• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Representasi Sebagai Produksi Makna

Representasi adalah suatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata – kata bunyi, citra, atau kombinasinya. Secara ringkas representasi adalah produksi makna – makna melalui Bahasa lewat Bahasa (symbol – symbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) tersebut itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide – ide tentang sesuatu Juliastuti, (Juliastuti, 2000, p. 6). Pengambaran yang dimaksud dalam proses ini dapat berupa deskripsi dari adanya perlawanan yang berusaha dijabarkan melalui penelitian dan analisis semiotika. Stuart Hall (Hall, 1997) berpendapat, ada dua proses representasi. Awalnya adalah proses representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di dalam alam ide (peta konseptual), proses ini masih dalam bentuk sesuatu yang abstrak. Proses selanjutnya adalah bahasa, yang berperan lebih banyak dalam proses pembentukan makna. Peta konseptual tentang sesuatu yang ada di dalam alam ide kita, diterjemahkan dengan bahasa yang biasa digunakan, agar konsep dan ide tentang sesuatu dapat dihubungkan dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Proses perepresentasian berlangsung dalam setiap individu yang kemudian terus berkelanjutan hingga masuk kedalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Representasi juga dapat berarti sebagai suatu tindakan yang menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu lewat yang diluar dirinya biasanya berupa tanda atau symbol (Amir Piliang, 2003). Menurut (Hall, 1997), ada tiga pendekatan representasi :

(2)

7

1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.

2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.

3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang meletakkan makna.

Representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu. Mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu (Vera, 2015). Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu (Wibowo, 2011, p. 123). Konsep representasi bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru, intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek

(3)

8

penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti, 2000, p. 1).

Cerdikiawan

2.2.1 Prilaku Cerdik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) cerdik/cer·dik/ memiliki arti: cepat mengerti (tentang situasi dan sebagainya) dan pandai mencari pemecahannya dan sebagainya; panjang akal. Menurut Jalius. HR, cerdik adalah merupakan kemampuan mengambil keputusan untuk memecahkan masalah (yang berhubungan dengan orang lain) yang mendatangkan keuntungan baik untuk diri sendiri maupun untuk kelompok. Yang perlu sekali kita fahami dari makna cerdik ini adalah kecepatan proses berfikir, ketepatan atau akurasi keputusan dan tindakan yang diambil. Akurasi keputusan harus didukung dengan pemilihan metodologi yang cocok untuk itu. Terakhir adalah keuntungan atau manfaat yang diperoleh memuaskan (Jalius, 2010). Ada beberapa ciri orang cerdik yang dilansir oleh (WikiHow, n.d.) dalam artikelnya “Untuk Menjadi Cerdik”, ciri-ciri tersebut adalah:

1. Selalu mencari informasi yang lebih. Orang yang cerdik dapat melihat hal-hal yang dilewatkan orang lain. Mereka dapat melihat perlengkapan kehidupan yang tersembunyi - motif sebenarnya yang mendorong interaksi, daripada motif yang telah dinyatakan. Yang pertama, langkah yang paling penting untuk segala sesuatu sebagaimana mestinya agar selalu mendapatkan sebanyak mungkin informasi sebelum membuat keputusan.

(4)

9

2. Mempertanyakan motif orang lain. Orang yang cerdik terkenal akan kemampuan mereka untuk melihat tembus topeng orang lain. Hampir semua orang berbohong dalam kehidupan sehari-hari – ini adalah hal yang wajar. Seseorang yang cerdik dapat mengetahui niat seseorang yang sebenarnya – hal ini disebabkan dia mampu “membaca” orang dan telah melakukan persiapan saksama

3. Mencari perincian. Orang yang cerdik tidak pernah menolak pada prospek untuk mengamati orang secara erat dan hal-hal untuk perincian yang dapat dimanipulasi untuk keuntungan mereka sendiri.

4. Selalu berwaspada. Seseorang tidak akan bertindak cerdik jika dia terlalu lelah, tidak focus atau terbagi-bagi perhatian untuk memperhatikan apa yang sedang berlaku. Bagian yang penting dalam bertindak cerdik adalah menjadi aktif dan berwaspada.

5. Mengambil sudut pandang yang obyektif. Orang yang cerdik mencoba agar persepsi dan keputusan mereka tidak diganggu oleh emosi dan prasangka. Sebaliknya, mereka lebih memilih obyektif, kebenaran factual.

2.2.2 Cendekiawan

Menurut (KKBI) cendekiawan/cen·de·ki·a·wan/ memiliki arti: orang cerdik pandai; orang intelek, orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Definisi yang paling longgar telah diberikan Edward Shils yang menyatakan bahwa cendekiawan adalah seseorang yang memiliki concern luas pada persoalan manusia, masyarakat, dan alam. Di sampihg itu cendekiawan juga

(5)

10

dilukiskan sebagai tempat bersemayamnya "jiwa dan nurani" masyarakatnya. Hal ini paralel dengan yang dikemukakan oleh Theidor Geiger, "cendekiawan merupakan representasi semangat kreatif masyarakatnya. Akibatnya, peran politisnya ditentukan oleh relasi antara kekuaaan dan pemikiran" (Moedjiono, 1999). Menurut artikel dari (Cendekiawan, n.d.) Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang memakai kecerdasannya untuk memainkan pekerjaan, berupaya bisa, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah "cendekiawan", yaitu:

1. Mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku;

2. Mereka yang benar keahlian dalam kebiasaan dan seni yang memberikan mereka kewibawaan norma budaya istiadat, dan yang kemudian menggunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai "intelektual budaya".

3. Dari anggota Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dsb-nya.

Periklanan

Kehidupan dunia modern kita saat ini sangat tergantung pada iklan. Tanpa iklan para produsen dan distributor tidak akan dapat menjual barangnya, sedangkan di sisi lain para pembeli tidak akan memiliki informasi yang memadai mengenai produk-produk barang dan jasa yang tersedia di pasar. Jika itu terjadi maka dunia

(6)

11

industri dan perekonomian modern pasti akan lumpuh (Jefkins, 1996). Konsumen yang tidak mengetahui keberadaan suatu produk tidak akan menghargai produk tersebut. Menurut Jefkins (1996). Iklan bagaikan sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam gemerlapan yang memikat dan mempesona. Sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan muncul ke dalam dunia nyata melalui media (William, 1993). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka periklanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan iklan, sementara kata dasarnya, yaitu iklan, berarti: 1. Berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan; 2. Pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar dan majalah atau di tempat umum. Periklanan di Indonesia pada awalnya dikenal dengan sebutan advertensi dan reklame. Kedua kata tersebut diadopsi dari Bahasa Belanda (Winarno, 2008). Pada tahun 1951 barulah istilah periklanan mulai diperkenalkan oleh seorang tokoh pers Indonesia bernama Soedarjo Tjokrosisworo. Kata dasar periklanan adalah iklan yang diambil dari bahasa Arab, yaitu i’lan atau i’lanun, yang diartikan sebagai “informasi” atau “pengumuman”. Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai “any paid form of nonpersonal communication about an organization, product, service, or idea by an identified sponsor” Ralph S. Alexander dalam (Morissan, 2010). Sedangkan menurut Monle Lee dan Carla Johnson (2007, p. 3) periklanan adalah komunikasi komersil dan nonpersonal tentang sebuah organisasi dan produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target melalui media bersifat massal seperti televisi, radio, koran, majalah,

(7)

12

dan tujuan iklan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, antara satu jenis industri dengan industri lainnya, dan antara satu situasi dengan situasi lainnya. Demikian juga, konsumen yang menjadi target suatu iklan juga berbeda antara satu jenis produk dengan produk lainnya. Suatu perusahaan beriklan dengan tujuan untuk mendapatkan respons atau aksi segera melalui iklan media massa. Perusahaan lain mungkin bertujuan untuk lebih mengembangkan kesadaran atau ingin membentuk suatu citra positif dalam jangka panjang bagi barang atau jasa yang dihasilkannya (Morissan, 2010). Secara umum, periklanan dihargai karena dikenal sebagai pelaksana beragam fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya: (1) informing (memberi informasi), (2)

persuading (mempersuasi), (3) reminding (mengingatkan), (4) adding value

(memberikan nilai tambah), dan (5) assisting (mendampingi) upayah-upayah lain dari perusahaan (Shimp, 2003, p. 357). Menurut (Belch & Belch, 2001) Pengelola pemasaran suatu perusahaan beriklan dalam berbagai tingkatan atau level. Misalnya, iklan level nasional atau lokal/retail dengan target yaitu masyarakat konsumen secara umum, atau iklan untuk level industri atau disebut juga dengan business-to-business advertising atau professional advertising dan trade advertising yang ditujukan untuk konsumen industri, perusahaan, atau profesional. Untuk lebih jelasnya, tipe atau jenis iklan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Iklan Nasional

Pemasang iklan adalah perusahaan besar dengan produk yang tersebar secara nasional atau di sebagian besar wilayah suatu negara. Sebagian besar iklan nasional pada umumnya muncul pada jam tayang utama (prime time) di televisi yang memiliki jaringan siaran secara nasional dan juga pada berbagai media besar

(8)

13

nasional serta media-media lainnya. Tujuan dari pemasangan iklan berskala nasional ini adalah untuk menginformasikan atau mengingatkan konsumen kepada perusahaan atau merek yang diiklankan beserta berbagai fitur atau kelengkapan yang dimiliki dan juga keuntungan, manfaat, penggunaan, serta menciptakan atau memperkuat citra produk bersangkutan sehingga konsumen akar cenderung membeli produk yang diiklankan itu.

2. Iklan Lokal

Pemasang iklan adalah perusahaan pengecer atau perusahaan dagang tingkat lokal. Iklan lokal bertujuan untuk mendorong konsumen untuk berbelanja pada toko-toko tertentu atau menggunakan jasa lokal atau mengunjungi suatu tempat atau institusi tertentu. Iklan lokal cenderung untuk menekankan pada insentif tertentu, misalnya harga yang lebih murah, waktu operasi yang lebih lama, pelayanan khusus, suasana berbeda, gengsi, atau aneka jenis barang yang ditawarkan. Promosi yang dilakukan iklan lokal sering dalam bentuk aksi langsung (direct action advertising) yang dirancang untuk memperoleh penjualan secara cepat.

3. Iklan Primer dan Selektif

Iklan primer atau disebut juga dengan primary demand advertising dirancang untuk mendorong permintaan terhadap suatu jenis produk tertentu atau untuk keseluruhan industri. Pemasang iklan akan lebih fokus menggunakan iklan primer apabila, misalnya, merek produk jasa yang dihasilkannya telah mendominasi pasar dan akan mendapatkan keuntungan paling besar jika permintaan terhadap jenis produk bersangkutan secara umum meningkat. Asosiasi perusahaan di bidang

(9)

14

industri dan perdagangan kerap melakukan kampanye melalui iklan primer untuk mendorong peningkatan penjualan produk yang dihasilkan anggota asosiasi.

IKLAN BISNIS DAN PROFESIONAL

1. Iklan antar-Bisnis

Iklan antar bisnis atau business-to-business advertising adalah iklan dengan target kepada satu atau beberapa individu yang berperan memengaruhi pembelian barang atau jasa industri untuk kepentingan perusahaan di mana para individu itu bekerja. Barang-barang industri (industrial goods) adalah produk yang akan menjadi bagian dari produk lain (misalnya, bahan mentah atau komponen), atau produk yang digunakan untuk membantu suatu perusahaan melakukan kegiatan bisnisnya (peralatan kantor, komputer, dan lain-lain). Jasa pelayanan bisnis, seperti asuransi, jasa biro perjalanan, dan pelayanan kesehatan masuk dalam kategori ini.

2. Iklan Profesional

Iklan.profesional atau professional advertising adalah iklan dengan target kepada para pekerja profesional seperti dokter, pengacara, dokter gigi, ahli teknik, dan sebagainya dengan tujuan untuk mendorong mereka menggunakan produk perusahaan dalam bidang pekerjaan mereka. Iklan semacam ini juga digunakan untuk mendorong para profesional untuk merekomendasikan penggunaan merek produk tertentu kepada para konsumen.

(10)

15 3. Iklan Perdagangan

Iklan dengan target pada. anggota yang mengelola saluran pemasaran (marketing Channel), seperti pedagang besar, distributor serta para pengecer. Tujuan iklan semacam ini adalah untuk mendorong para anggota saluran untuk memiliki, mempromosikan, serta menjual kembali merek produk tertentu kepada para pelanggannya.

Dengan mengiklankan produknya suatu brand bertujuan mempersuarsi konsumen agar melakukan pembelian pertama, setelah tahapan sebuah brand yang baru melakukan periklanan informatif yang diadakan secara besar-besaran pada calon konsumennya. Setelah konsumen mengetahui dan melakukan pembelian pertama, maka pihak pengiklan melakukan periklanan persuasif dimana tujuannya meyakinkan konsumen bahwa produk dari brand tersebut merupakan produk terbaik dan konsumen tidak salah membeli produk tersebut yang berdampak konsumen melakukan pembelian kedua, ketiga, dan seterusnya. Tahapan selanjutnya ketika brand ini sudah banyak di ketahui oleh banyak konsumen, pihak pengiklan akan melakukan iklan pengingat dimana tujuannya agar konsumen ingat terus akan brand tersebut sampai adanya loyalitas konsumen terhadap brand tersebut, sehingga konsumen akan membuat suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) kepada calon konsumen dan tanpa disadari konsumen dari brand tersebut telah menjadi pelaku pengiklan brand tersebut. Dimana dari prilaku konsumen tersebut dapat di pastikan bahwa terciptanya suatu kepuasan konsumen terhadap produk dari brand tersebut.

(11)

16

Semiotika Disiplin Ilmu Tentang Tanda

Semiotika merupakan sebuah ilmu komunikasi yang mempelajari tentang tanda atau suatu metode analisis untuk mengkaji tanda, dimana tanda-tanda ini merupakan perangkat yang di gunakan dan di sepakati dalam budaya manusia secara bersama dalam mengomunikaskan pesan dengan sesamanya. Tanda-tanda

(signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Sobur, 2015, p. 15). Suatu tanda

menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Sobur, 2015, p. 16). Tanda merupakan perantara manusia dalam berkomunikasi dengan sesamannya sebagai contoh, bendera kuning menandai kematian. Semiotika aatu ilmu tentang tanda pertama kali di kenalkan oleh seorang ahli linguistic Ferdinand de Saussure di Swiss dan Charles Pierce di Amerika. Saussure dan Pierce menggunakan “semiology” dan “semiotic” dalam menamakan teori-teori yang mereka hasilkan. Jika diartikan menurut kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” (Sobur, 2015, p. 17) atau seme, yang berarti “penafsir tanda” (Sobur, 2015, p. 17). Charles Sanders Peirce (Sobur, 2015) mendefinisikan semiosis sebagai “a

relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara

tanda, objek, dan makna)”. Charles Morris dalam (Sobur, 2015) menyebutkan

semiosis ini sebagai suatu “proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan

tanda bagi beberapa organisme”.Dalam pemikiran Barthes semiotika atau yang di sebutnya semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak

dapat dicampuradukan dengan mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana

(12)

objek-17

objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001, p. 53). Semiotik juga merupakan alat untuk menganalisis gambar-gambar (images) yang luar biasa. Meskipun, terminologi-terminologi (signifier, signified, paradigm, syntagm, synchronic, diachronic, dan sebagainya) mungkin awalnya terlihat membingungkan, semiotika adalah disiplin yang penting dalam setudi tentang bahasa media (Sobur, 2015).

Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pada semiologi Roland Barthes saja. Dalam bukunya yang berjudul S/Z (1970) Barthes menjelaskan cara kerja dari teorinya, lewat analisisnya pada sebuah novel kecil dengan judul

Sarrasine yang ditulis oleh sastrawan Francis abat-19, Honore de Balzac. Buku

tersebut ditulis Barthes ingin mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realitas. Menurut Barthes novel Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Menurut Lechte (Sobur, 2015, p. 65) lima kode yang di tinjau oleh Barthes adalah:

1. Kode hermeneutik (kode teka-teki) berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertannyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. kode semik (makna konotatif) menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwah konotasi kata atau frasa tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata

(13)

18

atau frasa yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produk wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.

4. kode proaretik (logika tindakan) dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteles dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoritis Barthes melihat semua yang dilakukan dapat dikodifikasi, dari terbukannya pintu sampai petualangan yang romantis.

5. kode gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodefikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah di ketahui.

Menurut Lechte (Sobur, 2015, p. 66), tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari nyata.

Barthes menambahkan area penting dalam setudinya tentang tanda, dimana tanda adalah peran pembaca (the reader).dalam bukunya, John Storey (Sobur, 2015) mencoba membedakan tingkatan-tingkatan elemen tanda yang menjadi alat

(14)

19

metodelogi bagi Roland Barthes. Barthes membagi tingkatan siknifikasi makna dalam dua level. Ipertama, Iyang disebutnya dengan ‘Primary Signification’ yang di dalamnya terdiri dari ‘signifier’ dan ‘signified’, dan ‘sign’ (Denotasi). Kedua, disebut dengan ‘Secondary Signification’, terdiri dari ‘signifier’, ‘signified,’ dan

‘sign’ (Konotasi). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan

keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang di bangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam

Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan

tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Sobur, 2015):

(15)

20

Tabel 2.1 Peta Tanda Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999:51 dalam Sobur, 2015). Didalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tatarandenotatif (Sobur, 2015, p. 69).

Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduannya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (ERC).

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

3. DENOTATIVE SIGN

(TANDA DENOTATIF)

1. SIGNIFIER

(PENANDA)

2. SIGNIFIED

(PETANDA)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF

(16)

21

E

C

C

E

E

E

C

C

Sistem demikian ini dapat-di dalam dirinya sendiri-menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwah bahasa dapat dipilih-pilih menjadi dua sudut artikulasi demikian (Kurniawan, 2001, p. 67):

Tabel 2.2 Sudut Artikulasi

Konotasi Metabahasa

Denotasi Objek Bahasa

Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Disini sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi kedua (sebelah kanan), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Disini sistem 1 berkorespondesi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage) (Kurniawan, 2001:67). Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di mengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya,” bahkan kadang kala juaga dirancukan dengan refrensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasannya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau

(17)

22

represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan harfiah an denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiyah (Sobur, 2015, p. 71). Dalm kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi mengungkapkan dan memberikan pembenaran. Bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2015, p. 71). Didalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namum sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Imperialisme Inggirs, misalnya, ditandai oleh berbagai ragam penanda, seperti teh (yang menjadi minuman wajib bangsa Inggris namun di negeri itu tak ada satu pun pohon the yang ditanam), bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar ke delapan penjuru, bahasa Inggris yang kini telah menginternasional, dll. Artinya dari segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud pelbagai bentuk tersebut.

Gambar

Tabel 2.1 Peta Tanda Barthes
Tabel 2.2 Sudut Artikulasi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan design interior yang baik dan menarik pada sebuah museum kontemporer, diharapkan akan semakin menaikkan minat para pengunjung dan kesadaran masyarakat akan

perusahaan manufaktur diantaranya adalah menurut Dipl. Axel Peter Ried dalam jurnalnya yang berjudul “ Combining Value Engineerings and Zero Defect to Drastically

Saat dikonfirmasi Kepala Terminal Lebak Bulus, Adjmain menolak berkomentar. Anggota Komisi B DPRD DKI, Prasetyo Edi Marsudi, mengaku geram atas aksi oknum yang merusak pagar

Berdasarkan hasil ini maka dapat dinyatakan bahwa Hipotesis 2 diterima, dan hasil ini mendukung hasil penelitian Mafabi, Nasiima, Muhimbise, & Kasekende

Metode yang digunakan untuk mengembangkan modul pengelolaan studi lanjut pada sistem informasi sumber daya manusia adalah dengan menggunakan metode SDLC (Software

dihasilkan dari sudu-sudu roda pedal yang berputar dalam air. Jet air, gaya dorong dihasilkan karena adanya impuls akibat kecepatan air yang disemburkan keluar

Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi atau Rekomendasi Kesehatan adalah Surat Keterangan dari Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang yang menyatakan suatu TPM atau TTU memenuhi syarat hygiene

Tepung lemah (soft wheat) adalah tepung terigu yang sedikit saja menyerap air dan hanya mengandung 8%-9% protein, kemudian adonan yang terbentuk kurang