• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Subang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Subang"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambaran umum lokasi penelitian meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bogor. Deskripsi gambaran umum masing-masing kabupaten disajikan secara ringkas sebagai berikut.

Kabupaten Subang

Secara geografis Kabupaten Subang terletak dibagian utara Provinsi Jawa Barat, yaitu antara 107o31’ – 107o 54’ bagian timur, dan 6o 11’ – 6o 49’ lintang selatan. Batas wilayah sebagai berikut; sebelah selatan berbatasan dengan Kabuapten Bandung, sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramanyu dan Sumedang.

Dari segi administrasi pemerintahan, Kabupaten Subang meliputi 22 kecamatan dan 252 desa. Jarak dari ibukota provinsi 60 km dan ke ibukota negara 125 km. Dari segi pelayanan penyuluhan dan pelatihan pertanian dibagi ke dalam 22 Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian (UPPP) sesuai dengan jumlah kecamatan dan 175 Wilayah Binaan Khusus (Wilbinsus) dengan didukung kelompok tani hamparan sebanyak 1744 buah dan kelompoktani domisili sebanyak 749 buah, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 2493 kelompok.

Berdasarkan data Subang dalam angka tahun 2006, Kabupaten Subang berpenduduk 1.379.534 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 698.077 jiwa dan penduduk perempuan 681.407 jiwa. Tingkat pendidikan lebih kurang 60 % berpendidikan SD dan sisanya 40% berpendidikan SLTP sampai dengan Peguruan Tinggi.

Luas lahan pertanian tercatat seluas 205.176.95 ha, yang digunakan untuk lahan sawah seluas 84.701 ha dan lahan darat seluas 115.322 ha. Dari luas lahan sawah tersebut, hampir semuanya dapat ditanami sepanjang tahun, kecuali lahan tadah hujan dua kali panen tergantung dari iklim atau curah hujan. Lahan darat diperuntukan bagi tanaman perkebunan, peternakan dan perikanan.

(2)

Usahatani yang dilakukan baik oleh petani maupun Perusahaan Pertanian (BUMN/S) di Kabupaten Subang meliputi subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan. Produk utama pertanian adalah padi sawah, ikan, buah-buahan, sayuran dan ternak, dengan pusat pertumbuhan yang ada terutama Jakarta, Bekasi, Cirebon, Tangerang dan Serang.

Dari segi kebijakan pemerintah, secara pokok kebijakan program pembangunan pertanian di Kabupaten Subang adalah meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi pertanian dan mendorong terbukanya kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Sebaran ini tercermin dalam visi dan misi Kabupaten Subang untuk mewujudkan pertanian tangguh yang berwawasan agribisnis dan agrobisnis, agrowisata yang ramah lingkungan dengan penerapan teknologi lokal spesifik. Usaha-usaha yang dilakukan dalam sektor pertanian diarahkan pada program intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi pertanian dengan komoditas unggulan masing-masing subsektor yang dibiayai ole dana APBN dan APBD.

Kabupaten Sumedang

Kabupaten Sumedang merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan ketinggian tempat 25 – 1500 meter dpl, terletak diantara garis meridian 7o50’ bujur barat, 68o 45’ bujur timur, 1o23’ lintang selatan dan 1o43’ lintang utara, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Indramanyu dan Subang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Majalengka.

Dari segi administrasi pemerintahan, Kabupaten Sumedang meliputi 26 kecamatan, 262 desa dan 7 kelurahan. Dari segi pelayanan penyuluhan pertanian Kabupaten Sumedang dibagi kedalam 9 Unit Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang didukung oleh 1814 Kelompoktani, 307 Kelompok/regu Pengendali Hama, 376 Kelompok Petani Pemakai Air (P3A), 12 Kelompok Penangkar Benih dan 9 Kelompok Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA).

Jumlah penduduk Kabupaten Sumedang (Survei Sosial Ekonomi Daerah, 2006) sebanyak 1.091.647 orang terdiri dari 545.740 orang penduduk laki-laki

(3)

dan 545.934 orang penduduk perempuan, dengan rata-rata penduduk per km sebanyak 1073 orang. Mata pencaharian sebagian besar penduduk pada sektor pertanian dengan berbagai usahatani di bidang tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan.

Luas lahan di Kabupaten Sumedang sebesar 152.220 ha dengan berbagai jenis penggunaan. Untuk lahan sawah seluas 33.508 ha dan sisanya lahan darat. Dari luas lahan sawah tersebut, 22.986 ha ditanami padi sawah dua kali dalam setahun dan 10.522 ha ditanamai padi sawah satu kali dalam setahun. Lahan darat diperuntukkan pekarangan, tegalan, perkebunan, kolam, hutan rakyat dan negara serta penggunaan lainnya. Produksi utama pertanian adalah padi sawah, palawija seperti ubikayu, jagung, kacang tanah dan hijau, hortikultura seperti cabe, kacang merah, tomat dan mentimun, ternak seperti sapi potong, sapi perah, domba dan ayam buras, serta ikan.

Kabupaten Garut

Kabupaten Garut secara geografis terletak antara 6°56’ - 7°45’ lintang selatan dan 107°25’ - 108°7’ bujur timur, dengan batas wilayah sebagai berikut; sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Sumedang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur.

Dari segi administrasi pemerintahan, Kabupaten Garut terdiri dari 42 kecamatan dengan 424 desa atau kelurahan. Dari segi pelayanan penyuluhan Kabupaten Garut didukung oleh kelembagaan penyuluhan yang terdiri dari Kantor Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan Pangan berada di tingkat kabupaten yang melayani semua kegiatan penyuluhan. 42 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), 6 Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), 147 Pos Pelayanan Penyuluhan (Posyanluh), 1314 kelompok Tani Hamparan dan Domisili, 146 Kelompok Wanita Tani, 79 Kelompok Tarunatani, 240 Kelompok P3A Mitra Cai, 587 Kelompok Petani Kecil (KPK), 95 Gabungan Kelompok Tani, 14 Asosiasi Tani, 31 Kelompok Lumbung Pangan Masyarakat, 79

(4)

Kelompok Pelestarian Alam, 43 Kelompok KTNA kabupaten dan kecamatan, 34 Koperasi Tani Nelayan.

Berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk Kabupaten Garut tercatat sebanyak 2.239.091 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 730 orang/km2. Tingkat pendidikan masih didominasi tingginya jumlah lulusan SD/MT sebanyak 44%, tidak sekolah/belum lulus SD 27%, lulusan SLTP 17%, lulusan SLTA 11% dan Perguruan Tinggi 2%. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah usaha di bidang pertanian, industri dan jasa.

Luas lahan di Kabupaten Garut adalah 306.519 ha dengan berbagai jenis penggunaan. Untuk lahan sawah seluas 49.477 ha, lahan darat seluas 252.097 ha, perairan darat seluas 2038 ha dan penggunaan lahan lainnya seluas 2.907 ha. Porduksi komoditas penting di Kabupaten Garut adalah (1) pangan nabati meliputi padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan, (2) pangan hewani meliputi daging sapi, kerbau, kambing, ayam, telur dan susu. Produksi pertanian tersebut untuk pemenuhan pasar lokal dan untuk pemenuhan ibu kota Propinsi Jawa Barat.

Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor secara geografis terletak antara 6º10’ - 6º47’ Lintang Selatan dan 106º21’ - 107º13’ Bujur Timur, dengan batas wilayah; sebelah utara DKI Jakarta, Kabupaten Tanggerang, Bekasi dan Depok; sebelah timur Kabupaten Cianjur dan Karawang; sebelah barat Kabupaten Lebak; sebelah selatan Kabupaten Sukabumi dan sebelah tengah dengan kota Bogor.

Dari segi pemerintahan Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan, 425 desa dan 15 kelurahan. Dari segi pelayanan penyuluhan terdiri dari 12 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Penyuluhan, 8 UPTD Pos Kewan dan Penyuluhan Peternakan, 2125 Kelompoktani, 435 Kelompok Petani Kecil, 7 Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya, 207 Gabungan Kelompok Tani, 61 Koperasi Tani, 35 KTNA, 3 Ikamaja, 861 Kelompok Wanita Tani, 662 Kelompok Taruna Tani, 30 Unit Pemakai Jasa Alat Pertanian (UPJA), serta 1097 kelembagaan yang bergerak di bidang pertanian dan kehutanan.

(5)

Berdasarkan data Kabupaten Bogor dalam angka 2005, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebanyak 3.960.828 jiwa terdiri dari laki-laki 2.060.593 jiwa dan perempuan 1.900.235 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 845.300 KK. Tingkat pendidikan sebagian besar masih didominasi lulusan SD dan tidak bersekolah lagi serta sisanya lulusan SLTP, SLTA dan Peguruan Tinggi Mata pencaharian penduduk bervariasi mulai dari sektor pertanian, idustri, perrdagangan, komunikasi, jasa, kontruksi, keuangan, pertambangan, gas, listrik dan air minum.

Luas lahan Kabupaten Bogor adalah 317.102 ha dengan rincian untuk pertanian 149.503 ha, kehutanan 126.723 ha, perkebunan 31.100 ha, dan penggunaan lainnya 24.939 ha. Komoditas pertanian yang dihasilkan meliputi padi , jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran, buah-buahan, pala, cengkeh, kopi dan tanaman obat-obatan, serta peternakan seperti daging sapi, kambing, ayam dan telur. Pemasaran komoditas tersebut selain untuk konsumsi lokal terutama untuk dipasarkan ke wilayah Jakarta.

Gambaran Umum Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian

Gambaran umum penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian dilihat dari aspek sebaran jumlah penyuluh, ketidakseimbangan antara jumlah penyuluh dengan jumlah desa, pendidikan formal dan non formal penyuluh, jenis kelamin, jabatan fungsional dan bidang spesialisasi penyuluh disajikan pada Tabel 22-26.

Sebaran Jumlah Penyuluh

Sebaran jumlah penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 22.

Dari Tabel 22 terlihat bahwa jumlah penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian sebanyak 793 orang, dengan rincian 744 penyuluh berada di tingkat lapangan dan sebanyak 49 penyuluh berada di tingkat kabupaten. Kabupaten Garut dan Bogor memiliki jumlah penyuluh yang lebih banyak yaitu 221 dan 200 dibandingkan dengan Kabupaten Subang dan Sumedang masing masing 187 dan

(6)

Tabel 22. Sebaran Jumlah Penyuluh di Empat Kabupaten Penelitian

185 penyuluh. Kondisi ini dimungkinkan karena Kabupaten Garut dan Bogor memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah desa yang lebih banyak.

Ketidakseimbangan antara Jumlah Penyuluh dengan Jumlah Desa

Ketidakseimbangan antara jumlah penyuluh dengan jumlah desa disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Perbandingan antara Jumlah Penyuluh dengan Jumlah Desa Di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian

Kabupaten

Subang Sumedang Garut Bogor Uraian

Jml

(org) % (org) Jml % (org) Jml % (org) Jml %

Jml (org) % Jumlah desa (buah) 253 100 269 100 424 100 425 100 1371 100 Jumlah penyuluh tingkat lapangan 167 89 177 93 213 96 191 95 744 94 Kebutuhan penyuluh (orang) 86 34 96 36 211 50 234 55 627 46 Perbandingan jumlah penyuluh dengan desa 1:1.52 1:1.56 1:1.99 1:2.33 1:2.13

Dari Tabel 23 terlihat bahwa jumlah desa di empat kabupaten lokasi penelitian sebanyak 1371 desa, dan jumlah penyuluh di tingkat lapangan sebanyak 743 orang. Jika diasumsikan setiap penyuluh menangani satu desa, maka bisa

Kabupaten

Subang Sumedang Garut Bogor Uraian

Jml

(org) % (org) Jml % (org) Jml % (org) Jml %

Jml (org) % Penyuluh tingkat kabupaten 20 11 12 7 8 4 9 5 49 6 Penyuluh tingkat lapangan 154 82 143 77 191 87 176 87 664 84 Penyuluh bantu 13 7 30 16 22 9 15 8 80 10 Jumlah 187 100 185 100 221 100 200 100 793 100

(7)

diprediksikan di empat kabupaten lokasi penelitian masih membutuhkan 627 penyuluh (46 persen) atau dengan perbandingan 1 penyuluh : 2 desa.

Untuk Kabupaten Bogor dan Garut terjadi ketidakseimbangan antara jumlah penyuluh dengan jumlah desa yang cukup besar, masing-masing kabupaten masih membutuhkan 225 dan 203 penyuluh dibandingkan dengan Kabupaten Subang dan Sumedang yang masing-masing membutuhkan 96 dan 86 penyuluh. Kondisi ini dimungkinkan, karena Kabupaten Bogor dan Garut memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah desa yang lebih banyak yaitu masing-masing 425 dan 424 desa dibanding dengan Kabupaten Subang dan Sumedang masing-masing dengan jumlah 264 dan 225 desa.

Hasil wawancara dengan salah seorang penyuluh di Kabupaten Garut mengatakan bahwa wilayah kerja seorang penyuluh terlalu luas sehingga kadang tidak semua petani bisa terlayani oleh penyuluh. Lebih jauh dikemukakan bahwa untuk tahun ini sudah ada penambahan atau rekrutmen penyuluh bantu, tetapi jumlahnya masih jauh dengan kebutuhan yang ada, untuk Kabupaten Sumedang, Garut, Bogor dan Subang masing-masing adalah 30, 22, 15 dan 13 penyuluh bantu.

Sebaran Pendidikan Formal dan Non Formal Penyuluh

Pendidikan formal dan non formal penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 24.

Dari Tabel 24 terlihat bahwa sebanyak 253 penyuluh (96 persen) berpendidikan S1 atau D4 dan sisanya 11 penyuluh (4 persen) berpendidikan S2. Hal ini dimungkinkan karena responden dalam penelitian ini adalah penyuluh pertanian pegawai negeri sipil yang berpendidikan minimal S1 atau setara D4. Jika ditelusuri lebih jauh, terlihat bahwa penyuluh yang sejak masuk menjadi penyuluh berasal dari pendidikan S1 murni berjumlah sekitar 25 penyuluh, sisanya sebanyak 239 penyuluh berasal dari pendidikan S1 yang diperoleh melalui berbagai cara seperti pendidikan di STTP, sekolah jarak jauh, dan kuliah di perguruan tinggi swasta yang disesuaikan dengan waktu penyuluh.

(8)

Tabel 24. Jumlah Penyuluh Menurut Pendidikan Formal dan Non Formal di Empat Kabupaten lokasi Penelitian (n=264)*

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor No Uraian Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1 Pendidikan formal a. D4 /S1 80 99 35 97 80 96 58 91 253 96 b. S2 1 1 1 3 3 4 6 9 11 4 2 Pendidikan non formal a. Belum mengikuti penjenjangan 81 100 36 100 83 100 64 100 264 100 b. Belum mengikuti diklat alih fungsi 79 98 27 75 77 93 56 88 239 91 3 Rataan mengikuti pelatihan dalam 3 tahun terakhir (kali) 2 2 1 2 2

Keterangan: * Penyuluh Sarjana

Dari sisi pendidikan non formal sebanyak 264 orang belum mengikuti pelatihan penjenjangan, sebanyak 239 orang belum mengikuti diklat alih fungsi dan rataan mengikuti pelatihan dalam tiga tahun terakhir berkisar 1-2 kali. Dari jumlah 264 responden yang belum mengikuti diklat penjenjangan ini disebabkan pola diklat penjenjangan bagi penyuluh belum berjalan sebagaimana mestinya. Dari jumlah 239 responden yang belum mengikuti diklat alih fungsi ini disebabkan banyaknya penyuluh yang telah mengikuti pendidikan ke jenjang S1 atau D4 dan belum berjalannya diklat alih fungsi bagi penyuluh. Rendahnya responden mengikuti pelatihan dalam tiga tahun terakhir ini disebabkan jumlah pelatihan yang diseselenggarakan oleh lembaga/balai pelatihan belum sesuai dengan jumlah penyuluh yang ada.

Sebaran Jenis Kelamin Penyuluh

Sebaran jenis kelamin penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 25.

(9)

Tabel 25. Sebaran Jenis Kelamin Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)*

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor

Jumlah Jenis Kelamin Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Laki – laki 72 89 29 81 62 75 56 88 219 83 Perempuan 9 11 7 19 21 25 8 13 45 17 Total 81 100 36 100 83 100 64 100 264 100

Keterangan: * Penyuluh Sarjana

Dari Tabel 25 terlihat bahwa penyuluh laki-laki lebih banyak dari pada perempuan yaitu, sebanyak 219 orang (83 persen) dan perempuan 45 orang (17 persen) atau 5:1. Kondisi ini dimungkinkan karena pekerjaan sebagai penyuluh lebih banyak di lapangan, sehingga minat perempuan untuk menjadi penyuluh cenderung sedikit di banding laki-laki.

Sebaran Jabatan Fungsional Penyuluh

Sebaran jabatan fungsional penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26. Sebaran Jabatan Fungsional Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)* Kabupaten Subang (n=81) Sumedang (n=36) Garut (n=83) Bogor (n=64) Jumlah Jafung Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Penyuluh Penyelia 23 28 1 1 13 16 14 23 51 19 Penyuluh Pertama 17 21 8 22 17 20 10 16 52 20 Penyuluh Muda 30 37 18 50 31 37 32 48 111 42 Penyuluh Madya 11 14 9 25 22 27 8 13 50 19 Jumlah 81 100 36 100 83 100 64 100 264 100 Keterangan: * Penyuluh Sarjana

Dari Tabel 26 terlihat bahwa jabatan fungsional penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian yang paling banyak adalah jabatan fungsional penyuluh pertanian muda sebanyak 111 orang, diikuti jabatan fungsional penyuluh pertanian pertama, penyelia dan madya masing-masing 53 dan 50 orang.

(10)

Dari empat kabupaten yang ada, Kabupaten Garut memiliki jumlah jabatan fungsional penyuluh madya lebih besar yaitu 22 orang dibanding dengan Kabupaten Subang, Sumedang dan Bogor masing-masing 11, 9 dan 8 orang. Kondisi ini, jika dikaitkan dengan jenis kebutuhan pelatihan penjenjangan penyuluh, maka sebagian besar penyuluh masih membutuhkan pelatihan penjenjangan khususnya penjenjangan tingkat madya.

Sebaran Bidang Spesialisasi Penyuluh

Sebaran bidang spesialisasi penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27. Sebaran Bidang Spesialisasi Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)*

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor

Jumlah Bidang Spesialisasi Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Tanaman pangan 71 88 27 73 67 80 36 56 201 75 Peternakan 5 6 2 6 3 4 6 9 16 6 Perikanan 4 5 1 3 3 4 8 13 16 6 Perkebunan 1 1 2 6 7 8 7 11 17 6 Hortikultura 0 0 0 0 0 0 2 3 2 2 Agribisnis 0 0 0 0 0 0 1 2 1 1 Sosial ekonomi 0 0 4 11 3 4 4 6 11 4 Jumlah 81 100 36 100 83 100 64 100 264 100 Keterangan: * Penyuluh Sarjana

Dari Tabel 27 terlihat bahwa bidang spesialisasi tanaman pangan berjumlah 201 orang lebih banyak dibanding bidang spesialisasi perkebunan, peternakan, perikanan, sosial ekonomi, hortikultura dan agribisnis masing-masing berjumlah 17, 16, 16, 11, 2 dan 1 orang. Kondisi ini dimungkinkan karena di empat kabupaten lokasi penelitian komoditas padi dan palawija masih menjadi komoditas pangan prioritas, sehingga jumlah penyuluh bidang spesialisasi tanaman pangan lebih banyak dari pada bidang spesialisasi lainnya.

(11)

Pelatihan Penyuluhan yang Diselenggarakan Lembaga Diklat

Pelatihan penyuluhan yang diselenggarakan oleh lembaga diklat lingkup pertanian di Jawa Barat disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Jenis Pelatihan Penyuluhan yang Diselenggarakan Lembaga Diklat Tahun 2006

Jenis Perlatihan Jumlah Peserta (orang)

Lama

(hari) Penyelenggara

Sumber Dana (1) Diklat dasar penyuluh ahli

(2) Diklat multi media bagi penyuluh

(3) Agribisnis hortikultura (4) Pengembangan kelembagaan (5) Pasca panen hortikultura (6) Pengendalian penyakit ternak

40 30 30 30 30 30 14 12 7 7 7 7 PMPSDMP Ciawi sda BBDAH Kayu Ambon sda sda BBDAPKH Cinagara APBN sda sda sda sda sda Keterangan: PMPSDMP : Pusat Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian BBDAH : Balai Besar Diklat Agribisnis dan Hortikultura

BBDAPKH : Balai Besar Diklai Agribisnis Peternakan dan Kesehatan Hewan Dari Tabel 28 terlihat bahwa terdapat enam jenis pelatihan penyuluhan yang diselenggarakan oleh lembaga/balai pelatihan pada tahun 2006. Jumlah penyuluh yang dilatih selama setahun terakhir sebanyak 190 penyuluh, sedangkan jumlah penyuluh yang ada di empat kabupaten lokasi penelitian sebanyak 793 orang. Dari segi jumlah terlihat bahwa pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga/balai pelatihan kurang sebangding dengan jumlah penyuluh yang ada atau dalam setahun terakhir rata-rata penyuluh hanya mengikuti satu kali pelatihan atau bahkan tidak pernah sama sekali.

Dari jumlah hari yang disediakan untuk pelatihan rata-rata 7 hari atau 48 jam efektif berlatih (1 hari = 8 jam berlatih). Untuk jenis-jenis pelatihan tertentu seperti pengembangan kelembagaan dan pasca panen jumlah jam sebanding dengan materi, tetapi untuk jenis-jenis pelatihan seperti perencanaan parsitipatif, dasar penyuluhan dan manajemen agribisnis jumlah jam yang disediakan dirasakan kurang sebanding dengan bobot materi yang diberikan.

Dari aspek meteri yang dilatihkan terlihat ada ketidaksesuaian dengan kompetensi penyuluh seperti pelatihan dasar dan multi media. Kedua pelatihan ini kurang sejalan dengan peningkatan kompetensi penyuluh karena mereka yang

(12)

dilatih sudah berpengalaman cukup lama sehingga kurang sesuai lagi kalau mengikuti pelatihan dasar dan pelatihan multi media yang diberikan kurang sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada seperti penggunaaan dan pemanfaatan internet terkait dengan tugas-tugas penyuluh.

Lembaga/balai pelatihan yang ada, tidak hanya menyelenggarakan pelatihan untuk penyuluh tetapi juga pelatihan untuk petugas dan petani. Jumlah pelatihan untuk penyuluh jumlahnya kurang memadai dengan jumlah penyuluh yang ada. Hal ini dimungkinkan karena jenis pelatihan yang diselenggarakan bukan spesifik untuk penyuluh tetapi lebih berorientasi pada program-program pusat dan sesuai dengan spesifik lembaga/balai pelatihan yang ada.

Kecenderungan Kebutuhan Pelatihan bagi Penyuluh

Kecenderungan kebutuhan pelatihan penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29. Kecenderungan Kebutuhan Pelatihan Bagi Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Jenis Pelatihan Kecenderungan Kebutuhan Pelatihan Pelatihan

penjenjangan

(1) Penjenjangan tingkat madya (2) Penjenjangan tingkat muda Pelatihan manajemen (1) Manajemen agribisnis (off farm)

(2) Manajemen multimedia seperti penggunaan dan pemanfaatan internet terkait dengan tugas, penyusunan materi dalam bentuk seperti folder, brosur dan poster melalui media komputer. (3) Manajemen penyuluhan seperti PRA, problem

solving dan evaluasi dampak penyuluhan. (4) Kepemipinan, pengembangan kelompok (5) Kewirausahaan

Pelatihan teknis (1) Teknis tanaman pangan seperti PHT dan pasca panen

(2) Teknis perkebunan seperti pasca panen dan PHT (3) Teknis peternakan seperti pakan ternak, PHT dan

pasca panen

(4) Teknis perikanan seperti pembenihan, pasca panen dan PHT

(5) Teknis penulisan karya ilmiah bidang penyuluhan (6) Teknis fungsional seperti pelatihan alih fungsi dari

jabatan fungsional penyuluh trampil ke penyuluh ahli

(13)

Dari Tabel 29 terlihat bahwa untuk pelatihan penjenjangan sebagian besar penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian masih membutuhkan pelatihan penjenjangan tingkat madya dan muda. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar jabatan fungsional penyuluh adalah penyuluh pertanian muda (111 orang) yang akan naik ke jenjang penyuluh ahli madya dan sekitar 50 orang penyuluh pertanian madya juga belum mengikuti pelatihan penjejangan tingkat madya.

Dari jenis pelatihan manajemen, pelatihan yang dibutuhkan penyuluh meliputi manajemen agribisnis (off farm), manajemen multi media seperti penggunaan dan pemanfaaatan internet terkait dengan tugas penyuluh, pembuatan bahan publikasi dalam bentuk multi media dengan komputer, manajemen penyuluhan dan kewirausahaan. Kondisi ini dimungkinkan karena adanya tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang sehingga penyuluh perlu pelatihan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.

Dari aspek pelatihan teknis, untuk bidang tanaman pangan penyuluh masih membutuhkan pelatihan seperti PHT dan pasca panen. Untuk bidang perkebunan seperti pasca panen dan PHT. Untuk peternakan seperti pakan ternak, PHT dan pasca panen. Untuk bidang perikanan seperti pembenihan, pasca panen dan PHT.

Selain pelatihan teknis sesuai dengan bidang spesialisasinya, penyuluh juga memerlukan pelatihan teknis penulisan karya ilmiah bidang penyuluhan. Kondisi ini dimungkinkan karena disesuaikan dengan jabatan fungsional penyuluh (jabatan fungsional muda dan madya) dan tugas-tugas pokok yang harus dikerjakan. Pelatihan teknis fungsional seperti pelatihan alih fungsi dari jabatan fungsional Penyuluh Terampil ke Penyuluh Ahli juga masih dibutuhkan oleh penyuluh. Kondisi ini mengindikasikan bahwa banyak penyuluh yang sebelumnya penyuluh trampil karena adanya peningkatan pendidikan formal (S1) mereka menjadi Penyuluh Ahli, sedangkan persyaratan untuk menjadi Penyuluh Ahli dengan mengikuti pelatihan alih fungsi belum semua terpenuhi.

Sebaran Karakteristik Pribadi Penyuluh

Sebaran persentase dan rataan skor karakterisik pribadi penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian disajikan pada Tabel 30.

(14)

Tabel 30. Sebaran Persentase dan Rataan Skor Karakteristik Pribadi Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Kabutpaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor Karakteristik Pribadi Penyuluh Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an Skor ≤ 42 tahun 12 26 13 6 13 43-47 tahun 21 30 26 22 24 48-52 tahun 30 49 30 48 26 49 28 49 33 49 (X 1.1) Umur ≥ 53 tahun 29 14 28 20 24 ≤ 10 tahun 14 8 5 3 8 11-17 tahun 27 31 34 22 28 18-24 tahun 44 44 24 30 24 56 43 (X 1.2) Pengalaman Kerja ≥ 25 tahun 15 25 17 31 19 26 21 25 Sangat rendah 59 61 22 76 19 38 60 Rendah 27 27 33 12 26 41 23 27 Sedang 7 3 8 19 10 (X 1.3) Pendidikan non formal Tinggi 6 3 4 17 8 Sangat rendah 49 86 17 78 18 50 35 22 Rendah 38 27 8 17 40 26 20 Sedang 13 3 5 8 34 (X 1.4) Kekosmopolita n Tinggi 0 3 0 2 10 Sangat rendah 14 22 22 58 22 Rendah 69 43 56 43 61 43 31 29 51 40 Sedang 15 22 14 9 26 (X 1.5a) Motivasi Intrinsik Tinggi 2 0 2 2 2 Sangat rendah 2 6 2 6 4 Rendah 53 49 61 44 64 48 52 47 48 47 Sedang 43 33 30 39 46 (X 1.5b) Motivasi Ekstrinsik Tinggi 1 0 4 3 2 Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi Dari Tabel 30 terlihat bahwa 57 persen umur responden di empat kabupaten lokasi penelitian diatas 48 tahun dengan rataan umur 49 tahun. Hal ini bermakna bahwa umur responden di empat kabupaten lokasi penelitian terkait dengan tugas sebagai penyuluh relatif cukup tua. Jika dikaitkan dengan usia pensiun penyuluh yaitu 60 tahun, maka bisa diperkirakan mulai sekarang hingga 10 tahun ke depan jumlah responden akan berkurang sebanyak 57 persen. Kondisi ini perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk merekrut penyuluh baru sesuai dengan kebutuhan masing-masing kabupaten.

Pengalaman kerja penyuluh berbanding lurus dengan umur penyuluh, artinya semakin tua umur penyuluh pengalaman kerja semakin lama. Rata-rata 64 persen penyuluh memiliki pengalaman kerja di atas 18 tahun dengan rataan 25 tahun. Hal ini bermakna bahwa pengalaman kerja responden di empat kabupaten lokasi penelitian terkait dengan tugas sebagai penyuluh relatif lama.

(15)

Dari aspek kekosmopolitan terlihat bahwa rata-rata 55 persen penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian memiliki tingkat kekosmopolitan sangat rendah sampai rendah dengan rataan skor 22. Terdapat keragaman tingkat kekosmopolitan penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian. Kabupaten Subang dan Bogor memiliki tingkat kekosmopolitan yang lebih tinggi yaitu masing-masing 27 dan 26 (tergolong rendah) dibandingkan dengan Kabupaten Garut dan Sumedang masing-masing 18 dan 17 (tergolong sangat rendah). Perbedaan tingkat kekosmopolitan ini disebabkan penyuluh di Kabupaten Subang dan Bogor lebih sering berinteraksi dengan sumber-sumber IPTEK seperti lembaga penelitian dan lebih banyak memanfaatkan media massa yang ada dibanding dengan Kabupaten Garut dan Sumedang. Kondisi ini dimungkinkan karena Kabupaten Subang dan Bogor relatif lebih dekat dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi seperti Balai Penelitian Padi dan IPB, serta dekat dengan ibu kota negara sehingga memungkinkan penyuluh lebih mudah mengakses informasi untuk pengembangan penyuluhan dari pada Kabupaten Garut dan Sumedang.

Dari aspek pendidikan non formal, rata-rata 60 persen penyuluh memiliki tingkat pendidikan non formal sangat rendah dengan rataan skor 27. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penyuluh kurang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan dalam tiga tahun terakhir yang diselenggarakan oleh lembaga/balai pelatihan terkait dengan peningkatan kompetensi yang dibutuhkan. Terdapat keragaman tingkat pendidikan non formal penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian. Kabupaten Bogor dan Subang memiliki rataan skor tingkat pendidikan non formal yang lebih baik masing-masing 41 dan 27 dibanding dengan Kabupaten Garut dan Sumedang dengan masing-masing rataan skor 22 dan 19. Perbedaan pendidikan non formal ini disebabkan Kabupaten Bogor dan Subang lebih dekat dengan lembaga/ balai pelatihan seperti PPMKP Ciawi, BBDAPKH Cinagara, dan BBDAH Kayu Ambon Lembang, sehingga penyuluh lebih memungkinkan untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga/balai tersebut.

Dari aspek motivasi intrinsik, rata-rata 51 persen penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian memiliki tingkat motivasi intrinsik yang rendah

(16)

dengan rataan skor 40. Hal ini mengindikasikan bahwa dorongan dan keinginan dari dalam diri penyuluh untuk meningkatkan prestasi dan mempelajari hal-hal baru terkait dengan peningkatan kompetensi relatif adalah rendah. Tidak terdapat keragaman tingkat motivasi intrinsik penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong rendah).

Dari aspek motivasi ekstrinsik rata-rata 48 persen penyuluh memiliki tingkat motivasi ekstrinsik yang rendah dengan rataan skor 47. Hal ini mengindikasikan bahwa dorongan dari luar diri penyuluh terkait dengan peningkatan kompetensi penyuluh rendah yang ditunjukkan oleh lemahnya dukungan kelembagaan terhadap peningkatan kompetensi penyuluh, kurang ada kejelasan karir penyuluh, dan pekerjaan sebagai penyuluh kurang sejalan dengan imbalan yang diterima. Tidak terdapat keragaman tingkat motivasi ekstrinsik di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong rendah).

Sebaran Pendapat Penyuluh tentang Karakteristik Lingkungan

Sebaran pendapat dan rataan skor penyuluh tentang karakteristik lingkungan di empat kabupaten lokasi penelitian adalah rendah (Tabel 31)

Dari Tabel 31 terlihat bahwa rata-rata lebih 46 persen penyuluh menyatakan bahwa kebijakan Pemda terhadap penyelenggaraan penyuluhan kurang mendukung dengan rataan skor 41. Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen kebijakan Pemda terhadap pendanaan penyelenggaraan penyuluhan kurang memadai. Tidak terdapat keragaman kebijakan Pemda dalam penyelenggaraan penyuluhan di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong rendah).

Dari aspek struktur organisasi rata-rata 68 persen responden menyatakan struktur organisasi di empat kabupaten lokasi penelitian cukup kondusif dengan rataan skor 55. Hal ini bermakna bahwa di empat kabupaten lokasi penelitian peranan kelembagaan penyuluhan cukup kondusif dalam mendukung penyelenggaraan penyuluhan. Tidak terdapat keragaman struktur organisasi di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong cukup kondusif).

(17)

Tabel 31. Sebaran Pendapat dan Rataan Skor Penyuluh tentang Karakteristik Lingkungan di Empat Kabupaten Penelitian (n=264) Kabupaten Subang (n=81) Sumedang (n=36) Garut (n=83) Bogor (n=64) Peubah Karakteristik Lingkungan Penyuluh Kategori % RS % RS % RS % RS Rata- an (%) Rata-an Skor 46 (X 2.1) Kebijakan Pemda Tidak mendukung Kurang mendukung Cukup mendukung Mendukung 12 46 35 7 31 38 31 0 36 29 37 23 11 45 23 61 16 0 35 23 46 25 6 41 57 (X 2.2) Struktur Organisasi Tidak kondusif Kurang kondusif Cukup kondusif Kondusif 0 7 87 6 0 33 61 6 54 1 36 43 6 57 0 47 51 2 51 1 26 68 5 55 48 (X 2.3) Dukungan Teknologi Tidak mendukung Kurang mendukung Cukup mendukung Mendukung 1 41 49 9 11 56 33 0 43 10 46 28 16 45 9 33 52 6 46 7 43 42 9 46 43 42 (X 2.4) Dukungan sarana Tidak mendukung Kurang mendukung Cukup mendukung Mendukung 15 55 24 6 14 61 25 0 40 18 45 31 6 44 16 62 20 2 42 16 55 25 4 Tidak demokratis Kurang demokratis 49 44 48 43 46 Cukup demokratis X 2.5) Pola kepemimpinan Demokratis 4 56 33 7 14 25 50 11 6 35 43 16 5 56 33 6 6 45 39 10

Total rataan skor

49 43 49

43

46

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Dari aspek dukungan teknologi rata-rata 43 persen responden menyatakan dukungan teknologi yang ada dirasakan kurang mendukung dengan rataan skor 46. Hal ini bermakna bahwa ketersediaan dan keterjangkauan teknologi spesifik lokasi yang dibutuhkan penyuluh terkait dengan tugasnya di empat kabupaten lokasi penelitian masih terbatas. Tidak terdapat keragaman dukungan teknologi di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong kurang mendukung).

Dari aspek dukungan sarana, rata-rata 55 persen responden menyatakan dukungan sarana yang ada kurang memadai dengan rataan skor 42. Hal ini berarti bahwa ketersediaan sarana penyuluhan seperti transportasi, komunikasi, audio visual dan bahan-bahan publikasi kurang tersedia dan sulit dijangkau saat diperlukan oleh penyuluh. Tidak terdapat keragaman dukungan sarana penyuluhan di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong kurang mendukung).

Dari aspek pola kepemimpinan rata-rata 45 persen responden di empat kabupaten lokasi penelitian menyatakan bahwa pola kepemimpinan yang ada

(18)

kurang demokratis dengan rataan skor 46. Hal ini bermakna bahwa pola kepemimpinan yang ditunjukkan oleh pimpinan lembaga tempat bertugas penyuluh terkait dengan pengambilan keputusan kurang mempertimbangkan aspirasi penyuluh, dan distribusi pembagian kekuasaan dan kewenangan terhadap penyuluh belum merata. Tidak terdapat keragaman pola kepemimpinan di empat kabupaten lokasi penelitian semuanya tergolong kurang demokratis.

Pendapat Penyuluh tentang Efektivitas Pelatihan

Pendapat penyuluh tentang efektivitas pelatihan penyuluhan di empat kabupaten lokasi penelitian adalah rendah dengan rataan skor 46 (Tabel 32). Tabel 32. Sebaran Pendapat dan Rataan Skor Penyuluh tentang Efektivitas

Pelatihan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n-264)

Kabupaten Subang (n=81 Sumedang (n=36) Garut (n=83) Bogor (n=64) Peubah pelatihan Penyuluh Kategori % RS % RS % RS % R S Rata-an (%) Rata-an skor (X 3.1) Perencanaan pelatihan Tidak sesuai Kurang sesuai Cukup sesuai Sesuai 7 61 32 0 43 22 57 49 2 37 12 68 20 0 42 7 74 19 0 4 1 12 65 23 0 41 (X 3.2) Pelaksanaan pelatihan Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif 7 56 37 0 44 11 48 39 2 41 7 63 28 2 43 4 77 19 0 4 1 7 62 30 1 42 (X 3.3) Evaluasi pelatihan Tidak baik Kurang baik Cukup baik Baik 2 4 78 16 59 14 25 44 17 47 2 11 73 14 55 0 9 82 9 55 3 11 69 14 54

Total rataan skor 49 42 47 46 46

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Dari Tabel 32 terlihat bahwa dari aspek perencanaan pelatihan, rata-rata 65 persen responden menyatakan bahwa kurang ada kesesuaian perencanaan pelatihan dengan kebutuhan penyuluh. Hal ini ditunjukkan rata-rata lebih 54 persen respoden di empat kabupaten lokasi penelitian menyatakan bahwa kurang ada kesesuaian antara materi/kurikulum dengan kompetensi penyuluh, rata-rata lebih 49 persen responden menyatakan bobot materi yang disampaikan kurang sesuai atau sebanding dengan jumlah jam yang ada, rata-rata lebih 58 persen responden menyatakan bahwa frekuensi pelatihan yang dilaksanakan oleh

(19)

lembaga/balai pelatihan belum bisa diikuti oleh semua penyuluh (Lampiran 5).Tidak terdapat keragaman rataan skor perencanaan pelatihan di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong kurang sesuai).

Berikut pendapat salah seorang responden di Kabupaten Garut terkait dengan pelatihan penyuluhan:

Dari aspek pelaksanaan pelatihan, rata-rata 61 persen responden menyatakan bahwa pelatihan penyuluhan yang diselenggarakan lembaga/balai pelatihan kurang efektif. Hal ini ditunjukkan rata-rata 62 persen responden menyatakan materi yang disampaikan oleh widyaswara/fasilitator kurang bisa dipahami, rata-rata 60 persen responden menyatakan bahwa penerapan metode belajar kurang tepat (metode ceramah lebih mendominasi dibanding dengan diskusi dan praktek), rata-rata 54 persen responden menyatakan penggunaan alat bantu mengajar kurang tepat dan kurang bervariasi, rata-rata 56 persen responden menyatakan bahwa manfaat hasil belajar dirasakan masih kurang relevan dengan peningkatan kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja (Lampiran 5).

Terkait dengan hasil belajar, beberapa penyuluh menyatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan memang diakui ada peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, tetapi ketika hasilnya diaplikasikan di tempat tugas dirasakan kurang relevan, karena hasil belajar berbeda dengan program dinas/kantor lingkup pertanian di tingkat kabupaten sehingga setelah selesai mengikuti pelatihan dan kembali ke tempat tugas kurang mendapat dukungan dari kelembagaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dalam penyelenggaraan pelatihan kurang ada koordinasi antara lembaga/balai pelatihan dengan dinas/kantor lingkup pertanian di tingkat kabupaten yang menangani penyuluhan. Materi pelatihan cenderung disesuaikan dengan program-program pusat (top down) dan kurang didasarkan pada kebutuhan penyuluh di masing-masing tempat tugas (need asscessment). Tidak terdapat keragaman pendapat penyuluh tentang efektivitas pelaksanaan

. . . dalam beberapa tahun terakhir pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga/balai pelatihan sangat terbatas, sehingga belum semua penyuluh mendapat kesempatan mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan

kompetensinya. Kalaupun ada kesempatan pelatihan, kadang kurang terdistribusi kepada penyuluh secara merata khususnya yang ada di tingkat lapangan.

(20)

pelatihan penyuluhan di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong kurang efektif).

Dari aspek evaluasi pelatihan rata-rata 69 persen responden menyatakan bahwa evaluasi pelatihan relatif baik. Hal ini mengindikasikan bahwa penyelenggara pelatihan penyuluhan cukup konsisten dalam melakukan evaluasi awal, tengah dan akhir serta evaluasi penyelenggaraan pelatihan. Terdapat keragaman pendapat penyuluh tentang evaluasi pelatihan di empat kabupaten lokasi penelitian. Dari tiga kabupaten yang ada yaitu Kabupaten Bogor, Subang dan Garut rata-rata diatas 55 persen penyuluh menyatakan bahwa evaluasi pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga/balai pelatihan relatif baik, artinya penyelenggara pelatihan sudah melaksanakan evaluasi seperti evaluasi awal dan akhir serta evaluasi penyelenggaraan dibanding dengan Kabupaten Sumedang yang hanya 42 persen.

Dalam kaitannya dengan evaluasi pelatihan penyuluhan, berikut pendapat salah seorang respoden di Kabupaten Bogor;

Pendapat Penyuluh tentang Pengembangan Diri

Pendapat penyuluh tentang pengembangan diri di empat kabupaten lokasi penelitian adalah rendah dengan rataan skor 45 (Tabel 33).

Dari Tabel 33 terlihat bahwa 49 persen penyuluh menyatakan bahwa tingkat kemandirian belajar penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian cukup mandiri. Hal ini bermakna bahwa penyuluh sudah memiliki kemandirian belajar yang cukup mandiri tetapi belum didukung oleh sumber dan sarana belajar yang cukup tersedia, ketersediaan materi belajar yang belum sesuai dengan kebutuhan kompetensi penyuluh, interaksi penyuluh dengan sumber belajar masih rendah dan minat belajar penyuluh terkait dengan peningkatan kompetensinya masih relatih rendah. Terdapat keragaman kemandirian belajar penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian. Kabupaten Bogor memiliki tingkat kemandirian

. . . .walaupun evaluasi sudah dilaksanakan secara konsisten, hasil evaluasi belum ditindaklanjuti dengan baik oleh lembaga/balai pelatihan, sehingga pelatihan bagi penyuluh yang dilaksanakan dari tahun ke tahun masih berjalan kurang efektif.

(21)

belajar relatif baik dengan rataan skor 51 dibanding dengan Kabupaten Subang, Sumedang dan Garut dengan rataan skor masing-masing 49, 48, dan 45. Hal ini dimungkinkan karena Kabupaten Bogor lebih dekat dengan sumber-sumber IPTEK seperti lembaga penelitian dan IPB serta dekat dengan ibu kota negara, sehingga memudahkan penyuluh untuk mengakses informasi dibanding dengan Kabupaten Subang, Garut dan Sumedang.

Tabel 33. Pendapat Responden tentang Pengembangan Diri di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor Peubah Pengembangan Diri Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an skor Tidak mandiri 3 8 0 0 3 Kurang mandiri 59 33 42 42 44 Cukup mandiri 37 59 45 56 49 (X 4.1) Kemandirian Belajar Penyuluh Mandiri 1 48 0 49 13 45 2 51 4 48 Tidak berkembang 1 36 37 41 29 Kurang berkembang 59 39 44 46 47 Cukup berkembang 37 22 19 13 23 (X 4.2) Pengembangan Karir Penyuluh Berkembang 3 48 3 49 0 45 0 51 1 48

Total rataan skor 46 41 49 43 45

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi Dari aspek pengembangan karir terlihat bahwa lebih 47 persen penyuluh menyatakan bahwa tingkat pengembangan karir penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian kurang berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa penyuluh di empat kabpaten lokasi penelitian kurang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi dan mengikuti kegiatan seperti seminar, lokakarya dan pelatihan bidang penyuluhan, kurang ada kejelasan promosi karir dan sistem penghargaan penyuluh dirasakan kurang menarik. Tidak terdapat keragaman tingkat pengembangan karir penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong kurang berkembang).

Jenis-jenis Kompetensi yang Diperlukan Penyuluh

Kompetensi penyuluh merupakan kemampuan dan kewenangan bertindak penyuluh yang didasarkan pada pengetahuan, sikap dan ketrampilan untuk melaksanakan tugas-tugas pekerjaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan tugas

(22)

pokok penyuluh pertanian, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 19/KEP/MK.Waspan/5/ 1999, ada enam aspek kompetensi yang perlu dimiliki oleh penyuluh pertanian yaitu: (1) persiapan penyuluhan pertanian yang meliputi identifikasi potensi wilayah agroekosistem, penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja penyuluh pertanian, (2) pelaksanaan penyuluhan pertanian yang meliputi penyusunan materi penyuluhan pertanian, penerapan metode penyuluhan pertanian dan pengembangan keswadayaan masyarakat, (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan pertanian, (4) pengembangan penyuluhan pertanian yang meliputi penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyuluhan pertanian, perumusan kajian arah kebijaksanaan pengembangan pneyuluhan pertanian dan pengembangan metode dan sistem kerja penyuluhan pertanian, (5) pengembangan profesi penyuluhan pertanian yang meliputi penyusunan karya tulis ilmiah dan ilmiah populer bidang penyuluhan pertanian, penerjemahan atau penyaduran buku penyuluhan pertanian dan bimbingan penyuluh pertanian, dan (6) penunjang penyuluhan pertanian seperti seminar dan lokakarya penyuluhan pertanian.

Berdasarkan kebutuhan pembangunan masyarakat Sumardjo (2006:6) mengemukakan beberapa aspek kompetensi bagi penyuluh sarjana yaitu (1) pemetaan agroekosistem (agroecosystem mapping), (2) komunikasi organisasi (3) kemitraan (net working), (4) majanemen sistem agribisnis, (5) advokasi agribisnis, (6) manajemen kelembagaan kelompok/komunitas, (7) manajemen pelatihan, (8) prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, (9) metode pengembagan partisipasi (PRA), (10) metode dan tehnik berkomuniaksi efektif, (11) pengolahan dan analisis data agroekosistem, (12) Rapid Rural Appraisal (RRA), (13) metode dan tehnik penyuluhan, (14) prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, (15) perencanaan dan evaluasi penyuluhan, (16) teknologi informasi, (17) perancangan pesan multimedia, (18) penyusunan karya tulis ilmiah, (19) identifikasi kebutuhan, pengembangan motivasi dan kepemimpinan, dan (20) konsep-konsep pembangunan agropolitan.

Untuk menjawab perubahan lingkungan strategis dan tuntutan kebutuhan masyarakat, diperlukan adanya jenis-jenis kompetensi penyuluh dalam

(23)

pembangunan pertanian yang sesuai dengan perkembangan yang ada. Kompetensi penyuluh yang ada dirasakan kurang relevan lagi dengan tuntutan perubahan yang terus berkembang. Untuk itu perlu dirumuskan jenis kompetensi penyuluh yang sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada. Berdasarkan tugas-tugas pokok penyuluh, tuntutan kebutuhan masyarakat dan didukung oleh hasil-hasil penelitian terdahulu dan teori kompetensi, dalam penelitian ini dirumuskan sepuluh jenis kompetensi Penyuluh Sarjana dalam pembangunan pertanian (Tabel 1)

Tingkat Kompetensi Penyuluh

Tingkat kompetensi Penyuluh Sarjana dalam pembangunan pertanian di empat kabupaten lokasi penelitian adalah rendah (Tabel 34).

Tabel 34 terlihat bahwa kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian di empat kabupaten lokasi penelitian memiliki skor 50 atau berada pada kategori rendah pada interval 0–100. Gambaran kompetensi tersebut, sekaligus menjawab permasalahan pertama yaitu gambaran tingkat kompetensi Penyuluh Sarjana dalam pembangunan pertanian di Provinsi Jawa Barat. Dari sepuluh dimensi kompetensi Penyuluh Sarjana dalam pembangunan pertanian, ada lima dimensi kompetensi penyuluh sarjana yang berada pada kategori sangat rendah sampai rendah yaitu (1) Kemampuan penyuluh memanfaatan media internet rataan skor 15 persen (sangat rendah), kemampuan penyuluh membangun jejaring kerja rataan skor 39 persen (rendah), kemampuan penyuluh mengakses informasi rataan 44 persen (rendah), kemampuan penyuluh dalam penguasaan inovasi rataan 42 persen (rendah) dan kemampuan penyuluh menganalisis masalah.

(24)

Tabel 34. Rataan Tingkat Kompetensi Penyuluh dalam Pembangunan Pertanian di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Kabupaten No Kompetensi Dimensi Subang

(n = 81) Sumedang (n = 36) Garut (n = 83) Bogor (n = 64) Rataan (%) kompetensi Tingkat 1 Keefektifan komunikasi 64 64 63 65 64 Sedang 2 Pemanfaatan

media internet 17 12 15 17 15 Sangat rendah 3 Membangun

jejaring kerja 42 33 40 42 39 Rendah

4 Akses informasi 45 38 42 45 44 Rendah

5 Penguasaan

inovasi 43 42 42 42 42 Rendah

6 Kerja sama tim 69 69 66 68 68 Sedang

7 Analisis masalah 42 41 41 42 42 Rendah

8 Berpikir sistem 60 54 57 58 57 Sedang

9 Pemahaman

potensi wilayah 72 70 69 73 71 Sedang

10 Pemahaman

kebutuhan petani 59 54 58 59 61 Sedang Tingkat

Kompetensi 51 48 51 51 50 Rendah

Keterangan : 0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi Hasil uji beda rata – rata anova, tidak nyata pada α = 0.05

masalah rataan 42 persen (rendah). Sisanya yaitu kemampuan penyuluh berkomunikasi secara efektif, kemampuan penyuluh bekerjasama dalam tim,kemampuan penyuluh berpikir sistem, kemampuan penyuluh dalam pemahaman potensi wilayah dan kebutuhan petani masing-masing pada kategori sedang.

Rendahnya kelima dimensi kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian di empat kabupaten lokasi penelitian disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) pemanfaatan media internet, disebabkan kemampuan penyuluh dalam penggunaan dan pemanfaatan media internet masih rendah. Kondisi ini dimungkinkan karena terbatasnya sarana dan dana untuk penggunaan media internet serta di tempat tugas penyuluh media internet masih terbatas bahkan sulit dijangkau saat digunakan terkait dengan tugas sebagai penyuluh; (2) membangun jejaring kerja, disebabkan kemampuan penyuluh dalam berkomunikasi bisnis, bernegosiasi, dan membangun kesepakatan kerja sama dengan mitra kerja masih rendah; (3) akses informasi, disebabkan kemampuan penyuluh berinteraksi dengan sumber–sumber IPTEK seperti, lembaga penelitian dan perguruan tinggi serta akses informasi melalui media masih rendah; (4) penguasaan inovasi, kemampuan penyuluh dalam mendapatkan dan memanfaatkan teknologi spesifik

(25)

lokasi masih rendah seperti, belum banyak penyuluh yang melakukan pengujian dan pengkajian teknologi spesifik lokasi; dan (5) analisis masalah, disebabkan kemampuan penyuluh terkait dengan penetapan dan pemecahan masalah petani yang masih rendah. Kondisi ini bisa dimungkinkan karena sebagian besar responden berasal dari Penyuluh Trampil, yang selama ini dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada prosedur tetap. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa, banyak penyuluh telah mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi atau S1 dan jabatan penyuluh yang dulunya Penyuluh Trampil berubah menjadi Penyuluh Ahli yang menuntut kemampuan berpikir secara analitis dan metodologis. Selanjutnya, pembahasan masing-masing dimensi kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian dijelaskan secara ringkas pada uraian berikut.

Kompetensi Penyuluh Berkomunikasi Secara Efektif

Kompetensi penyuluh berkomunikasi secara efektif di empat kabupaten lokasi penelitian adalah sedang dengan rataan skor 64 (Tabel 35).

Tabel 35. Sebaran Kemampuan dan Rataan Skor Penyuluh Berkomunikasi Secara Efektif Ditinjau dari Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor Aspek Keefektifan Berkomunik asi Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an skor Sangat rendah 0 6 0 0 2 Rendah 4 8 3 3 4 Sedang 73 58 90 78 75 Pengetahuan Tinggi 23 68 28 65 7 64 19 68 19 66 Tidak positif 0 0 0 0 0 Kurang positif 5 8 3 2 5 Cukup positif 64 58 62 59 60 Sikap Positif 31 70 34 70 35 70 39 73 35 71 Sangat rendah 0 6 0 2 2 Rendah 35 25 8 34 26 Sedang 63 58 81 56 64 Keterampilan Tinggi 2 58 11 54 11 54 8 54 8 55

(26)

Dari Tabel 35 terlihat bahwa 75 persen kemampuan penyuluh berkomunikasi secara efektif untuk aspek pengetahuan tergolong sedang dengan rataan skor 66. Hal ini bermakna bahwa penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian memiliki pemahaman cukup baik dan hampir sama terkait dengan materi penyuluhan (content area) yang dibutuhkan petani dan program pembangunan pertanian seperti agribisnis dan ketahanan pangan serta pemahaman cara-cara penyampaiannya (process area). Tidak terdapat keragaman tingkat pengetahuan penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong sedang).

Dari aspek sikap, lebih 60 persen sikap penyuluh dalam berkomunikasi secara efektif tergolong cukup positif dengan rataan skor 71. Hal ini bermakna bahwa mereka cukup tanggap terhadap kebutuhan petani dan program-program pembangunan yang dicanangkan pihak pemerintah. Tidak terdapat keragaman sikap berkomunikasi secara efektif penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong cukup positif).

Dari aspek keterampilan, 64 persen penyuluh dalam berkomunikasi secara efektif tergolong sedang dengan rataan skor 55. Hal ini bermakna bahwa penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian relatif baik dalam menyiapkan dan menyajikan materi penyuluhan serta tidak mengalami kesulitan yang serius dalam penyampaian materi penyuluh kepada petani. Hal ini dimungkinkan karena penyuluh sudah memiliki pengalaman kerja yang cukup lama. Tidak terdapat keragaman kemampuan berkomunikasi secara efektif penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong sedang).

Temuan hasil penelitian ini, sejalan dengan konsep pelayanan jasa informasi yang dikemukakan oleh Slamet (2001), petani memerlukan informasi baru yang relevan dengan usahataninya. Untuk itu, penyuluh harus mampu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan informasi yang dibutuhkan dalam bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti petani. Dalam kaitannya dengan penyajian materi, perlu dikembangkan penyuluhan dengan model kafetaria, artinya penyuluh menyiapkan dan menyajikan berbagai materi penyuluhan dan petani memilih sesuai dengan kebutuhannya.

Hal senada, dikemukakan oleh Sumardjo (1999) bahwa selain pemahaman materi yang sesuai dengan kebutuhan petani (content area) penyuluh

(27)

perlu memiliki kemampuan berkomunikasi secara interaktif/dialogis dengan petani. Untuk itu, penyuluh perlu menguasai cara-cara berkomunikasi yang efektif dan metode-metode penyampaian pesan penyuluhan yang tepat kepada petani (process area).

Kompetensi Penyuluh Memanfaatkan Media Internet

Kompetensi penyuluh dalam memanfaatkan media internet di empat kabupaten lokasi penelitian sangat rendah dengan rataan skor 15 (Tabel 36).

Tabel 36. Sebaran dan Rataan Skor Kemampuan Penyuluh Memanfaatkan Media Internet Ditinjau dari Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi Dari Tabel 35 terlihat bahwa 73 persen tingkat pengetahuan pemanfaatan media internet penyuluh tergolong sangat rendah dengan rataan skor 16. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan penyuluh terkait dengan pemanfaatan media internet untuk pengembangan penyuluhan masih terbatas. Tidak terdapat keragaman tingkat pengetahuan penyuluh dalam pemanfaatan media internet di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong sangat rendah).

Dari aspek sikap memanfaatkan media internet, lebih 44 persen penyuluh bersikap kurang positif terhadap pemanfaatan media internet dengan rataan skor 25. Hal ini mengindikasikan bahwa penyuluh kurang tertarik mengikuti perkembangan teknologi informasi dan penggunaan/pemanfaatan media internet

Kabupaten Subang (n=81) Sumedang (n=36) Garut (n=83) Bogor (n=64) Aspek Pemanfaatan Media Internet Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an skor Sangat rendah 72 18 81 14 70 18 69 17 73 16 Rendah 14 11 23 23 45 Sedang 9 8 4 6 27 Pengetahuan Tinggi 6 0 4 2 3 Tidak positif 38 69 16 59 23 28 49 25 Kurang positif 56 30 19 33 67 31 44 Cukup positif 6 11 6 3 7 Sikap Positif 0 0 2 2 1 Sangat rendah 96 2 94 7 96 3 95 4 95 4 Rendah 2 0 1 3 2 Sedang 0 3 1 0 1 Keterampilan Tinggi 1 3 1 2 2

(28)

terkait dengan tugas-tugas penyuluh. Terdapat keragaman sikap penyuluh terhadap pemanfaatan media internet di empat kabupaten lokasi penelitian. Penyuluh Kabupaten Bogor dan Subang memilki pandangan yang lebih positif terhadap perkembangan teknologi informasi terkait tugas penyuluh dengan rataan skor 31 dan 30, dibanding dengan Kabupaten Garut dan Sumedang dengan rataan skor 23 dan 16. Hal ini dimungkinkan karena Kabupaten Bogor dan Subang lebih dekat dengan sumber-sumber informasi dan sarana multimedia lebih mudah dijangkau dibanding dengan Kabupaten Sumedang dan Garut.

Dari aspek keterampilan memanfaatkan media internet terlihat bahwa 95 persen kemampuan penyuluh menggunakan atau memanfaatkan media internet terkait dengan tugas-tugas sebagai penyuluh sangat rendah dengan rataan skor 4. Tidak terdapat keragaman kemampuan penggunaaan atau pemanfaatan media internet penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong sangat rendah). Rendahnya kemampuan penyuluh dalam menggunakan internet terkait dengan tugas-tugasnya, didukung oleh terbatasnya atau bahkan tidak ada sarana internet di tempat tugas, terbatasnya anggaran untuk menggunakan internet dan terbatasnya kemampuan penyuluh dalam menggunakan dan memanfaatkan media internet.

Temuan ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (2007) yang menyatakan bahwa penyuluh sudah memiliki kemampuan penggunaan media konvensional, tetapi pemanfaatan media internet terkait dengan tugas-tugas penyuluh dirasakan masih sangat rendah. Dengan demikian, untuk pengembangan penyuluhan, kemampuan penyuluh dalam menggunakan media internet perlu ditingkatkan.

Kompetensi Penyuluh Membangun Jejaring Kerja

Kompetensi penyuluh membangun jejaring kerja di empat kabupaten lokasi penelitian tergolong rendah dengan rataan skor 39 (Tabel 37).

(29)

Tabel 37 Sebaran dan Rataan Skor Kemampuan Penyuluh dalam Membangun Jejaring Kerja Ditinjau dari Aspek Pengetahuan, Sikap, dan

Keterampilan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Dari Tabel 37 terlihat bahwa 47 persen pengetahuan membangun jejaring kerja penyuluh tergolong sedang dengan rataan skor 55. Hal ini bermakna bahwa tingkat pengetahuan penyuluh tentang kemitraan usaha dan prinsip-prinsip kerjasama bisnis relatif baik. Terdapat keragaman tingkat pengetahuan penyuluh dalam membangun jejaring kerja di empat kabupaten lokasi penelitian. Kabupaten Garut, Bogor dan Subang memiliki tingkat pengetahuan membangun jejaring kerja yang relatif baik dengan rataan skor masing-masing 60, 57 dan 55 dibanding dengan Kabupaten Sumedang dengan rataan skor 40.

Dari aspek sikap, lebih 63 persen sikap penyuluh dalam membangun jejaring kerja di empat kabupaten lokasi penelitian tergolong kurang positif dengan rataan skor 44. Hal ini bermakna bahwa sikap penyuluh dalam menjalin hubungan bisnis seperti negosiasi/lobi-lobi dan membuat kesepakatan-kesapatan bisnis kurang positif.. Tidak terdapat keragaman sikap penyuluh dalam membangun jejaring kerja di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong rendah).

Dari aspek keterampilan, 79 persen kemampuan penyuluh dalam membangun jejaring kerja di empat kabupaten lokasi penelitian tergolong sangat rendah dengan rataan skor 18. Hal ini bermakna bawa dalam setahun terakhir penyuluh kurang membantu petani melakukan lobi-lobi/negosiasi dan membuat

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor Aspek Membangun Jejaring Kerja Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an skor Sangat rendah 6 17 1 3 7 Rendah 22 36 49 30 31 30 Sedang 72 55 33 29 60 52 57 47 55 Pengetahuan Tinggi 0 14 40 14 17 Tidak positif 11 22 5 3 10 Kurang positif 69 43 50 39 63 47 70 49 63 44 Cukup positif 20 22 20 19 20 Sikap Positif 0 6 12 8 7 Sangat rendah 62 94 11 89 13 72 20 79 18 Rendah 25 28 0 8 23 14 Sedang 7 3 0 3 3 Keterampilan Tinggi 6 3 2 2 3

(30)

kesepakatan-kepakatan bisnis petani dengan pihak luar. Tidak terdapat keragaman kemampuan penyuluh dalam membangun jejaring kerja di empat lokasi penelitian (tergolong sangat rendah).

Secara keseluruhan kemampuan penyuluh membangun jejaring kerja adalah rendah. Hasil temuan penelitian ini diperkuat dengan pendapat Slamet (2001) yang menyatakan bahwa dalam pembangunan pertanian berorientasi agribisnis, penyuluh pertanian perlu untuk merekontruksi dirinya kearah agribisnis. Kerja sama dengan koordinasi dengan badan-badan yang menangani produk-produk pengolahan dan pemasaran hasil serta pihak-pihak penyedia modal perlu dilakukan penyuluh untuk kepentingan bisnis petani. Dengan demikian, agar penyuluh bisa membantu bisnis petani dan melaksanakan program agribisnis dengan baik maka kemampuan penyuluh dalam membangun jejaring kerja atau menjalin kemitraan usaha perlu ditingkatkan. Karena alasannya pendapat mereka tentang membangun jejaring kerja sama masih rendah.

Kompetensi Penyuluh Mengakses Informasi

Kompetensi penyuluh mengakses informasi di empat kabupaten lokasi penelitian adalah rendah dengan rataan skor 44 (Tabel 38).

Tabel 38. Sebaran dan Rataan Skor Kemampuan Penyuluh Mengakses Informasi Ditinjau dari Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor Aspek Akses Informasi Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an skor Sangat rendah 9 39 4 5 14 Rendah 38 50 45 46 49 52 47 49 Sedang 53 53 11 48 44 51 39 Pengetahuan Tinggi 0 0 2 0 1 Tidak positif 7 22 7 69 26 Kurang positif 42 49 44 38 60 48 28 50 44 46 Cukup positif 49 33 29 19 33 Sikap Positif 1 0 4 0 1 Sangat rendah 31 39 65 22 39 Rendah 53 38 50 32 19 26 72 35 49 32 Sedang 9 11 12 5 9 Keterampilan Tinggi 7 0 4 2 3

(31)

Dari Tabel 38 terlihat bahwa lebih 47 persen tingkat pengetahuan mengakses informasi penyuluh tergolong rendah dengan rataan skor 49. Hal ini bermakna bahwa pengetahuan penyuluh tentang sumber-sumber informasi dan cara-cara mengakses informasi melalui sumber IPTEK seperti lembaga penelitian, perguruan tinggi dan mengakses melalui media internet untuk pengembangan penyuluhan masih rendah. Terdapat keragaman tingkat pengetahuan penyuluh dalam mengakses informasi di empat kabupaten lokasi penelitian. Penyuluh di Kabupaten Subang dan Bogor memiliki rataan skor tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu masing masing 53 dan 51 dibanding Kabupaten Garut dan Sumedang masing-masing rataan skor 49 dan 45. Hal ini dimungkinkan karena penyuluh di Kabupaten Subang dan Bogor lebih dekat dengan sumber-sumber informasi sehingga mereka relatif lebih mudah untuk mengakses informasi dari pada Kabupaten Garut dan Sumedang.

Dari aspek sikap, lebih 44 persen sikap penyuluh dalam mengakses informasi di empat kabupaten lokasi penelitian tergolong kurang positif dengan rataan skor 46. Hal ini bermakna bahwa sikap penyuluh kurang tertarik dalam mengikuti perkembangan informasi teknologi komunikasi dan sumber-sumber informasi terkait dengan pengembangan penyuluhan. Tidak terdapat keragaman sikap penyuluh dalam mengakses informasi di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong rendah).

Dari aspek keterampilan, lebih 49 persen keterampilan penyuluh dalam mengakses informasi di empat kabupaten lokasi penelitian tergolong rendah dengan rataan skor 32. Hal ini bermakna bahwa ketrampilan penyuluh dalam mendapatkan dan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber IPTEK seperti lembaga penelitian, peguruan tinggi dan sumber informasi melalui media internet untuk pengembangan penyuluhan masih rendah. Tidak terdapat keragaman keterampilan penyuluh di empat kabupaten lokasi penelitian (tergolong rendah).

Hasil temuan ini kurang diperkuat dengan konsep pelayanan jasa informasi yang dikemukakan Slamet (2001), petani memerlukan informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya seperti teknologi budidaya, sarana produksi dan permintaan pasar. Dengan mendapatkan informasi yang relevan dengan usahataninya, petani akan meningkat kemampuannya dan

(32)

kemungkinannya untuk membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dan tidak tergantung dengan orang lain. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan informasi petani diperlukan peningkatan kompetensi penyuluh mengakses dan memanfaatkan informasi.

Kompetensi Penyuluh dalam Penguasaan Inovasi

Kompetensi penyuluh dalam penguasaan inovasi di empat kabupaten lokasi penelitian adalah rendah dengan rataan skor 42 (Tabel 39)

Tabel 39 Sebaran dan Rataan Skor Kemampuan Penyuluh dalam Penguasaan Inovasi Ditinjau dari Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Ketrampilan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Dari Tabel 39 terlihat bahwa, 53 persen tingkat pengetahuan penguasaan inovasi penyuluh tergolong sedang dengan rataan skor 46. Hal ini bermakna bahwa tingkat pemahaman penyuluh tentang sifat-sifat inovasi dan inovasi yang sesuai dengan kondisi dan yang menguntungkan petani masih kurang. Terdapat keragaman tingkat pengetahuan penyuluh dalam penguasaan inovasi di empat kabupaten lokasi penelitian. Penyuluh di Kabupaten Bogor memilki tingkat pengetahuan yang relatif baik yaitu 52 dibanding dengan Kabupaten Garut, Subang dan Sumedang dengan rataan skor masing-masing 49, 48 dan 36. Kondisi ini dimungkinkan karena Kabupaten Bogor lebih dekat dengan sumber-sumber IPTEK seperti balai penelitian dan IPB. Dengan demikian, penyuluh yang ada

Kabupaten Subang (n=81) Sumedang (n=36) Garut (n=83) Bogor (n=64) Aspek Penguasaan Inovasi Kategori % RS % RS % RS % RS Rata-an (%) Rata-an skor Sangat rendah 2 42 12 9 16 Rendah 31 48 14 36 39 49 28 28 46 Sedang 57 44 49 63 52 53 Pengetahuan Tinggi 10 0 0 0 3 Tidak positif 0 8 6 0 4 Kurang positif 9 31 50 60 48 61 47 40 50 Cukup positif 43 55 61 34 38 44 Sikap Positif 48 0 0 2 13 Sangat rendah 22 19 46 36 31 Rendah 67 31 72 34 46 29 58 28 61 30 Sedang 7 6 7 6 7 Keterampilan Tinggi 4 3 1 0 2

(33)

lebih mudah berinteraksi dan mendapatkan inovasi dibanding dengan tiga kabupaten lainnya.

Dari aspek sikap, lebih 44 persen sikap penyuluh dalam penguasaan inovasi di empat kabupaten lokasi penelitian kurang positif dengan rataan skor 50. Hal ini bermakna bahwa penyuluh kurang tertarik atau tanggap terhadap perkembangan teknologi spesifik lokasi yang dibutuhkan petani. Terdapat keragaman sikap penyuluh dalam penguasaan inovasi spesifik lokasi/tepat guna di empat kabupaten lokasi penelitian. Penyuluh di Kabupaten Subang memiliki sikap cukup positif terhadap perkembangan inovasi dengan rataan skor 55 dibanding dengan Kabupaten Sumedang, Bogor dan Garut dengan rataan skor masing-masing 50, 48 dan 47. Kondisi ini dimungkinkan karena Kabupaten Subang memiliki komoditas unggulan yaitu padi, sehingga teknologi yang diutamakan lebih terkait dengan tanaman padi dan penyuluhnya dituntut untuk lebih menguasai teknologi yang diperlukan petani dibanding dengan kabupaten lainnya.

Dari aspek keterampilan, lebih 61 persen keterampilan penyuluh dalam penguasaan inovasi di empat kabupaten penelitian tergolong rendah dengan rataan skor 30. Hal ini bermakna bahwa keterampilan penyuluh dalam memanfaatkan inovasi terkait dengan pengembangan penyuluhan masih rendah. Tidak terdapat keragaman keterampilan penyuluh di empat kabupaten penelitian (tergolong rendah).

Secara keseluruhan total rataan skor kompetensi penyuluh dalam pemahaman inovasi dari aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan tergolong rendah. Rendahnya kemampuan penyuluh dalam penguasaan inovasi akan berimplikasi terhadap kebutuhan petani akan inovasi (teknologi baru) spesifik lokasi kurang bisa terpenuhi. Dengan demikian untuk peningkatan kinerja penyuluh diperlukan adanya peningkatan kompetensi penyuluh terkait dengan cara-cara mengakses dan memanfaatkan inovasi.

Berikut pendapat salah seorang kontaktani di Kabupaten Bogor terkait dengan teknologi yang diperlukan dalam usahataninya;

. . . .Untuk kondisi sekarang petani memerlukan bukan hanya teknologi budidaya tetapi lebih pada teknologi yang bisa memberikan nilai tambah dalam usaha tani seperti teknologi pasca panen dan bisnis pertanian. Materi penyuluhan perlu sejalan dengan kebutuhan teknologi petani.

(34)

Hasil temuan penelitian ini diperkuat pendapat Slamet (2001) yang mengemukakan bahwa teknologi yang dianjurkan pada petani haruslah teknologi yang telah diuji coba dan berhasil baik di daerah. Teknologi yang dikembangkan bukan terbatas pada aspek teknologi budidaya tetapi juga menyangkut aspek-aspek sosial, ekonomi, dan budaya pertanian setempat serta informasi pasar dan bisnis setempat.

Lebih jauh dikemukakan bahwa penyuluhan yang diselenggarakan untuk mendukung program pertanian (programme based extension) perlu diganti dengan penyuluhan yang dimaksud untuk memecahkan masalah dengan menggunakan hasil-hasil penelitian dan pengkajian lokal (research based extension). Untuk itu peran dan fungsi BPTP dalam mengembangkan teknologi spesifik lokasi perlu ditingkatkan, dan perlu adanya keterkaitan antara peneliti, penyuluh dan petani

(research extension lingkage)

Kompetensi Penyuluh Bekerjasama dalam Tim

Kompetensi penyuluh bekerjasama dalam tim di empat kabupaten lokasi penelitian adalah sedang dengan rataan skor 68 (Tabel 40).

Tabel 40 Sebaran dan Rataan Skor Kemampuan Penyuluh Bekerja Sama dalam Tim Ditinjau dari Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian (n=264)

Keterangan : RS = Rataan Skor

0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi

Dari Tabel 39 terlihat bahwa, 59 persen tingkat pengetahuan bekerjasama dalam tim penyuluh tergolong sedang dengan rataan skor 61. Hal ini bermakna

Kabupaten Subang

(n=81) Sumedang (n=36) (n=83) Garut (n=64) Bogor Aspek Bekerjasama dalam Tim Kategori % RS % RS % RS % RS Rata- an (%) Rata- an skor Sangat rendah 4 8 4 2 5 Rendah 20 19 22 30 23 Sedang 62 63 56 63 60 60 59 61 59 61 Pengetahuan Tinggi 15 17 13 9 14 Tidak positif 2 3 1 2 2 Kurang positif 7 8 5 8 7 Cukup positif 48 69 50 69 58 65 59 66 54 67 Sikap Positif 42 39 36 31 37 Sangat rendah 0 0 0 0 0 Rendah 2 3 2 3 3 Sedang 44 75 47 69 42 73 34 75 42 73 Keterampilan Tinggi 53 50 55 63 55

Gambar

Tabel 22. Sebaran Jumlah Penyuluh di Empat Kabupaten Penelitian
Tabel 24.  Jumlah Penyuluh Menurut Pendidikan Formal dan Non Formal             di Empat Kabupaten lokasi Penelitian (n=264)*
Tabel 25.  Sebaran Jenis Kelamin Penyuluh di Empat Kabupaten Lokasi   Penelitian (n=264)*  Kabupaten  Subang  (n=81)  Sumedang (n=36)  Garut  (n=83)  Bogor  (n=64)  Jumlah  Jenis Kelamin  Jml   %  Jml   %  Jml   %  Jml   %  Jml   %  Laki – laki  72  89  29
Tabel 31.    Sebaran Pendapat dan Rataan Skor Penyuluh tentang  Karakteristik Lingkungan di Empat Kabupaten Penelitian  (n=264)  Kabupaten  Subang  (n=81)  Sumedang (n=36)  Garut  (n=83)  Bogor  (n=64) Peubah  Karakteristik Lingkungan  Penyuluh  Kategori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) Mengetahui hasil evaluasi kepuasan antarmuka aplikasi Driver Mangjek sebelum dilakukan perbaikan antarmuka;

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, Penulis tertarik untuk menganalisis dan mengkaji lebih dalam mengenai penjatuhan pidana minimum khusus yang memberi efek jera

Sehingga Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah mengoptimalkan tingkat kebermanfaatan dari laporan transaksi penjualan yang ada di foodcourt POLSRI dan mengekstraksi data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan penelitian, maka penelitian tersebut dilakukan di Kepolisian Resor Kota Pekanbaru, dimana penyelidikan terhadap

Untuk itu diperlukan pengembangan pada sistem tersebut seperti menambahkan menu peminjaman dan pengembalian peralatan praktek, menu peminjaman peralatan praktek oleh

Kemudian, hal yang perlu menjadi perhatian dalam penerapan Knowledge Management adalah kesiapan sumber daya manusian dalam menggunakan dan memanfaatkan Knowledge Management,

Meskipun kondisi lain menyebabkan pasien mengalami trombosis vena dan arteri (misalnya trombositopenia yang diinduksi oleh heparin, homosisteinemia,