• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoretis Persepsi Pekerjaan Rumahtangga Konsep Pekerjaan Rumahtangga.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoretis Persepsi Pekerjaan Rumahtangga Konsep Pekerjaan Rumahtangga."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoretis

Persepsi Pekerjaan Rumahtangga Konsep Pekerjaan Rumahtangga.

Rumahtangga sering ditafsirkan sebagai keluarga, padahal rumahtangga memiliki pengertian yang lebih luas daripada keluarga. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang anggotanya terikat hubungan darah atau hukum, yang melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi fungsi dan hidup dalam satuan unit yang disebut rumahtangga (Burgess & Locke 1960). Rumahtangga terdiri atas keluarga dan bukan keluarga yang semua anggota di dalamnya hidup dalam satu unit tempat tinggal.

Rumahtangga dalam teori ekonomi klasik menyelenggarakan kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, namun menurut teori ekonomi baru The New Household Economy rumahtangga dianggap sekaligus sebagai pengguna barang dan jasa. Rumahtangga seperti pabrik yang mengkombinasikan barang pasar dan waktu untuk menghasilkan komoditi (Becker 1965). Konsep rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada arti unit satuan keluarga yang melakukan aktivitas untuk memproduksi sekaligus menggunakan barang dan jasa.

Aktivitas produksi dan konsumsi barang atau jasa rumahtangga termasuk dalam pekerjaan tidak dibayar, dikenal juga sebagai aktivitas produksi rumahtangga (Pylkkanen 2002). Produksi rumahtangga adalah produksi barang atau jasa untuk dikonsumsi sendiri dengan menggunakan kombinasi modal sendiri dan tenaga kerja sendiri yang tidak dibayar (Ironmonger 2001, United Nations Economic Commissions for Africa 2005).

Barang atau jasa seperti penataan rumah dan halaman, penyiapan hidangan, pencucian pakaian atau perawatan anak, dihasilkan dari pelaksanaan sejumlah pekerjaan di rumahtangga (Robeyns 2000). Pekerjaan rumahtangga yang dilakukan dalam keluarga biasanya tidak dibayar, dikerjakan lebih banyak oleh perempuan, hasil tidak terlihat, terjadi pengulangan dan seringkali bersambung, tidak ada batasan waktu, tidak berharga/tidak bernilai ekonomi (Ironmonger 2001). Menurut Green (2003), pekerjaan rumahtangga tidak dibayar yang

(2)

dilakukan oleh anggota keluarga dapat digantikan pasar jika didukung ekonomi tanpa merubah utilitas yang dihasilkan.

Pekerjaan rumahtangga terbatas pada kegiatan yang dilakukan oleh satu atau lebih anggota keluarga, atau dengan cara membayar orang lain yang bukan anggota keluarga untuk menghasilkan utilitas langsung (Chadeau 1983). Gates dan Murphy (1982) menyatakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah aktivitas yang dapat memberikan kepuasan dari barang dan jasa yang dibeli di pasar, atau aktivitas yang dilakukan oleh orang lain tanpa mengurangi utilitas dari setiap anggota keluarga.

Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan rumahtangga yang dilakukan oleh, dari, dan untuk anggota keluarga dapat disubtitusi pekerjaan pasar dengan utilitas sama. Pekerjaan rumahtangga adalah aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa, yang dapat dikerjakan oleh anggota keluarga, tidak dibayar, dapat didelegasikan kepada orang lain dengan imbalan upah yang dapat memberikan kepuasan sama bagi setiap anggotanya (Robeyns 2000).

Pekerjaan rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang anggota keluarga untuk menghasilkan produk barang atau jasa yang akan dikonsumsi langsung. Pekerjaan tersebut meliputi penyediaan konsumsi makanan, perawatan pakaian, perawatan rumah seperti menyapu dan mengepel lantai, dan perawatan anak usia balita, perawatan anak usia sekolah dan perawatan anak usia remaja.

Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa semua jenis pekerjaan perawatan termasuk dalam pekerjaan rumahtangga. Aktivitas perawatan khususnya anak, biasanya dilakukan bersamaan dengan tugas rumahtangga lainnya. Pada kebanyakan keluarga, cara orang tua memperlakukan anak khususnya dalam memberi perhatian, cinta dan kasih sayang sebagai kebutuhan sosial psikologis kadang terabaikan, karena kebutuhan pertumbuhan fisik kadang kala dianggap lebih penting dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak.

Berdasarkan alasan tersebut, pekerjaan perawatan anak seharusnya tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh orang lain yang bukan anggota keluarga. Hal ini karena pemenuhan kebutuhan sosial psikologis anak dan standar nilai kedua orang tua dalam membesarkan dan mendidik anak tidak dapat tergantikan. Pekerjaan ini

(3)

disisi lain, secara intrinsik dapat memberikan nilai penghargaan yang tidak terhingga dan sekaligus sebagai sumber kebahagiaan bagi pasangan menikah (Robeyns 2000).

Konsep Persepsi.

Setiap orang dimanapun dalam hidup bermasyarakat memerlukan norma, atau aturan sebagai pengarah ke hal baik dan buruk yang disepakati bersama. Norma dapat menumbuhkan keyakinan dan/atau kesan seseorang secara emosional untuk menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Norma menunjukkan dimensi utama yang mendasari persepsi seseorang. Persepsi adalah hasil pengamatan individu mengenai suatu objek atau gejala berdasar pengalaman dan wawasan yang dimiliki (Endaryanto 1999).

Rakhmat (1998) menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek atau peristiwa, hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi lebih pada karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi kognisi yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang, dari sudut pengalaman dan faktor pribadi.

Persepsi didasarkan pada ciri dasar manusia pertama yang berpikir sesuai dengan perasaan suka dan tidak suka jika melihat suatu objek. Apabila objek yang dilihat sesuai dengan nilai yang diyakini seseorang, maka orang tersebut memiliki kecenderungan untuk bersikap terhadap objek yang diamatinya. Meskipun demikian, orang tidak dapat terus menerus berpedoman pada satu norma saja, karena individu cenderung berkembang dan berubah seperti usia, pengalaman, pendidikan, termasuk peristiwa atau lingkungan.

Pengamatan manusia terhadap objek psikologis seperti kejadian, ide atau situasi tertentu dipengaruhi oleh cara pandang dan nilai kepribadiannya. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberi bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat, sedang pengetahuan dan wawasan berpikir memberikan makna terhadap objek psikologis tersebut (Endaryanto 1999). Faktor dalam diri seorang manusia seperti bakat, minat, kemauan, perasaan, atau respon yang dibawa sejak lahir, dan faktor lingkungan yang ada di luar individu seperti pendidikan,

(4)

lingkungan sosial serta status dalam masyarakat adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang terhadap suatu objek yang diamatinya (Sears & Anne 1994).

Berdasarkan penjelasan tersebut, persepsi adalah perasaan seseorang yang bersifat subjektif terhadap sesuatu hal yang menjadi amatannya. Perasaan dipengaruhi oleh pengalaman hidup masa lalu, proses sosialisasi di dalam dan di luar keluarga yang memberi corak kepribadian, pengetahuan, dan wawasan berpikir sehingga dapat memaknai suatu objek psikologis tertentu.

Penilaian subjektif seseorang terhadap kesan baik tidaknya suatu amatan yang sesuai norma ataupun pengetahuannya dapat menumbuhkan keyakinan dan juga perasaan suka pada suatu amatan dan berimplikasi pada kecenderungan individu dalam bersikap. Pada penelitian ini, pekerjaan rumahtangga sebagai suatu amatan diharapkan cenderung disikapi positif oleh keluarga contoh di perkotaan maupun di perdesaan.

Sebagian besar keluarga ataupun masyarakat menganggap pekerjaan rumahtangga hanya untuk kaum perempuan. Pekerjaan rumahtangga dalam pandangan keluarga tradisional dianggap sebagai tugas utama perempuan, bahkan pekerjaan ini dianggap tidak pantas dilakukan oleh laki-laki karena dapat menurunkan wibawa. Aliran feminis yang menyuarakan pergerakan kebebasan kaum perempuan memandang pekerjaan rumahtangga sebagai simbol dari belenggu perempuan, meskipun dalam perkembangannya aliran ini tidak dapat bertahan lama.

Pada kasus lain, pekerjaan rumahtangga dianggap penting dan dapat diterima secara luas sebagai gaya hidup keluarga Amerika saat ini. Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat umum yang masih mengagungkan seorang ibu, dan peran ibu rumahtangga yang telah memberi kontribusi sangat berharga melebihi nilai dolar bagi kehidupan keluarga. Meskipun waktu yang disumbangkan oleh satu atau lebih anggota keluarga sebagai beban keseluruhan pekerjaan keluarga, namun tanggungjawab utama pekerjaan di rumah masih tetap dilakukan seorang ibu. Pola ini secara persepsi tidak berubah walau ada perubahan teknologi dan kesadaran dari aliran feminis baru (Gauger & Walker 1980).

(5)

Pada sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini, perempuan masih bertahan dengan tugasnya sebagai orang yang bertanggungjawab penuh dalam urusan rumahtangga, tidak terkecuali tugas membesarkan dan mendidik anak. Berdasarkan kodratnya, suami cenderung lebih banyak berpartisipasi di sektor publik, dan sebaliknya dengan isteri yang lebih banyak bekerja di sektor domestik atau mengerjakan tugas rumahtangga dan perawatan anak (Becker 1981).

Kesan yang melekat tentang pekerjaan di luar rumah adalah tugas laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah merupakan tugas perempuan, karena stereotipi yang berkembang kuat di masyarakat mengenai pandangan keluarga tradisonal yang mendidik anak perempuan dan laki-laki dengan ekspektasi yang berbeda melalui pembagian peran dan tugasnya di rumahtangga. Perempuan dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu/istri yang dapat mengurus rumahtangga, melayani kebutuhan suami, membesarkan dan mendidik anak mereka.

Menurut Guhardja (1986), perempuan pada umumnya melakukan pekerjaan rumahtangga sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar dengan jumlah jam yang lebih besar dibanding laki-laki. Laki-laki di sisi lain dipersiapkan untuk menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab pada semua anggota keluarga dalam menafkahi dan melindungi istri dan anak-anaknya.

Pada masa sekarang, pekerjaan rumahtangga tidak lagi menjadi dominasi perempuan, karena faktanya laki-laki turut terlibat dalam pekerjaan tertentu walaupun dengan kontribusi yang tidak besar dan bervariatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Robeyns (2000) yang menyatakan bahwa pekerjaan rumahtangga bersifat impersonal, yang artinya dapat dilakukan oleh siapapun tanpa mempengaruhi substansi kualitas pekerjaannya. Pikiran atau perasaan seseorang terhadap pekerjaan rumahtangga akan disikapi secara berbeda, sesuai dengan apa yang diyakini dan disukainya.

(6)

Pengambilan Keputusan dalam Keluarga berdasarkan Gender Keluarga dan Pendekatan Teori Struktural-Fungsional.

Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga mempunyai prisip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat, yang tidak akan terlepas dari interaksinya dengan subsistem lainnya yaitu ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Melalui interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga maupun sosial masyarakat (Megawangi 1999). Teori struktural-fungsional memandang pentingnya kemampuan keluarga untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan hidup tetap terjaga.

Pencapaian keseimbangan pada sistem sosial dapat tercipta dan berfungsi jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Syarat struktural yang harus dipenuhi untuk mempertahankan keseimbangan sistem keluarga ataupun masyarakat menurut Levy dalam Megawangi (1999) adalah (1) diferensiasi peran atau alokasi peran yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas atau distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi atau distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga sebagai sarana untuk mencapai tujuan, (4) alokasi politik atau distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi atau cara sosialisasi internalisasi pelestarian nilai dan perilaku pada setiap anggota keluarga untuk memenuhi norma yang berlaku.

Berdasarkan strukturnya anggota keluarga memiliki peran masing-masing dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk mencapai tujuan bersama. Peranan merupakan bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh seseorang berkaitan dengan hak dan kewajiban untuk menjalankan fungsi-fungsi keluarga (Soekanto 1990). Vitayala (2010) menyatakan bahwa peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola dan berada di sekitar hak dan kewajiban tertentu, sedangkan peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk jenis kelamin tertentu.

(7)

Peran gender adalah kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya penampilan seorang laki-laki atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki atau perempuan dan bagaimana keduanya berinteraksi (William & Best 1990). Peran gender untuk perempuan dan laki-laki secara universal dikelompokkan menjadi tiga peran pokok yakni: 1) peran reproduktif, terkait dengan perawatan sumberdaya manusia dan tugas-tugas rumahtangga yang penting bagi keluarga untuk mempertahankan kehidupan, 2) peran produktif, terkait dengan pekerjaan yang menghasilkan baik barang maupun jasa untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan, 3) peran sosial, terkait dengan kegiatan jasa ataupun partisipasi politik (Vitayala 2010).

Peran gender tergambar dari pekerjaan yang dipandang tepat bagi seseorang menurut perbedaan jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin mengacu pada cara pekerjaan reproduktif, produktif dan pekerjaan sosial dibagi antara perempuan dan laki-laki, dan bagaimana pekerjaan tersebut dinilai dan dihargai dalam satu masyarakat atau budaya tertentu. Pembagian kerja antara sesama anggota keluarga laki-laki dan perempuan merupakan persyaratan struktural untuk kelangsungan hidup keluarga inti. Peran yang dibagi secara berbeda antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh sifat biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor sosialisasi budaya (Megawangi 1999).

Menurut Becker (1965), perbedaan gender dapat menentukan tingkat partisipasi anggota dalam keluarga, karena dengan investasi modal manusia yang sama perempuan memiliki keunggulan komparatif dalam pekerjaan rumahtangga yang lebih besar daripada laki-laki, sehingga perempuan akan menggunakan waktunya untuk pekerjaan rumahtangga dan laki-laki untuk pekerjaan mencari nafkah. Hal ini terkait dengan adanya pemahaman tentang tugas utama perempuan untuk mengandung, melahirkan, menyusui atau tugas lainnya yang berhubungan dengan pengasuhan anak.

Pada konteks peran berbasis gender, peran fungsional dalam rumahtangga dapat memunculkan arti negatif karena melakukan fungsi sebatas peran domestik-reproduksi. Pandangan tentang perempuan seperti ini bertujuan untuk membentuk istri yang ideal bagi keluarga. Istri secara emosional menciptakan suasana harmonis dalam keluarga dan menahan berbagai tekanan yang terjadi akibat

(8)

adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar dirinya. Pada kondisi lain, suami berperan sebagai pelindung keluarga dan bertugas menafkahi anggota keluarga.

Pembagian tugas pada pasangan menikah secara langsung dipengaruhi oleh pandangan peran gender, baik tradisional ataupun modern masing-masing pasangan (Scanzoni & Scanzoni 1981). Pandangan peran gender tradisional membagi tugas berdasar jenis kelamin secara kaku. Laki-laki tidak menginginkan perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan, sedang istri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam keluarga berada di tangan suami. Perempuan yang berpandangan tradisional ketika sudah menikah atau setelah menjadi ibu, merasa lebih bertanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas rumahtangga dan mencurahkan tenaga untuk suami dan anak (Becker 1965).

Pandangan peran gender modern membagi tugas berdasar jenis kelamin secara tidak kaku dan diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki- laki mengakui minat dan kepentingan perempuan yang sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumahtangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami. Menurut Plato (Megawangi 1999), apabila masing-masing individu mengetahui posisi dan fungsinya, maka suatu keluarga akan berada dalam keseimbangan harmonis dan dapat berjalan dengan baik.

Konsep Pengambilan Keputusan.

Keluarga dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anggotanya. Pengambilan keputusan adalah proses memilih atau menentukan beberapa kemungkinan alternatif kegiatan dalam situasi tertentu, dan merupakan titik awal dari semua kegiatan yang akan dilakukan oleh keluarga. Menurut Rice dan Tucker (1986), keputusan yang diambil akan mempengaruhi

(9)

kualitas hidup manusia. Keberhasilan suatu tindakan sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan yang dibuat (Susanti 1999).

Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menggambarkan bagaimana struktur pola kekuasaan dalam keluarga tersebut. Pola yang dimaksud adalah kewenangan suami dan istri dalam mengambil keputusan. Kekuasaan dianggap sebagai penentu dalam proses tawar menawar untuk mengambil suatu keputusan dalam keluarga. Kekuasaan ditentukan oleh sumberdaya atau aset yang dimiliki individu. Sajogyo (1981) menyatakan bahwa pendidikan dan proses sosialisasi, latar belakang perkawinan, kedudukan dalam masyarakat dan faktor pewarisan dapat mempengaruhi perempuan dalam mengambil keputusan. Pada masyarakat yang perempuannya tidak memiliki hak waris sebagai pemilik tanah dan kekayaan yang lain akan cenderung menjadi hak milik dalam perkawinan.

Menurut Lestari (1999), pengambilan keputusan dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh faktor sumberdaya yakni aset yang dimiliki individu sebelum menikah, seperti uang, kekayaan, pendidikan, atau pendapatan. Semakin tinggi aset yang dimiliki individu semakin kuat kekuasaannya dalam menentukan keputusan (Thomas & Frankenberg 1999). Pengambilan keputusan dalam keluarga tidak harus diberikan kepada satu orang anggota tertentu saja. Hal ini dapat pula dilakukan dengan kerjasama antar anggota keluarga, dan pembagiannya biasanya sesuai dengan tugas dari beberapa tingkatan diantara anggota keluarga.

Pengambilan keputusan dalam keluarga terbagi lima variasi, yaitu (1) hanya oleh istri, (2) hanya oleh suami, (3) oleh suami dan istri bersama, istri dominan, (4) oleh suami dan istri bersama, suami dominan, dan (5) oleh suami dan istri bersama (Sajogyo 1981). Menurut Guhardja & Hastuti (1992), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota keluarganya, yaitu:

1) Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota memiliki hak untuk mengemukan pendapatnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan akan menjadi tanggungjawab semua anggota keluarga.

(10)

2) Pengambilan keputusan akomodatif, yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut.

3) Pengambilan keputusan de facto, yaitu pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa.

Saat ini, masih terdapat anggapan bahwa istri/ibu tidak mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan di dalam maupun di luar keluarga, suami/bapak biasanya yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan meskipun ini tidak semuanya terbukti benar. Pandangan budaya istri ikut suami dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang relatif cenderung memperlemah status perempuan menurut norma yang berlaku umum, laki-laki adalah orang yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan (Ihromi 1999).

Menurut White (1984), dalam masyarakat perdesaan laki-laki membuat keputusan produksi dan perempuan bertugas dalam mengontrol anggaran rumahtangga. Hal ini sejalan dengan Gertz (1961) yang menyatakan bahwa dalam keluarga Jawa perempuan mempunyai andil besar dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.

Pengambilan keputusan hanya merupakan satu aspek dari hubungan kekuasaan keluarga. Meskipun keputusan itu sendiri dianggap penting tidak ada satupun orang yang berusaha untuk mengetahui siapa yang membuat keputusan, tetapi cenderung pada siapa yang lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan, siapa yang memiliki kekuasaan untuk mendelegasikan keputusan pada pasangan dan pada penyelesaian konflik mereka, dan siapa yang akan melaksanakan hasil keputusan yang telah disepakati sebelumnya (White 1984).

Pelaksanaan dari suatu keputusan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari ciri individu, keluarga, lingkungan, maupun ciri tugasnya (Deacon & Firebough 1988). Karakteristik individu seringkali dihubungkan dengan kualitas kepribadian seseorang. Karakteristik keluarga menyangkut hubungan perbedaan antar individu dalam keluarga, seperti siklus kehidupan keluarga, umur anak, dan besar keluarga. Karakteristik lingkungan berkaitan dengan lingkungan makro dan mikro, seperti lingkungan fisik, anggota keluarga, dan barang-barang yang digunakan keluarga. Karakteristik tugas berhubungan dengan tingkat kesulitan

(11)

suatu pekerjaan, semakin rumit tugas, dan semakin besar pengawasan dan perhatian.

Meskipun secara budaya suami diposisikan sebagai kepala keluarga, istri mempunyai peluang sama dalam mengambil keputusan terutama untuk urusan kegiatan dalam rumahtangga. Pada keluarga Jawa, pengambilan keputusan dalam urusan domestik umumnya ditentukan kebanyakan oleh isteri (Mulyono & Ardyanto 2001).

Alokasi Waktu Pekerjaan Rumahtangga Pendekatan Produksi Rumahtangga

Pendekatan produksi rumahtangga dipandang sebagai pelengkap kerangka ekonomi mikro yang tepat untuk menganalisis alokasi waktu dalam keluarga. Metode alokasi waktu adalah metode yang paling tepat untuk menjelaskan berbagai aktivitas, yang paling sering untuk pekerjaan tidak dibayar dan tidak tercatat sebagai aktivitas ekonomi yang dipublikasikan.

Waktu diantara berbagai aktivitas dialokasikan untuk pekerjaan pasar dan pekerjaan rumah dan/atau waktu luang. Menurut Bennet (1983), waktu berguna untuk menghasilkan 1) produksi jasa dalam keluarga seperti memasak, membersihkan dan menata rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, 2) produksi upah atau gaji pekerjaan pasar yang menghasilkan pendapatan, dan 3) produksi subsisten makanan dan barang lain yang tidak dibayar dalam keluarga petani dengan pendapatan terpisah.

Pekerjaan di rumah dan pekerjaan pasar bersubtitusi sempurna, yakni satu kepuasan sama yang diperoleh dari mengkonsumsi barang atau jasa, baik yang dibeli di pasar atau diproduksi di rumah. Apabila seseorang menikmati utilitas langsung dari aktivitas produksi maka bagian dari waktu yang digunakan untuk produksi rumah ditetapkan sebagai waktu luang (Pylkkanen 2002). Pada umumnya dalam model produksi rumahtangga, rumahtangga memaksimalkan utilitas masalah kendala tertentu dengan mempertimbangkan teknologi dan sumberdaya.

Rochaeni dan Lokollo (2005) mensitir teori Becker (1965), yang menyatakan bahwa rumahtangga dalam memproduksi output menggabungkan

(12)

barang modal dan barang mentah, tenaga kerja dan waktu. Utilitas (kepuasan) langsung diperoleh rumahtangga melalui konsumsi berbagai barang akhir. Maksimisasi kepuasan dilakukan dengan mengkombinasikan input barang (Xi)

dan input waktu (Ti) dengan fungsi produksi fi untuk menghasilkan barang Zi.

Fungsi kepuasan rumahtangga pada teori ekonomi rumahtangga, yaitu: (1) U = U (Zi, …, Zn)

Z dinotasikan untuk komoditas yang dihasilkan rumahtangga (i = 1,2, ..,n). Menurut fungsi produksi, setiap komoditas dihasilkan sebagai berikut,

(2) Z = Zi (Xi, Thi)

Xi merupakan barang dan jasa, sedangkan Thi merupakan jumlah waktu

yang digunakan untuk memproduski barang Z. Pada dasarnya Zi adalah barang

tidak dijual, sehingga barang tersebut dinilai dengan harga bayangan produksi yang dirumuskan sebagai berikut,

(3)

Dengan menggunakan Пi maka kendala pendapatan penuh sebagai berikut,

(4) PiXi + wThi = ПiZi

Fungsi kepuasan (1) dimaksimumkan dengan kendala pendapatan penuh (4), maka kondisi keseimbangan terjadi bila kepuasan marjinal dari komoditas yang berbeda sama dengan harga bayangan masing-masing komoditas tersebut. Harga barang atau jasa, biaya opportunitas dan teknologi produksi rumahtangga akan menentukan kombinasi barang atau jasa yang dikonsumsi dan penggunaan waktu. Pada hal ini, preferensi rumahtangga akan mempengaruhi aktivitas rumahtangga (Becker 1965).

Berdasarkan kajian empiris yang dilakukan oleh Rowland (1986) dalam Pylkkanen (2002) dijelaskan bahwa alokasi waktu rumahtangga dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi dan tuntutan peran di dalam atau di luar rumahtangga. Seorang istri yang memutuskan untuk mengalokasikan waktunya di dalam ataupun di luar rumah, akan mempertimbangkan nilai ekonomis ataupun yang bersifat non-ekonomis pekerjaan rumahtangga.

Gronau (1977) membedakan antara waktu luang dengan waktu bekerja di rumahtangga. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi reaksi yang berbeda antara waktu kerja di rumah dan

(13)

waktu luang terhadap lingkungan sosial ekonomi, sehingga fungsi kepuasan terhadap komoditas Z merupakan gabungan kombinasi barang dan jasa serta waktu luang (L), sebagai berikut,

(5) Z = Z (X, L)

Total barang dan jasa (X) terdiri dari barang dan jasa yang dibeli di pasar (Xm), dan barang dan jasa yang di produksi di rumahtangga (Xh). Rumahtangga

bertindak sebagai produsen dan juga konsumen sehingga Xh dihasilkan dari

bekerja di rumah (H) dengan persamaan di bawah ini, (6) X = Xm + Xh

(7) Xh = f (H)

Rumahtangga untuk memaksimumkan kepuasan Z, dihadapkan pada dua kendala yakni anggaran (8) dan waktu (T), sebagai berikut,

(8) Xm = V + WN

(9) T = L + H + N

Pada persamaan (8), W merepresentasikan tingkat upah dan N merupakan jumlah jam kerja dan V dinotasikan untuk pendapatan dari sumber lain. Pada kendala waktu di persamaan (9), T dinotasikan untuk total waktu setiap hari yang dialokasikan diantara tiga penggunaan: waktu rumahtangga (H), waktu pasar (N), dan waktu luang (L). Pandangan yang sama dengan Gronau dikemukakan Zick dan Bryant (1983) yang mengasumsikan model alokasi waktu bekerja-luang rumahtangga, fokus perhatiannya pada waktu yang digunakan oleh seorang anggota keluarga yang bekerja di pasar tenaga kerja. Model rumahtangga sendiri memiliki tiga komponen gambaran, yaitu preferensi keluarga, sumberdaya rumahtangga dan bagaimana mereka membatasi alternatif yang tersedia bagi keluarga, dan relasi perilaku yang menggambarkan aturan dari keputusan-keputusan yang dibuat.

Rumahtangga memperoleh kepuasan dari gabungan beberapa barang (goods), yaitu barang dan jasa yang dibeli di pasar atau yang biasa disebut barang-barang pasar (dinotasikan dengan C), barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh rumahtangga atau yang biasa disebut barang-barang rumah (dinotasikan dengan G), dan waktu luang yang dimiliki individu pada keluarga dengan satu atau lebih anggota keluarga yang memiliki kesempatan untuk bekerja di pasar tenaga kerja

(14)

(dinotasikan dengan L). Preferensi rumahtangga terhadap gabungan C, G, dan L dapat ditulis sebagai berikut,

(10) U = u (C, G, L)

Bryant mengasumsikan bahwa barang pasar dan barang rumah, C dan G, sebagai substitusi sempurna. Hal ini digunakan untuk menyederhanakan grafik tiga dimensi kombinasi G, C, dan L menjadi dua dimensi kombinasi sehingga mudah dipahami. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut,

(11) U = u (C + G, L)

Gambar 1 menunjukan ilustrasi preferensi rumahtangga terhadap barang (C+G) dan waktu luang (L). Poin A merepresentasikan waktu luang La per

minggu dan (C+G) kuantitas barang yang menghasilkan kepuasan sejumlah U0,

yang dapat dituliskan sebagai berikut, (12) U0 = u (C + G, L)

Gambar 1. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu

Pada Gambar 1 terlihat garis vertikal TT yang merepresentasikan salahsatu aspek kendala waktu. Meskipun seseorang menginginkan lebih banyak waktu luang, tetapi hal tersebut tidak mungkin lebih besar dari waktu yang tersedia. Poin yang terletak pada sebelah kiri TT menunjukkan kombinasi yang mungkin antara barang dan waktu luang, sedangkan poin yang terletak pada sebelah kanan TT menunjukan ketidakmungkinan antara barang dan waktu luang. Komponen dari kendala waktu lebih lanjut menunjukan spesifikasi penggunaan waktu pada rumahtangga, yang biasanya dikategorikan dalam waktu jam kerja pasar, pekerjaan rumahtangga dan waktu luang.

Jam kerja pasar (M) yakni waktu yang digunakan individu untuk bekerja dan dibayar. Pekerjaan rumahtangga (H) yakni waktu yang digunakan individu

(15)

untuk melakukan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, mencuci baju, perawatan rumah dan sebagainya. L dinotasikan untuk waktu yang digunakan individu tidak untuk pekerjaan pasar maupun pekerjaan rumahtangga. Total waktu yang tersedia (T) akan sama dengan jumlah semua kemungkinan penggunaan waktu, sehingga kendala waktu dapat dituliskan sebagai berikut,

(13) T = M + H + L

Utilitas rumahtangga selain dipengaruhi oleh kendala waktu, juga fungsi produksi rumahtangga. Fungsi produksi rumahtangga menspesifikasikan kendala teknologi yang dihadapi rumahtangga dalam proses produktif. Fungsi rumahtangga menekankan hubungan antara waktu yang digunakan individu untuk melakukan aktivitas rumahtangga dan jumlah output yang diproduksi. Kuantitas dari output yang dihasilkan dari produksi rumahtangga, G, dapat dituliskan dalam persamaan berikut,

(14) G = g (H; X)

X merepresentasikan kuantitas dari input barang dan jasa dalam keluarga yang digabungkan dengan individu tenaga kerja, dan H menotasikan jam tenaga kerja rumahtangga yang digunakan untuk memproduksi output rumahtangga. Semicolon yang memisahkan antara H dan X menunjukan bahwa rumahtangga dapat mengubah jumlah waktu yang dihabiskan individu dalam pekerjaan rumahtangga, tetapi tidak dapat mengubah jumlah input tenaga kerja yang dikombinasikan.

Gambar 2 menjelaskan bagaimana rumahtangga mengalokasikan waktunya untuk jam kerja pasar, pekerjaan rumahtangga, dan waktu luang dapat diketahui dari bentuk total budget line (garis anggaran) rumahtangga. Definisi total garis anggaran menunjukan kuantitas barang maksimum yang dapat diperoleh dari setiap jam kerja dan pendapatan lain (non-labour income). Total rumahtangga garis anggaran dibuat dari potongan fungsi produksi rumahtangga dan garis anggaran pasar.

(16)

LN Leisure (L) V/p O C+GN MP < w/p N MP < w/p T Barang C+G Household work Goods GR 2 GP 1 GQ 0 O 0 HQ 1 HP 2 HR Q P R

Gambar 2. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja di rumahtangga

Gambar 3 dan 4 menjelaskan bahwa rumahtangga akan memproduksi atau membeli barang, sehingga untuk memaksimisasi kuantitas barang dapat diperoleh dari mengkonsumsi jumlah jam kerja. Individu akan berhenti melakukan lebih banyak perkerjaan rumahtangga pada saat marjinal produk tenaga kerja (marginal product of labour⁄mp) lebih kecil atau sama dengan tingkat ril upah (w/p). Kondisi ini kemudian menjadi penentu dimana individu memulai pekerjaan pasar tenaga kerja.

(17)

Gambar 4. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja dengan kendala anggaran

Hal ini senada dengan model Gronau (1977) yang mengemukakan bahwa pengalokasian waktu antara pekerjaan rumah dan pekerjaan pasar ditentukan oleh berbagai faktor yang dapat menghambat pemaksimuman. Semisal, apabila produktivitas marjinal dalam rumah jauh di bawah rata-rata upah ril, maka orang akan berhenti bekerja di rumah dan akan memilih pekerjaan pasar. Perubahan pendapatan bukan upah tidak mempengaruhi pekerjaan rumah, tetapi jika upah ril berubah orang akan berpikir untuk mengalokasikan kembali waktunya antara pekerjaan rumah dan pekerjaan pasar. Hal ini dapat disajikan berikut:

ƒי (H) = W+

untuk V, W, dan produktivitas rumah = ƒי

Pada peningkatan pendapatan bukan upah (V) dan untuk seseorang yang bekerja memilih teknologi konsumsi barang intensif, jumlah penggunaan waktu pekerjaan rumah tidak terpengaruh atau tidak berubah, tetapi jumlah waktu luang (anggap bukan inferior) akan meningkat sebagai hasil pengaruh murni pendapatan. Hal ini juga akan memberi pengaruh negatif terhadap jumlah penggunaan waktu untuk pekerjaan pasar tanpa mempengaruhi pekerjaan di rumah. Jika seseorang tidak bekerja akibat pendapatan bukan upah meningkat, maka orang tersebut akan mengurangi pekerjaannya di rumah dan waktu luang

LN Leisure (L) V/p O C+GN MP > w/p N MP < w/p T Barang C+G

(18)

meningkat, dan dengan meningkatnya komoditi output waktu konsumsi akan naik dan tidak terpengaruh terhadap pekerjaan pasar karena dia sebelumnya tidak bekerja.

Naiknya upah ril membuat harga barang waktu lebih rendah dan ini kurang menguntungkan untuk menghasilkan produksi rumah dan oleh karenanya mengurangi pekerjaan rumah, sedang efeknya terhadap waktu luang tidak jelas tergantung apakah efek pendapatan atau bukan mendominasi efek subtitusi. Apabila penurunan pekerjaan rumah menghasilkan peningkatan waktu luang, maka seharusnya suplai pekerjaan pasar meningkat.

Hal ini penting ditekankan, bahwa peningkatan reit upah ril mengurangi pekerjaan rumah dan meningkatkan pekerjaan pasar dari orang yang bekerja, namun tidak mempengaruhi pekerjaan rumah dari orang yang tidak bekerja. Pendapatan keluarga berpengaruh negatif terhadap pekerjaan pasar dan berpengaruh positif terhadap waktu luang namun tidak berpengaruh pada pekerjaan di rumah.

Kehadiran anak merupakan peubah yang dapat menentukan alokasi waktu individu terutama pada keluarga dengan anggota banyak; dengan bertambahnya jumlah anak diharapkan waktu dapat ditransfer untuk aktivitas yang berhubungan dengan anak. Apabila orang tersebut bekerja, maka waktu yang dialokasikan untuk aktivitas yang berhubungan dengan anak akan dialihkan dari waktu yang dialokasikan untuk pekerjaan pasar dan waktu luang. Ini artinya, peubah jumlah anak memberikan pengaruh negatif terhadap penggunaan waktu pekerjaan pasar dan waktu luang, namun apabila orang tersebut tidak bekerja dengan bertambahnya jumlah anak dalam rumah, waktu yang dialokasikan untuk pekerjaan rumah dan waktu luang akan berkurang.

Gronau (1977) menyatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah anak untuk penggunaan aktivitas lainnya akan mengurangi waktu luang seseorang, karena anak merupakan barang intensif yang lebih baik dibanding aktivitas lainnya. Semisal, seseorang mengerjakan empat aktivitas pekerjaan rumahtangga sebelum melahirkan anak, dapat satu tambahan waktu luang dan pekerjaan pasar atau waktu sedikit untuk pekerjaan rumahtangga lain, tetapi setelah anak lahir

(19)

waktu yang seluruhnya digunakan tentulah untuk aktivitas yang berhubungan dengan pengasuhan anak.

Efek aktivitas yang berhubungan dengan anak pada pekerjaan rumah dan pekerjaan pasar sangat tergantung pada profitabilitas produksi rumah. Perempuan sebagai istri umumnya ditawarkan dengan reit upah yang lebih rendah dibanding suaminya dan kemungkinan lebih produktif di rumah, oleh karenanya efisien bagi perempuan untuk memproduksi barang rumahan. Pada perempuan bekerja, dengan bertambahnya jumlah anak jasanya di sektor pasar akan dialokasikan kembali ke pekerjaan rumah, sedang untuk perempuan tidak bekerja waktu luang akan berkurang dan pekerjaan rumah bertambah. Semakin besar usia anak dalam rumah kemungkinan partisipasi wanita di pasar kerja semakin tinggi dan waktu di rumah berkurang.

Faktor usia pasangan dapat pula menentukan partisipasi mereka dalam pekerjaan rumahtangga. Orang yang lebih tua mempunyai tendensi untuk tinggal di rumah lebih banyak daripada pasangannnya yang lebih muda. Biasanya orang dengan usia lebih tua menyukai jamuan kunjungan tamu ke rumah apakah kerabat atau teman dekat, karena itu diasumsikan pekerjaan di rumah akan meningkat. Namun pada pasangan lain yang usianya lebih muda, kemungkinan kebiasaan untuk makan di luar meningkat yang secara variatif mempunyai efek negatif pada waktu yang digunakan di rumah. Hal ini karena, satu dari pasangan menjadi lebih tua maka kemungkinan partisipasi dalam pekerjaan rumahtangga meningkat terus dan kemudian mencapai maksimum dan menurun. Usia berarti, sebagai peubah kontinu diharapkan mempunyai efek positif dan sesudahnya efek negatif pada pekerjaan rumahtangga (Green 2003).

Pada kebanyakan keluarga dengan jumlah anggota lebih besar, pekerjaan rumahtangga yang dikerjakan lebih sedikit daripada keluarga dengan anggota lebih kecil, apabila rumah sebagai tempat tinggal mereka memiliki ukuran besar. Semakin besar rumah semakin banyak pekerjaan di rumah yang harus dikerjakan, karena jumlah ruangan yang harus dikerjakan banyak sehingga pekerjaan rumahtangga juga meningkat, dan pada akhirnya memiliki hubungan negatif dengan jumlah anggota rumahtangga.

(20)

Menurut Walker dan Wood (1976), waktu yang dicurahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal seperti umur, kondisi psikis, standar nilai, aset yang dimiliki, iklim kerja dan pemutusan hubungan kerja. Pola manajemen waktu dalam keluarga tergantung pada suplai tenaga kerja yang diadopsi pasangan. Curahan waktu terkait pula dengan persepsi tentang waktu yang mempengaruhi individu dalam menggunakan waktunya. Persepsi terhadap waktu adalah suatu konsep yang melibatkan perasaan subjektif terhadap waktu, yang kebanyakan dipengaruhi oleh nilai sosial-budaya.

Nilai Penggunaan Waktu Waktu dan Penggunaannya.

Pada aplikasi ekonomi mikro, setiap orang akan memaksimumkan penggunaan waktu mereka (Johnson 1985). Waktu yang tersedia selama 24 jam dalam sehari dimanfaatkan setiap individu dalam keluarga secara berbeda. Berdasarkan penggunaannya waktu dikelompokkan ke dalam empat jenis kegiatan, yaitu: (1) waktu produktif atau waktu bekerja, (2) waktu yang digunakan untuk kegiatan makan, tidur, perawatan diri dan kesehatan, (3) waktu antara, yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan ke tempat kerja, dan (4) waktu luang (Guhardja & Hastuti 1992).

Waktu dapat digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan. Menurut Mangkuprawira (1985), penggunaan waktu terutama ibu terbagi dalam enam kategori, yaitu (1) waktu yang digunakan dalam kegiatan rumahtangga yang tidak bernilai ekonomis seperti bersih-bersih rumah, mencuci, memasak, mengasuh, atau waktu rumahtangga, (2) semua waktu yang digunakan untuk meningkatkan penghasilan keluarga, atau waktu mencari nafkah, (3) waktu yang digunakan untuk kegiatan sosial seperti gotong royong, kunjungan ke orang sakit dan tetangga, pengajian, arisan atau waktu sosial, (4) digunakan dalam kegiatan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan, atau waktu pendidikan, (5) waktu yang digunakan untuk kegiatan pribadi seperti, makan dan minum, shalat, membaca Alquran dan tidur, atau waktu pribadi, (6) sisa waktu yang tidak digunakan untuk melakukan lima kegiatan sebelumnya, atau waktu luang.

(21)

Waktu yang digunakan untuk bekerja di rumah adalah pekerjaan rumahtangga dan perawatan anak. Pekerjaan rumahtangga yakni waktu yang digunakan untuk menyiapkan makanan, mencuci peralatan makan/pengolahan, membersihkan rumah, mencuci pakaian, berbelanja, berkebun. Penggunaan waktu untuk perawatan anak merupakan waktu yang digunakan untuk pendidikan dan pengasuhan anak seperti memakaikan baju, memberi makan anak, mengantar ke sekolah atau ke dokter, membacakan cerita, menemani anak usia sekolah mengerjakan pekerjaan rumah, mendidik anak, mengobrol, bermain dengan anak (Bonke & Weser 2001, Deding & Lausten 2004).

White (1984) menyatakan bahwa studi untuk mengetahui banyaknya pekerjaan yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga sampai saat ini masih sedikit sekali. Pada banyak hal gagal menjaring kondisi ril ibu, bapak, dan anak seperti pekerjaan reproduksi (perawatan anak atau tugas-tugas rumahtangga) dan pekerjaan produktif (pekerjaan ganda) banyak yang tidak tercatat, jika tercatat pun semua jenis pekerjaan dan waktu yang digunakan oleh masing-masing individu tidak sesuai pengukurannya atau tidak mengukur semuanya.

Menurut Johnson (1985), cara yang paling sesuai untuk mengumpulkan informasi tentang penggunaan waktu adalah dengan metode pengamatan langsung. Dua metode utama pengamatan langsung yang populer digunakan adalah following subject dan spot checks. Pendekatan yang paling sesuai untuk mempelajari secara langsung cara individu menggunakan waktunya adalah dengan mengikuti subjek individu atau keluarga sepanjang waktu.

Pada metode following subject, satu peneliti hanya dapat mengikuti satu individu pada saat itu karena individu dan waktu yang diamati haruslah kecil. Hal tersebut sekaligus menjadi hambatan metode ini karena keterwakilan data diragukan. Solusi yang dapat ditawarkan yakni dengan pembuatan spot checks secara periodik terhadap perilaku orang kebanyakan. Teknik spot checks digunakan dengan pola acak kunjungan untuk menentukan apa yang dilakukan responden penelitian dengan kesempatan waktu yang ada.

White (1984) menyatakan bahwa kelemahan metode pengamatan langsung adalah adanya pengaruh kehadiran tetap pengamat. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan teknik pengamatan acak cepat yang dikembangkan oleh Allen dan

(22)

Orna Johnson pada masyarakat Indian Machiguenga di Peruvian Amazon pada tahun 1984. Pada pengamatan ini, rumahtangga dan waktu kunjungan dipilih secara acak dan peneliti mencatat kegiatan pada kesempatan kunjungan utama. Idealnya secara cepat sesaat sebelum mereka menyadari adanya kehadiran orang lain. Teknik ini menjadi pilihan dalam studi perilaku cross sectional karena dianggap dapat dipercaya dan waktu yang diperlukan di lapangan relatif sedikit.

Metode lain yang dapat digunakan untuk mengukur penggunaan waktu adalah self-report. Metode ini menggunakan tiga cara yang dapat dilakukan informan, yaitu (1) global self-report, bertanya hanya satu kali pada informan untuk menjelaskan pola keseluruhan alokasi waktu mereka (perkiraan jumlah jam per minggu), (2) 24-hours recall interviews, bertanya pada informan tentang aktivitas mereka selama 24 jam sebelumnya, dan (3) informans diaries, meminta informan menyimpan catatan hariannya tentang aktivitas mereka. Penggunaan waktu juga dapat diukur dengan menggunakan metode task assigment, yang bertujuan untuk memperoleh perkiraan alokasi waktu kegiatan rumahtangga (Juster & Stafford 1985).

Berdasarkan uraian tersebut, alokasi waktu dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai aktivitas yang kebanyakan aktivitas tidak dibayar dan tidak tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional. Penggunaan waktu dalam penelitian ini khususnya untuk pekerjaan di rumah yang tidak dibayar, atau dikenal sebagai pekerjaan rumahtangga. Hal ini akan digali dengan menggunakan metode self report dengan cara 24 hours recall.

Konsep Nilai

Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung arti sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah suatu konsepsi seseorang atau kelompok yang berkaitan dengan kualitas suatu objek, yang menyebabkan objek tersebut diinginkan atau dipilih dan dijunjung tinggi serta dianggap penting (Halim 1987, Adisubroto 1995).

Nilai dapat dimaknai dari segi sosial, yakni kualitas dari suatu objek yang menyebabkan objek tersebut diinginkan, dijunjung tinggi, dan dianggap berharga. Isi yang terkandung dari nilai adalah akal dan perasaan, sedang dasar dari sistem

(23)

nilai adalah kebudayaan dan agama (Gross & knoll 1980). Nilai dari segi ekonomi digunakan sebagai nilai tukar/harga dan nilai guna (utilitas). Para ahli ekonomi menjelaskan nilai sebagai sesuatu yang setara dengan uang atau komoditi. Setara artinya, sejumlah uang/komoditi yang efeknya akan sama dengan kesejahteraan atau utilitas individu.

Para ahli ekologi menggunakan istilah nilai untuk menjelaskan sesuatu yang diinginkan, atau penghargaaan diri berupa benda atau yang bersifat intrinsik. Nilai intrinsik terdapat dalam struktur alamiah dari manusia itu sendiri yang terbentuk karena faktor keturunan yang dibawa sejak lahir dan dibentuk dalam lingkungan (Champ & Brown 2003).

Nilai adalah sesuatu yang berkaitan dengan harapan masyarakat tentang apa yang diinginkan, yakni baik dan benar (Zanden 1986). Hal yang diinginkan dalam hidup manusia yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku yang sesuai dengan adat dan struktur masyarakat dikatakan sebagai nilai hidup. Nilai hidup dapat disamakan dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan kumpulan nilai hidup yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu atau mahluk sosial bersumber pada motif.

Orientasi yang jelas terhadap sesuatu nilai hidup akan tercermin dalam sikap atau kepribadian. Contohnya, seseorang yang berorientasi terhadap nilai ekonomis (prinsip utilitas atau kegunaan) dapat disebut sebagai orang yang bersikap ekonomis. Ini artinya, sikap jiwa mereka mengejar pada hal-hal yang praktis dan memiliki kegunaan dengan pencapaian hasil yang maksimal dan cenderung yang bersifat fisik (material, finansial). Nilai hidup atau sistem nilai yang dimiliki seseorang maupun masyarakat tidak selalu stabil, karena dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, usia, perubahan sosial budaya, sosialisasi serta perlakuan (Adisubroto 1995).

Berdasarkan uraian tersebut, nilai adalah pikiran atau perasaan seseorang tentang suatu objek benda atau bukan benda, yang dianggap berharga dan diinginkan. Nilai pekerjaan rumahtangga dalam penelitian ini dimaknai dengan harga setara rupiah, dan perasaan individu dalam keluarga terhadap pekerjaan tersebut serta hasilnya (perceived) berupa produk barang dan jasa.

(24)

Penilaian Waktu Aktivitas pekerjaan di Rumah.

Aktivitas pekerjaan di rumah seharusnya memiliki nilai berharga dan perlu diperhitungkan agar dapat dimasukkan dalam perhitungan pendapatan nasional, walaupun untuk pengukuran kuantitas ataupun kualitas relatif sulit (Guhardja & Hastuti 1992). Pada pengukuran ekonomi pasar nilai barang atau jasa dihitung dengan harga pada saat terjadi transaksi, sedang untuk sektor bukan pasar karena tidak terjadi transaksi maka tidak ada harga juga nilai ekonomi. Evaluasi ekonomi bukan pasar pada umumnya dibawa dari nilai pasar (Goldschmidt & Clermont 1983). Perhitungan nilai ekonomi didasarkan pada asumsi bahwa waktu yang digunakan untuk pekerjaan rumah yang tidak dibayar dan pekerjaan yang dibayar, bersubtitusi sempurna.

Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga diperhitungkan sebagai produk penggunaan waktu untuk pekerjaan rumahtangga dan shadow price pekerjaan rumahtangga yang diperkirakan dari reit upah per jam. Reit upah pasar sebagai ukuran yang tepat untuk biaya berimbang jam bekerja di rumah. Biaya berimbang setiap jam sama untuk semua jam pekerjaan yang dibayar begitu juga yang tidak dibayar (Becker 1965, Bonke 2002, Deding & Lausten 2004). Biaya berimbang digunakan sebagai satu pendekatan, karena sulit menentukan harga setara pasar (Juster & Stafford 1985).

Pada pendekatan biaya berimbang, input waktu bukan pasar dinilai dari pengalian penggunaan jam aktivitas produktif dengan reit upah per jam aktivitas, yang dilakukan individu (upah aktual untuk pekerjaan di pasar tenaga kerja dan upah yang berhubungan dengan pekerja yang melakukan tugas sama). Ide dibalik penggunaan rata-rata upah yakni upah merefleksikan biaya berimbang sumberdaya bukan pasar yang digunakan dalam suatu aktivitas. Masing-masing individu dapat menggunakan waktu yang sama untuk aktivitas produktif yang menghasilkan pendapatan dan aktivitas produktif bukan pasar.

Biaya berimbang menilai penggunaan waktu untuk pekerjaan tidak dibayar berdasarkan pendapatan pekerjaan rumahtangga yang tidak dibayar dari anggota yang memilih menyediakan jasa tenaga kerja pasar sebelumnya, atau penilaian biaya berimbang individu yang bersangkutan. Sebagai contoh, seorang ibu memiliki kualifikasi pendidikan S2 memilih tinggal di rumah untuk merawat anak

(25)

dan mengelola rumah dengan pertimbangan tertentu. Pekerjaan rumahtangga tidak dibayar ibu tersebut dihargai menurut kompensasi dia sebagai pekerja yang dibayar, apabila bekerja gaji yang diterima sebesar Rp 4.000.000,00 maka ini dianggap nilai biaya berimbangnya (Champ & Brown 2003). Pertimbangan tersebut yang menjadi dasar keputusan ibu untuk bekerja atau memutuskan tinggal di rumah.

Pada umumnya ibu akan bekerja jika penghasilan suami kecil, pendapatan keluarga dirasakan kurang, atau upah pasar kerja yang diterima lebih besar daripada tinggal di rumah. Permasalahannya apakah kepuasan ibu dalam pemenuhan kebutuhan untuk mengekspresikan kemampuan sesuai pendidikan formalnya juga seimbang. Hal ini tentu akan disikapi berbeda oleh setiap individu, karena konsep nilai tidak sama pada setiap individu.

Metode alternatif lain penilaian aktivitas produksi rumah adalah dengan menilai waktu yang dilakukan di rumah berdasarkan rata-rata upah pasar per jam dari seorang profesional yang mengerjakan aktivitas sama. Biaya pengganti pasar adalah biaya tenaga ahli atau profesi yang memasuki pasar kerja. Biaya pengganti pasar menggunakan upah pekerja dibayar yang menghasilkan jasa yang sama di pasar (Gauger & Walker 1980, Zick & Bryant 1983, Juster & Stafford 1985, Arboleda 1999, Pylkkanen 2002, Couprie 2002).

Menurut Gauger dan Walker (1980), perhitungan nilai moneter waktu yang disumbang oleh setiap anggota keluarga ditentukan oleh reit upah jumlah jam kerja mereka. Penentuan harga atau reit upah setiap jam tugas rumahtangga perlu diidentifikasi, dengan membandingkan pekerja di pasar kerja yang bertugas melayani pekerjaan sama dengan tugas-tugas rumahtangga yang dilakukan oleh anggota keluarga. Sebagai contoh, seorang juru masak yang memperoleh upah sebesar Rp 60.000,00/jam diaplikasikan ke dalam jumlah waktu yang digunakan anggota keluarga untuk memasak.

Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga dalam penelitian ini dihitung berdasarkan jumlah waktu riil (i.e ada kegiatan 24 jam sebelumnya) dan tidak riil (i.e tidak ada kegiatan 24 jam sebelumnya tetapi data responden ada) yang dialokasikan untuk kegiatan penyediaan konsumsi makanan, perawatan pakaian, perawatan rumah, perawatan anak usia balita, perawatan anak usia sekolah,

(26)

perawatan anak usia remaja, dengan: 1) opportunity cost, yakni upah minimum pekerja yang berlaku di Kabupaten Sidoarjo, dan 2) replacement cost, yakni upah pekerja di pasar kerja yang bertugas melayani pekerjaan sama dengan tugas-tugas rumahtangga yang berlaku di kabupaten Sidoarjo, dan pengali matriks bobot (nilai tertimbang pekerjaan rumahtangga). Nilai non-ekonomi (perceived) dihitung dari total skor pekerjaan berbelanja, memasak, menyiapkan hidangan, mencuci peralatan makan, mencuci dan menyetrika pakaian, membersihkan rumah dan merawat anak; dengan analisis kualitatif.

Konsep Kegiatan Bekerja dalam Keluarga

Kegiatan bekerja dalam keluarga mencakup segala aktivitas yang dibayar atau pun aktivitas yang tidak dibayar, yang bertujuan untuk mengatur kelancaran kehidupan agar keluarga tetap bertahan. Aktivitas yang dibayar berhubungan dengan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Aktivitas yang tidak dibayar berhubungan dengan produksi rumahtangga, seperti membesarkan dan mendidik anak (mengasuh anak), menyiapkan makanan untuk kesejahteraan seluruh anggota keluarga, membersihkan dan menata isi rumah (merawat rumah), merawat pakaian, dan rekreasi sebagai faktor penyeimbang kehidupan keluarga (Pogrebin 1983). Batasan analisis dalam penelitian ini adalah aktivitas yang tidak dibayar yang dilakukan oleh, dari dan untuk keluarga yang hasilnya dikonsumsi atau dinikmati sendiri (Chadeau 1983).

Pada model konseptual kegiatan bekerja dalam keluarga yang diadaptasi dari Mangkuprawira (1985) dan Deacon dan Firebough (1988), dijelaskan bagaimana setiap individu dengan mutu modal yang berbeda menghasilkan utilitas barang dan jasa melalui aktivitas yang tidak dibayar.

Tinjauan Pengamatan Empiris

Isu mengenai penggunaan waktu dan produksi yang dihasilkan dalam rumahtangga/keluarga telah menjadi bahan diskusi dalam analisis ekonomi baru The New Household Economic. Berbagai kajian tentang produksi yang dihasilkan dari penggunaan waktu untuk aktivitas tidak dibayar kebanyakan didekati dengan teori utilitas rumahtangga Becker. Beberapa hasil studi mengungkap berbagai

(27)

perilaku rumahtangga/keluarga dalam mengalokasikan waktu di rumah atau produksi rumahtangga terkait dengan pekerjaan ibu rumahtangga, pengambilan keputusan dalam dan pembagian kerja dalam rumahtangga, peran gender dan alokasi waktu, utilitas produksi rumahtangga atau nilai penggunaan waktu.

Pengamatan empiris tentang alokasi waktu pekerjaan ibu rumahtangga dan sikap budaya di beberapa negara, diungkap Haris dan Spyridon (2002) yang menyatakan bahwa di negara–negara Eropa Selatan dan tanpa membeda-bedakan status pekerjaan responden, persentase ibu/perempuan yang bekerja rata-rata sama 19 jam per minggu atau lebih rendah daripada persentase bapak yang bekerja sebesar 53 jam per minggu. Hal ini karena, pengaruh budaya yang masih menganggap peran perempuan tradisional penting.

Penjelasan selanjutnya bahwa pantangan budaya menentukan sikap negatif terhadap ibu bekerja. Norma sosial menghambat perempuan dalam mengambil keputusan untuk bekerja jika memiliki anak. Perempuan Belanda yang memiliki anak kecil akan menghadapi halangan lebih besar dari teman-temannya dan kerabat jika melanjutkan kerja, dibandingkan dengan perempuan Inggris dan Portugal.

Perempuan menggunakan waktu untuk perawatan anak lebih banyak dibanding laki-laki. Perempuan Inggris dan perempuan Jerman memanfaatkan waktu dua per tiga per minggu untuk perawatan anak, sedang Portugal dan Perancis seperempatnya. Pembagian waktu paling besar yang digunakan laki-laki untuk perawatan anak ditemukan di Jerman dan negara-negara Mediterania.

Pada umumnya, laki-laki dan perempuan meyakini bahwa pekerjaan tidak dibayar sama penting dengan pekerjaan yang dibayar. Jumlah jam yang dialokasikan untuk tugas rumahtangga dan perawatan anak, tidak berbeda antar negara yakni mendekati rata-rata 37 jam per minggu. Bapak di Belanda, Italia, dan Perancis menyumbangkan jumlah jam tugas rumahtangga lebih rendah dibanding bapak di Finlandia, Inggris dan Portugal, sedang jumlah jam yang paling tinggi bapak di Jerman.

Hasil studi Haris dan Spyridon (2002) menguatkan temuan Alvarez dan Miles (2003) yang mengungkap bahwa probabilitas pekerjaan rumahtangga yang dibagi bersama pada keluarga muda di Athena, dilakukan lebih besar oleh istri

(28)

dibanding yang dilakukan suami. Istri yang bekerja melaksanakan 2/3 dari total pekerjaan rumahtangga (20-30 jam/minggu), sedangkan suami yang bekerja memanfaatkan 6-14 jam/minggu. Pasangan muda dalam membagi waktunya untuk pekerjaan rumahtangga lebih ditentukan oleh cara pandang secara budaya dibandingkan perbedaan karakteristik pasangannya seperti pendidikan, pekerjaan atau pendapatan. Hal ini karena dipengaruhi oleh pandangan normatif yang berlaku dalam masyarakat berkaitan dengan tugas laki-laki dan perempuan.

Pernyataan Alvarez dan Miles (2003) mendukung Chukuezi (2010) yang menyatakan bahwa perempuan menikah di Owerri-Nigeria mengerjakan paling banyak pekerjaan rumahtangga termasuk perawatan anak dalam keluarga. Setiap perempuan rata-rata per hari menggunakan waktu 8-9 jam lebih untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga, dengan alokasi paling besar adalah untuk menyiapkan makanan (2.87 jam), berbelanja (1.67 jam), perawatan anak (1.32 jam) dan aktivitas sekolah (1.23 jam). Mayoritas (20.69%) perempuan mengaku mencurahkan waktu 9-10 jam untuk melakukan pekerjaan rumahtangga, dan yang memanfaatkan waktu lebih dari 13-20 jam adalah mereka sebagai ibu rumahtangga penuh bekerja ataupun tidak bekerja.

Gender dalam penelitian ini memainkan peranan penting, tetapi tidak pada semua pekerjaan. Kebijakan yang berlaku bahwa perempuan yang telah menikah mencurahkan waktu yang lebih banyak untuk produksi rumahtangga dibandingkan dengan suami. Perempuan menghabiskan hampir 1 jam setengah lebih per hari untuk aktivitas rumahtangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan mencuci peralatan, dan 108 menit lebih lama per hari untuk perawatan anak dibandingkan dengan laki-laki.

Hasil studi Green (2003) tentang penggunaan waktu berdasarkan gender, status imigrasi dan kehadiran anak serta produksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa pada tahun 1998 laki-laki menggunakan waktu untuk pekerjaan rumahtangga sebesar 1.028 jam per tahun, sedang perempuan memanfaatkan 1.745 jam per tahun pada aktivitas yang sama. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan studi statistik Kanada tahun 1992 bahwa waktu yang digunakan laki-laki dan perempuan adalah 831 jam berbanding 1.482 jam.

(29)

Nilai pekerjaan rumahtangga berdasarkan perhitungan replacement cost atau keahlian, ditemukan bahwa responden laki-laki tanpa anak dengan nilai sebesar $8,533 dan perempuan $13,417, sedang nilai pekerjaan rumahtangga responden laki-laki dengan anak adalah $13,185 dan perempuan $23,394. Pada studi ini, karena tidak ada perbedaan waktu pekerjaan rumahtangga antara orang Kanada dan Imigran, maka tidak ada perbedaan nilai pekerjaan rumahtangga. Hal ini karena reit upah per jam yang diaplikasikan sama dengan curahan waktu yang sama. Namun demikian nilai pekerjaan rumahtangga perempuan lebih tinggi daripada nilai yang diperoleh laki-laki.

Berdasarkan perhitungan opportunity cost, nilai pekerjaan rumahtangga terbukti lebih tinggi pada orang kanada dibanding Imigran. Nilai laki-laki Kanada dengan anak $23,939 dan Imigran $17,724, sedang nilai laki-laki Kanada tanpa anak $15,944 dan laki-laki Imigran tanpa anak $12,092. Hal sama untuk perempuan Kanada dengan nilai 25 persen lebih tinggi dibanding perempuan Imigran. Faktor sosial ekonomi dapat menentukan alokasi waktu pekerjaan rumahtangga, selain pengambilan keputusan dalam keluarga yang dalam penelitian ini tidak diamati.

Gambaran yang diperoleh dari hasil pengamatan Chukuezi (2010), Green (2003), dan Alvarez dan Miles (2003) tersebut relatif tidak berbeda dengan fenomena keluarga di lokasi penelitian. Data SUSENAS Jawa Timur (2006) memperlihatkan bahwa angkatan kerja di kabupaten Sidoarjo untuk laki-laki mencapai 77.15 persen dan perempuan 36.26 persen. Hal ini berarti, laki-laki lebih banyak bekerja di luar rumah dan perempuan sebagian besar mengurus rumahtangga (63.74%), hal ini bila dibandingkan laki-laki hanya 3.37 persen yang mengurus rumahtangga dan karena itu perempuan dikelompokan bukan angkatan kerja.

Pada uraian berikut, terdapat kecenderungan pembagian kerja berdasarkan gender yang kurang seimbang pada lokasi perkotaan dan perdesaan, maupun kondisi ekonomi keluarga. Hal ini karena pengaruh konstruksi budaya. Keluarga perdesaan yang kental dengan budaya tradisional mendudukan laki-laki dengan ciri maskulinitasnya sebagai penguasa utama, memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga, sedang perempuan dengan ciri feminin harus

(30)

tunduk pada penguasa utama. Laki-laki sebagai figur sentral dalam keluarga (Abdullah 1997). Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di perkotaan lebih fleksibel, laki dan perempuan saling menghargai kepentingannya masing-masing (William & Best 1990).

Faktor pengaruh lain adalah marjinalisasi akibat industrialisasi dan kapitalisasi. Menurut Dewayanti dan Chotim (2004), marjinalisasi lebih mendesak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Pola pembagian kerja dalam keluarga menempatkan perempuan untuk menanggung beban tugas-tugas domestik lebih besar. Meskipun penetrasi kapitalis ke dalam ekonomi khususnya perdesaan Jawa tidak mengakibatkan dikotomi yang meningkat dalam pembagian kerja berdasar jenis kelamin, tetapi meningkatkan perbedaan antar rumahtangga baik secara ekonomi, sosial ataupun kekuasaan.

Pada keluarga yang kedua orangtuanya bekerja terjadi pembagian kerja berdasar jenis kelamin. Laki-laki umumnya juga melakukan pekerjaan yang diyakini sebagai pekerjaan perempuan. Pembagian kerja pada golongan menengah cenderung lebih ketat dibanding dengan rumahtangga golongan bawah, namun istri berperan dominan dalam pengambilan keputusan urusan rumahtangga. Suami dan istri mempunyai peran yang sama dalam mengatasi kesulitan keuangan, menentukan pendidikan anak, dan jumlah anak. Pada proses pengasuhan anak, ibu lebih banyak memberikan contoh disertai keteladanan, dan ayah lebih banyak menegur dan bila perlu memarahi anak jika bersalah.

Hal ini didukung data empiris seperti diungkap Mangkuprawira (1985) dalam studinya tentang alokasi waktu dan kontribusi kerja anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi rumahtangga di kabupaten Sukabumi di Jawa Barat. Hasil studinya menunjukan bahwa alokasi waktu diantara anggota keluarga berdasar seks dan status anggota dalam keluarga secara keseluruhan cenderung bervariasi nyata dan tampak nyata berdasar perbedaan lokasi.

Suami di perkotaan memanfaatkan 34.5 persen dari total waktu per minggu untuk mencari nafkah (di luar kegiatan pribadi), atau 46.8 persen lebih banyak daripada di perdesaan; sedang waktu untuk pekerjaan rumahtangga 0.8 jam per hari di perkotaan dan 0.7 jam per hari di perdesaan. Alokasi waktu istri yang terbanyak adalah melakukan pekerjaan rumahtangga. Curahan waktu istri untuk

(31)

kegiatan tersebut di perdesaan mencapai 39.1 jam per minggu atau 2.2 jam, lebih sedikit daripada waktu istri di perkotaan (Mangkuprawira 1985). Hasil pengamatan Sajogyo (1981) mendukung kondisi ini. Perempuan di Jawa Barat yang berasal dari lapisan atas maupun lapisan bawah, rata-rata sehari mencurahkan tenaganya 5–6 jam untuk pekerjaan rumahtangga dibanding untuk kegiatan mencari nafkah sebesar 2-4 jam.

Beberapa hasil studi memperlihatkan pula masalah produksi yang dihasilkan dari penggunaan waktu pekerjaan di rumah. Pada pekerjaan rumahtangga yang tidak dibayar diungkap Vaus dan Stratton (2003) yang menyatakan bahwa orangtua memberikan kontribusi bernilai ekonomi terhadap masyarakat Australia, melalui alokasi waktu pekerjaan sukarela dan perawatan anak yang tidak dibayar di dalam rumahtangganya, untuk anggota keluarganya di dalam rumahtangga lainnya, dan untuk anggota bukan keluarga dalam masyarakat yang lebih luas. Orang Australia yang berusia di atas 65 tahun memberikan kontribusi hampir $39 juta per tahun pada perawatan anak yang tidak dibayar dan pekerjaan sukarela, dan pada usia 55-64 tahun yang mencapai $74,5 juta per tahun.

Pengamatan lain berkaitan dengan hasil produksi rumahtangga dilakukan Murphy pada tahun 1982 di Amerika. Pada tahun 1976, total jam untuk melakukan pekerjaan rumahtangga dari semua responden 170 orang adalah 1.888,8 juta, dengan nilai pekerjaan sebesar $540 juta-$1,015.4 juta atau 31.6 persen sampai 59.5 persen dari GNP. Perbandingan jam kerja antara kelompok laki-laki adalah 53.7 juta dengan nilai pekerjaan ini berkisar antara $153,6 juta-$ 407,3 juta atau 9–23,9 persen dari GNP, dan untuk perempuan besarnya 135,1 juta dengan nilai antara $386,4 juta sampai $560,6 juta atau 22.6 persen sampai 35.6 persen dari GNP. Hal ini berarti, perempuan melakukan pekerjaan rumahtangga lebih besar dibanding laki-laki.

Hasil empiris ini mendukung The North-South Institute dan UNDP (1999) berkaitan dengan hasil konfrensi kerjasama ekonomi Asia-Pasifik di Hongkong. Perempuan selain berkiprah sebagai angkatan kerja sektor formal sebesar 29–49 persen, juga memberi kontribusi besar terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui pekerjaan rumahtangga yang tidak dibayar dan sebagai

(32)

sukarelawan di masyarakat. Pada negara-negara industri, waktu untuk pekerjaan yang tidak dibayar digunakan lebih besar dibanding pekerjaan yang dibayar, dengan nilai pekerjaan 15 persen dari GDP untuk kasus negara Jepang dan 54 persen untuk negara Australia.

Meskipun dalam empat dekade terakhir reit partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat dua kali pada kegiatan yang dibayar, perempuan masih melakukan pekerjaan rumahtangga dua kali lebih besar daripada laki-laki yang rasio perubahannya drastis terjadi sejak tahun 1961. Pada tahun 1961 perempuan Nova Scotia melakukan pekerjaan rumahtangga sebesar 68 persen dan 66 persen pada tahun 1992 diiringi dengan peningkatan jumlah jam pekerjaan yang dibayar semula 31 persen menjadi 39 persen. Perempuan Nova Scotia menggunakan waktunya tiga kali lebih banyak untuk memasak dan mencuci piring dibanding dengan laki-laki, dan tujuh kali lebih banyak untuk membersihkan rumah dan mencuci baju.

Perempuan memanfaatkan waktunya sekitar 2 jam lebih dalam sehari untuk kegiatan rumahtangga yang tidak dibayar, dibanding yang dilakukan laki-laki. Hal ini bahkan bagi perempuan/istri Nova Scotia yang bekerja sebagai pegawai penuh menggunakan waktu 1.5 jam dalam sehari untuk kegiatan rumahtangga yang tidak di bayar, dibanding laki-laki yang juga pegawai penuh. Sumbangan Ekonomi Nova Scotia terbesar berasal dari tiga sektor yaitu, jasa makanan dalam ekonomi rumahtangga, membersihkan rumah, mencuci pakaian yang tidak dibayar dan pelayanan produksi rumahtangga melalui belanja barang dan jasa. Seluruh sektor pekerjaan tidak di bayar ini telah memberi tambahan ekonomi setara dengan $8,5 juta untuk nilai tenaga kerja dan untuk nilai output rumahtangga lebih dari $10 juta per tahun.

Berdasarkan pengamatan empiris bahwa pengambilan keputusan yang didasarkan pada pembagian peran gender, secara budaya mempengaruhi keluarga dalam mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan rumahtangga. Seorang istri bagaimanapun masih dianggap sebagai penanggung jawab utama dalam kegiatan rumahtangga yang tidak dibayar. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah waktu yang dialokasikan istri lebih besar dari waktu suami, meskipun mereka juga bekerja di

(33)

sektor publik. Keadaan ini dipengaruhi oleh budaya setempat daripada karakteristik pasangannya.

Pembagian tugas antara suami dan istri secara langsung dipengaruhi oleh pandangan mereka tentang peran gender. Berdasarkan budaya, banyak orang percaya perempuan sewajarnya hidup di lingkungan rumahtangga, melahirkan dan membesarkan anak, memasak dan memberi perhatian kepada suaminya agar tercipta keluarga yang tentram dan sejahtera, sedang laki-laki bertugas ke luar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya (Becker 1981). Pembagian tugas antara suami dan istri dalam pekerjaan rumahtangga semakin jelas apabila keduanya sama-sama bekerja di sektor publik, dan pembagian ini terutama menonjol pada keluarga golongan menengah ke atas. Pembagian kerja berdasar gender lebih jelas tergambar pada laki-laki Menado dan Jawa, yang berkontribusi dalam pekerjaan rumahtangga yang selama ini merupakan wilayah domestik perempuan.

Jurusan Gizi dan Masyarakat IPB (1994) menemukan bahwa suami Menado lebih mempunyai kontribusi yang besar dalam menyapu halaman, memasak, berbelanja, membuat kopi sendiri dan bermain dengan anak, daripada pria Jawa. Laki-laki Jawa berperan dalam pekerjaan menyapu rumah, mencuci baju dan mengurus sekolah anak. Pola pekerjaan rumahtangga yang dilakukan laki-laki di desa dan di kota di propinsi Jawa Timur tidak menunjukkan perbedaan, sedang laki-laki Menado perkotaan lebih sering mengerjakan pekerjaan memasak, mencuci baju, membuat kopi sendiri, berbelanja, mengurus sekolah anak dan bermain dengan anak dibanding pria yang tinggal di perdesaan.

Waktu yang digunakan keluarga untuk pekerjaan rumahtangga menghasilkan utilitas (nilai ekonomi tidak langsung) dari produk barang atau jasa yang akan dinikmati langsung oleh semua anggota keluarga. Sumbangan yang dihasilkan dari melakukan pekerjaan rumahtangga selain karena perbedaan jenis kelamin, juga diperoleh dari individu dengan perbedaan usia seperti gambaran masyarakat Australia, dan faktor dalam diri lainnya seperti pendidikan atau pekerjaan ataupun faktor di luar diri individu berpasangan tersebut.

Pada perkembangan sekarang, dalam keluarga mana pun pekerjaan rumahtangga bukan lagi menjadi dominasi perempuan, karena faktanya laki-laki

(34)

berkontribusi pula dalam pekerjaan ini walaupun sumbangannya tidak sebesar yang diberikan perempuan. Pada lingkup kecil, pekerjaan rumahtangga juga dapat memberikan kepuasan bagi anggota keluarga dan bahkan mungkin di sebagian masyarakat, sedang secara makro sumbangannya relatif besar pada pendapatan daerah dan/atau negara melalui peran penting perempuan di dalam rumahtangga.

Tinjauan Analitik: Nilai Pekerjaan Rumahtangga

Berdasar tinjauan teoretis dan tinjauan empiris bahwa pekerjaan rumahtangga seharusnya menghasilkan nilai yang sama dengan pekerjaan pasar walaupun dengan bentuk produk yang berbeda, karena bersubstitusi sempurna. Pekerjaan rumahtangga menghasilkan barang dan jasa yang dapat disetarakan dengan uang, atau produk barang yang diperoleh langsung dari pekerjaan pasar. Berdasarkan ulasan tinjauan teoretis, diketahui bahwa pekerjaan rumahtangga adalah kegiatan rutin di dalam keluarga yang menghasilkan barang dan jasa untuk dimanfaatkan sendiri. Konsep keluarga dalam studi ini merujuk pada kelompok yang relatif stabil, berhubungan darah dan hukum, tinggal bersama dan saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun antar individu, serta saling menyediakan dukungan ekonomi dan emosi (Zanden 1986).

Pekerjaan rumahtangga dilakukan oleh satu atau lebih anggota keluarga dan biasanya yang paling sering ibu, atau dapat pula dikerjakan oleh orang lain yang dibayar. Pekerjaan rumahtangga yang tidak dibayar merupakan penyedia input penting tahapan pembangunan manusia melalui perawatan dan pendidikan sumberdaya manusia, karena itu pekerjaan rumahtangga dapat disamakan dengan istilah investasi modal manusia atau modal sosial.

Pekerjaan perawatan anak penting untuk membentuk generasi tenaga kerja berkualitas berikutnya. Kualitas perawatan anak yang baik dapat mendorong generasi muda belajar secara bertahap agar dapat bertanggungjawab dan merencanakan kehidupan mereka. Orang sehat membutuhkan sajian makanan yang diolah dengan baik dan segar, pakaian yang pantas, keadaan ruangan rumah yang bersih, lingkungan sehat dan tempat tinggal yang nyaman dan aman untuk istirahat dan tidur. Pekerjaan rumahtangga karenanya merupakan bagian dari penyediaan perawatan kesehatan, walaupun dalam praktiknya terutama untuk

(35)

perawatan anak diperlukan perlakuan tertentu terkait dengan pentingnya pemenuhan kebutuhan sosial psikologis dan penerapan nilai/aturan keluarga.

Kebutuhan sosial psikologis seperti perhatian, cinta dan kasih sayang, rasa aman dan nyaman anak, dipengaruhi lebih kuat dari orang yang paling dekat yaitu ibu dan anggota keluarga lain. Nilai yang dianut orangtua terkait dengan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan, tidak sama dengan standar nilai yang dianut orang lain yang bukan anggota keluarga. Pengekspresian peran emosional ibu dan pemberlakuan aturan orangtua terhadap anaknya pada satu keluarga tidak sama dengan keluarga lain, karenanya perawatan anak tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh orang lain.

Kualitas pekerjaan rumahtangga yang baik merupakan investasi modal manusia pekerja yang berkualitas pula, sebagai angkatan kerja sekarang maupun generasi berikutnya. Pekerjaan rumahtangga, dengan demikian sudah selayaknya dilihat sebagai pekerjaan yang memiliki nilai penting untuk kehidupan keluarga mana pun, bukan pekerjaan tidak berharga sebagaimana kebanyakan orang mempersepsikannya selama ini.

Pekerjaan rumahtangga bagi sebagian besar individu dalam keluarga dianggap kurang berharga, karena tidak menghasilkan material yang terlihat berupa upah, meskipun tidak sedikit pula orang dapat merasakan suatu kepuasan dengan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahtangga. Hal ini seperti dinyatakan Robeyns (2000) bahwa pekerjaan rumahtangga dapat memberikan keuntungan sosial maupun psikologis yang sama dengan pekerjaan pasar seperti, sikap menghargai diri sendiri, menata kehidupan, kontak sosial, ataupun eksistensi diri seseorang.

Hal lain yang juga menjadikan pekerjaan ini kurang dihargai, karena proses sosialisasi yang membagi pekerjaan berdasar perbedaan jenis kelamin. Kehidupan keluarga dengan model bread winner memposisikan perempuan sebagai tenaga pembantu keluarga, yakni orang yang paling bertanggungjawab untuk melaksanakan pekerjaan seperti menyediakan makanan, mencuci dan menyetrika pakaian, mengasuh anak dan mengatur rumah. Faktor sosialisasi keluarga dan/atau masyarakat merupakan sumber pengetahuan dan juga pengalaman yang dapat mempengaruhi penilaian subjektif seseorang terhadap pekerjaan

Gambar

Gambar 2. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja di  rumahtangga
Gambar 4. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja  dengan kendala anggaran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan potensi, peluang dan tantangan terkait konservasi jenis ramin, telah dilakukan penelitian konservasi ramin melalui penyediaan bibit stek ramin pada

Keunggulan strategi pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut: (1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang bagus untuk memahami isi pembelajaran, (2)

Kartono, M.Si, sebagai pembimbing I yang penuh kesabaran memberi arahan, memotivasi saya dalam melaksanakan skripsi ini dan menyempatkan diri dari kesibukannya

Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan ( Study Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek

Sebagian besar remaja putri “gaul” belum menikah di Parkir Timur Senayan menggunakan televisi dan majalah sebagai sumber informasi mereka dalam mengetahui kontrasepsi dan sebagian

1) Penelitian difokuskan pada pembuatan sistem informasi agar dapet memberikan informasi kualitas kinerja dari unit pelayanan masyarakat. 2) Penelitian difokuskan

Sejak dulu sampai sekarang telah berlalu empat belas abad lebih, kisah kisah Alquran yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu mendapat tempat dan hidup dihati umat, padahal

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yoehana (2013) yang menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh terhadap aggresivitas