6
II. TinjauanPustaka
A. Definisi SasiSasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner 1992), sedangkan menurut Kissya (1993) sasi adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.
“Sasi regulations prohibit the premature harvesting
of forest and marine products, but are also applied on social behavior” (Kissya, 1994; Zerner 1994;
Benda-Beckmann, et al. 1995; Nikijuluw, 1995; Mantjoro, 1996). Sasi mengacu pada sistem tradisional pengelolaan sumber daya alam dan termasuk larangan pada panen sumber daya di darat dan di laut. Sasi laut (marine sasi) menjelaskan spesifik aturan dan peraturan yang mengatur akses ke daerah perikanan,
7
alat tangkap, spesies target, dan waktu dan lokasi panen. Menurut Pasalbessy dan Tjiptabudy hukum sasi laut yaitu: Seperangkat sistem hukum yang memuat aturan-aturan hukum mengenai tata cara pengelolaan dan pemanfaatan fungsi lingkungan laut dan pesisir bagi kepentingan anak-anak negeri atau masyarakat adat pesisir beserta kelembagaan hukum yang mendukungnya.
Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun, 2006). Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat. Menurut Pattinama dan Pattipelohy (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat yang memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut adalah; (a) penggunaan hak
8
ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam
demi peningkatan kesejahteraan bersama; (d)
kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan (e) mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.
B. Sejarah Sasi
Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala (sejak nenek moyang) dan merupakan komitmen bersama antara tokoh adat dan tokoh masyarakat. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal dengan “Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama dan Pattipelohy, 2003).
Sasi merupakan suatu larangan untuk
mengambil atau merusak sumberdaya alam tertentu untuk jangka waktu tertentu pula demi menjaga kelestarian hasil. Aturan pada sasi yaitu tanaman
9
hanya dapat dipanen atau diambil hasilnya pada waktu yang ditentukan. Biasanya waktu sasi berkisar 3 sampai 6 bulan sesuai jenisnya. Sasi awalnya dikenal dengan Sasi Negeri, karena pengaturannya diserahkan pada negeri. Cara pelaksanaannya adalah para tua-tua adat berkumpul dan menjalankan ritual adatnya terhadap tanaman yang disasi. Sedangkan sasi yang dilakukan dewasa ini dikenal dengan Sasi Gereja, karena pengaturannya diserahkan kepada gereja. Cara pelaksanaannya adalah tanaman yang akan disasi didoakan di dalam gereja (Lelloltery, et al., 2013).
Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di
pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara
kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dan pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarka dunia spiritual dan sanksi masyarakat (Lakollo, 1998).
Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga
10
memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut; Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia; Ketiga, ketentuan sasi ini ditentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya, 1993).
Kondisi tangkap-lebih, praktek perikanan yang bersifat merusak dan pengembangan kawasan pesisir yang terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir berkontribusi terhadap penurunan kualitas terumbu karang dan populasi ikan. Populasi jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis penting telah sangat berkurang di beberapa lokasi, dan kerusakan habitat akibat penangkapan dengan menggunakan bahan peledak menyebabkan pemulihan habitat sulit dilakukan dan memakan waktu yang lama. Dengan demikian konservasi berbasis kearifan lokal seperti sasi sangat
penting diterapkan demi menjaga kelestarian
sumberdaya alam di bumi Raja Ampat.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk konservasi kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat Raja Ampat, serta untuk mengetahui
11
peranan sasi sebagai konservasi kearifan lokal terhadap lingkungan di Kabupaten Raja Ampat.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang upaya perlindungan dan pelestarian berbasis kearifan lokal
serta memperoleh informasi tentang peranan
konservasi kearifan lokal terhadap lingkungan.
C. Sasi sebagai Pengelolaan Tradisional Sumber Daya Alam
Kearifan tradisional merupakan salah satu budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan. Subak di Bali dan Sasi di Maluku merupakan contoh kearifan tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu
memelihara sumberdaya alam sehingga dapat
memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat secara berkelanjutan (Pawarti et al. 2012). Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan lokal sangat menguntungkan karena secara langsung ataupun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara
12
lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan (Lampe, 2006 dalam Pawarti et al., 2012).
Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal telah dikenal membudaya dan dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun. Masyarakat Maluku secara tradisional memiliki berbagai cara pengelolaan lingkungan hidup dalam mengantisipasi penurunan kualitas sumberdaya alam. Bentuk pengelolaan tersebut merupakan suatu kekuatan yang dapat diandalkan dan berkesinambungan dalam memberikan perlindungan bagi keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna, memberikan produktivitas secara berkelanjutan, dan melibatkan peran serta masyarakat yang menjadi pelaku dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga dan memperkuat pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional. Bentuk-bentuk konservasi tradisional yang dilakukan di antaranya: Sasi, Salele,
Krois, Tempat Pamali, Negeri Lama serta pola
pengelolaan lahan yang dikenal dengan Dusung (Lelloltery et al., 2007).
Menurut Kissya (1993), sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tatakrama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil
13
sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat.
Jika kita bandingkan praktek sasi dengan pengelolaan sumberdaya laut modern, maka sasi merupakan kombinasi dari seasonal prohibition, limiting
entry (pembatasan jumlah nelayan atau unit teknologi
penangkapan), gear restriction (larangan terhadap jenis teknologi penangkapan tertentu) dan quota (batasan terhadap jumlah hasil tangkapan). Keseluruhan aturan-aturan tersebut biasanya diadakan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya laut
sedemikian rupa sehingga sustainability dari
sumberdaya bisa dipertahankan. Namun demikian, dalam praktek-praktek pengelolaan modern, seringkali aturan-aturan tersebut diciptakan, diaplikasikan dan dievaluasi oleh pemerintah saja tanpa melibatkan
stakeholder lain. Aplikasi aturan-aturan tersebut
seringkali mengalami berbagai masalah baik karena
keterbatasan pemerintah untuk membuat dan
mengawasi implementasinya, maupun karena resistensi dari stakeholder lain (Adhuri, 2002).