• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011

PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS): DINAMIKA

INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN

PEDESAAN DI WILAYAH AGROEKOSISTEM LAHAN

KERING BERBASIS SAYURAN DAN PALAWIJA

Oleh : Adreng Purwoto I Wayan Rusastra Bambang Winarso Tri B. Purwantini Amar K. Zakaria Tjetjep Nurasa Deri Hidayat Chaerul Muslim Cut R. Adawiyah

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2011

(2)

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

1. Pembangunan perdesaan merupakan konsekwensi dari usaha untuk meningkatkan kemampuan sektor pertanian dalam mendukung ekonomi nasional. Untuk mengetahui hasil-hasil dan dampak dari pembangunan pertanian khususnya yang berkaitan dengan target utama berupa peningkatan kesejahteraan petani sudah barang tentu pemerintah membutuhkan informasi yang dimaksudkan untuk mempertajam tujuan dan sekaligus kebijakan maupun program pembangunan pertanian itu sendiri. Infomasi tersebut sudah barang tentu dalam bentuk indikator-indikator pembangunan ekonomi. Penelitian PATANAS dilakukan dalam rangka menyediakan informasi dalam bentuk indikator-indikator pembangunan ekonomi yang berguna untuk mengetahui hasil-hasil dan dampak pembangunan pertanian di tingkat rumah tangga di wilayah pedesaan khususnya yang berkaitan peningkatan kesejahteraan petani yang dibedakan menurut geografis dan agroekosistem dalam periode 2008-2011. 2. Tujuan penelitian secara garis besar adalah menyajikan sejumlah indikator yang

merefleksikan dinamika hasil-hasil dan dampak pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija khususnya di tingkat usahatani dan rumah tangga. Menghasilkan rekomendasi kebijakan peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani lahan kering dengan basis komoditas palawija dan sayuran serta rumahtangga perdesaan umumnya.

METODA PENELITIAN

3. Indikator pembangunan pertanian dan perdesaan yang dikaji terdiri dari indikator ekonomi dan indikator sosial dengan fokus sasaran adalah petani, usahatani dan wilayah perdesaan. Indikator-Indikator sosial ekonomi yang akan dikaji terkait dengan aspek: (a) pola penguasaan lahan, (b) ketenagakerjaan, (d) pendapatan, (e) kemiskinan, (f) pengeluaran dan konsumsi, (g) adopsi teknologi, (h) kelembagaan penguasaan lahan, (i) kelembagaan pemasaran hasil, serta (i) kondisi umum perdesaan

4. Penelitian tahun 2011 merupakan resurvei dari penelitian 2008, oleh karena lokasi dan responden yang diteliti adalah sama, lokasi penelitian yang mewakili agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija ini dilakukan di 5 provinsi meliputi 12 desa. Provinsi-provinsi tersebut adalah Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

5. Data dan informasi rumahtangga dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif kuantitatif dalam bentuk tabel-tabel dan statistik probabilistik disesuaikan dengan topik yang dianalisis.

HASIL PENELITIAN

Dinamika Penguasaan Lahan

6. Dalam periode 2008 -2011, terjadi pergeseran pola penguasaan lahan. Hasil penelitian PATANAS tahun 2008 rataan kepemilikan lahan perkebunan adalah seluas 0.33 ha/KK, sedangkan pada penelitian tahun 2011 lahan perkebunan tersebut meningkat menjadi rata-rata seluas 0,71 ha/KK. Implikasinya bahwa luas garapan tegalan maupun luas kepemilikan lahan tegalan menjadi berkurang.

(3)

7. Hasil analisis Gini Index terhadap luas penguasaan dan garapan lahan di Desa Baleanging menunjukkan bahwa nilainya lebih kecil dibanding pada luas garapan yaitu masing-masing 0,40 dan 0,43, yang berarti luas garapan lebih timpang distribusinya dibanding pada luas penguasaan. Kasus di Desa Catur Karya Bumi Jaya menunjukkan bahwa nilai Gini Index luas penguasaan dan garapan lahan relatif sama masing-masing 0,46 dan 0,467, ini berarti distribusinya termasuk kategori ketimpangan sedang. Kasus di Desa Tlogosari nilai Gini Index terhadap luas penguasaan dan garapan lahan juga hampir sama masing-masing 0,57 dan 0,57, artinya distribusinya lebih timpang dibanding di desa Catur Karya Bumi Jaya, namun masih termasuk kedalam kategori sedang.

8.. Keragaan polarisasi kepemilikan lahan maupun penguasaan lahan terutama desa-desa berbasis palawija pada umumnya masih dalam kondisi ketimpangan ringan sampai sedang. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai Index Gini di desa-desa berbasis palawija adalah 0,51 untuk luas penguasaan lahan dan 0,52 untuk luas garapan lahan. Ini berarti bahwa polarisasi luas garapan lebih timpang dibanding luas penguasaan lahan, namun keduanya termasuk ke dalam kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk desa dengan basis komoditas utama ubikayu yaitu Desa Catur Karya Bumi Jaya dan Tlogosari, bahwa distribusi luas panguasaan dan luas garapan di desa ubikayu di Jawa lebih tidak merata dibanding di luar Jawa. Secara rata-rata, Gini Index luas penguasaan dan luas garapan di 2 desa ubikayu hampir sama, yaitu masing-masing 0,52 dan 0,52, yang berarti termasuk ke dalam kategori ketimpangan sedang.

9. Rataan nilai Gini Index di desa-desa berbasis sayuran adalah 0,64 untuk luas penguasaan lahan dan 0,65 untuk luas garapan lahan. Kondisi yang demikian berarti bahwa distribusi luas garapan lahan sedikit lebih timpang dibanding pada luas penguasaan lahan, namun keduanya termasuk ke dalam kategori ketimpangan sedang. Koefisien variasi Gini Index untuk luas penguasaan dan luas garapan lahan masing-masing adalah 26,16% dan 27,25%, yang berarti bahwa Gini Index luas garapan lebih bervariasi dibanding pada luas penguasaan lahan. Jika dibandingkan dengan desa-desa berbasis palawija, desa-desa berbasis sayuran mempunyai rata-rata Gini Index lebih besar, baik luas penguasaan maupun luas garapan lahan.

10. Hasil analisa besarnya nilai Gini Index terhadap kepemilikan lahan di 12 desa contoh menunjukkan bahwa secara rata-rata untuk kasus di desa-desa berbasis komoditas palawija menunjukkan bahwa besarnya nilai Gini Index adalah 0,40. Sementara untuk desa-desa berbasis sayuran adalah sebesar 0.43. Dilihat dari besarnya angka Gini Indek kepemilikan lahan tersebut, dapat dikatakan bahwa secara umum ketimpangan kepemilikan lahan baik lahan-lahan didesa-desa berbasis palawija maupun desa-desa berbasis sayuran dapat dikatakan tingkat ketimpangannya rendah.

Tenaga Kerja dan Kelembagaan Sistem Upah

11. Komposisi tenaga kerja di pedesaan lahan kering yang berbasis palawija dan komoditas sayuran pada tahun 2011, sebagian besar merupakan tenaga kerja yang potensial diatas umur 15 tahun sebesar 72,4 persen dan 27,6 persen terdiri dari penduduk dibawah 15 tahun, dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga 4,1 jiwa per rumahtangga. Tingkat partisipasi angkatan kerja di pedesaan berbasis komoditas palawija lebih tinggi (82%) dibanding dengan desa berbasis komoditas sayuran (74%), sedangkan tingkat pengangguran yang relatif sama (15%). Di antara desa yang mempunyai tingkat partisipasi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah berturut-turut adalah Desa Bumiayu, dan Desa Resongo, sedangkan untuk desa berbasis sayuran adalah Desa Marga Kaya dan

(4)

Karang Tengah. Hal ini karena desa-desa tersebut mempunyai aksesibiltas yang tinggi, fasilitas transportasi dan komunikasi yang baik.

12. Tingkat pendidikan penduduk di pedesaan secara agregat masih didominasi oleh pendidikan tamat SD kebawah. Kondisi ini sama halnya dengan jumlah angkatan kerja yang bekerja dipedesaan pada kedua basis komoditas palawija dan sayuran, secara agregrat sebanyak 66 persen dari jumlah seluruh angkatan kerja. Pada jenjang pendidikan SMP keatas, di desa berbasis sayuran lebih tinggi (29%) dibandingkan dengan desa berbais palawija (26%).

13. Angkatan kerja yang bekerja, secara umum adalah angkatan kerja yang berusia 15 tahun keatas yang seminggu terakhir sedang bekerja dan termasuk dalam usia produktif. Pengelompokan angkatan menurut rangking sepuluh tahunan dan pekerjaan menurut sektor, menunjukan bahwa usia 45 kebawah yang bekerja disektor pertanian sebesar 45 persen dari total angkatan kerja. Sementara itu, angkatan kerja produktif pada usia 45 tahun kebawah, di desa berbasis sayuran lebih besar (45%) dibanding pada basis komoditas palawija (41%). Besarnya penyerapan angkatan kerja pada usia produktif 45 tahun kebawah di sektor pertanian, diharapkan mampu menunjang pembangunan pertanian dengan konsekuensi diperlukan kebijakan melalui berbagai program yang mengarah pada pengembangan industri pertanian yang selaras dengan perkembangan industri di luar pertanian sebagai alternatif penampung tenaga kerja yang produktif.

14. Pengelompokan angkatan kerja menurut pendidikan, yang terbanyak adalah angkatan kerja yang berpendidikan SD tamat kebawah (41%), sedangkan jumlah angkatan kerja lainnya menyebar kependidikan yang lebih tinggi hingga ke perguruan tinggi (37%). Besarnya jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SD kebawah adalah merupakan potensi sumber daya manusia (SDM) yang perlu ditingkatkan melalui berbagai program peningkatan kualitas didalam menunjang pembangunan pertanian.

15. Kegiatan migrasi angkatan kerja yang bekerja sejumlah 14 persen dari jumlah angkatan kerja yang bekerja. Umumnya para migran lebih banyak melakukan migrasi dengan cara komutasi (26.7%), sirkulasi (27.7

16. Sumber matapencaharian migran yang utama adalah diluar sektor pertanian, diantaranya adalah pekerja jasa (6%), pekerja bangunan (26%), dagang (19.5%) dan buruh bangunan (14.3%), sedangkan usaha di sektor pertanian dibawah 1 persen. Sekitar 21 persen migran dari desa Ngelo bekerja sebagai buruh bangunan, desa Balleanging ada 6 persen bekerja dibidang usaha pertanian.

%), dan migrasi tetap (13.7%). Jumlah migran menurut tingkat pendidikan berturut-turut ádalah tamat SD kebawah (51.1%), kemudian tidak tamat dan tamat SMP (29.1%) dan tidak tamat dan tamat SMA (15.6%) dan tamatan Diploma/perguruan tinggi sebesar 2.6 %. Besarnya jumlah migran dengan tingkat pendidikan SD kebawah, nampaknya kurang dapat berkompetisi dengan angkatan kerja yang berpendidikan tinggi, yang akhirnya akan mengisi peluang kesempatan kerja yang sama dengan yang mungkin diperoleh di daerah asalnya.

Penerapan Teknologi Pertanian

17. Pola tanam yang diterapkan di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis komoditas palawija (jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu), baik pada periode tanam tahun 2008 maupun tahun 2011 pada umumnya adalah “palawija-palawija-bera” atau memiliki Intensitas Pertanaman (IP) sebesar 200. Kecuali pada desa berbasis komoditas ubi kayu sebagian besar IP-100. Sedangkan pada

(5)

wilayah desa berbasis komoditas sayuran (kentang dan kubis), umumnya memiliki IP-300, baik pada periode tahun 2008 maupun 2011.

18. Persentase petani pengguna benih berlabel di wilayah desa berbasis palawija, kecenderungannya masih rendah yaitu pada jagung sebesar 27,6 persen dan kedelai 13,1 persen pada masa tanam tahun 2011. Untuk kacang tanah dan ubi kayu, baik 2008 maupun 2011 tidak memakai benih berlabel. Untuk wilayah komoditas sayuran, khususnya kubis yang memakai benih berlabel yaitu sebesar 49,2 persen, sedangkan pada kentang hanya 7,6 persen. Kondisi ini mencerminkan bahwa penggunaan benih dari hasil produksi sendiri masih dominan diterapkan petani.

19. Dasar yang menjadi penetapan dosis pemupukan pada usahatani palawija dan sayuran, baik pada masa tahun 2008 maupun 2011 hampir semua petani mengacu kepada hasil pengalaman petani. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan penyuluh di wilayah berbasis palawija dan sayuran sangat terbatas. 20. Analisis struktur biaya usahatani palawija (jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi

kayu) baik pada masa tanam tahun 2008 maupun 2011, komponen terbesar adalah untuk pengadaan biaya tenaga kerja yaitu 52 – 72 persen (tahun 2008) dan 42 – 65 persen (tahun 2011). Kondisi ini sama terjadi pada usahatani kubis yaitu 48 persen pada tahun 2008 menjadi 23 persen pada tahun 2011. Sementara pada usahatani kentang, komponen terbesar adalah untuk pengadaan benih sebesar 56 persen (tahun 2011) dan 42 persen pada tahun 2008. Kondisi ini mencerminkan bahwa benih merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap keberhasilan usahatani kentang.

21. Tingkat produktivitas pada komoditas palawija pada tahun 2011 terjadi penurunan dibandingkan produktivitas tahun 2008, kecuali pada ubi kayu. Dengan kondisi tersebut, maka nilai imbangan biaya dan pendapatan (R/C) untuk komoditas jagung, kedelai dan kacang tanah mengalami penurunan dibanding nilai R/C tahun 2008. Pada komoditas sayuran kentang dan kubis, baik produktivitas maupun nilai R/C pada tahun 2011 lebih tinggi dibanding tahun 2008, sehingga tingkat profitabilitasnya juga meningkat secara nyata.

Pendapatan Rumahtangga Perdesaan

22. Selama kurun waktu 2008 – 2011 terjadi perubahan besarnya jumlah sumber pendapatan pada rumahtangga petani. Jika Pada tahun 2008 rumahtangga petani dengan jumlah sumber pendapatan • 4 rata –rata sekitar 11.48%, namun pada tahun 2011 telah mencapai 27.58%. Hal ini terlihat bahwa kontribusi dari sektor pertanian masih mendominasi dibanding sektor non pertanian, namun secara agregat kontribusi sektor pertanian turun dari 77.58% tahun 2008 menjadi 58.47% pada tahun 2011.

23. Periode 2008 -2011 secara agregat distribusi pendapatan total rumahtangga petani lahan kering/tegalan cenderung semakin timpang. Hasil analisis dengan menggunakan konsep Bank Dunia dengan metode gini indeks pada tahun 2011 distribusi pendapatan rumahtangga perdesaan secara keseluruhan berada pada ketimpangan berat (gini indeks > 0.5). Ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga ini lebih timpang dibanding tahun 2008. Artinya pada tahun 2008 ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga berada pada gini indeks 0.53, dan pada tahun 2011 gini indeks berada pada 0.60.

(6)

Kemiskinan Rumahtangga

24. Secara agregat, dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di tingkat nasional yang besarannya tahun 2010 mencapai 13.3 %, nampak bahwa tingkat kemiskinan di desa Patanas berbasis lahan kering menurun cukup drastis dari 26,5% pada tahun 2008 menjadi 7,9% pada tahun 2010. Hal ini dimungkinkan oleh besarnya angka pengeluaran (sebagai proksi pendapatan rumah tangga), dengan memperhitungkan pengeluaran untuk keperluan keperluan sosial, ini telah menjadi beban masyarakat a9khususnya bagi masyarakat miskin), dan nilainya dapat melebihi nilai pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non pangan.

25. Dinamika ekonomi pertanian di pedesaan menunjukkan bahwa sektor pertanian (basis palawija dan sayuran) masih merupakan kegiatan utama dan sumber utama pendapatan rumah tangga. Kegiatan non pertanian informal mulai berkembang, namun dalam jangka pendek belum dapat dijadikan andalan untuk menopang kehidupan ekonomi rumah tangga pedesaan. Kegiatan dengan kecenderungan yang cukup meningkat belakangan ini adalah kegiatan migrasi ke luar desa, khususnya ke kota-kota besar di Jawa, atau mencari kesempatan kerja di luar Jawa. Kesempatan kerja yang mampu diakses oleh tenaga kerja migran ini adalah kegiatan informal seperti pembantu rumah tangga, sektor konstruksi (tukang bangunan/buruh bangunan) dan jasa informal lainnya.

Pengeluaran dan Konsumsi

26. Dinamika pangsa pengeluaran pangan antara tahun 2008 dan 2011, secara agregat mengalami peningkatan. Peningkatan pangsa pengeluaran pangan tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan. Pada tahun 2008 pangsa pengeluaran pangan di wilayah lahan kering berbasis sayuran jauh lebih baik dibadingkan di wilayah yang berbasis palawija, sebaliknya selama tiga tahun kondisi kesejahteraan di wilayah berbasis palawija cenderung menurun.

27. Tingkat partisipasi konsumsi beras di lokasi contoh mencapai 100 persen, indikasi ini menunjukkan bahwa beras merupakan pangan pokok tunggal. Pangan pokok jagung masih dijumpai di Desa Resongo (Jawa Timur) dan Desa Balleanging (Sulawesi Selatan) jagung yang dikonsumsi sebagian besar berasal dari hasil produksi sendiri. Di Desa Resongo tingkat partisipasi konsumsi jagung masih relatif tinggi (68 %) walaupun terjadi penurunan sekitar 30 persen dibanding kondisi 2008, sementara di Balleanging penurunannya sangat signifikan pada tahun 2011 partisipasi konsumsi jagung hanya mencapai 36 persen, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 100 persen.

28. Secara agregat rata-rata tingkat energi adalah 1958 Kkal, besarnya energi tersebut lebih rendah dari kecukupan yang dianjurkan. Dinamika tingkat konsumsi energi dan protein rumahtangga tahun 2007 – 2010 secara agregat menurun. Konsumsi energi rata-rata dibawah standar kecukupan, sedangan konsumsi protein sudah di atas rata-rata standar kecukupan. Implikasinya perlu peningkatan konsumsi pangan baik secara kuantitas maupun kualitas terutama untuk mencukupi kebutuhan energi rumahtangga.

29. Hasil analisis data 2011 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi energi adalah 1910 Kkal, besarnya energi tersebut lebih rendah dari kecukupan yang dianjurkan menurut WNPG VIII Tahun 2004 tingkat kecukupan anergi yang dianjurkan adalah 2000 Kkal. Bila dibandingkan dengan tingkat energi antara wilayah berbasis palawija dan sayuran, maka wilayah berbasis sayuran kondisinya lebih baik dan berada di atas rata-rata AKG tingkat nasional. Demikian halnya untuk tingkat konsumsi protein, di wilayah sayuran kondisinya lebih baik

(7)

(rata-rata di atas AKG). Bila kecukupan energi dan protein dijadikan indikator tingkat kesejahteraan, maka tingkat kesejahteraan di wilayah berbasis sayuran lebih baik dibanding dengan di wilayah berbasis palawija, ini sejalan dengan indikator pangsa pengeluaran.

30. Hasil analisis skor PPH secara agregat mencapai 79.5 persen, di wilayah berbasis palawija (78.9) relatif lebih rendah dibanding di wilayah basis sayuran (81.1) dibanding dengan kondisi nasional ini lebih baik, hal ini mengindikasikan bahwa kualitas atau keragaman pangan yang dikonsumsi cukup baik namun demikian masih belum seimbang terutama untuk pangan padi-padian masih melebihi standar yang dianjurkan dilain pihak pangan ubi-ubian masih dibawah standar yang dianjurkan.

Nilai Tukar Petani

31. Hasil analisis menunjukkan bahwa R/C rasio yang dihasilkan dari budidaya komoditas ubikayu di desa Telogosari selama periode 2008-2011 mengalami pergeseran positif, pada tahun 2008 R/C = 3,5 meningkat menjadi 4.04 (2011). Peningkatan R/C rasio tersebut mengindikasikan adanya perkembangan surplus yang lebih baik. Sementara kasus di Desa Catur Karya Buana Jaya menunjukkan bahwa perkembangan budidaya ubikayu dilihat dari cakupan luasan wilayah pengembangan, selama periode yang sama (2008 – 2011) justru mengalami penurunan tajam. Namun dari sisi R/C meningkat Tahun 2008 1.3 menjadi 6.7 (2011). Sementara untuk Untuk pengembangan komoditas palawija lainnya khususnya kedelai menunjukkan bahwa besarnya nilai tukar hasil budidaya komoditas tersebut terhadap saprodi adalah sebesar 8,98.

32. Hasil analisis Nilai Tukar hasil usahatani komoditas sayuran khususnya kentang relatif rendah yaitu 0,27 di Desa Karangtengah dan 0,41 di Desa Margamulya. Rendahnya nilai tukar hasil tersebut dipengaruhi oleh tingginya biaya bibit, pupuk dan obat-obatan. Dimana dengan tingginya ketiga jenis masukan produksi tersebut menyebabkan Nilai Tukar hasil komoditas kentang menjadi lemah. Sementara dilihat besarnya Nilai Tukar budidaya kobis terhadap biaya saprodi di kedua desa contoh juga masih rendah. Artinya dari pendapatan yang dihasilkan dari usahatani kobis belum mampu memberikan pendapatan yang memuaskan, kondisi ini terutama karena harga kobis sangat rendah (sekitar Rp 300,00/.Kg). Besarnya angka Nilai Tukar hasil budidaya kobis terhadap sarana produksi yang harus dikeluarkan oleh petani-petani di Desa Baroko 0,55 dan petani di Desa Bendosari hanya 0.87. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya kobis di kedua desa contoh tersebut juga belum memuaskan.

Kelembagaan Agribisnis

33. Persepsi responden terhadap ketersediaan saprodi di wilayah basis palawija berkisar 40-96 persen menyatakan saprodi tersedia di wilayah masing-masing, sedangkan di wilayah berbasis sayuran 59 – 86 persen. Namun demikian ketidak tersediaan saprodi tersebut tidak selalu mencerminkan kecukupan saprodi yang dibutuhkan, karena biasanya petani berusaha mencari atau membeli ke luar desa. Secara umum persepsi responden yang menyatakan kebutuhan saprodi tidak cukup berkisar 12-56 persen di wilayah basis palawija, sedangkan di wilayah dengan komoditas sayuran berkisar 15.8 persen (Desa Baroko) sampai 56 persen (Desa Bendosari).

34. Dari hasil kajian di lapang menunjukkan bahwa ketersediaan dan akses teknologi usahatani baik komoditas palawija maupun sayuran dalam keadaan stagnan,

(8)

dimana petani memperolehnya dari sesama petani di dalam desa (petani maju), tanpa ada keterlibatan PPL. Dari kondisi ini nampak bahwa peran Kelompok Tani di masa yang akan datang adalah sangat menentukan dalam mendorong ketersediaan dan akses teknologi dan sarana produksi utama yang dibutuhkan petani. Kelompok Tani/Gapoktan dapat meminta kehadiran PPL untuk dapat memfasilitasi informasi tebarukan pengembangan usahatani, dan Gapoktan juga dapat mengupayakan program terkait dengan pembiayaan agribisnis (PUAP misalnnya), sehingga dapat memfasilitasi petani terkait dengan intesifikasi usahatani komoditi yang diusahakan petani.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan

35. Selama periode tiga tahun terakhir 2008-2011, pergeseran-pergeseran penguasaan lahan baik lahan milik maupun lahan non milik tetap terus berjalan, baik di wilayah berbasis palawija maupun sayuran. Proses “penyerapan” penguasaan lahan kearah petani-petani skala besar, berarti kedepan polarisasi penguasaan lahan akan cenderung semakin membesar dan mengelompok pada petani-petani tertentu yang bermodal kuat, walaupun keragaan saat ini masih menunjukkan ketimpangan pada level sedang.

36. Pola penguasaan dan garapan lahan pada desa-desa palawija maupun sayuran mengindikasi kearah yang lebih merata baik dari sisi penguasaan maupun garapan. Artinya ketimpangan kepemilikan lahan baik lahan-lahan didesa-desa berbasis palawija maupun desa-desa berbasis sayuran dapat dikatakan tingkat ketimpangannya rendah sampai sedang.

37. Tingkat partisipasi angkatan kerja di pedesaan berbasis komoditas palawija lebih tinggi dibanding dengan desa berbasis komoditas sayuran, sedangkan tingkat pengangguran yang relatif sama.

38. Adopsi teknologi di usahatani palawija masih relatif belum intensif terutama untuk budidaya ubikayu. Tingkat produktivitas pada komoditas palawija pada tahun 2011 terjadi penurunan dibandingkan produktivitas tahun 2008, kecuali pada ubi kayu demikian halnya untuk profitabilitas komoditas tersebut.

39. Dinamika pendapatan rumahtangga petani selama periode 2008 – 2011 secara total mengalami peningkatan , kecuali desa Resongo yang mengalami penurunan Namun secara keseluruhan pada tahun 2011 sumbangan sektor pertanian di perdesaan kondisinya mengalami penurunan dan masih lebih baik kondisi pada tahun 2008. Hal ini terlihat besarnya kontribusi sektor pertanian dibeberapa desa ( 5 desa contoh) pada tahun 2011 menurun. Distribusi pendapatan pertanian ditunjukkan melalui gini indeks cenderung meningkat.

40. Pangsa pengeluaran cenderung meningkat selama kurun waktu 2007- 2010, indikasi tingkat kesejahteraan menurun. Tingkat konsumsi energi protein secara agregat masih dibawah AKG, demikian halnya untuk skor PPH masih lebih rendah pangsa energi masih didominasi oleh pangan serealia.

41. Secara nilai tukar komoditas palawija dan sayuran cenderung menurun, kecuali untuk ubi kayu. Demikian juga tingkat provitabilitas untuk komoditas palawija dan sayuran yang diteliti.

42. Secara agregat pada periode 2008-2011 tingkat kemiskinan di desa-desa contoh menurun. Dinamika ekonomi pertanian di pedesaan menunjukkan bahwa sektor pertanian (basis palawija dan sayuran) masih merupakan kegiatan utama dan sumber utama pendapatan rumah tangga.

(9)

43. Ketersediaan dan akses teknologi usahatani baik komoditas palawija maupun sayuran dalam keadaan stagnan, dimana petani memperolehnya dari sesama petani di dalam desa (petani maju), tanpa ada keterlibatan PPL. Dari kondisi ini nampak bahwa peran Kelompok Tani di masa yang akan datang adalah sangat menentukan dalam mendorong ketersediaan dan akses teknologi dan sarana produksi utama yang dibutuhkan petani

Implikasi Kebijakan

44. Untuk perbaikan distribusi lahan perlu didukung berbagai kebijakan seperti kebijakan reforma agraria, baik di wilayah berbasis palawija maupun sayuran. Kebijakan memanfaatkan lahan terlantar, dapat dipertimbangkan termasuk pengaturannya, demikian halnya dalam pengusahaan lahan di sekitar hutan negara perlu peraturan yang baku dan jelas untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

45. Agar terjadi diversifikasi pendapatan dan mengurangi ketimpangan pendapatan rumahtangga perlu memperbesar kesempatan kerja di sektor luar pertanian misalnya dengan pengembangan industri pedesaan.

46. Tingkat konsumsi pangan dilihat dari tingkat konsumsi energi dan protein masih perlu ditingkatkan, mengingat skor PPH masih rendah perlu ditingkatkan. Beberapa hal yang berpeluang untuk ditambahkan dalam konsumsi adalah untuk kelompok sayur dan buah, sebenarnya untuk meningkatkan konsumsi sayuran lebih mudah karena kelompok pangan tersebut relatif mudah karena dari sisi harga relatif terjangkau. Selain itu untuk memperbaiki pola konsumsi bisa dengan meningktakan konsumsi pangan umbi-umbian, karena pangan lokal ini lebih mudah diusahakan dan relatif terjangkau harganya.

47. Terkait dengan penentuan kemiskinan, masih dibutuhkan jalan panjang untuk pengentasannya. Beberapa kebijakan antisipatif atau jalan keluar yang perlu dipertimbang, diantaranya adalah ; 1) peningkatan efektivitas dan sinergi berbagai program pengentasan kemiskinan yang ada; 2) peningkatan kinerja dan revitalisasi usahatani palawija dan sayuran menjadi kegiatan agribisnis/ agroindustri yang mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi di desa; 3) memperluas/menumbuh-kembangkan dan merevitalisasi kegiatan informal non pertanian di desa penelitian; 4) mendorong mobilisasi tenaga kerja ke luar desa dan integrasi ekonomi desa – kota.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan banyaknya tentara yang bertugas di Aceh, pasca tsunami boleh dikata pekerjaan land clearing sudah dilakukan oleh tentara – dengan dibayar dari uang rakyat

Kalor yang besar atau nilainya sama dengan nilai kalor yang dibutuhkan air yang terdapat dalam bahan bakar dan air yang terbentuk untuk menguap  pada

Gambar 10. Peta perubahan suhu akibat penggunaan lahan tahun 2013/2015.. 2) Kecamatan Belimbing adalah kecamatan dengan total perubahan lahannya paling besar, yaitu

Pravilo paralelograma otkriva se pomo´cu paralelograma na kojemu prvo treba odrediti zbroj dva vektora pravilom trokuta, a zatim se prisjetiti definicije jednakih vektora iz

Indeks keanekaragaman jenis Gastropoda setiap stasiun pengamatan di hutan mangrove Pantai Si Runtoh Taman Nasional Baluran H’ = 4,180 yang tergolong dalam

( 2) Program pengembangan imunisasi sudah berjalan sejak tahun 1974 untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), Imunisasi merupakan investasi

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk merancang sistem persediaan bahan baku yang terkomputerisasi agar dapat membantu perusahaan dalam mengelola persediaan bahan baku. Teknik

Untuk fungsi tertentu yang kelakuan fungsinya memenuhi kesimetrisan, nilai integral yang didapat adalah eksaks walaupun menggunakan metode titik te- ngah, metode trapesium,