• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Modal sosial adalah kombinasi norma-norma yang berada dalam sistem sosial yang mengarah kepada peningkatan kerja sama antar anggota masyarakat dan membawa penurunan yang cukup besar dalam tingkatan pengeluaran dan biaya interaksi dan komunikasi. Menurut Fukuyama (2001 : 1) Modal sosial memiliki peran yang sangat penting pada beberapa kelompok masyarakat dalam berbagai aktivitas. Bagi Fukuyama dalam konteks sistem sosial tidak semua norma, nilai dan budaya secara bersama-sama dapat saling melengkapi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sama seperti halnya modal fisik dan modal finansial, modal sosial juga bisa menimbulkan dampak negative misalkan kurangnya kepercayaan antara yang satu dengan yang lain karena interaksi yang tidak baik, seperti adanya kecemburuan sosial. Karena pada dasarnya modal sosial dibangun oleh kepercayaan-kepercayaan antar individu, rasa saling percaya dibentuk dalam waktu yang tidak sebentar serta memerlukan proses-proses sosial yang berliku-liku (Fukuyama 2001: 8)

Secara konseptual modal social bisa dikatakan sangat bergantung kepada hubungan sosial, pada tingkat individu modal sosial dapat didefenisikan sebagai kuantitas dan kualitas social seseorang dalam masyarakat, dengan kata lain karena hubungan sosial yang seharusnya membantu seseorang untuk memiliki akses-akses sumber daya yang mungkin langka dalam masyarakat mengapa karena relasi ini dapat menciptakan sebuah hubungan baik yang bisa saling menopang, sehingga setiap fitur tunggal dalam hubungan tersebut di anggap sebagai bagian dari modal sosial. Implikasinya jika di lihat pada individunya maka fitur yang dimaksudkan adalah, norma, nilai-nilai atau secara umum kekayaan budaya struktural. Dengan fitur-fitur tersebut jika benar-benar berhasil diciptakan dalam sebuah relasi antara manusia dengan manusia lainya maka secara tidak sadar sesungguhnya telah tercipta apa yang disebut oleh Fukuyama sebagai modal sosial (Fukuyama 2001:11) .

Modal sosial dalam kaitannya dengan keberlangsungan suatu usaha, sangat ditentukan oleh individunya. Suatu usaha bisa survive jika individu berhasil meletakan sebuah trust dalam proses keberlangsungan usahanya. Sementara aspek lain dalam modal sosial seperti jejaring adalah implikasi

(2)

dari terciptanya suatu trust, sementara norma bisa menjadi sebagai acuan dalam proses transaksi antara pembeli dengan pedagang dan juga bisa berfungsi sebagai kontrol (Iswan, 2012: 24).

Burjo merupakan singkatan dari Bubur Kacang Ijo, sebuah identitas makanan khas dari Kuningan Jawa Barat. Dalam konteks ini, Burjo merupakan sebutan warung yang menjual makanan instan dan siap saji di beberapa titik di kota pelajar Salatiga. Yang menarik adalah semua pemilik Burjo serta karyawannya yang ada di Salatiga semua berasal dari daerah yang sama yaitu Kuningan Jawa Barat. Hal ini diperjelas dengan wawancara penulis dengan Kang Abidin pemilik Burjo Kemiri satu ia mengatakan bahwa; kalau pedagang Burjo semua pasti dari Kuningan, saya belum pernah menjumpai teman-teman mempekerjakan orang dari luar kami semua pasti dari sana (wawancara 10 Juni 2015).1

Mereka adalah orang-orang yang memiliki modal untuk mendirikan usaha Burjo (membangun warung dan isinya, menyewa tanah dan memenuhi kebutuhan vital). Model kepemilikan usaha Burjo merupakan usaha perseorangan ataupun persekutuan. Jika bentuknya persekutuan maka pembagian hasil (laba) dapat dibagi rata dalam bentuk jumlah uang atau dengan cara pembagian waktu operasional warung.

Dalam penelitian awal penulis terkait dengan keseharian pedagang Burjo dalam melayani pembeli. Mereka kecenderungan memberi kebebasan kepada setiap pembeli, kebebasan yang dimaksudkan adalah pembeli menjadikan Burjo ibaratkan milik mereka sendiri karena tidak ada aturan ketat yang di buat dari pihak mereka, banyak yang datang ke warung mereka hanya nongkrong sekalipun tidak membeli makan atau minum tetapi dari pihak Burjo tidak pernah mempersoalkan hal demikian. Bagi mereka meletakkan kepercayaan bagi pengunjung sesungguhnya sudah memberikan tanggung jawab, jadi terserah mereka kalau tanggung jawab itu disalah gunakan yang merasa tidak nyaman bukan kami tapi mereka, hal ini diperjelas oleh Kang Galang pemilik Burjo Kemiri Barat dengan menyatakan, kita sih percaya-percaya aja tapi juga kita harus liat-liat orang juga kalau orang baru yah pasti juga tidak bertingkah seenaknya tapi kalau anak-anak yang sudah sering nongkrong di sini kita

(3)

memang cenderung membebaskan aja dalam artian yah kadang mereka buat minum sendiri kalau liat saya lagi sibuk (wawancara 12 Juli 2015).2

Dalam proses melayani pembeli, pemilik Burjo juga ikut dalam system kerja karyawanya dengan membagi waktu kerja dengan waktu kerja yang sama. Akan tetapi bentuk kesepakatan dari pemilik dengan pekerjanya tersebut berbeda. Kesepakatan awal antara pemillik dengan saudara (pekerja) pemberian upah dilakukan dengan system bagi hasil dan tidak ada tuntutan-tuntutan atau target penjualan dari pemilik serta memiliki hak kendali terhadap operasional warung. Meskipun dalam penyajian menu yang disediakan oleh Burjo sangat terbatas dan tidak bervariasi, tetapi hampir setiap harinya ramai pengunjung, bahkan di sekitar kampus UKSW Salatiga, Burjo menjadi sebuah tempat pilihan bersantai oleh beberapa mahasiswa hingga berjam-jam. Pembeli yang datang di Burjo di dominasi mahasiswa hal ini dikarenakan keberadaan Burjo sebagian besar berada di areal yang tidak jauh dari kampus.

Jika di bandingkan warung-warung yang mirip dengan Burjo seperti warung kopi yang juga menyajikan menu yang sama seperti mie instan, telur atau kopi, jika berbicara perbandingan harga, di Burjo lebih mahal di bandingkan dengan tempat lain, indo mie mereka bisa menjual dengan harga Rp 4.500 di warung lain ada yang Rp 3000 selisih harga dengan warung yang lain cukup tinggi. Pertanyaan mengapa bisa laris? Dan pertanyaan lainya mengapa sebagian besar pembeli begitu mudah akrab dan nyaman berada di Burjo?.

Larisnya warung-warung Burjo sangat kelihatan dalam jangka waktu 10 tahun mereka bisa berkembang dari tahun 2000 yang awalnya cuma 1 menjadi 18 Burjo di Salatiga. Ini berarti setiap tahunnya mereka bisa membuka satu warung Burjo. Dan menariknya adalah kesaling percayaan antara pemilik Burjo dengan karyawan benar-benar kelihatan, hal itu terlihat saat mereka sudah cukup modal untuk membangun Burjo yang baru, pemilik memberi kepercayaan kepada karyawannya untuk diberi tanggung jawab membuka Burjo baru dan karyawan ini yang akan menjadi pemilik (wawancara 3 Juli 2015). Dalam konteks inilah modal sosial sangat berhasil di mainkan oleh para pedagang Burjo, di mana trust menjadi sebuah asumsi dasar dalam menjalankan usaha mereka.

(4)

Hal ini juga sejalan dengan pendekatan yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim tentang apa yang disebut sebagai solidaritas mekanik yang diperdalam dengan pendekatan yang cukup kongkrit untuk menjelaskan tetang solidaritas yang terbangun antara sesama pedagang Burjo dan juga pelangganya, bagi Durkheim masyarakat berfungsi sebagai perekat hubungan yang saling menjalin, bekerja seperti “perekat social” berupa nilai-nilai, adat istiadat dan kepercayaan-kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif, hal ini jugalah yang disebut sebagai kesadaran kolektif karena menenempatkan individu pada kedudukanya (Richard Osborne & Borin Van Lonn 2005:44).

Sementara dalam perekrutan karyawan mereka selalu memilih orang-orang terdekat mereka, mulai dari keluarga, satu komunitas, satu wilayah, dan juga satu daerah yaitu dari Kuningan, Jawa Barat. Beberapa di antara pedagang Burjo mengatakan bahwa hal ini terjadi karena memang kami ingin membangun satu ciri khas dalam berdagang. Ciri khas yang dimaksudkan adalah dari ciri makanannya, dari penamaan usahanya dan juga dari pekerjanya sehinga ini benar-benar menjadi satu kebanggaan bagi kami orang Kuningan, Jawa Barat (wawancara 18 uni 2015).

Dari latar belakang masalah di atas maka penelitian diberi judul

“Peran Modal Sosial Terhadap Keberlangsungan Usaha Pedagang Burjo di Salatiga” 1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah, bagaimana peran modal sosial terhadap keberlangsungan usaha pedagang Burjo di Salatiga?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran modal sosial terhadap keberlangsungan usaha pedagang Burjo di Salatiga

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, dapat menambah khasanah dibidang ilmu sosial yaitu yaitu Pengembangan Masyarakat khususnya bagi para pedagang di Salatiga tentang

(5)

pemanfaatan modal sosial dalam menjalankan sebuah usaha dan perkonomian masyarakat. Selain itu juga penelitian ini bisa menjadi sebuah masukan terhadap pemerintah untuk mengupayakan agar dapat memberi masukan (informasi) terhadap usaha-usaha yang ada dalam masyarakat, yang juga bisa bersesuaian dengan budaya dan pengetahuan lokal masyarakat.

1.5. Batasan Penelitian

Pembahasan Batasan Masalah dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi pembahasan pada pokok permasalahan penelitian saja. Ruang lingkup menentukan konsep utama dari permasalahan sehingga masalah-masalah dalam penelitian dapat dimengerti dengan mudah dan baik. Batasan Masalah penelitian sangat penting dalam mendekatkan pada pokok permasalahan yang akan dibahas. Hal ini agar tidak terjadi kerancuan ataupun kesimpangsiuran dalam menginterpretasikan hasil penelitian. Ruang lingkup penelitian dimaksudkan sebagai penegasan mengenai batasan-batasan objek.

Agar penelitian ini terarah dalam melihat Keberlangsungan Usaha maka penelitian ini hanya fokus pada dimensi modal sosial yaitu Trust, Jaringan dan Norma. Sementara yang menjadi objek penelitiannya adalah keseluruhan pedagang Burjo dalam hal ini adalah pemilik, sebagai data pendukung maka peneliti juga melibatkan karyawan dan juga pembeli sebagai responden di Salatiga.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Data penelitian adalah data pemahaman konsep matematis dan data karakter siswa .Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh bahwa rata-rata pemahaman konsep matematis siswa,

Dengan menggunakan pernyataan seperti salah satu contoh diatas, Aristotle mengembangkan pola dari argumen yang valid dan yang tidak valid ( fallacy). Pertama, dia menetapkan

Hal ini yang menjadi latar belakang penulis melakukan penelitian yang penulis sajikan dalam skripsi ini yang berjudul “ Perancangan Sistem Database Dalam Mendukung Kinerja Layanan

Tabel 2, menunjukan bahwa pada saat populasi sel tumor jauh lebih kecil dari populasi sel kekebalan tu- buh maka dosis obat yang dibutuhkan dalam proses kemoterapi lebih

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari tes keterampilan teknik Dribbling dimana tesnya berupa menggiring bola pada tempat yang telah disediakan yang dilakukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Masalah utama yang akan dijawab dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah : Apakah penerapan Metode pembelajaran Make a Match (Menjodohkan) dan MediaKartundapat

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat