• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN OBAT DALAM KEPUTUSAN ...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TAP.COM - BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN OBAT DALAM KEPUTUSAN ..."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, dikatakan

bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan

untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,

menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan

badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau

memperindah badan atau bagian badan manusia. Menurut Batubara (2008), obat

adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan biologi. Dalam WHO, obat

didefinisikan sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik atau psikis.

Sedangkan menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS), obat adalah sediaan

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau

kondisi patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan dari rasa sakit, gejala sakit, dan/atau penyakit, untuk meningkatkan

kesehatan, dan kontrasepsi. Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi

yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik

(Katzung, 2007).

Menurut Katzung (2007), setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing

agar dapat bekerja dengan baik. Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat pada

temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam penanganannya

berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut.

Ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM 59.050)

sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat tersebut

dalam kompartemen tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa

sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan

reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu, desain obat yang

rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang tepat berdasarkan

jenis reseptor biologisnya.

(2)

Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau

metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat

menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat

menambah atau mempengaruhi fungsi dan proses fisiologi (Batubara, 2008).

Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui

obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan

fase farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara

pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan

(Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses

kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat

fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur

atau rute pemberian obat (Batubara, 2008). Menurut Katzung (2007), suatu obat

harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan

jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada

tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral.

Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh

tubuh pada obat (Katzung, 2007). Fase ini menjelaskan bagaimana obat

berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh.

Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang

sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat

dengan reseptornya (Batubara, 2008).

2.2.1 Fase Farmasetik

Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi antara lain oleh cara

pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Sediaan

obat yang banyak dipakai adalah sediaan padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi

obat harus dapat melarut dalam tempat absorpsinya (Batubara, 2008).

Menurut Banker (1994) dalam Lachman (1994), sediaan tablet merupakan

bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangan dalam mendesain dan

membuatnya untuk memperoleh bioavailabilitas (ketersediaan hayati) obat penuh

(3)

gumpalan. Walaupun obat telah baik proses pengempaannya, melarutnya, dan

tidak mempunyai masalah dengan bioavailabilitas obat, masih banyak hal lain

yang harus diperhatikan dalam proses farmasetik obat, mulai dari penampilan

obat, pembubukan, atau pengelupasan dalam botol selama pengepakan atau

penanganan. Penambahan pengikat, perekat atau peningkatan tekanan kempa

dapat mempengaruhi waktu hancur tablet, kecepatan melarut tablet, dan mungkin

bioavailabilitas obat.

2.2.2 Fase Farmakokinetik

Farmakokinetik mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh

terhadap obat (Batubara, 2008). Proses farmakokinetik tersebut menentukan

berapa cepatnya, berapa konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut

berada pada organ target (Holford, 2007).

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke

dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya melalui saluran cerna (mulut

sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat per

oral akan diabsorpsi melalui usus halus (Setiawati dkk., 2007). Menurut Batubara

(2008), kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut pada

tempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah di

tempat obat melarut.

Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang

sudah terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan

absorpsi. Untuk itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang

cukup untuk membantu mempercepat kelarutan obat (Batubara, 2008).

pH adalah derajat keasaman atau kebasaan jika zat berada dalam bentuk

larutan. Obat yang terlarut dapat berupa ion atau non ion. Bentuk non-ion relatif

lebih mudah larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran,

(4)

menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH dari

lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus

membran sel pada suasana asam, karena obat relatif tidak terionisasi atau bentuk

ionnya sedikit. Sebaliknya obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah

diabsorpsi di usus halus karena juga relatif tidak terionisasi (Batubara, 2008).

b. Distribusi

Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai

ikatan lemah (Setiawati dkk.,2007), lalu akan disebar ke jaringan atau tempat

kerjanya (Batubara, 2008). Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja

obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati (obat mengalami metabolisme menjadi

metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke

ginjal, dimana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin (Setiawati dkk., 2007).

Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat mencapai sasaran dan

mengalami metabolisme sehingga lebih mudah diekskresikan. Berkurangnya obat

bebas dalam tubuh karena ekskresi akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat

oleh protein. Terjadi keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat

yang terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan menentukan

lama kerja (durasi) obat (Batubara, 2008).

Faktor fisiologi seperti blood brain barrier atau sawar darah otak yang terdapat di lapisan kapiler serebral dapat menghalangi distribusi obat ke jaringan

otak (Batubara, 2008). Sel-sel endotel pembuluh darah kapiler di otak membentuk

tight junction (tidak ada lagi celah diantara sel-sel endotel tersebut) dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh astrosit otak yang merupakan lapisan-lapisan

membran sel (Setiawati dkk., 2007). Sawar uri (placental barrier) terdiri dari satu lapis sel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari fetus. Karena itu obat yang

dapat diabsorpsi melalui pemberian oral juga dapat masuk ke fetus melalui sawar

uri. Akan tetapi obat larut lemak yang merupakan substrat P-gp atau MRP

(5)

menunjang fungsi sawar darah otak dan sawar uri untuk melindungi otak dan fetus

dari obat yang efeknya merugikan (Setiawati dkk., 2007).

c. Metabolisme

Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia

dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolitnya

(Batubara, 2008). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar

(larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau

empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumya diubah menjadi inaktif, tapi

sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik (Setiawati dkk., 2007).

Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase

I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat

menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif

(Setiawati dkk., 2007). Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat

endogen : asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan

hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat

dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan

diikuti dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar

untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih dulu

(Setiawati dkk., 2007).

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim

cytochrome P450 (CYP), yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MFO (mixed-function oxidase), dalam endoplasmic reticulum (mikrosom hati). Beberapa enzim yang penting untuk metabolisme dalam hati antara lain :

CYP3A4/5, CYP2D6, CYP2C9, CYP1A1/2, CYP 2E1 (Setiawati dkk., 2007).

Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui

enzim UDP-glukoronil-transferase (UGT), terutama terjadi dalam mikrosom hati,

tetapi juga di jaringan ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, kuit). Reaksi

konjugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konjugasi dengan glutation) terjadi di dalam

(6)

d. Ekskresi

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal (Setiawati dkk., 2007).

Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit,

keringat, air liur, dan air susu (Batubara, 2008). Obat dieksresi melalui ginjal

dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal

melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus

proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Setiawati dkk., 2007).

Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi

glomerulus masuk ke tubulus (Batubara, 2008). Filtrasi glomerulus menghasilkan

ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam

ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah

(Setiawati dkk., 2007). Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan

filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan

jumlah pori glomerulus (Batubara, 2008).

Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke tubulus

melalui sekresi di tubulus proksimal. Sekresi tubulus proksimal merupakan proses

transport aktif, jadi memerlukan carrier (pembawa) dan energi (Batubara, 2008). Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui

transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda (Setiawati dkk., 2007).

Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi

kembali ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Reabsorpsi pasif terjadi di

sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena

derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk

mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa

(Setiawati dkk., 2007).

Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai

waktu paruhnya (T1/2). Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga

(7)

separuhnya (Holford dkk., 1997). Perlambatan eliminasi obat dapat disebabkan

oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang waktu paruhnya

(Batubara, 2008).

Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan

keluar bersama feses (Suyatna dkk., 2007). Selain itu, ekskresi melalui paru

terutama untuk eliminasi gas anestetik umum. Ekskresi dalam ASI, saliva,

keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung

terutama pada difusi pasif dari bentuk non-ion yang larut lemak melalui sel epitel

kelenjar, dan pada pH. (Suyatna dkk, 2007).

Parameter dalam proses farmakokinetik meliputi volume distribusi,

bersihan (clearance), bioavailabilitas, dan waktu paruh (Holford, 2007). Volume distribusi (Vd) adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam

tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas distribusinya

(Batubara, 2008). Besarnya volume distribusi ditentukan oleh ukuran dan

komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan

berbagai jaringan (Setiawati, 2007).

Bersihan (clearance) adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu).

Bersihan total adalah jumlah bersihan dari berbagai organ, seperti hepar, ginjal,

empedu, paru-paru, dan lain-lain (Batubara, 2008). Bersihan obat-obat yang tidak

diubah melalui urin merupakan bersihan ginjal. Di dalam hati, bersihan obat

melalui biotransformasi obat parent drug menjadi satu atau lebih metabolik, atau ekskresi obat yang tidak diubah (unchanged drug) ke dalam empedu, atau kedua-duanya (Holford, 2007).

Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui

jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Untuk

suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford,

2007), atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat

yang diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi

(8)

2.2.3 Fase Farmakodinamik

Farmakodinamik mempelajari mekanisme kerja obat dengan tujuan

meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui

urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi (Setiawati dkk.,

2007). Kebanyakan obat bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor,

berinteraksi dengan enzim, ataupun dengan kerja non-spesifik. Protein merupakan

reseptor obat yang paling penting (Setiawati dkk., 2007). Jenis-jenis protein lain

yang telah diidentifikasikan sebagai reseptor obat meliputi enzim-enzim, transpor

protein (misalnya Na+/K+ ATPase), dan protein struktural (misalnya tubulin)

(Bourne dan Roberts, 2007). Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya

memodulasi fungsi yang sudah ada (Setiawati dkk., 2007).

Berakhirnya kerja obat pada tingkat reseptor merupakan salah satu akibat

dari serangkaian proses. Dalam beberapa hal, efek berlangsung hanya selama obat

menempati reseptor sehingga dengan lepasnya obat dari reseptor efek akan segera

berakhir. Ada juga kerja obat masih tetap ada walaupun obat sudah terdisosiasi

disebabkan oleh adanya beberapa molekul pasangan masih dalam bentuk aktif

(Katzung, 2007).

Semua respon farmakologik harus mempunyai suatu efek maksimum

(Emax). Tidak perduli berapa konsentrasi obat yang akan dicapai, akan didapat

suatu titik dimana tidak ditemukan lagi suatu respon. Kepekaan organ target pada

obat dicerminkan oleh konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50%

dari efek maksimum. Kepekaan yang meningkat pada suatu obat biasanya ditandai

oleh respon yang berlebihan pada dosis kecil atau dosis sedang (Holford, 2007).

2.3 Penggolongan Obat

Menurut Permenkes 917/Menkes/Per/X/1993, obat (jadi) adalah sediaan

atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki

secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

(9)

Berbagai obat-obat yang beredar di Indonesia dengan segala fungsinya

dapat diperoleh dalam berbagai sediaan obat. Menurut Batubara (2008), bentuk

sediaan obat dapat berupa sediaan padat (pulvis, tablet, kapsul, suppositoria,

kaplet, lozenge), semi padat (salep, krim, pasta, jelli), cair (larutan, sirup, eliksir, guttae, injeksi, enema, gargarisma, douche, suspensi, emulsi, infusa), dan gas (aerosol, gas). Dalam Permenkes No. 725a/1989, untuk memudahkan

pengawasan, penggunaan, dan pemantauan, obat digolongkan menjadi :

a. Obat Bebas

Obat bebas termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh

tanpa resep dokter, selain di apotik juga dapat diperoleh di

warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran

berwarna hijau. Contoh obat bebas yaitu parasetamol, vitamin C,

antasida, dan Obat Batuk Hitam (OBH).

b. Obat Bebas Terbatas

Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti

aturan pakai yang ada. Penandaan obat golongan ini adalah adanya

lingkaran berwarna biru dan tertera peringatan dengan tulisan:

P. No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.

P. No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

P. No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

P. No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.

P. No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

Obat bebas terbatas dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotik, toko

obat ataupun di warung-warung. Contohnya obat anti mabuk

(Antimo), obat flu kombinasi, klotrimaleas (CTM).

c. Obat keras

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu

obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep

dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan

tulisan huruf K di dalamnya. Jika pemakai tidak memperhatikan dosis,

(10)

berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau

menyebabkan kematian. Contoh obat golongan keras yaitu antibiotik

(tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang

mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan

lain-lain).

d. Psikotropika

Psikotropika adalah zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak

atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan

perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi,

gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat

menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi

(merangsang) bagi para pemakainya. Jenis obat psikotropika yaitu

shabu-shabu dan ekstasi.

e. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan

pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan

memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa

pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau

timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan

bagi pemakainya. Narkotika merupakan kelompok obat yang paling

berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan

toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, secara internasional obat hanya

dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

a. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan

memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU

No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.

Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak

(11)

Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan

memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus

dengan pemilik paten.

b. Obat generik. Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten

kemudian disebut sebagai obat generik (generik= nama zat

berkhasiatnya). Obat generik dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik

berlogo dan generik bermerek (branded generic). Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang

menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo

perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat,

sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat

bermerk adalah obat yang diberi merek dagang oleh perusahaan

farmasi yang memproduksinya.

2.4 Obat Generik

Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh

pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas

menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu.

Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses

masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah

menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan

pemerintah. Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat

yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga

tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi

biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan

mempengaruhi harga obat secara signifikan (Dinkes Gorontalo, 2008).

Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan

kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses

terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan

(12)

Menurut Widjajarta (2008), orang sering mengira bahwa mutu obat

generik kurang baik dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah

membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya

dengan obat bermerk. Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat

generik sama dengan obat bermerk. Dalam proses produksi obat, perusahaan

farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara

Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang

disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat

bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi

(BE) dengan obat pembanding inovator. Inovator yang dimaksud adalah obat yang

pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui

serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA. Studi BA dan atau BE seharusnya

telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat

bermerek maupun obat generik. Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan

dan mutu obat generik. Dengan demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat

jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi, keamanan dan mutu yang

dibutuhkan (Dinkes Gorontalo, 2008).

Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan

sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda

(tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui

rute pemberian yang berbeda-beda (oral, rektal, transdermal/kulit).

Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate

(kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem

peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada

tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.

Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan menjadi tidak adanya

perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan

(13)

tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif

yang sama dan dalam desain studi yang tepat (Dinkes Gorontalo, 2008).

Setiap negara wajib menyusun daftar obat esensial (DOEN), sejumlah

jenis obat yang paling dibutuhkan di suatu negara, dan yang tergolong sering

dipakai. Daftar ini dapat ditambah atau dikurangi oleh pemerintah sesuai

kebutuhan negara. Namun, yang terjadi sekarang, DOEN kita cenderung pasif.

Obat bermerk dan jenis yang sama pun terus bertambah, sehingga membuat

bingung dokter saat menulis resep (Dinkes Gorontalo, 2008). Menurut Widjajarta

(2008), beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali

bahkan ada yang sampai 200 kali lipat.

Oleh karena itu, menimbang bahwa ketersediaan obat generik dalam

jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan

keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah. Dan bahwa agar penggunaan obat generik dapat

berjalan efektif perlu diatur kembali ketentuan kewajiban menuliskan resep

dan/atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah

dengan peraturan menteri kesehatan. Untuk itu, Menteri Kesehatan Republik

Indonesia memutuskan menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik

Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, yang disahkan pada tanggal 14

Januari 2010. PerMenKes ini terdiri dari 4 bab dengan 12 pasal, dimana pada bab

II, pasal 4 ayat 1, tertulis bahwa dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai

indikasi medis.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, dokter diharapkan mematuhi

peraturan tersebut dan meresepkan obat generik agar semua lapisan masyarakat

dapat memenuhi kebutuhan obatnya dengan harga terjangkau dan mutu terjamin,

sehingga dapat memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Adapun

kepatuhan dokter merupakan suatu perilaku dokter dalam menaati ketetapan

Referensi

Dokumen terkait

Termasuk pengaruh dari hormon-hormon steroid yang beredar dalam sirkulasi pada metabolisme obat dalam hati, ekskresi obat melalui ginjal yang lebih cepat karena peningkatan

Apabila persentase protein yang tetap terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai kandungan energi yang tinggi akan menekan konsumsi protein dalam tubuh unggas

Namun jika laju pembentukan radikal bebas sangat meningkat karena terpicu oleh latihan yang terlalu keras atau berolahraga secara berlebihan sehingga jumlah radikal bebas

Asam glutamat biasanya terikat pada molekul protein yang terdapat di dalam makanan, kemudian protein tersebut secara perlahan akan dipecahkan dan kemudian diserap oleh

Pada sel mati, lapisan dalam membran dapat terikat secara ekstrinsik dengan Annexin V karena integritas membran plasma yang sudah hilang. Hal ini menyebabkan Annexin V juga

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah

Perbedaan dalam selektivitas dan penanganan ginjal akan hormon tiorid yang bebas dan hormon tiroid yang terikat protein serta TSH antara anak-anak dengan SNRS

Jika mereka tidak bekerja dengan baik, dosis obat dalam tubuh anda akan menumpuk dan dapat menyebabkan keracunan - Anda menderita tukak lambung/usus atau perut yang mudah