• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM

8.1. Validasi

Validasi bertujuan menelaah logika berpikir dalam membuat perekayasaan sistem sehingga menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan dengan memeriksa kembali teori, asumsi dan pendekatan yang mendukung atau dipergunakan. Suatu model dinyatakan valid untuk satu set kondisi tertentu dengan mencapai ketelitian sebagaimana dikehendaki oleh tujuan dari model. Validitas model konseptual adalah menetapkan bahwa teori dan asumsi yang melandasi model konseptual tersebut tepat dan model telah merepresentasikan dari entitas permasalahan yang diarahkan untuk mencapai tujuan (Sargent, 2000).

Validasi, adakalanya tidak dilakukan untuk keseluruhan model sistem mengingat permasalahan yang kompleks. Pengumpulan data yang relevan untuk membangun rekayasa sistem diperlukan sebagaimana dinyatakan Campbell di dalam Bungin (2005). Beberapa teknik validasi diajukan oleh Martis (2006) antara lain membandingkan dengan model lainnya, memprediksi perilaku sistem, data eksperimental dibandingkan dengan data historis, mengajukan pertanyaan kepada pihak yang memiliki pengetahuan untuk menilai apakah perilaku model sistem dapat dipertanggungjawabkan dan pendekatan scoring.

Langkah validasi pada penelitian ini dilakukan menggunakan kelompok pakar yang memiliki pengalaman dalam dunia usaha tanaman obat. Hal ini sesuai dengan apa yang diajukan oleh Martis yakni menggunakan individu yang berpengetahuan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. merancang sejumlah elemen yang merefleksikan kriteria yang akan divalidasikan.

2. mendeskripsikan metode validasi melalui rujukan teori dan penggunaan kelompok pakar.

3. memilih kelompok pakar terdiri dari praktisi, peneliti, pembina petani, dan ketua koperasi yang berhubungan dengan petnai tanaman obat.

(2)

4. mengajukan pertanyaan dengan satuan skala 5 dari sangat tidak mungkin (skala 1) atau sangat rendah hingga sangat mungkin atau sangat tinggi (skala 5).

Kuisioner berisi sejumlah faktor faktor yang berpengaruh terhadap sistem rantai pasokan berbasis jaringan, diajukan kepada responden pakar. Faktor akan berhubungan dengan penilaian :

1. tujuan jaringan mensejahterakan anggota 2. keterlibatan petani di dalam jaringan 3. perilaku petani

Selain menggunakan kelompok pakar, validasi atas tujuan jaringan didekati dengan penggunaan analisis benefit, cost, opportunity, risk. Berdasarkan hasil perhitungan, sistem rantai pasokan berbasis jaringan dinyatakan valid dapat mencapai tujuan kesejahteraan petani pada kondisi optimistik. Validasi terhadap elemen tujuan berdasarkan agregasi pendapat pakar menggunakan skala sangat rendah sampai sangat tinggi, diperoleh nilai tinggi. Fungsi jaringan yang melibatkan aktivitas petani untuk mengintegrasikan proses dinyatakan valid sebagaimana dirujuk pada Vokurka et al., (2002).

Integrasi proses telah ditelaah menggunakan metode QFD dengan hasil terbukti terjadi korelasi antara mutu dan proses. Agregasi pendapat responden terhadap kepatuhan pada tata cara budidaya dan pascapanen dihasilkan nilai tinggi. Namun, hasil agregasi terhadap perilaku petani untuk tidak mengalihkan pasokan pada pihak lain dinyatakan sedang.

Menurut responden Sinambela, dalam hal penggunaan tenaga fasilitator dinyatakan valid, mengingat petani tidak berkemampuan melakukan pemberdayaan diri mereka dan kurang mampu melakukan penetrasi pasar. Fasilitator harus seseorang yang dikenal dan memiliki daya tahan untuk melakukan pendekatan dan pensosialisasian. Figur fasilitator yang dinilai tepat oleh responden adalah aparat di desa. Esensi dari mengapa aparat desa dipergunakan, karena lebih mengenal masyarakat di desanya. Dengan demikian alasan mengenal masyarakat, merupakan kriteria atas siapa yang paling tepat sebagai fasilitator yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya.

(3)

Responden Widyastuti, membenarkan hubungan antara petani dan industri tepat dilakukan karena kebenaran bahan baku yang menjadi permasalahan industri harus dimengerti oleh petani dan kondisi tersebut harus tercermin pada pemrosesan bahan baku awal. Dalam hal permasalahan mutu dinyatakan valid sebagaimana terdapat di lapangan dan jaringan mempunyai peran untuk mewujudkan ke dalam proses yang bermutu. Mengingat petani sering mengubah cara pengelolaan usaha tani, maka sistem pengawasan dan penyuluhan menjadi tepat diterapkan.

Sub-elemen konflik telah divalidasi dengan mencari logika pendukung atas elemen pemicu konflik berdasarkan pendapat responden pakar Harsono ketua Koperasi BPTO, dimana sub-elemen konflik dan solusi telah tepat. Dengan demikian, ketika sistem diimplementasikan di lapangan akan mengurangi gap konflik karena telah disiapkan langkah-langkah pencegahan. Hasil agregasi pendapat responden atas sub-elemen validasi memberikan hasil sebagai berikut :

Tabel 23 Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi

No Elemen Kriteria Agregasi pendapat

pakar Kemampuan jaringan mensejahterakan petani T 1 Tujuan jaringan Kemampuan jaringan mencerdesakan petani T

Petani memenuhi tata

cara budidaya ST

Petani mematuhi tata

cara pascapanen ST 2 Keterlibatan petani pada jaringan Petani memenuhi jadwal T Komitmen T Integritas S Sinkronisasi keputusan

dan integrasi proses T

3 Perubahan perilaku petani

Kompetisi Tidak Sehat S ST = sangat tinggi T = tinggi S = sedang

(4)

Validitas penggunaan AHP sebagai alat pengambil keputusan telah dikonfirmasikan dengan responden dan diperoleh konsistensi sebagaimana dijelaskan pada hasil analisis konflik. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan dimana apabila konsistensi sangat rendah seperti pertimbangan menjadi acak, tetapi sebaliknya tidak ada konsistensi sempurna juga sulit dicapai.

8.2. Verifikasi

Verifikasi dilakukan dengan menghitung penerimaan petani anggota bilamana menyalurkan bahan baku melalui lembaga jaringan. Asumsi yang digunakan sebagaimana tabel 24 dan 25. Data yang dipergunakan diperoleh dari daerah sumber pasokan Karanganyar dan Wonogiri. Selanjutnya, dilakukan verifikasi dengan menghitung kemampuan jaringan memasarkan produk menggunakan ketetapan meraih pangsa pasar tanaman obat untuk agroindustri farmasi penghasil obat tradisional rata-rata 8 % dan mampu menjual ke industri tanpa mengalami masa tunggu, yakni bahan baku setelah diproses langsung diserahkan kepada pihak pembeli.

1. Komponen Biaya Usaha Tani

Dalam penelusuran di lapangan, lahan tidak pernah dinilai sebagai biaya, mengingat perhitungan petani sangat sederhana. Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah :

a. Biaya budidaya tani

Biaya penggunaan bibit, buruh saat penanaman, pemeliharaan, pupuk kandang dan buatan, serta obat-obatan.

b. Biaya pemanenan dan pengolahan pascapanen

Terdiri dari biaya tenaga buruh yang digunakan dalam masa panen dan pembersihan hasil panen, biaya kemasan karung plastik baru, walaupun petani biasa menggunakan karung bekas dan biaya buruh kuli mengangkat dan menurunkan kemasan seberat rata-rata 50 kg per karung yang ditanggung petani bilamana bahan baku dikirimkan ke gudang pembeli di tempat tujuan atau saat melakukan pemuatan ke truk.

(5)

c. Biaya pemasaran

Merupakan sejumlah nilai yang dikeluarkan untuk bertransaksi dengan pembeli, dapat berwujud biaya transportasi untuk bertemu dengan pembeli di desa atau kota kecamatan, atau biaya perjalanan untuk mencari pembeli.

d. Biaya pengelolaan

Merupakan sejumlah nilai sebagai biaya ganti waktu, perhatian dalam pengelolaan seluruh kegiatan usaha tani. Biaya pengelolaan biasanya tidak diperhitungkan oleh petani.

Tabel 24 Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar Uraian Satuan Jahe Temulawak Lempuyang

wangi Lempuyang pahit

Kunyit Kencur

Bibit kg 2.500 1.875 2.000 2 000 1.700 2.000

Harga bibit Rp/kg 1.000 250 400 400 400 400 Pengolahan tanah orang 25 25 25 25 25 25 Penanaman orang 40 30 30 30 30 30 Pemeliharaan orang 40 30 30 30 30 30 Pupuk kandang kwintal 25 10 15 15 15 15 Panen orang 40 30 30 30 30 30 Biaya pembersihan Rp/kg 15 15 15 15 15 15 Obat-obatan Kg 20 20 20 20 20 20

(6)

Tabel 25 Asumsi analisis usaha tani

Uraian Satuan Nilai

Tingkat kerusakan dan penolakan

Rata-rata kerusakan panen % 5

Penolakan oleh pembeli % 5

Produksi rata-rata

Jahe kg/ha/thn 15.000

Temulawak kg/ha/thn 15.000

Lempuyang wangi kg/ha/thn 10.000

Lempuyang pahit kg/ha/thn 10.000

Kunyit kg/ha/thn 10.000

Kencur kg/ha/thn 10.000

Rasio panen terhadap bibit

Jahe 6 Temulawak 8 Lempuyang wangi 8 Lempuyang pahit 8 Kunyit 6 Kencur Per kg panen 6 Pembiayaan

Sewa lahan Rp/ha/th 2.500.000,-

Kapasitas karung Kg/unit 50

Biaya karung kemasan Rp/ unit 1.000,- Biaya buruh ( naik dan turun ) Rp/kg 50-

Biaya pengelolaan Rp/kg 20,-

Biaya truk angkutan Rp/kg 75,-

Biaya pemasaran/transaksi Rp/kg 20,-

Suku bunga % 14 Biaya investasi dalam 5 tahun Rp 5.000.000,-

2. Perhitungan Biaya Usaha Tani

Hasil perhitungan usaha tani per hektar dengan alat bantu program TO Net untuk masing-masing tanaman obat jahe, kunyit, temulawak, dan campuran beberapa tanaman obat dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk mendistribusikan nilai perolehan tanaman obat maka terlebih dahulu dibuat proporsi penggunaan lahan menggunakan perbandingan berpasangan dengan kriteria kesesuaian lahan, kemudahan bertanam, kebutuhan komoditas, dan dampak finansial sehingga diperoleh proporsi lahan untuk penanaman : jahe 45 % dari seluruh lahan, temulawak sebesar 10,5 %, kunyit 14,3 % dan tanaman lainnya sebesar 30,2 %.

(7)

Berdasarkan hasil perhitungan, biaya usaha tani tanaman temulawak paling rendah dibandingkan tanaman obat lainnya. Menurut pendapat responden petani di lapangan, penanganan tanaman temulawak relatif tidak terlalu rumit dan membutuhkan penanganan seksama dibandingkan dengan jahe. Petani lebih menyebutkan sebagai tanaman yang mudah dikelola dan tidak memerlukan upaya pemeliharaan tanaman yang rumit. Bahkan petani cenderung membiarkan tanaman temulawak dengan alasan temulawak tidak memiliki harga jual tinggi, walaupun kenyataannya digunakan di banyak industri obat tradisional.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Jahe Kunyit Temulawak Campuran

Bi ay a u sa ha ta ni (R p. ju ta /h ek ta r) 11.38 17.2 9.17 11.85

Gambar 29 Biaya usaha tani tanaman obat.

Untuk menghitung biaya usaha tani, diperoleh dari penambahan biaya budidaya dengan biaya kemasan, pemasaran, pengelolaan, tenaga buruh angkut dan biaya transportasi. Walaupun pada kenyataan di lapangan petani sering menggunakan karung bekas sebagai kemasan, tetapi pada perhitungan ini kemasan diasumsikan baru. Biaya transportasi berupa kendaraan angkutan untuk mengangkut hasil panen tanaman obat ke gudang yang dimiliki jaringan dengan jarak dari desa sampai ke kota kabupaten.

(8)

Perhitungan pendapatan petani, mempergunakan harga tanaman obat sebagaimana tertera pada Gambar 30. Berdasarkan penelusuran di lapangan, harga tanaman obat temulawak dibandingkan dengan tanaman satu keluarga lainnya terendah, sedangkan harga jual jahe segar petani berada pada tingkat paling tinggi dibandingkan dengan komoditas lain. -1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pergerakan Harga setiap bulan

Ha rga T O (R p/ k g)

Jahe Temulawak Kunyit Gambar 30 Harga tanaman obat dijual ke Jaringan.

Hasil perhitungan keuntungan usaha tani petani jahe monokultur, lebih baik dibandingkan tanaman obat kunyit dan temulawak. Hasil perhitungan keuntungan menanam tanaman campuran tampak mendekati pencapaian keuntungan tanaman jahe. Selain itu, penananam polikultur akan mengurangi resiko kerugian ketika salah satu tanaman kurang memperoleh respons pasar atau terjadi kegagalan panen, petani masih memperoleh pendapatan dari tanaman lainnya.

Hasil perhitungan keuntungan jahe untuk lahan seluas 1 hektar sebesar 62 % dibandingkan usaha tani secara polikultur sebesar 56,35 % dan keuntungan menanam kunyit sebesar keuntungan 10 %. Namun, bilamana lahan hanya ditanami temulawak akan mengalami kerugian sebesar (32,50 %). Pada kenyataannya, tidak ada lahan yang hanya ditanami tanaman temulawak. Hasil perhitungan keuntungan petani

(9)

tanaman obat pada prosentase tersebut, dikarenakan rendahnya biaya budidaya dan biaya operasional.

Temulawak baru memperoleh keuntungan sebesar 6 % bilamana biaya-biaya seperti sewa lahan, investasi pembelian alat, biaya transaksi dan pengelolaan tidak diperhitungkan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa petani sesungguhnya tidak menikmati jerih payah bertanam temulawak, terkecuali secara polikultur sehingga terjadi subsidi silang antar tanaman obat. Walaupun menurut petani sudah memperoleh keuntungan, sesungguhnya dengan tidak memasukkan biaya-biaya yang seharusnya diperhitungkan. Kebutuhan temulawak sebagai tanaman obat penting banyak digunakan oleh agroindustri farmasi besar maupun menengah dan termasuk lima besar kebutuhan tanaman obat yang diperlukan oleh industri, ternyata masih belum dapat memberikan nilai manfaat bagi petani.

Dibandingkan dengan menjual kepada pengumpul, petani jaringan memperoleh hasil lebih baik sampai dengan 23,5 %. Kondisi ini terjadi karena aliran bahan baku melalui rantai lebih pendek dengan kualitas penanganan pascapanen lebih baik hasil sosialisasi dan pembelajaran.

Hasil verifikasi menunjukkan petani belum dapat menopang kebutuhan rumahtangga bilamana mengandalkan hasil penjualan tanaman obat. Perhitungan nilai sekarang (net present value) untuk tanaman obat campuran sebesar Rp 12.418.046,- untuk satu kali panen yang menyita waktu selama 9 bulan dengan luas hamparan satu hektar. Lahan yang dimiliki petani rata-rata sangat sempit.

Data statistik kabupaten Wonogiri menunjukkan rata-rata lahan yang ditanami tanaman jahe berkisar 0,195 hektar atau sekitar 2000 m2 per petani. Sedangkan hasil penelusuran luas lahan yang dimiliki petani responden bergerak antara : 500 m2 - 3000 m2. Walaupun terdapat kepemilikan di atas satu hektar namun jumlah petani yang memiliki tidak terlalu banyak. Bilamana digunakan asumsi rata-rata lahan yang dimiliki petani seluas 2000 m2, maka nilai sekarang atas penjualan

(10)

kemudian sebesar Rp 2.483.609- atau setara Rp 207.000,- per bulan. Kalau petani tidak menyertakan tanaman lainnya dan hanya mengandalkan tanaman obat maka penghasilan keluarga masih di bawah nilai upah minimum propinsi Jawa Tengah 2005 sebesar Rp 390.000,-. Pendapatan petani per bulan untuk 1 hektar baru terlihat signifikan sebesar Rp 1.035.000,-

Dari pandangan petani, hasil penjualan tanaman obat hanya sebagai tambahan penghasilan keluarga dan belum sebagai mata pencaharian utama. Petani tetap masih memfokuskan pada tanaman pangan padi. Pandangan yang dianut adalah padi merupakan lumbung keluarga dan sisa panen kemudian baru dijual. Penggunaan tenaga kerja yang berasal dari keluarga lazim terlibat dalam kegiatan usaha tani desa. Penggunaan tenaga tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya karena dianggap sudah seharusnya membantu usaha keluarga.

Menurut Gittinger (1986), sesungguhnya terjadi kehilangan biaya peluang atau (opportunity loss). Seharusnya petani berpeluang memperoleh tambahan pendapatan bilamana waktu yang dihabiskan untuk melaksanakan kegiatan tanaman obat dialihkan pada kegiatan lain. Dengan kata lain, terdapat kondisi waktu kerja yang harus dikorbankan. Pernyataan petani responden bahwa masih menikmati keuntungan sebesar 10 – 15 % menjadi benar bilamana beberapa komponen biaya tidak dimasukkan. Sehingga, bilamana penghasilan dari tanaman obat akan dikonversikan kepada nilai keekonomian maka perlu menghitung peralihan biaya oportunitas.

3. Analisis Keuangan Jaringan

Skenario perhitungan menggunakan penyaluran bahan baku dalam bentuk kombinasi bahan baku segar (simplisia segar) dan irisan kering (simplisia kering). Jaringan dirancang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam berbagai bentuk tanaman obat. Agroindustri farmasi penghasil obat tradisional umumnya telah menetapkan standar penerimaan bahan baku yang ketat sehingga berpeluang menghasilkan

(11)

penolakan. Dengan kemampuan pengelolaan bahan baku, jaringan diasumsikan mampu mengendalikan tingkat penolakan akibat mutu tidak sesuai standar sebesar 3 %. Penolakan atas mutu pasokan diasumsikan dengan kondisi rimpang patah atau tampilan kurang memenuhi syarat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah :

Tabel 26 Skenario asumsi analisis usaha Jaringan

No Keterangan Satuan Angka

1 Penolakan bahan baku oleh pembeli % 3

2 Tingkat kerusakan pengolahan ditetapkan % 1

3 Pasokan ke pasar industri, mengambil pangsa

pasar (rata-rata) % 7

4 Biaya transaksi perkilogram Rp 15,-

5 Biaya pengelolaan perkilogram Rp 20,-

6 Biaya pembersihan dan pengemasan perkilogram Rp 100,-

7 Biaya perajangan perkilogram Rp 125,-

8 Biaya transportasi perkilogram Rp 150,-

9 Biaya kunjungan ke petani perbulan Rp 400.000,- 10 Biaya kuli angkut perkilogram Rp 25,- 11 Biaya kunjungan pemasaran ke prospek/ industri Rp 300.000,-

12 Biaya tetap perbulan Rp 6.700.000,-

13 Modal sendiri % 50

14 Bunga % 14

Perhitungan diawali dengan menetapkan prioritas penjualan tanaman obat jaringan menggunakan teknik MPE. Adapun kriteria yang dipergunakan untuk mengatur penjualan komoditas adalah : (1) kemudahan pembudidayaan, (2) perkiraan keuntungan yang diperoleh dan (3) jumlah permintaan. Dari hasil perhitungan dihasilkan sebagai berikut : jahe (2.109), campuran (1.498), temulawak (993) dan kunyit (649). Dengan demikian komposisi penjualan tanaman obat jaringan diatur sebagaimana hasil olahan MPE.

Hasil analisis dengan skenario pada Tabel 27, menggunakan kombinasi penjualan bahan baku segar dan irisan kering. Investasi awal jaringan untuk mengelola usaha membutuhkan Rp 100.000.000- dengan penjelasan rinci terdapat pada Lampiran 8. Adapun biaya kantor

(12)

ditetapkan sebesar Rp 6.700.000,- yang dipergunakan untuk membiayai gaji manajer, tenaga pelaksana, tenaga lepas dan biaya umum dengan perincian sebagaimana dilihat pada lampiran. Penetapan gaji tenaga pelaksana dimaksud menggunakan standar upah minimum regional daerah setempat.

Modal investasi tersebut, diharapkan dapat diperoleh dari kredit mikro yang diberikan kepada petani dengan bunga maksimum 14 %. Jaringan dapat menjadi penanggung dan pemrakarsa industri membantu meyakinkan lembaga pemberi pinjaman dengan jaminan surat pemesanan.

Tabel 27 Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas Kriteria

Keuangan Nilai pada kondisi Normal Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga tetap

Nilai pada biaya operasi tetap, harga jual turun 10% Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga jual turun 10% NPV (Rp) 2.229.719.300 2.077.995.786 1.698.091.832 1.506.023.615 IRR (%) 22,75 21.04 17,85 15,83 Payback period (bl) 7,.52 8,67 11,53 13,41 B/C Ratio 20,39 19.07 15,77 14,10

Analisis kelayakan pada skenario jaringan menjual tanaman obat campuran menghasilkan IRR sebagaimana terlihat pada Tabel 27. Apabila dilanjutkan dengan analisis sensitivitas, maka ketika harga diturunkan 10 % berakibat lebih buruk dibandingkan dengan biaya operasi naik 10 %, terlihat dari IRR menurun dan pay back period lebih lama. Dengan demikian, harga jual menjadi faktor sangat berpengaruh terhadap kinerja jaringan dibandingkan dengan kenaikan biaya-biaya pascapanen.

Hasil analisis keuntungan bilamana jaringan memperdagangkan tanaman obat dengan kombinasi segar dan irisan kering dibandingkan menjual tanaman obat segar adalah 15,88 % dan 13,21 %. Rata-rata

(13)

biaya bahan baku sebesar 70,2 % dari penjualan dan biaya pegawai – umum dan variabel sebesar 10, 2 % dari penjualan.

Kondisi ini terjadi karena harga jual tanaman obat kering rata-rata tujuh kali dibanding harga tanaman segar terkecuali temulawak yang berkisar tiga kali. Dengan kata lain harga temulawak sebesar Rp 550,- per kilogram segar akan menjadi sekitar Rp 1.650,- perkilogram bahan baku temulawak kering. Analisis jaringan menunjukkan lebih menguntungkan menjual bahan baku irisan kering. Selain memperoleh keuntungan lebih baik, juga lebih tahan disimpan dan memudahkan dalam transportasi.

Jaringan baru dapat beroperasi pada titik impas jaringan sebesar 332 ton dengan komposisi tanaman obat dan harga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan hasil perhitungan arus kas sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Perhitungan BEP dimaksud dilakukan tidak dengan metode konvensional tetapi berdasarkan pencapaian NPV nol dengan memasukkan faktor diskonto melalui beberapa kali putaran perhitungan dengan program Generalized

Reduced Gradient. Biaya tetap pada posisi BEP sebesar Rp

705.836.908,- dan biaya variabel sebesar Rp 4.409.219.558,-.

Menggunakan skenario perencanaan usaha jaringan selama 5 tahun masih memungkinkan untuk mendistribusikan pembagian keuntungan jaringan kepada anggota. Besarnya prosentase keuntungan yang akan didistribusikan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama. Besarnya keuntungan jaringan menggunakan semua skenario yang telah ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 31 berikut.

(14)

5 14 16 17 18 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5

K eu nt un ga n ja ri ng an (% )

Gambar 31 Keuntungan jaringan selama 5 tahun

Analisis nilai tambah dilakukan untuk meninjau berapa pertambahan nilai setiap perubahan proses. Menurut Gittinger (1986), nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output dan nilai seluruh input karena pengolahan lebih lanjut. Secara detil, perhitungan nilai tambah memerlukan data :

a. Output atau total produksi b. Input bahan baku

c. Faktor konversi output terhadap input d. Harga output

e. Harga input bahan baku f. Sumbangan input lainnya

Nilai tambah adalah : nilai output (faktor konversi x harga output) dikurangi harga input dan nilai sumbangan input lainnya. Sebagai contoh perhitungan nilai tambah digunakan komoditas tanaman obat jahe. Walaupun jaringan memperdagangkan bentuk irisan kering dan segar dalam proporsi yang sama setiap tahun yakni 6 bulan memasok irisan kering dan sisanya bentuk segar, namun di dalam perhitungan nilai tambah difokuskan pada irisan kering dengan nilai output dihitung berdasarkan harga output irisan kering. Adapun total produksi output tetap menggunakan total produksi jaringan. Dengan cara yang sama

(15)

perhitungan nilai tambah dapat digunakan terhadap tanaman obat lainnya.

Nilai sumbangan input yang berasal dari tenaga kerja pusat manajemen jaringan, dialokasikan untuk seluruh tanaman obat, sehingga untuk perhitungan jahe ditetapkan secara proporsional. Hasil perbandingan nilai tambah dua komoditas dalam komposisi segar dan campuran irisan kering dapat di lihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar

Data nilai output jahe kering berasal dari pengolahan jahe kering. Nilai tambah yang diperoleh per kilogram bahan baku sebesar Rp 3.952,- artinya untuk pengolahan rata-rata satu kilogram jahe segar menjadi kering secara campuran menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 3.952,- . Nilai tambah tersebut berasal dari data tahun pertama jaringan beroperasi. Sedangkan nilai tambah bilamana jahe seluruhnya dijual masih dalam jenis segar terkemas sebesar Rp 115,- Namun, ketika kunyit dijual dalam jenis segar terkemas tidak memperoleh nilai tambah sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih baik tanaman obat

(16)

diproses menjadi bentuk irisan kering. Jaringan harus sanggup memberikan pembinaan kepada anggota sehingga integrasi proses dapat mengarahkan pada pencapaian mutu bahan baku kering lebih baik.

Mengingat temulawak dibutuhkan oleh agroindustri farmasi, namun harga temulawak tidak terlalu menarik bagi petani, berikut dilakukan perhitungan harga termulawak yang memungkinkan petani masih memperoleh keuntungan lebih baik. Pendekatan yang dilakukan adalah penelusuran produk agroindustri farmasi menggunakan bahan baku tanaman obat yang diteliti. Produk yang dipergunakan sebagai basis perhitungan ditetapkan secara sengaja yakni produk jamu keluaran PT Air Mancur. Asumsi yang digunakan adalah :

a. Harga eceran produk jamu pegel linu persachet @ 7 gram dari toko pengecer dengan harga jual tingkat konsumen Rp 900,- / sachet.

b. Komposisi biaya bahan baku pabrik ditetapkan dengan skenario 65 %, biaya pemrosesan 20 % dan biaya umum 15 %.

c. Menghitung harga bahan baku plafon pabrik dengan harga untuk tanaman obat penelitian digunakan harga yang berlaku di pasar. d. Skenario skala produksi 6 juta sachet dengan komposisi

temulawak, kunyit, lempuyang, laos, temu kunci, lada dan tambahan 2 jenis tanaman obat lainnya.

e. Tanaman obat yang tidak menjadi bahan penelitian ditetapkan harga sebagaimana dengan harga beli pabrik.

Terlebih dahulu menentukan nilai harga produk pabrik yang diperoleh dengan menghapuskan keuntungan pengecer sebesar 20 %. Rata-rata harga 1 sachet produk sebagaimana butir a di atas sehingga harga beli pengecer sebesar Rp 720,-. Setelah menghilangkan keuntungan industri sebesar 20 %, maka diperoleh harga pabrik. Dari harga pabrik sebesar Rp 580, per sachet kemudian diperoleh plafon harga bahan baku persatuan sachet dengan ketentuan 65 % dialokasikan untuk bahan baku serbuk.

(17)

Dengan perhitungan konversi bahan baku serbuk menjadi bahan baku kering, dapat diketahui total kebutuhan bahan baku irisan kering untuk menjadi enam juta sachet. Dari total kebutuhan bahan baku tersebut diperoleh plafon pembelian bahan baku yang ditetapkan pabrik sebesar Rp 2.475.000.000,-. Apabila digunakan nilai pembelian tanaman obat dengan harga yang berlaku di pasar sebesar Rp 1.600,- per kilogram temulawak kering, diperoleh realisasi pembelian sebesar Rp 2.264.636.000,-. Dengan demikian, dari alokasi pembelian bahan baku berdasarkan perhitungan proporsi biaya bahan baku dibandingkan dengan realisasi pembelian, masih terdapat kelebihan anggaran pembelian bahan baku. Dari simulasi perhitungan tersebut, industri sesungguhnya memperoleh keuntungan sebesar 24,08 %.

Apabila diskenariokan prosentase keuntungan antara jaringan dan industri diperoleh sama sebesar 22 %, maka harga beli temulawak berdasarkan simulasi dapat menjadi Rp 3.450,- per kilogram irisan kering. Sedangkan harga tanaman obat lainnya yang relatif baik dan menghasilkan keuntungan bagi petani, tetap berada pada harga sebagaimana ditetapkan industri.

Harga produk akhir obat tradisional yang dijual dengan harga marginal sesungguhnya tidak memberikan manfaat berarti bagi petani. Berdasarkan survei, harga produk jadi agroindustri farmasi akan mengambil harga premium bilamana dijual dalam bentuk herbal terstandaridisi atau produk ekstraksi. Penghargaan kepada petani apabila pembelian bahan baku berkualitas lebih baik diberikan harga lebih tinggi, sehingga akan memberikan dorongan kepada petani untuk tetap berbudidaya tanaman tersebut .

8.3. Manfaat untuk Petani

Dengan bergabung melalui jaringan, petani memperoleh manfaat berupa keuntungan yang lebih baik dan manfaat non finansial dalam hal kontinuitas permintaan, pembinaan dan integrasi proses berkelanjutan serta

(18)

jahe, 11 % temulawak, 14 % Kunyit dan sisanya tanaman lain satu keluarga, petani diperhitungkan memperoleh net present value sebesar Rp 70.605.849,-. Hasil tersebut berbeda sebesar Rp 28.372.361,- dibandingkan bilamana petani menjual di luar jaringan.

Bilamana batas bawah keuntungan ditetapkan sebesar 10 % dengan asumsi sedikit diatas bunga deposito bank setahun, maka insentif dapat dibagikan kepada anggota bilamana keuntungan jaringan dicapai lebih besar dari batas tersebut. Berdasarkan perhitungan, anggota jaringan dapat memperoleh rata-rata Rp 93.000,- per anggota/ per tahun. Selain itu petani masih memperoleh tambahan penghasilan yang berasal dari penjualan tanaman obat reject yang diolah lebih lanjut sehingga menjadi bahan baku bubuk/serbuk.

Perhitungan konversi tanaman obat segar menjadi serbuk adalah setiap sepuluh kilogram simplisia segar akan menjadi satu kilogram serbuk dengan harga jual rata-rata sebesar dua puluh lima kali dari harga simplisia segar. Bilamana hasil penjualan bahan baku reject yang telah diolah menjadi serbuk didistribusikan semua kepada anggota maka rata-rata anggota akan mendapatkan sebesar Rp 156.000,- per tahun.

Jaringan akan melibatkan 620 petani dengan asumsi rata-rata lahan petani seluas 2000 m2. Atas dasar tersebut diperlukan sejumlah 5 petani untuk setiap satu hektar. Kebutuhan fasilitator sangat tergantung dari jumlah petani dan jangkauan jarak satu desa dengan yang lainnya agar kegiatan fasilitasi efektif. Bilamana menggunakan asumsi bahwa masih dimungkinkan terdapat satu hamparan seluas 3 hektar di satu desa atau berdekatan maka diperkirakan terdapat 15 petani untuk digabungkan di dalam satu kelompok. Sehingga menggunakan skenario tersebut, diperkirakan dibutuhkan 41 orang fasilitator.

Guna mendukung kegiatan usaha jaringan skenario kebutuhan lahan adalah seluas 124 hektar yang layak ditanami tanaman obat. Namun, seluruh perhitungan ini berlaku bilamana penyerapan atau pembelian bahan baku oleh industri bersifat langsung tanpa masa tunggu, sehingga tidak diperlukan perhitungan penurunan nilai uang.

(19)

8.4. Manfaat untuk Masyarakat

Kehadiran lembaga jaringan memberikan manfaat tambahan dengan turut bergeraknya ekonomi di lingkungan sekitar usaha tanaman obat dengan keterlibatan masyarakat menjadi tenaga lepas untuk proses perajangan, tenaga panen, tenaga yang memproses pascapanen maupun tenaga kuli angkut. Bahkan usaha pendukung turut berkembang sejalan dengan majunya lembaga jaringan misalnya usaha persewaan angkutan, penyedia bibit atau sarana produksi pertanian.

Kondisi ini tidak saja memberikan dampak berupa peluang kerja tetapi juga tambahan penghasilan keluarga. Pemrosesan yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan adalah proses perajangan. Sedangkan proses pengeringan yang masih mengandalkan sinar matahari masih memerlukan tenaga laki-laki untuk melakukan pembalikan bahan baku. Tenaga perajang akan mendapatkan upah atas dasar prestasi kerja atau jumlah hasil perajangan yang mampu dihasilkan. Pendapatan setiap perajang akan dipengaruhi oleh kemampuan olah dan biaya perkilogram.

Biaya proses perajangan sekaligus mengeringkan rata-rata Rp 125,-.per kilogram. Buruh perajang akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi tergantung jumlah hasil yang mampu diselesaikan. Rata-rata kemampuan perajangan secara manual sebesar 50 kilogram per satuan orang. Tetapi apabila digunakan alat perajang akan menghasilkan keluaran yang lebih tinggi. Biasanya proses perajangan menggunakan alat dikerjakan oleh buruh perajang yang diberikan upah harian. Hasil perajangan menggunakan alat dinilai responden kurang baik, karena ketebalan irisan kurang seragam. Hasil verfikasi manfaat yang diperoleh oleh perajang sebesar Rp 162.500,- per bulan melibatkan 138 orang.

8.5 Manfaat untuk Industri

Bilamana industri berhubungan dengan jaringan akan mendapatkan manfaat finansial berupa penghematan transaksi sebesar Rp 4.125.000,- untuk setiap 15 ton yang berasal dari biaya transportasi dari gudang jaringan ke gudang industri. Selain itu pengurangan biaya yang berasal dari

(20)

biaya buruh angkut dan pengolahan pembersihan. Industri juga memperoleh manfaat berupa mutu lebih baik dengan jaminan jaringan dan kepastian pasokan. Dengan demikian, secara keseluruhan akan mengurangi biaya pengolahan pemrosesan awal sebelum produksi dan mengurangi beban kendali proses/supervisi serta pengambilan sampling saat inspeksi penerimaan bahan baku.

8.6. Analisis Konflik

Konflik kemungkinan terjadi mengingat terdapatnya perubahan atas pola usaha tani dan cara pengaturan kehidupan petani yang semula sendiri dengan cara-cara yang dianggap petani paling tepat kemudian dikelola dengan tata cara budidaya dan pengolahan yang tertata. Akibat konflik dapat bersifat ketidaknyamanan, keengganan hingga penarikan diri yang melemahkan posisi lembaga jaringan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap kinerja tim dan kepuasan. Dalam hal mengubah ketidaksepakatan menjadi kesepakatan dapat dilakukan melalui bekerja bersama, bekerja terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi dan bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi dan kekuatan untuk memperlemah pihak beroposisi ( Saaty, 1998).

Pemecahan masalah konflik pada disertasi ini didekati dengan menggunakan AHP dimana proses penyelesaian harus memuaskan para pihak. Perlu diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang hilang dan didapatkan oleh pihak lain. Dalam hal ini digambarkan fokus konflik disusun secara hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat. Untuk penelusuran analisis konflik dipergunakan pendekatan

(21)

Meminimumkan konflik di dalam Jaringan

SDM

0,1286 Pengelolaan Organisasi 0,2199 Pengelolaan Usaha Tani 0,6514

Pemenuhan Norma Organisasi 0,0277 Perilaku Anggota 0,0462 Kepemimpinan Fasilitator 0,0547 Distribusi Pasokan 0,0614 Pengelolaan Keuangan 0,0859 Standard Proses Operasi 0,0726 Budidaya 0,2606 Pemanenan 0,1706 Pascapa nen 0,2702

Penetapan Pinalti dan Pengendalian 0,1182 Penyuluhan dan Sosialisasi 0,5386 Pembinaan 0,3432 FOKUS FAKTOR ALTERNATIF SUB-FAKTOR

(22)

Pemicu konflik terbagi atas faktor manusia, pengelolaan organisasi dan pengelolaan usaha tani. Penjabaran sub faktor dan penjelasannya sebagai berikut :

1. Pemenuhan norma jaringan.

Jaringan akan menetapkan cara bagaimana berorganisasi dan bertindak sehingga memberikan arahan untuk menjadi kelompok yang kohesif. Nilai budaya organisasi yang dianut dan diterapkan akan menata apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kondisi tersebut kemungkinan tidak sejalan dengan nilai anutan dari petani selama ini. Norma organisasi mencakup sikap dan pandangan-pandangan dalam kehidupan berorganisasi.

2. Perilaku anggota

Sehubungan dengan pemenuhan norma organisasi, diperlukan perilaku positif untuk menjadikan organisasi jaringan profesional dan diakui oleh pihak konsumen. Penyimpangan perilaku akan menghasilkan situasi di mana anggota tidak bersedia belajar berbagi pengetahuan/ informasi dan melanggar komitmen yang disepakati atau bahkan mementingkan diri sendiri. Ketika terdapat larangan menjual hasil panen kepada pihak lain dilanggar oleh sejumlah anggota, maka anggota lain terdorong meniru tindakan negatif tersebut bilamana tidak dikenakan sanksi. Perilaku memproses hasil panen secara serampangan dan sengaja menyisipkan kontaminan merupakan bentuk perilaku negatif.

3. Kepemimpinan fasilitator

Kemungkinan konflik terjadi ketika anggota meragukan kemampuan fasilitator mengatasi perbedaan pendapat, menyatukan langkah dan mengarahkan pada keutuhan kelompok dalam rangka mencapai sasaran usaha. Konflik kepentingan dan ketidakpercayaan bisa saja terjadi ketika fasilitator tidak mampu menunjukkan kredibilitasnya. Keberpihakan pada seseorang atau sekelompok orang dan ketidakmampuan mengambil keputusan membuka ruang penolakan atas keberadaan fasilitator.

(23)

4. Distribusi pasokan

Konflik ini terjadi bilamana keputusan atau kebijakan ditetapkan tanpa memperhatikan kepentingan bersama dan terdapat diskriminasi dalam pendistribusian pasokan. Pengaturan pembagian jumlah yang akan dipasok petani, jadwal penerimaan bilamana tidak dijelaskan secara transparan akan menimbulkan pandangan negatif dan kesalahpahaman. Ketika ketersediaan bahan baku berlimpah, perlu pengaturan pendistribusian sehingga adil dan dalam hal ini informasi sangat penting disampaikan agar tidak berkembang menjadi kabar berita negatif.

5. Pengelolaan keuangan

Faktor keuangan merupakan pemicu konflik yang rawan memecah keutuhan anggota dan merusak kepercayaan. Ketidakjelasan pencatatan, pertanggungjawaban, dan ukuran – ukuran keuangan bilamana tidak disampaikan akan membuka peluang kecurigaan. Informasi pergerakkan harga harus disampaikan sehingga tidak terdapat kecenderungan mengabaikan aturan jaringan.

6. Standar prosedur operasi

Konflik pada standar prosedur operasi terjadi bilamana tidak terdapat pengaturan dan kejelasan di setiap proses bisnis seperti : prosedur pengadaan bahan baku, pemeriksaan penerimaan bahan baku, pemrosesan, penyimpanan, dan penjualan. Prosedur operasi akan mencakup persyaratan-persyaratan, tata aturan yang harus dianut bersama.

7. Budidaya

Perbedaan cara budidaya antara yang dikenal secara turun temurun dan menurut ilmu pengetahuan dapat membuka ruang konflik. Petani di daerah terpencil yang jauh dari akses informasi, dimungkinkan masih memegang tata cara sebagai dikenal saat ini walaupun cara tersebut sesungguhnya kurang tepat. Kultur yang menghormati apa yang diajarkan oleh pendahulunya dianggap sebagai sesuatu yang benar, disementara pihak harus dilakukan perubahan.

(24)

8. Pemanenan.

Konflik terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan pemanenan mencakup jadwal panen (bulan dan waktu, cara panen). Keinginan segera memanen hasil dengan pertimbangan memperoleh uang tunai, akan mendorong ketidakpatuhan atas aturan dan bilamana terjadi tidak saja berakibat pada pemenuhan persyaratan mutu tetapi juga harga terbaik tidak tercapai dan perencanaan pasokan menjadi terganggu. 9. Pascapanen.

Ketidaksesuaian mungkin terjadi dikarenakan petani menggunakan cara sendiri pada masa pascapanen yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang diatur jaringan.

Berdasarkan olahan AHP, hasil menunjukkan pengelolaan usaha tani (0,65) berada pada bobot tertinggi diikuti dengan pengelolaan organisasi (0,22). Resolusi konflik yang diharapkan dapat meredakan sehingga tercapai kondisi yang lebih baik adalah aktivitas penyuluhan (0,54) dan pembinaan anggota berorganisasi (0,34). Dalam perhitungan tersebut telah dilakukan analisis konsistensi perbandingan elemen yang berpengaruh sebagai berikut :

Tabel 29. Analisis konsistensi AHP

No Perbandingan

elemen terhadap Consistency Index Consistency ratio

1 Analisis konflik 0.0001 0,0001 2 Pemenuhan norma 0,0254 0,0438 3 Perilaku anggota 0,0016 0,0027 4 Kepemimpinan fasilitator 0,0009 0,0016 5 Distribusi pasokan 0,0001 0,0001 6 Pengelolaan keuangan 0,0001 0,0002 7 Standar proses 0,0001 0,0001 8 Budidaya 0,0004 0,0007 9 Pemanenan 0,0100 0,0172 10 Pasca panen 0,0117 0,0201

(25)

8.7. Analisis Manfaat Menggunakan BOCR

Tujuan pembentukan rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan yang mengarah pada kesejahteraan petani, dilengkapi dengan pertimbangan atas tinjauan manfaat (Benefit) dan pertimbangan biaya (Cost), maupun peluang (Opportunity) dan resiko (Risk) di kemudian hari. Pendekatan BOCR, akan menyempurnakan analisis dengan mempertimbangkan faktor kualitatif dan melengkapi perhitungan kuantitatif. Metode ANP mensyaratkan konsistensi untuk penilaian kriteria. Hasil penilaian pendapat dikelompokkan menjadi normal, pesimistis dan optimistis. Penilaian normal dengan masih mempertahankan faktor peluang dan resiko memiliki formula :

(

)

(

C R

)

O B Hasil × × = (1) B = benefit O = opportunity C = cost R = risk

Rumus penilaian optimistis dengan mengabaikan resiko dalam pengambilan keputusan sebagaimana disajikan dalam persamaan pada butir 2. Adapun rumus penilaian pesimistis tanpa mempertimbangkan peluang dapat dilihat pada butir 3.

(

)

( )

C O B Hasil = × (2)

( )

(

C R

)

B Hasil × = (3)

Hasil verfikasi BOCR sebagaimana tabel 30 menyimpulkan bahwa dalam kondisi optimistis tanpa memperhitungkan faktor resiko tujuan kesejahteraan petani memiliki bobot paling tinggi 0,58 dimungkinkan terwujud dibandingkan dengan kelangsungan hubungan anggota yang memiliki bobot 0,28. Dengan demikian, peluang alternatif tujuan kesejahteraan menjadi keputusan terbaik setelah ditelaah dari pertimbangan manfaat, biaya, dan peluang.

(26)

Tabel 30 Hasil analisis BCOR

8.8. Implikasi Kebijakan

Sistem rantai pasokan berbasis jaringan ini bilamana diterapkan sebagaimana diuraikan pada persyaratan dan rancangan implementasi, memerlukan peran serta pemerintah untuk berkontribusi dalam kesuksesan penerapan. Pemerintah berkewenangan menerbitkan kebijakan. Kebijakan yang diharapkan adalah pengaturan lahan peruntukan bagi pengembangan tanaman obat, kredit mikro melalui lembaga keuangan mikro, penyediaan bibit tanaman obat dan sarana produksi.

Melalui fasilitasi pemerintah, hubungan antara petani, asosiasi industri jamu dan asosiasi pedagang tanaman obat dijalin dengan tujuan memetakan kebutuhan tanaman obat nasional dan daerah. Selanjutnya, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah memperluas lahan untuk budidaya tanaman obat sesuai dengan kondisi agroklimat.

(27)

Guna mencegah mengalirnya tanaman obat segar bernilai tambah rendah ke luar negeri, maka ekspor tanaman obat yang dibutuhkan oleh agroindustri farmasi dalam negeri dapat dikenakan biaya pajak ekspor lebih tinggi. Berdasarkan wawancara responden, salah satu sebab terjadinya kekurangan pasokan jahe karena tanaman obat tersebut diekspor ke luar negeri. Lebih lanjut menurut responden, ekstraksi dari tanaman obat yang dibeli dengan harga rendah, kemudian kembali ke Indonesia dengan harga berlipat.

Perlindungan konsumen dan agroindustri farmasi menengah-kecil perlu dilakukan dengan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap produk herbal impor dengan : 1) pengawasan registrasi produk, 2) pengawasan kepada importir, 3) menetapkan pajak barang impor, 4) konsistensi pengawasan di lapangan.

Komitmen pemerintah ditunjukkan dengan keterlibatan pejabat teknis di dinas terkait pemerintah daerah setempat yang berpihak kepada petani melalui tindakan penyuluhan dan program pembinaan usaha tani. Adapun kebijakan makro mengatur bagaimana ketersediaan sarana produksi yang diperlukan bagi petani seperti pupuk, infrastruktur dan penataan menyeluruh agroindustri farmasi.

Penataan agroindustri farmasi dimulai dengan melakukan pengawasan produsen sehingga tingkat penggunaan bahan kimia yang disisipkan di dalam obat tradisional nihil, pengawasan terhadap registrasi produk tradisional, herbal dan fitofarmaka setelah dilakukan pengujian, pengawasan proses dan kepatuhan cara – cara pemasaran obat tradisional yang beretika.

Gambar

Tabel  23 Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi
Tabel 24  Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar  Uraian  Satuan  Jahe  Temulawak  Lempuyang
Gambar 30  Harga tanaman obat dijual ke Jaringan.
Tabel 27  Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas
+5

Referensi

Dokumen terkait

Guru hanya mencantumkan di bagian materi ajar “pengertian drama, unsur teks drama, sistematika naskah drama dan kaidah teks drama” hal ini tidak sesuai dengan

Selain dari dana perimbangan tersebut pemerintah daerah juga mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pembiayaan dan Lain-lain

Penulis memfokuskan penelitian pada pola interaksi yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang bertempat tinggal terpisah karena dengan demikian peneliti akan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan induk ikan betok jantan dan betina dimedia air gambut pada pemijahan secara semi buatan yang dapat

Kedua, Kepala sekolah SMA kemala Bhayangkari Kota Bumi telah berusaha cukup baik dalam meningkatkan minat baca peserta didik, dengan cara memrintahkan para dewan guru setiap

Alhamdulillah puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir yang berjudul “ Aplikasi

Yang menjadi permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana proses terjadinya deviasi seks dapat menjadi suatu kejahatan, bagaimana bentuk-bentuk deviasi seks dalam