervisi klinis. Supervisi klinis menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala, 2010) merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan membantu guru untuk pengembangan profesional dalam melakukan proses pembelajaran berdasarkan hasil observasi dan analisis data secara teliti dan

(17)

28

objektif sebagai pegangan untuk perubahan yang lebih baik. Supervisi klinis juga bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar serta minta belajar siswa di dalam kelas.

Cogen, 1973 (dalam Sagala, 2010) juga menekankan bahwa supervisi klinis adalah upaya bantuan secara langsung yang diberikan supervisor kepada guru dengan cara melakukan observasi dan melakukan analisis. Hasil observasi saat guru mengajar, agar guru menjadi lebih efektif dalam melaksanakan tugas mengajar.

Peneliti sependapat dengan pendapat Cogen (1973), yang menyebutkan bahwa supervisi klinis adalah suatu bentuk bimbingan professional yang diberikan kepada calon guru berdasarkan kebutuhannya melalui siklus yang sistematis dalam perencanaan, observasi yang cermat atas pelaksanaan, dan pengkajian balikan dengan segera dan obyektif tentang penampilan mengajarnya yang nyata untuk meningkatkan keterampilan dan sikap profesional seorang guru.

Adapun menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala 2010) unsur-unsur supervisi klinis adalah sebagai berikut: 1. Adanya hubungan tatap muka antara supervisor

dengan guru dalam proses supervisi klinis.

2. Berfokus pada tingkah laku sebenarnya dari guru dalam proses di kelas.

(18)

29

3. Observasi secara cermat.

4. Perdeskripsian data dalam observasi dilakukan secara terperinci.

5. Supervisor dan guru bersama-sama dalam melakukan penilaian dari apa yang sudah dilakukan guru di kelas.

6. Fokus observasi sesuai dengan permintaan kebutuhan dari guru.

Menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala 2010) tujuan supervisi klinis dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1. Tujuan umum

Memperbaiki dan meningkatkan keterampilan mengajar seorang guru.

2. Tujuan khusus

a. Memberikan masukan yang obyektif kepada guru dari kegiatan mengajar yang sudah dilakukan.

b. Mendiagnosis memecahkan dan membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam pembelajaran.

c. Membantu seorang guru mengembangkan keterampilan dasar mengajar dan mengembangkan model atau strategi dalam pembelajaran.

d. Meningkatkan prestasi belajar siswa.

Dalam melakukan supervisi klinis harus dijalankan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan.

(19)

30

Menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala 2010) prosedur dalam melakukan supervisi, dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut.

Gambar 2.1

Prosedur Supervisi Klinis

1. Pertemuan Perencanaan

Langkah-langkah yang dilakukan:

a. Usaha menciptakan suasan yang hangat antara supervisor dengan guru.

b. Berdiskusi tentang kesulitan yang dialami guru.

c. Berdiskusi rencana pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

d. Berdiskusi tentang penyusunan instrument yang akan digunakan.

2. Pengamatan Mengajar

Kegiatan pengamatan yang dilakukan supervisor fokus pada kegiatan pembelajaran yang

Pengamatan Mengajar Pertemuan Balikan Pertemuan perencanaan

(20)

31

dilakukan guru maupun interaksi guru dengan siswa, siswa dengan siswa menggunakan instrument yang sudah disepakati. Penyusunan instrument dalam kegiatan pengamatan disusun berdasarkan karakteristik Pembelajaran Tematik. Adapun karakteristik pembelajaran Tematik menurut Imran (2011) adalah sebagai berikut:

a. Berpusat pada anak

b. Memberikan pengalaman langsung

c. Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas d. Menyajikan konsep dari berbagai mata

pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. e. Bersifat fleksibel.

f. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.

3. Pertemuan Balikan

Kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan balikan meliputi:

a. Supervisor menanyakan kepada guru bagaimana peranannya selama proses pengajaran berlangsung.

b. Supervisor bersama dengan guru melihat kembali pencapaian yang sudah dilakukan guru dalam proses pembelajaran berdasarkan instrumen pengamatan yang sudah disepakati.

(21)

32

c. Berdasarkan hasil pengamatan yang sudah dilakukan, supervisor menanyakan kesan dari guru.

d. Supervisor menyajikan data berupa hasil rekaman kemudian bersama-sama menganalisis dan menafsirkan hasil pengamatan.

e. Berdasarkan hasil pengamatan yang sudah dilakukan, supervisor menanyakan kembali kasan dari guru tentang hasil pengamatan yang sudah dilakukan.

f. Supervisor bersama dengan guru membandingkan hasil pengamatan dari pertemuan pertama dengan target pembelajaran yang sudah disepakati bersama. g. Berdasarkan hasil pengamatan bersama,

supervisor membantu guru dalam merencanakan proses pembelajaran pada pertemuan selanjutnya.

B.

Hasil Penelitian yang Relevan

Peneliti menemukan ada 2 penelitian yang relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan tentang Perbedaan hasil belajar Calistung siswa melalui Pembelajaran Tematik Tersupervisi di SD Negeri Giyono dengan Tanpa Supervisi di SD Negeri Gunung Gempol yaitu penelitian yang dilakukan oleh Salimudin (2010) dengan judul Supervisi Klinis sebagai Alternatif untuk

(22)

33

Meningkatkan Kemampuan Guru Kelas 3 dan Meningkatkan Prestasi Belajar Calistung Siswa dalam Pembelajaran Tematik di Gugus Cut Nyak Dien Kecamatan Wanasari Brebes, yang menyimpulkan bahwa Pelaksanaan supervisi dengan teknik supervisi klinis mengubah pandangan guru dari merasa takut ketika akan disupervisi menjadi merasa senang dan nyaman karena supervisi klinis bertujuan memberikan layanan dan bantuan sehingga supervisi yang dilakukan terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar Calistung siswa serta mengataasi permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran Tematik bisa teratasi. Hasil penelitian Salimudin (2010) dibuktikan dengan data peningkatan secara signifikan pada kemampuan guru kelas III dalam pembelajaran tematik, yaitu dari skor nilai pelakasaan pembelajaran Tematik sebesar 41,3 atau 58,8 % kategori cukup pada siklus 1 menjadi 55,7 atau 78,4 % pada siklus 2. Dengan demikian, ada peningkatan skor nilai pelakasaan pembelajaran Tematik sebesar 13,8 atau 19,6 %.

Penelitian dari Rahayuningsih (2011) dengan judul Supervisi Klinis dalam Pembelajaran Tematik pada Guru di SD Negeri Dadapsari Semarang, yang menyimpulkan bahwa supervisi yang dilakukan dapat membantu pemecahan masalah dalam Pembelajaran Tematik. Permasalah yang terjadi dalam tahap persiapan pembelajaran yang mencakup penyusunan

(23)

34

RPP Tematik. Kepala sekolah sebagai supervisor memberikan masukan dan pengawasan kepada guru dalam penyusunan RPP Tematik. Selain itu, supervisi yang dilakukan dapat meningkatkan proses pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan bahwa guru di SD Negeri Dadapsari dapat melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tahap-tahap yang sudah disusun dalam RPP. Kepala sekolah juga memberikan kesempatan kepada guru untuk mengoreksi sendiri kegiatan pembelajaran yang sudah dilakukan pada saat pertemuan individu dengan kepala sekolah. Dalam pertemuan umum, kepala sekolah memberikan solusi kepada guru dalam pemecahan masalah mengajarnya seperti mengikuti kegiatan study banding, workshop, pelatihan, dan juga KKG. Sehingga supervisi yang sudah dilakukan berdampak pada peningkatan prestasi belajar Calistung siswa.

C.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan hasil kajian teori dan penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat 2 penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa Supervisi Klinis efektif dapat meningkatkan prestasi belajar Calistung siswa, oleh karena itu hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Calistung siswa melalui Pembelajaran Tematik

(24)

35

Tersupervisi di SD Negeri Giyono dengan Tanpa Supervisi di SD Negeri Gunung Gempol. Hipotesis tersebut dirumuskan secara statistik sebagai berikut: H1: µ1 ≠ µ2 : Ada perbedaan yang signifikan

antara hasil belajar Calistung siswa melalui Pembelajaran Tematik Tersupervisi dengan Pembelajaran Tematik tanpa Supervisi.

Hasil pehitungan uji t koefisien signifikansi ≤ 0,05 maka H1 diterima dan H0 ditolak.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan mix method dengan strategi embedded konkuren, merupakan metode penelitian yang mengkombinasikan penggunaan

pengurangan bilangan bulat pada siswa kelas 4 di SDN 7 Cibogo dengan. menggunakan media

12 Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik

ةقفنلا ىنكسلاو ةأرملل ىلع اهأجوز ام تناك هيلع ةعأجأر " ) 6/416 ( 27390 انثدح - دبع هللا ينثدح يبأ انث سنوي نب دمحم لاق انث دامح ىنعي نب ةملس نع دواد نب يبأ

Pengadaan beras untuk penyediaan dan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan dengan mengutamakan pengadaan

xwvutrqponmlkjihfedcbaWVUTPOMLKJIHFCBA tttt^A

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan

(4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur dan/atau Bupati/Walikota wajib menyampaikan laporan hasil pelaksanaan kegiatan penggunaan