• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi tertulis pertama mengenai tromboemboli dan ulserasi vena dijumpai pada masa 1550 SM pada Papyrus of Eber, sedangkan kasus tromboemboli pertama yang tertulis jelas dijumpai pada abad ke 13. Pada abad ke 18 Hunter mengajukan hipotesis bahwa trombosis vena disebabkan oleh penyumbatan vena oleh bekuan darah, dan pada paruh kedua abad ke 19, Virchow mengajukan postulat faktor trias Virchow sebagai penyebab utama trombosis vena yaitu kerusakan pada dinding vena, stasis dari aliran vena dan perubahan pada komponen darah yang menyebabkan hiperkoagulabilitas pada kasus trombosis post partum. 14

2.1 FAKTOR RISIKO

Penyebab tromboemboli vena dikemukakan oleh Rudolph Virchow dengan trias Virchow (stasis vena, cedera vaskular dan hiperkoagulabilitas). Faktor risiko terjadinya tromboemboli vena dapat dibagi menjadi 3 kelompok risiko, yaitu faktor tindakan bedah, faktor medikal dan faktor herediter/pasien. 15

TABEL 2.1. FAKTOR RISIKO TROMBOEMBOLI VENA 15 Faktor pasien

• Usia >40 thn • Immobilisasi • Obesitas

• Riwayat menderita DVT/PE

• Kehamilan • Masa nifas

• Terapi estrogen dosis tinggi • Varises vena

Faktor Medikal/Surgikal • Tindakan bedah mayor

• Malignansi (khususnya pelvik, abdominal, metastasis)

• Infark miokard • Stroke

• Gagal nafas akut

• Gagal jantung kongestif • Inflammatory bowel disease • Sindroma nefrotik

(2)

• Fraktur pelvik, ekstremitas bawah • Polisitemia • Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria • Paraproteinemia • Sindroma Behcet’s Faktor Hiperkoagulasi

• Antibodi Antifosfolipid, Lupus Antikoagulan • Homocysteinemia • Disfibrinogenemia • Gangguan Myeloproliferatif • Defisiensi Antithrombin • Faktor V Leiden • Disseminated intravascular coagulation (DIC)

• Gangguan plasminogen dan aktivasinya • Heparin induced thrombocytopenia (HIT) • Defisiensi protein C • Defisiensi protein S • Sindroma hiperviskositas • Mutasi gen protrombin 20210A

Kanker (malignansi) adalah faktor risiko yang paling sering dan penting untuk terjadinya tromboemboli vena. Lee dan Levine memperkirakan insidensi annual tromboemboli vena pada pasien kanker adalah 1 dari 200 orang. Dua puluh persen kasus tromboemboli vena terjadi pada pasien yang menderita kanker. Pada seluruh penderita kanker, 15% akan menderita tromboemboli vena simptomatik, 50% menderita tromboemboli vena asimptomatik dan 50% dijumpai tromboemboli vena pada saat otopsinya. 16

Tabel 2.2 Faktor risiko tromboemboli vena dengan tingkatannya 16

Tingkatan Risiko Karakteristik

Tinggi (Odds ratio >10) Tindakan bedah dengan institusionalisasi Trauma

Penggantian lutut atau total hip Cedera medulla spinalis

(3)

Malignansi dengan kemoterapi Pemasangan CVC atau pacemaker Trombosis vena superfisial sebelumnya Malignansi tanpa kemoterapi

Penyakit neurologis dengan paresis ekstremitas

Penyakit hati berat Rendah (Odds ratio <2) Tirah baring >3 hari

Duduk lama Obesitas

Peningkatan usia

Karena rendahnya kepatuhan terhadap protokol profilaksis tromboemboli dan kesulitan klinisi dalam menentukan stratifikasi faktor risiko menurut panduan yang ada sekarang ini, maka Joseph A. Caprini dan timnya mengembangkan suatu Risk Assessment Models (RAMs) untuk dengan tegas menggunakan perhitungan faktor risiko.

2.2 PATOFISIOLOGI

Sistem koagulasi terdiri dari dua komponen, yaitu komponen seluler dan komponen molekuler. Komponen seluler adalah trombosit, sel endotel, monosit dan eritrosit, sedangkan komponen molekuler adalah faktor-faktor koagulasi dan inhibitornya, faktor fibrinolisis dan inhibitornya, protein adhesif (cth von Willebrand factor, vWF), protein interseluler, acute-phase proteins, immunoglobulin, ion kalsium, fosfolipid, prostaglandins dan beberapa sitokin lain. Meskipun begitu, protein-protein koagulasi adalah komponen inti dari sistem hemostasis. 18

(4)

Tabel 2.3 VTE Risk Assessment Model

17

Tabel 2.4 Prophylaxis Decision Making Tools–Berdasarkan Skoring Faktor Risiko 17

Berikut ini adalah jalur (pathway) koagulasi yang berdasarkan waktu (time-based): 18

1. Inisiasi ; Tissue factor (TF) yang diekspresikan oleh vaskular yang rusak mengikat FVIIa (yang bersirkulasi dalam jumlah kecil), yang kemudian

(5)

memicu koagulasi dengan mengaktivasi FIX menjadi FIXa dan FX menjadi Fxa. Fxa kemudian mengikat FII, menghasilkan thrombin (FIIa) dalam jumlah kecil. Pada reaksi yang lebih lambat, FIXa mengikat dan mengaktivasi FX menjadi FXa. Kebanyakan proses koagulasi invivo diinisiasi oleh tissue factor, sedangkan aktivasi kontak (aktivasi FXII) masih belum jelas perannya secara klinis, akan tetapi kemungkinan diduga karena RNA dari sel yang rusak menjadi aktivator FXII invivo.

2. Amplifikasi ; Karena pada tahap inisiasi thrombin yang dibentuk masih sedikit untuk dapat mengaktivasi fibrinogen menjadi fibrin, maka ada beberapa mekanisme amplifikasi umpan balik. Yang pertama, pembentukan FVIIa ditingkatkan oleh aktivasi FVII yang terikat pada tissue factor oleh FVIIa, FIXa dan Fxa. Thrombin kemudian mengaktivasi kofaktor non enzymatik FV dan FVIII, yang mengakselerasi aktivasi FII oleh Fxa dan Fxa oleh FIXa secara berurutan. Pada umpan balik berikutnya, thrombin juga mengaktivasi FXI menjadi FXIa yang meningkatkan pembentukan FIXa.

3. Propagasi ; Untuk mempertahankan pembentukan thrombin kontinu, memastikan pembentukan bekuan yang besar, sejumlah besar FXa diprodukasi oleh aktivasi FX oleh FIXa dan FVIIIa (intrinsic tenase complex). FIXa utamanya dari aktivasi FIX oleh kompleks FVIIa/TF. 4. Stabilisasi ; pembentukan thrombin maksimal terjadi setelah pembentukan

monomer-monomer fibrin. Hanya setelah itu terjadi maka jumlah trombin cukup untuk mengaktivasi FXIII, sebuah tranglutaminase, yang kemudian mengcross-link monomer-monomer fibrin menjadi jaringan fibrin yang stabil. Sebagai tambahan, thrombin kemudian mengaktivasi thrombin-activatable-fibrinolysis-inhibitor (TAFI) yang melindungi bekuan fibrin dari aktifitas fibrinolisis.

Tindakan bedah sering menganggu keseimbangan sistem ini yang dapat menyebabkan kecenderungan terjadinya trombosis ataupun perdarahan. Selain tindakan bedah, banyak faktor risiko klinis lain yang dapat menyebabkan gangguan yaitu immobilisasi, infeksi, kanker (keganasan) dan obat-obatan, dan

(6)

juga berbagai macam faktor perioperatif seperti hipotermia, asidosis metabolik, penggunaan volume expander dan sirkulasi ekstrakorporeal. Beberapa jam setelah operasi terdapat peningktan tissue factor, tissue plasminogen activator, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan vWF yang menyebabkan hiperkoagulasi dan hipofibrinolitik. 18

Sedangkan mekanisme bagaimana kanker dapat menyumbang risiko besar pada tromboemboli vena belum dapat sepenuhnya dimengerti, akan tetapi ada beberapa faktor yang telah diidentifikasi: tipe kanker tertentu, terapi terhadap kanker, usia, indeks massa tubuh dan genetik. Secara umum dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor intrinsik (sel tumor dan microenvironment) dan ekstrinsik (intervensi teraupetik).19

Sel tumor dapat menyebabkan upregulasi banyak faktor koagulasi, down regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik. Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena beberapa jenis sel tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor III) dan trombin (faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator pada peritoneum pasien dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-reseptor faktor II, faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin, heparin cofactor II dan reseptor endothelial protein-C.19

(7)

Gambar 1. Efek protrombotik sel tumor 16

Protein prokoagulan penting yang dihasilkan oleh sel tumor adalah TF (tissue factor) dan CP (cancer procoagulant), meskipun TF adalah produk sel normal, akan tetapi tidak diekspresikan dalam keadaan normal atau istirahat, dan produksinya distimulasi oleh inflamasi. Sedangkan, sel kanker mengekpresikan TF secara kontinu, sedangkan CP adalah cyteine protease dengan substrat koagulasi faktor X. Tumor juga dapat menimbulkan efek massa/penekanan yang menyebabkan stasis aliran darah vena.16

Terapi terhadap kanker adalah faktor ekstrinsik pencetus tromboemboli vena. Beberapa obat antineoplastik dapat menyebabkan upregulasi protein prokoagulan, downregulasi antikoagulan (antithrombin, protein C dan protein S), menekan aktifitas fibrinolitik, meningkatkan aktifitas trombosit, meningkatkan adhesi neutrofil dan memicu pelepasan beberapa sitokin dan tumor prokoagulan dari sel tumor yang lisis.Tindakan bedah juga meningkatkan risiko tromboemboli vena 2-3 kali lipat pada keganasan ginekologi dibandingkan dengan operasi non malignansi.16,19

(8)

Gambar 2. Model koagulasi dan fibrinolisis. FX (1) dan FIX (2) = fase inisiasi, (3) = fase amplifikasi, (4) = stabilisasi. 18

Mayoritas kejadian tromboemboli vena bermula dari deep calf veins, dimana mayoritas trombosis akan menghilang spontan, sekitar 15% akan berlanjut ke vena proksimal yang menyebabkan sumbatan dan rentan terjadi embolisasi. Bila tidak ditata laksana, maka trombosis vena yang terjadi di atas lutut, sekitar lebih dari 50% akan menyebabkan emboli paru. 14

2.3 DIAGNOSIS

Tromboemboli vena dapat bermanifestasi sebagai deep vein trombosis (DVT) ataupun emboli paru. Diagnosis DVT secara klinis sulit dipercaya, karena 75% pasien yang disangkakan DVT ternyata tidak menderita DVT. Diagnosis pasti DVT hanya dapat ditegakkan dengan venografi, dimana sensitifitas dan spesifisitas mencapai 100%. Kelemahan venografi adalah tindakan invasif dan mempunyai efek samping phlebitis dan pembentukan trombosis, oleh karena itu venografi tidak digunakan sebagai alat bantu pertama dalam mendiagnosis DVT.

(9)

D-dimer dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang, apalagi bila dikombinasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dengan nilai prediksi negatif yang baik sehingga hasil negatif benar-benar dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Akan tetapi, pemeriksaan D-dimer tidak begitu akurat pada pasien dengan malignansi dan kehamilan atau pada pasien paska operatif, hal ini disebabkan pada pasien malignansi, hamil dan paska operatif nilai D-dimer dapat meningkat meskipun tanpa adanya DVT. Oleh karena itu, pada pasien dengan malignansi, kehamilan dan paska operatif sangat dianjurkan untuk mengkombinasi pemeriksaan D-dimer dengan ultrasonografi. 12

Dapat juga digunakan pemeriksaan impedance pletysmography dan radiolabeled fibrinogen uptake, akan tetapi karena kompleksitas pemeriksaan ini sudah tidak dipakai lagi dan digantikan dengan pemeriksaan ultrasonografi. 12

Gambar 3. Algoritma penegakan diagnosis DVT 20 2.3.1 Ultrasonografi Duplex

(10)

Kombinasi dari pencitraan B-mode dan Doppler pada satu instrumen, duplex, awalnya dilakukan sebagai penunjang diagnosis pada pembuluh darah arteri. Selain itu, ternyata ultrasonografi duplex juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya obstruksi dan refluks vena. Selama lebih dari 25 tahun, kualitas teknologi pencitraan B-mode meningkat secara dramatis. Tampilan dengan kode warna juga power doppler banyak terdapat pada hampir semua instrumen, kedua mode ini sangat membantu dalam menentukan lokasi vena dan menegaskan defek intraluminal. 21

Tabel 2.5 Temuan USG Duplex pd penilaian DVT 21

(11)

Gambar 4. USG Duplex dari vena normal. Vena sepenuhnya dapat dikompresi.21

Temuan ultrasonografi duplex pada DVT ekstremitas bawah dijabarkan pada 5. Hampir semua laboratorium vaskular menggunakan kriteria pertama, yaitu tidak dapatnya dilakukan pengempisan/kolaps vena dengan penekanan probe usg sebagai metode diagnostik utama. Meta analisis telah menunjukkan bahwa tanda ini sensitifitasnya 95% dan spesifisitasnya 98% untuk DVT proksimal pada ekstremitas bawah. Ketika semua kriteria pada tabel dipakai, maka sensitifitasnya adalah 98% dan spesifisitasnya 94%. 21

Meskipun akurasinya sangat baik, akan tetapi kebanyakan data pada pasien dengan obstruksi vena femoral dan/atau popliteal. Mayoritas pasien dengan DVT simptomatik memiliki trombus pada vena femoral dan popliteal. Pada beberapa kasus, trombus juga dapat melibatkan vena iliaka dan vena calf, dimana pemeriksaan ultrasonografi dupleks pada vena ini tidak begitu akurat. 21

(12)

Gambar 5. USG Duplex dari DVT akut. Tampak bahwa vena tidak dapat dikompresi. Juga dapat dilihat bahwa vena membesar dan trombus echolucent dan terkompresi sebagian, yang merupakan petanda trombus

akut. 21

Sebagai tambahan, ultrasonografi dupleks dapat menyediakan informasi apakah trombus tersebut akut atau kronis. Kriterianya diuraikan pada tabel 6. Temuan trombus yang sebagian terkompresi adalah tanda DVT akut yang dapat dipercaya. Trombus yang mengambang bebas, atau yang tampaknya bergerak pada lumen vena hanya dilihat sesekali. Banyak klinisi yang menggunakan kriteria derajat ekogenisitas dari trombus untuk menentukan usia trombus. Meskipun ekogenisitas trombus meningkat seiring usia, juga bergantung pada setting alat. 21

(13)

Tabel 2.6 Kriteria USG Duplex untuk menilai trombosis akut atau kronis.21

Penentuan usia trombus khususnya penting bila klinisi menghadapi pasien dengan riwayat DVT sebelumnya yang tampil dengan gejala nyeri ekstremitas bawah yang baru atau pembengkakan ekstremitas bawah yang baru tanpa adanya pemeriksaan sebelumnya sebagai pembanding. Karena 10-20% DVT akut menjadi kronis, menentukan apakah pasien tersebut memiliki trombus baru atau adanya insufisiensi vena kronis merupakan suatu tantangan tersendiri. Tabel penentuan usia trombus cukup dapat dipercaya, akan tetapi perlu diingat bahwa trombus akut dan kronis dapat terjadi bersamaan. Pada kasus seperti ini harus dicari trombus yang terkompresi parsial (akut) pada ujung proksimal atau distal dari DVT yang lama.21

Pemeriksaan duplex juga dapat menentukan penyebab nyeri atau pembengkakan ekstremitas bawah ketika DVT tidak ditemukan. Hematoma intramuskular (kadang berkaitan dengan robekan otot), kista Baker's yang ruptur dan tidak ruptur, dan penyakit refluks vena merupakan penyebab yang umum dijumpai dan menyerupai DVT dan juga dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi duplex.21

(14)

2.4 TERAPI

Terapi tromboemboli vena pada pasien kanker merupakan suatu tantangan tersendiri, dimana terapi harus individual dan disesuaikan dengan tatalaksana yang sedang dilakukan untuk malignansinya. Pasien kanker sering membutuhkan tindakan bedah yang radikal, rentan terhadap infeksi dan mendapat kemoterapi yang mensupresi pembentukan komponen darah seperti trombosit sehingga dapat meningkatkan risiko perdarahan. Oleh karena itu terapi terhadap tromboemboli pada pasien kanker harus diindividualisasi.20

Terapi standar untuk DVT adalah unfractionated heparin intravena. Heparin dapat membatasi pembentukan bekuan darah dan meningkatkan proses fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan antikoagulan oral tunggal sebagai terapi awal untuk DVT, karena antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli disebabkan inaktivasi protein C dan protein S sebelum menghambat faktor pembekuan eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah activated PTT 1,5 sampai 2,5 kali lipat untuk mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat dicapai dengan dosis heparin ≥30.000 U/hari atau >1250 U/jam. Metode yang sering dipakai adalah bolus intravena inisial diikuti dengan infus heparin kontinu. Selain itu metode pemberian subkutan dua kali sehari juga efektif. Pada tahun 1991 Cruikshank dkk mempublikasikan normogram standar untuk dosis heparin. Menurut protokol ini, pasien diberikan bolus inisial 5000 U UFH diikuti dengan 1280 U/jam UFH. Dosis heparin dititrasi menurut nilai aPTT selanjutnya. Pada penelitian Cruikshank tersebut nilai aPTT sasaran tercapai dalam 24 sampai 48 jam. Untuk sebagian besar pasien dengan DVT, heparin harus diberikan ≥5 hari dan tidak dihentikan sampai INR (internationalized normalized ratio) pada kisaran terapeutik ≥2 hari.22

Low molecular weight heparin (LMWH) juga efektif terhadap DVT, bila dibandingkan dengan UFH, maka LMWH lebih mempunyai keuntungan yaitu pemberian subkutan satu atau dua kali sehari dengan dosis yang sama dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Keuntungan yang lain yaitu kemungkinan

(15)

risiko perdarahan yang lebih sedikit dan dapat diberikan dengan sistem rawat jalan di rumah tanpa memerlukan pemberian intravena kontinu.22

Warfarin adalah antikoagulan oral yang paling sering digunakan untuk tatalaksana jangka panjang DVT. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat produksi faktor II, VII, IX dan X, protein C dan protein S. Efek warfarin dimonitor dengan pemeriksaan protrombin time (PT) dan diekspresikan sebagai internationalized normalized ratio (INR). Terapi warfarin harus dimulai segera setelah PTT berada pada level terapeutik, baiknya dalam 24 jam setelah inisiasi terapi heparin. Sasaran INR yang ingin dicapai adalah 2.0 sampai 3.0. Dosis inisial warfarin adalah 5 mg dan biasanya mencapai INR sasaran pada hari ke-4 terapi. Dosis warfarin selanjutnya harus diindividualisasi menurut nilai INR.22

Terapi trombolitik jarang diindikasikan untuk DVT, biasanya diberikan pada pasien dengan DVT iliofemoral yang ekstensif dan risiko rendah terhadap perdarahan. Kontraindikasi absolut untuk terapi trombolitik adalah perdarahan internal aktif, stroke dalam kurun waktu 2 bulan belakangan, abnormalitas intrakranial, hipertensi berat tidak terkontrol dan adanya kelainan diatesis perdarahan. Kontraindikasi relatif terhadap terapi trombolitik adalah tindakan bedah mayor atau persalinan pervaginam dalam kurun waktu 10 hari sebelumnya, riwayat perdarahan gastrointestinal, tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg, kehamilan, usia >75 tahun dan hemorrhagic diabetic retinopathy.22

Penggunaan filter vena cava inferior pada pasien dengan emboli paru rekuren meskipu sudah diterapi dengan antikoagulan dan pada pasien dimana pemberian antikoagulan merupakan kontraindikasi atau alergi terhadap pemberian antikoagulan.22

Terapi untuk emboli paru juga menggunakan unfractionated heparin atau LMWH dengan dosis dan cara pemberian yang sama dengan terapi DVT.

(16)

Trombolitik diindikasikan pada pasien dengan emboli paru masif, adanya syok kardiogenik atau keadaan hemodinamik tidak stabil. Trombolitik yang dipakai adalah streptokinase, urokinase, dan tissue plasminogen activator. Streptokinase diberikan bolus 250.000 IU diikuti bolus 100.000 U/jam selama 24 jam. Bila trombolitik gagal, maka dapat dilakukan transvenous catheter embolectomy atau open surgical embolectomy.22

2.5 PENCEGAHAN

Metode profilaksis tromboemboli vena harus aman, efektif, ekonomis, dan dapat diterima penggunaannya. Strategi pencegahan yang ada sekarang ini adalah ambulasi dini, graduated compression stockings, pneumatic compression devices dan antikoagulan seperti warfarin, UFH subkutan, dan LMWH.12

Penggunaan regimen profilaksis tertentu harus didasarkan pada pertimbangan klinis dan faktor risiko. Graduated compression stockings dipasang pada ekstremitas bawah dan memiliki profil tekanan yang berbeda sepanjang stocking dengan tujuan mengurangi penumpukan darah vena. Penelitian telah menunjukkan bahwa stocking ini efektif mencegah tromboemboli dengan efek samping minimal. Pneumatic compression devices juga disebut sequential compression devices memanjang sampai ke lutut atau paha dan juga digunakan sebagai profilaksis DVT. Penggunaan pneumatic compression devices mengurangi risiko pembentukan gumpalan darah dengan menstimulasi pelepasan faktor fibrinolisis juga dengan kompresi mekanis dan pencegahan pengumpulan darah vena. Penggunaan pneumatic compression devices akan efektif mencegah DVT bila digunakan intraoperatif dan post operatif sampai 5 hari. Akan tetapi pada beberapa pasien dengan faktor risiko tinggi seperti riwayat DVT sebelumnya, kanker dan usia >60 tahun risiko DVT tetap tinggi meskipun telah menggunakan pneumatic compression devices.12

Pencegahan DVT secara farmakologis mencakup antagonis vitamin K (warfarin), UFH, dan LMWH. UFH adalah campuran rantai polisakarida dengan berat molekul bervariasi, dari 3000 dalton sampai 30.000 dalton yang

(17)

mempengaruhi faktor Xa dan thrombin. LMWH terdiri dari fragmen UFH yang mempunyai respon antikoagulan yang dapat diprediksi dan aktifitas yang lebih terhadap faktor Xa. Pada meta analisis pasien yang mengalami operasi urologi, ortopedi dan bedah umum, disimpulkan bahwa UFH subkutan efektif mencegah DVT pada pasien risiko menengah sampai risiko tinggi, dengan sedikit peningkatan komplikasi perdarahan. Pada pasien ginekologi penggunaan heparin telah dibandingkan dengan kontrol, dimana dijumpai penurunan deteksi DVT pada kelompok yang menggunakan heparin dibandingkan dengan kontrol (3% vs 29%), dengan pemberian 5000 U UFH subkutan 2 jam sebelum operasi dan paska operasi dua kali sehari selama 7 hari.12

LMWH diperkenalkan sebagai profilaksis dengan beberapa kelebihan seperti pemberian hanya 1 kali sehari dan keuntungan teoretis berkurangnya risiko perdarahan. Beberapa penelitian telah membandingkan penggunaan LMWH dalteparin 2500 U satu kali sehari dengan UFH 5000 U dua kali sehari untuk perioperatif operasi abdominal, dan tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam hal kejadian DVT ataupun episode perdarahan.12

Terapi antikoagulan dengan UFH dan LMWH mempunyai risiko. Risiko utama adalah perdarahan, osteoporosis (terapi UFH berkepanjangan) dan heparin induced trombocytopenia. Risiko perdarahan dengan UFH tampaknya lebih tinggi dan respon individu yang bervariasi.12

Terapi inisial menunjukkan bahwa 50% kasus DVT mulai terbentuk pada saat operasi dan 25% terjadi dalam kurun waktu 72 jam setelah operasi. Oleh karena itu, penting untuk memulai profilaksis sebelum dilakukan induksi anestesi pada pasien risiko menengah sampai risiko tinggi. Graduated compression stocking dan pneumatic compression devices dapat dipasang sebelum operasi. Pemberian LMWH atau UFH juga dapat diberikan sebelum operasi pada pasien risiko tinggi. Adanya peningkatan risiko perdarahan selama operasi tidak banyak dibuktikan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan.12

(18)

Pemilihan metode profilaksis bergantung pada penilaian risiko tromboemboli, apakah risiko ringan, sedang ataupun risiko tinggi. American

College of Chest Physicians Evidence Based Clinical Practice Guidelines

membagi beberapa tingkatan risiko menderita tromboemboli yang dapat dilihat pada tabel 3.10

Tabel 2.7 Tingkat risiko tromboemboli dan tromboprofilaksis yang direkomendasikan 10

Tabel 2.8 Kategori risiko thrombosis vena dalam (DVT-deep vein thrombosis) dan profilaksis yang dianjurkan 12

Risiko Rendah (low risk) ‐ Bedah minor (cth : ligasi tuba bilateral), tanpa tambahan faktor risiko lain

Profilaksis : tidak diperlukan secara khusus, dapat digunakan stocking elastic dengan kompresi gradual atau ambulasi dini

Risiko Sedang (intermediate risk) ‐ Bedah minor dengan tambahan faktor risiko lain

(19)

‐ Bedah mayor pada pasien usia 40-60 thn (cth : histerektomi total) tanpa tambahan faktor risiko lain Profilaksis : pneumatic compression

devices atau LMWH atau UFH.

Risiko Tinggi (high risk) ‐ Bedah mayor (cth : debulking kanker ovarium) dengan tambahan faktor risiko lain

Profilaksis : LMWH, UFH subkutan 3x/hari dan pneumatic compression

devices.

Risiko Sangat Tinggi (very high risk) ‐ Bedah mayor (cth : exenterasi pelvis total) dengan faktor risiko multiple

‐ Riwayat tromboemboli ‐ Riwayat thrombophilia ‐ Dengan kanker

Profilaksis : LMWH 1x/hari, UFH subkutan 3x/hari, pertimbangkan kombinasi dengan LMWH dan pneumatic compression devices atau stoking elastic dengan kompresi gradual dan LMWH.

(20)

Gambar

TABEL 2.1. FAKTOR RISIKO TROMBOEMBOLI VENA  15  Faktor pasien
Tabel 2.2 Faktor risiko tromboemboli vena dengan tingkatannya  16
Tabel 2.4 Prophylaxis Decision Making Tools–Berdasarkan Skoring Faktor  Risiko  17
Gambar 1. Efek protrombotik sel tumor  16
+7

Referensi

Dokumen terkait

Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada

Pertama, jika reaksi energi tinggi yang melibatkan ensim sitokrom p-450 menyebabkan ikatan kovalen obat dengan protein intrasel, maka akan terjadi disfungsi

Septic shock, multiple organ failure, and dissaminated intravascular coaugulation:compared patterns of antithrombin III, protein C, and protein S deficiencies. Sepsis in

induser terikat pada protein represor akan terpisahkan jauh, menyebabkan molekul represor untuk kembali ke bentuk aktif, sehingga sekarang terikat dengan afinitas yang tinggi

Peningkatan insidensi erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS mungkin disebabkan oleh disregulsi sistem imun yang menyebabkan rentan terhadap stress oksidatif. Penurunan

Teratogen adalah obat, zat kimia, infeksi, penyakit ibu, yang berpengaruh pada janin sehingga menyebabkan kelainan bentuk atau fungsi pada bayi yang dilahirkan (Effendi, 2006

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

Kerusakan telinga oleh obat-obatan, suara keras / bising yang berlama-lama, serta usia lanjut akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam menerima nada tinggi pada bagian basal