• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS LAMPU TABUNG PADA PERIKANAN BAGAN HENDRAWAN SYAFRIE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS LAMPU TABUNG PADA PERIKANAN BAGAN HENDRAWAN SYAFRIE"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

HENDRAWAN SYAFRIE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Efektivitas Lampu Tabung

Pada Perikanan Bagan adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Hendrawan Syafrie NRP. C451080081

(3)

MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR

The objective of this research was to determine the effectiveness of tubular lamp construction to attract organisms in floating bamboo lift net and the best time interval to operate floating bamboo lift net. Lamp construction consisted of standard lamp, lamp with reflector, underwater lamp, and surface lamp without reflector as control. The research was started while floating lift net using lamps without reflector at 07.00 pm to 10.00 pm; the lamp with reflector between 10.00 pm to 01.00 am; and underwater lamp between 01.00 am to 04.00 am. The lamp operation series was changed at each floating bamboo lift net operation. Every lamp construction was operated 1-3 times in a time interval. Collected data were light illumination of each lamp construction in water, and weight and species composition of caught organisms. Data were showed on tables and graphs. Data analysis used descriptive comparative methods. The result of this research indicated that tubular lamp construction with reflector and underwater lamp had the best distribution light on floating bamboo lift net operation. Light penetration of both lamps were about 9 and 10 m, respectively. The standard tubular lamp spread in all direction with maximum light penetration of 6 m. Time interval between 07.00 pm to 10.00 pm and 01.00 am to 04.00 am were the effective time to catch organisms. Both time intervals produced 119.8 kg and 125.2 kg. While, time interval between 10.00 pm to 01.00 am was only 41.3 kg. The organisms that was caught by floating bamboo lift net consisted of 4 positive phototaxis organisms and 4 predator organisms. The positive phototaxis organisms were mackerel, indian mackerel, anchovy, and trasi shrimp. While the predator were hairtails, silver pomfret, cuttlefish, and little tuna. Lift net with underwater lamp caught heavier organisms than those tubular lamp with reflector and standard lamp, i.e. 151,7 kg, 95,9 kg and 65,6 kg in weight.

Keyword: Effectiveness, tubular lamp, floating bamboo lift net,and palabuhanratu waters

(4)

Bagan apung merupakan alat tangkap yang banyak dioperasikan oleh nelayan Palabuhanratu. Alat tangkap ini dioperasikan pada malam hari. Tujuan penangkapannya adalah jenis-jenis ikan yang bersifat fototaksis positif, atau tertarik pada cahaya. Lampu digunakan sebagai alat bantu untuk menarik ikan fototaksis positif datang mendekati bagan.

Terdapat berbagai jenis lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan dengan bagan. Salah satunya adalah petromaks yang awalnya sangat populer. Seiring dengan dicabutnya subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak tanah pada tahun 2010 yang menjadikan harganya mahal dan langka, nelayan terpaksa beralih memakai lampu tabung (TL = tubular lamp). Sebagai sumber listrik untuk menghidupkan lampu digunakan generator berbahan bakar bensin.

Cara pengoperasian lampu tabung masih belum dipahami oleh nelayan. Berdasarkan pengamatan langsung di lapang, nelayan mengoperasikan lampu dengan cara digantung di bawah bagan. Cara seperti ini mengakibatkan pemanfaatan cahaya lampu tidak maksimal, karena hanya sebagian kecil cahaya yang masuk kedalam perairan. Nelayan terkadang menggunakan loyang, baskom dan ember sebagai tudung lampu untuk memusatkan cahaya lampu kedalam air. Cara inipun belum memberikan hasil maksimal, karena sebagian cahaya akan terserap oleh dinding tudung dan hanya sebagian kecil cahaya yang masuk kedalam air. Pembuatan tudung seharusnya melalui perhitungan. Tudung juga harus difungsikan sebagai reflektor untuk memperkuat cahaya yang masuk kedalam air.

Keberhasilan penangkapan ikan dengan bagan salahsatunya sangat tergantung pada pemanfaatan seluruh cahaya yang terpancar dari lampu. Dalam penelitian ini, cara pemanfaatannya dilakukan dengan menenggelamkan lampu ke dalam air dan pemasangan reflektor agar cahaya lampu terpusat ke air. Cat berwarna perak digunakan sebagai pelapis reflektor.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konstruksi lampu tabung yang efektif untuk mengumpulkan ikan pada bagan. Konstruksi lampu berupa lampu standar, lampu bereflektor dan lampu dalam air. Reflektor dan lampu dalam air dirancang berdasarkan arah sebaran cahaya lampu tabung.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu perancangan konstruksi lampu dan ujicoba lapang. Metode penelitiannya adalah experimental fishing, yaitu melakukan penangkapan ikan langsung di laut. Ujicoba dilakukan dengan mengoperasikan lampu standar antara jam 19.00-22.00 ; lampu bereflektor antara 22.00-01.00 ; dan lampu dalam air antara 01.00-04.00 WIB. Urutan pengoperasian lampu diubah pada setiap pengoperasian bagan. Setiap konstruksi lampu dioperasikan 1-3 kali dalam satu selang waktu. Data yang dikumpulkan berupa iluminasi cahaya setiap konstruksi lampu dalam air, komposisi jenis dan berat hasil tangkapan. Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisa data menggunakan metode deskriptif komparatif.

(5)

kedalaman penetrasi maksimal cahaya hanya mencapai 6 m.

Komposisi jenis tangkapan terdiri atas 4 organisme fototaksis positif dan 4 predator. Organisme fototaksis positif terdiri atas : tembang, kembung, teri, dan rebon. Adapun 4 jenis predator terdiri atas : layur, bawal, cumi dan tongkol. Hasil tangkapan terberat dihasilkan oleh bagan yang menggunakan lampu dalam air seberat 151,7 kg. Adapun lampu bereflektor dan lampu tabung standar, masing-masing menghasilkan tangkapan seberat 95,9 kg dan 65,6 kg.

(6)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

HENDRAWAN SYAFRIE

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)
(9)

Program Studi : Teknologi Perikanan Tangkap

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr. NIP. 19620303 198803 1 001 NIP. 19650814 199002 1 001

Tanggal Ujian : 13 Januari 2012 Tanggal Lulus :

(10)

sehingga penelitian yang berjudul “Efektivitas Lampu Tabung pada Perikanan

Bagan” dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat terselenggara atas bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kesempatan, kearifan, kebijakan dan kebaikan beliau mengarahkan penelitian penulis hingga selesai ;

2. Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesempatan, kebaikan dan perhatian beliau dalam mengevaluasi penelitian penulis hingga selesai ;

3. Keluarga tercinta di Bau-Bau atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis ;

4. Teman-teman TPT dan SPT 2008 Hasfiandi, Hamba Ainul Mubarok, Nona Tahapary, Esa Divinubun, Adi Susanto, Syamsul Marlin Amir, Irawan Alham, Gufran, Irfan Yulianto, M. Syahrir, atas kebersamaanya selama kuliah ;

5. Teman-teman laboratorium TAP Didin, Bang Ucha, Nela, Rohana, berkat bantuannya selama penelitian dan penulisan ;

6. Keluarga Bapak Wahyu sekeluarga dan ABK Kapal Bagan 3 yang telah membantu selama penelitian ;

7. Teman-teman dan pihak lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala doa dan bantuannya.

Kesempurnaan merupakan hal yang amat didambakan, namun tidaklah mungkin dapat tercapai karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, karena itu adanya saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini akan diterima dengan senang hati. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan semoga Allah SWT, meridhoi setiap usaha yang dilakukan. Amin.

Bogor, Februari 2012 Penulis

(11)

pada tanggal 26 April 1986 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Syafrie,SE dan Ibu Hasniah Nusuha, S.Pd.

Tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) diterima di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tahun 2008 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sewaktu kuliah penulis pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta PT Exsamap Asia dan menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan.

(12)

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar belakang... 1 1.2 Perumusan masalah... 2 1.2 Tujuan penelitian... 3 1.3 Manfaat penelitian... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA... 5 2.1 Bagan... 5 2.1.1 Konstruksi... 6 2.1.2 Lampu bagan... 7 2.2 Cahaya... 10

2.3 Reaksi ikan terhadap cahaya... 11

2.4 Hasil tangkapan bagan... 13

2.4.1 Teri... 13

2.4.2 Tembang... 14

2.4.3 Cumi-cumi... 15

2.4.4 Pepetek... 16

2.4.5 Kembung... 17

3. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN... 19

4. METODE PENELITIAN... 21

4.1 Waktu dan tempat... 21

4.2 Alat dan bahan... 21

4.3 Metode pengambilan data... 21

4.5 Analisa data... 28

5. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

5.1 Iluminasi cahaya... 31

5.1.1 Medium udara... 31

5.1.2 Medium air... 36

5.2 Komposisi hasil tangkapan... 41

5.2.1 Berdasarkan jenis ikan... 41

5.2.2 Berdasarkan waktu hauling... 47

5.2.3 Berdasarkan jenis lampu... 50

(13)
(14)

1. Iluminasi cahaya lampu tabung pada berbagai sudut pengukuran... 32

2. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada berbagai sudut pengukuran... 33

3. Iluminasi cahaya lampu dalam air pada berbagai sudut pengukuran ... 35

4. Iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air... 37

5. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada medium air... 38

(15)

1. Bagan apung dan bagian-bagiannya... 7

2. Ilustrasi posisi lampu pada alat tangkap bagan... 10

3. Ikan teri... 13

4. Ikan tembang... 15

5. Cumi-cumi... 16

6. Ikan pepetek... 17

7. Ikan kembung... 18

8. Posisi pengukuran intensitas cahaya dengan luxmeter ... 22

9. Konstruksi dan dimensi reflektor... 23

10. Konstruksi dan dimensi lampu bawah air... 24

11. Posisi pengukuran intensitas lampu secara horizontal... 25

12. Posisi pengukuran intensitas lampu secara vertikal... 26

13. Posisi pemasangan ketiga jenis lampu (tampak depan)... 27

14. Iluminasi cahaya lampu tabung pada medium udara... 32

15. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada medium udara... 34

16. Iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium udara... 35

17. Iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air... 37

18. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada medium air... 39

19. Iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium air... 40

20. Komposisi berat hasil tangkapan bagan berdasarkan jenis organisme... 42

21. Komposisi berat tangkapan berdasarkan jenis ikan per lampu... 45

22. Komposisi berat hasil tangkapan terhadap jenis ikan per hauling... 46

23. Total tangkapan per hauling... 48

24. Perbandingan hasil tangkapan dengan lampu per hauling... 50

(16)

1. Gambar jenis ikan hasil tangkapan bagan... 59

2. Peta lokasi penelitian... 62

3. Data iluminasi lampu di medium air... 63

4. Data iluminasi lampu... 65

5. Analisis data... 67

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia perikanan Indonesia mengenal berbagai jenis alat tangkap. Subani dan Barus (1988) mengelompokkannya ke dalam 10 jenis, yaitu pukat tarik (trawl), pukat kantong lingkar (bag seine nets), pukat cincin (purse seine), perangkap dan penghadang (trap and guiding barrier), jaring angkat (lift nets), alat penangkap dengan penggiring (drive in nets), pancing (hook and line), jaring insang (gill nets), jala (cast nets) dan jenis alat tangkap lain.

Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap yang diklasifikasikan sebagai jaring angkat. Jenis alat tangkap ini banyak dioperasikan di perairan Teluk Palabuhanratu, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan beberapa perairan di wilayah Indonesia Timur. Jenis – jenis bagan yang dioperasikan di Indonesia, adalah bagan tancap dan bagan apung. Pada umumnya bagan yang dioperasikan adalah bagan apung. Jenis bagan ini dapat didaratkan di pantai, sehingga tidak mengganggu alur pelayaran ketika tidak dioperasikan. Kelebihan bagan apung dibandingkan dengan jenis bagan lainnya adalah bersifat tidak menetap dan dapat dioperasikan di lokasi perairan pantai yang berbeda-beda disesuaikan keberadaan ikan.

Konstruksi bagan apung dibentuk oleh susunan bambu yang dirangkai menjadi bangun berbentuk persegi. Pelampung yang biasa digunakan adalah drum plastik. Pada bagian bawah bagan digantungkan jaring yang dapat dinaik-turunkan ketika operasi penangkapan dilakukan. Pada bagian tengah bagan – di atas jaring – digantungkan lampu sebagai penarik ikan.

Bagan dioperasikan pada malam hari dan ditujukan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis yang bersifat fototaksis positif. Lampu digunakan untuk menarik ikan fototaksis positif agar datang mendekati bagan. Penggunaan lampu pada pengoperasian bagan sangat menentukan keberhasilan penangkapan ikan.

Berbagai jenis sumber cahaya digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan di bagan. Salah satunya adalah lampu petromaks. Jenis lampu ini awalnya sangat populer, tetapi saat ini dianggap sangat tidak ekonomis. Ini disebabkan oleh harga bahan bakarnya berupa minyak tanah yang sangat mahal dan sulit

(18)

didapatkan. Harga bahan bakar meningkat akibat dicabutnya subsidi pemerintah tahun 2010.

Penggunaan lampu petromaks yang tidak ekonomis membuat nelayan bagan terpaksa beralih menggunakan jenis lampu lain. Nelayan bagan di Palabuhanratu memakai lampu tubular lamp (TL) dengan sumber listrik berasal dari generator berbahan bakar bensin (premium). Menurut nelayan bagan Palabuhanratu, produktifitas bagan yang menggunakan lampu TL relatif masih rendah. Nelayan merasa kesulitan untuk mengatasi permasalahan ini.

Berdasarkan pengamatan di lapang didapatkan bahwa banyak faktor teknis yang menjadi sumber permasalahan ini, misalnya 1) lampu TL tidak dilengkapi reflektor yang tepat untuk memantulkan dan mengarahkan cahaya ke perairan, dan 2) lampu TL terlalu ringan sehingga mudah bergerak akibat tiupan angin, sehingga arah cahaya lampu bergerak kemana-mana.

Keberhasilan penangkapan ikan dengan bagan salah satunya sangat tergantung pada pemanfaatan cahaya yang dihasilkan oleh lampu. Pada penelitian ini, lampu ditenggelamkan kedalam air dan pemasangan reflektor lampu. Kedua cara ini dimaksudkan agar cahaya yang terpancar hanya tersebar di dalam perairan. Pelapis reflektor berwarna perak, karena menurut Prasetyo (2009), jenis warna ini akan memantulkan cahaya lebih baik dibandingkan dengan jenis warna lainnya. Lampu TL yang digunakan dalam penelitian ini bermerek dagang Philips dengan daya 24 watt sebanyak 4 buah. Adapun generator yang dioperasikan menghasilkan daya 1.000 watt.

1.2 Perumusan Masalah

Pemusatan cahaya lampu TL oleh nelayan belum dilakukan secara baik. Beberapa nelayan menggunakan berbagai macam alat rumah tangga, seperti loyang, baskom dan ember sebagai reflektor. Semua peralatan rumah tangga tersebut belum secara tepat dan efektif mengarahkan dan memantulan cahaya ke permukaan air. Cahaya masih menyebar ke segala arah. Buktinya, hasil tangkapan bagan masih belum maksimal.

Perlakuan terhadap lampu harus diperbaiki untuk meningkatkan hasil tangkapan. Dua perlakuan yang perlu diperbaiki adalah posisi lampu dan

(19)

penggunaan reflektor. Penempatan lampu di dalam perairan dapat mengurangi penyebaran cahaya di kolom perairan, sehingga ikan akan lebih cepat tertarik untuk mendatangi sumber cahaya. Adapun penggunaan reflektor dilakukan untuk memusatkan pancaran cahaya lampu.

Ikan memiliki tingkat kenyamanan pada intensitas cahaya tertentu. Arah penyinaran yang tidak sesuai akan menyebabkan gerombolan ikan tidak berada tepat di atas jaring. Pemusatan cahaya ke dalam perairan dan upaya pengurangan penyebaran cahaya ke udara perlu dilakukan untuk meningkatkan produktifitas bagan apung. Posisi lampu yang berada di atas jaring sebaiknya memiliki arah cahaya yang tepat. Posisi lampu di dalam air akan memancarkan cahaya secara optimal. Peneliti merasa perlu melakukan penelitian terkait dengan reflektor dan posisi lampu TL yang diposisikan di dalam air.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menentukan konstruksi lampu yang efektif untuk menangkap organisme air pada bagan apung; dan

2) Menentukan interval waktu yang efektif dalam pengoperasian bagan apung.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada nelayan dalam meningkatkan produksi bagan apung dengan menggunakan alat bantu penangkapan berupa lampu penerangan jenis tubular lamp (TL).

(20)
(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bagan

Bagan merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, dioperasikan pada malam hari dan menggunakan cahaya lampu sebagai atraktor untuk mengarahkan ikan pada jaring. Menurut Subani dan Barus (1989), berdasarkan cara pengoperasiannya maka bagan di kelompokkan sebagai jaring angkat (lift net). Namun, karena menggunakan lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga light fishing (Von Brandt, 1985).

Bagan diperkenalkan ke seluruh wilayah perairan Indonesia oleh nelayan Sulawesi. Penggunaan bagan semakin berkembang dan terus mengalami perubahan, baik pada bentuk maupun jenisnya. Jenis bagan yang pertama dikenal adalah bagan tancap. Selanjutnya bagan perahu, bagan rakit, dan bagan apung atau hanyut . Bagan perahu dan apung dapat dioperasikan secara berpindah-pindah pada tempat-tempat yang diperkirakan banyak ikannya (Subani dan Barus, 1988).

Metode pengoperasian bagan apung dapat dijelaskan secara berurutan sebagai berikut (Ta’aliddin, 2000):

1) Penurunan jaring (setting) ke dalam air dengan melepaskan ikatan tali jaring pada roller. Jaring diturunkan sampai kedalaman tertentu di atas perairan. Jaring turun kedalam air dengan bantuan pemberat (batu) yang diikatkan pada setiap sudut jaring bagian bawah.

2) Menyalakan dan memasang lampu TL berjumlah 4 buah, digantung dengan menggunakan tangkai bambu dengan jarak 1 m di atas permukaan air laut. Untuk operasi penangkapan ini, yang menggunakan sumber cahaya lampu listrik, pemasangan sumber cahaya dilakukan bersamaan.

3) Jaring berada dalam air rata-rata selama 2 jam. Setelah 2 jam, lampu dipadamkan satu demi satu dan pada akhirnya hanya tinggal satu lampu listrik saja yang dipasang sungkup bambu di atas untuk menarik ikan agar terkonsentrasi di bawah lampu. Jaring kemudian diangkat (hauling) dengan menggunakan alat pemutar dari bambu (roller). Pada saat awal pengangkatan jaring dilakukan secara perlahan-lahan, dan semakin cepat ketika jaring sudah

(22)

akan mencapai permukaan air. Tujuannya adalah untuk menghindari agar ikan yang berkumpul diatas jaring tidak dapat melarikan diri.

4) Setelah jaring selesai diangkat, ikan-ikan yang tertangkap dikumpulkan pada salah satu sudut jaring dan diambil dengan menggunakan serok bertangkai panjang, disimpan dalam keranjang bambu. Selanjutnya ikan-ikan tersebut dipisahkan berdasarkan jenisnya.

Secara keseluruhan data waktu operasi penangkapan ikan dengan menggunakan bagan apung tradisional selama penelitian di Palabuhanratu adalah sebagai berikut:

1) Penurunan jaring (setting) selama 6 menit; 2) Jaring dalam air (110 menit); dan

3) Penarikan jaring (hauling) (5 menit).

2.1.1 Konstruksi

Komponen penting bagan terdiri atas jaring bagan, rumah bagan (anjang-anjang), serok dan lampu. Jaring bagan umumnya berukuran 9 × 9 m dengan ukuran mata 0,5 – 1 cm. Bahan jaring adalah nilon. Keempat sisi jaring diikatkan pada bingkai berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari bambu atau kayu. Rumah bagan terbuat dari bambu. Pada bagan tancap, bagian bawah berukuran 10 × 10 m, sedangkan bagian atas 9,5 × 9,5 m. Pada bagian atas rumah bagan terdapat penggulung (roller) yang berfungsi untuk menurunkan dan mengangkat jaring bagan pada waktu dilakukan operasi penangkapan (Subani dan Barus, 1988). Pada Gambar 1 ditunjukkan bagan apung dan bagian-bagiannya.

Bagan apung biasanya menggunakan drum plastik sebagai pengapung yang ditempatkan pada bagian dasar kiri dan kanan bagan. Jumlahnya 8 buah yang terbuat dari bahan plastik. Menurut nelayan, hasil tangkapan dengan bagan apung menghasilkan tangkapan yang lebih baik dibandingkan bagan jenis lainnya.

(23)

Sumber : Tobing (2008)

Gambar 1. Bagan apung dan bagian-bagiannya

2.1.2 Lampu bagan

Bagan tergolong dalam light fishing karena menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Fridman, 1986). Fungsi lampu adalah sebagai pemikat ikan yang bersifat fototaksis positif untuk datang ke bagan. Posisi lampu harus berada tepat di atas jaring bagan untuk memudahkan operasi penangkapan. Ilustrasi posisi lampu pada alat tangkap bagan dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengoperasian bagan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Lampu yang digunakan biasanya berjumlah 4 buah dan diletakkan tepat di tengah – tengah bangunan bagan. Penggunaan lampu tersebut berfungsi sebagai atraktor agar ikan berkumpul dalam catchable area. Penangkapan ikan dengan bagan hanya dilakukan pada malam hari, terutama pada bulan gelap. Hal ini karena pancaran sinar lampu akan maksimal pada waktu tersebut.

Menurut Effendi (2005), keberhasilan penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya (light fishing) sangat ditentukan oleh teknik penangkapan, kondisi perairan dan lingkungan serta kualitas cahaya yang digunakan untuk memikat ikan. Adapun penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat ditentukan oleh

(24)

sifat alamiah cahaya matahari atau bulan, jumlah partikel yang terkandung dalam air dan banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh permukaan air. Menurut Subani dan Barus (1988), faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya, yaitu:

1) Kecerahan

Jika kecerahan rendah atau air keruh berarti banyak terdapat zat atau pertikel yang menyebar di dalam air. Cahaya yang masuk ke dalam air akan habis terserap oleh zat-zat tersebut. Ikan yang berada jauh dari sumber cahaya tidak dapat mendeteksi akan adanya cahaya.

2) Angin, arus dan gelombang

Angin, arus dan gelombang mempengaruhi kedudukan lampu. Posisi lampu yang bergerak akan merubah arah cahaya yang semula lurus menjadi bengkok, sinar yang terang menjadi berkerlip dan akhirnya menimbulkan sinar yang menakutkan ikan (flickering light). Semakin besar angin, arus dan gelombang menyebabkan flickering light yang dihasilkan menjadi semakin besar. Untuk mengatasi masalah ini, konstruksi dudukan lampu harus disempurnakan. Selain itu, lampu dilengkapi dengan reflektor. Upaya lain adalah dengan menempatkan lampu di bawah permukaan air (under-water lamp).

3) Sinar bulan

Pada waktu bulan purnama sulit sekali untuk dilakukan penangkapan dengan menggunakan lampu (light fishing). Cahaya yang dipancarkan bulan menyebar merata di permukaan air pada suatu areal yang sangat luas. Sebagai akibatnya, ikan-ikan juga menyebar merata di seluruh permukaan air.

4) Lokasi Penangkapan (fishing ground)

Perairan teluk terhindar dari pengaruh gelombang besar, angin dan arus yang kuat memberikan dampak positif pada operasi penangkapan ikan yang menggunakan alat bantu cahaya. Kondisi perairan teluk sangat cocok diperuntukkan untuk pengoperasian bagan, karena perairannya tenang.

5) Ikan atau binatang buas

Ikan yang tertarik oleh cahaya lampu didominasi oleh jenis ikan berukuran kecil, seperti teri. Jenis ikan besar atau pemangsa umumnya berada di lapisan yang lebih dalam. Adapun hewan air lain, seperti ular laut (sea snake) dan

(25)

lumba-lumba (dolphin) berada di tempat-tempat gelap mengintai keberadaan ikan-ikan kecil tersebut. Hewan-hewan tersebut sesekali menyerang ikan-ikan yang berkerumun di bawah lampu dan mencerai-beraikannya.

Pemanfaatan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan telah banyak di Indonesia. Mayoritas nelayan di wilayah perikanan telah mengenal pentingnya penggunaan lampu dalam proses penangkapan. Misalnya di wilayah Indonesia timur, lampu digunakan untuk menangkap ikan umpan hidup (life bait fish) pada penangkapan ikan cakalang dengan alat tangkap huhate. Pada perikanan bagan, beragam jenis lampu digunakan untuk membantu penangkapan. Beberapa jenis lampu yang biasa digunakan pada perikanan bagan adalah lampu pijar, neon, dan petromaks (kerosene pressure lamp) (Prasetyo, 2009).

Keberhasilan penangkapan ikan dengan bagan ternyata sangat ditentukan oleh ketinggian lampu dari permukaan perairan. Subani (1972) menyebutkan ketinggian petromaks dari permukaan air adalah 1 m dan jaring berada pada kedalaman 8 m. Penelitian terbaru Prasetyo (2009) menjelaskan bahwa faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan bagan adalah pemusatan cahaya. Arah pancaran cahaya harus terpusat pada areal dalam jaring bagan. Untuk itu, lampu harus dilengkapi dengan reflektor yang berfungsi sebagai pengarah cahaya. Menurut (Nurdin, 2009) integritas cahaya yang tinggi akan meningkatkan hasil tangkapan.

(26)

Sumber : Tobing (2008)

Gambar 2. Ilustrasi posisi lampu pada alat tangkap bagan

2.2 Cahaya

Cahaya adalah berkas – berkas kecil dalam spektrum elektromagnetik yang merambat tanpa medium perantara. Menurut teori Newton, cahaya terdiri atas partikel-partikel kecil yang keluar dari sumbernya dengan kecepatan tinggi (Gluck, 1964). Selanjutnya dijelaskan bahwa panjang gelombang cahaya berkisar antara 3600 – 7800 Angstrom dengan frekuensi cahaya tampak bervariasi dari 7.9 x 10 Hz – 4,3 x 10 Hz.

Cepat rambat cahaya pada medium air lebih rendah dari pada cepat rambat cahaya pada medium udara. Hal ini disebabkan oleh perbedaan indeks bias medium yang dilewatinya. Indeks bias tersebut dipengaruhi oleh kerapatan suatu medium, sehingga cahaya mengalami pembiasan. Kecepatan rambat cahaya dipengaruhi oleh perubahan panjang gelombang, sedangkan frekuensi cahaya tidak terpengaruh (Cayles and Marsden, 1983).

Perbedaan media rambat yang dilalui cahaya akan berpengaruh terhadap karakteristik-karakteristik cahaya. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut

(27)

tergantung pada beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh partikel-partikel terlarut dalam air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, serta musim dan lintang geografis (Nyabakken, 1988).

Iluminasi cahaya (E) didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang masuk ke kolom air yang tergantung pada intensitas cahaya dan jarak dari permukaan (Ben Yami, 1987). Pengukuran iluminasi cahaya dari suatu sumber dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :

E = Keterangan :

E : Iluminasi cahaya (lux):

C : Kuat smber cahaya (candela); dan R : Jarak dari sumber cahaya (m).

Bentuk sebaran intensitas cahaya lampu di bawah air tergantung dari tipe lampu yang digunakan sebagai sumber cahaya. Pengamatan sebaran intensitas di dalam air menunjukkan bahwa pada garis luar iso – lux dari 4 lampu petromaks pada bagan apung di Palabuhanratu bentuknya seperti oval. Intensitas cahaya maksimum sebesar 340 lux di pusat cahaya lampu di permukaan air (Puspito, 2008).

2.3 Reaksi ikan terhadap cahaya

Reaksi atau respon ikan terhadap keadaan lingkungan luar atau rangsangan eksternal disebut taxis. Reaksi ikan terhadap rangsangan cahaya disebut phototaksis. Phototaksis dikelompokkan menjadi phototaksis positif dan phototaksis negatif. Phototaksis positif adalah reaksi makhluk hidup yang mendekati sumber cahaya. Adapun phototaksis negatif adalah reaksi makhluk hidup yang menjauhi sumber cahaya yang terdeteksi olehnya (Ben Yami, 1988).

Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut phototaksis (Ayodhyoa, 1981). Dengan demikian, ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fototaksis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan-ikan yang tidak tertarik oleh cahaya atau menjauhi cahaya biasa disebut fototaksis negatif (Gunarso, 1985).

(28)

Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk menerima cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber cahaya sangat berbeda-beda. Ada ikan yang senang pada intensitas cahaya yang rendah, tetapi adapula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang tinggi. Namun, ada ikan yang mempunyai kemampuan untuk tertarik oleh cahaya mulai dari intensitas yang rendah sampai yang tinggi.

Menurut (Priatna, 2009), pengaruh intensitas cahaya terhadap agregasi ikan mempunyai pola yang tidak sama. Ikan akan beradaptasi terhadap variasi iluminasi optimum sehingga selama proses pencahayaan terjadi migrasi.

Pada ikan diketahui bahwa rangsangan cahaya antara 0,01-0,001 lux sudah memberikan reaksi (Laevastu and Hayes, 1991). Ambang cahaya tertinggi untuk mata ikan belum banyak diteliti, walau banyak diketahui bahwa berbagai jenis ikan laut pada umumnya selalu berusaha untuk meningkatkan sensitifitasnya. Ikan mempunyai suatu kemampuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari dengan kekuataan penerangan ratusan ribu lux dan dalam keadaan gelap sama sekali (Gunarso, 1985). Namun demikian, sensitifitas mata ikan laut pada umumnya tinggi. Kalau cahaya biru-hijau yang mampu diterima mata manusia hanya sebesar 30% saja, maka mata ikan mampu menerimanya sebesar 75%, sedangkan retina mata dari beberapa jenis ikan laut dalam menerimanya sampai 90%. Ambang cahaya yang mampu dideteksi oleh mata ikan jauh lebih rendah dari pada ambang cahaya yang dapat dilihat oleh mata manusia, sehingga pada umumnya mata ikan mempunyai tingkat sensitifitas 100× mata manusia. Oleh karena itu, pada beberapa jenis ikan yang hidup di perairan pantai dapat mengindera mangsanya dari kejauhan 100 m sejak pagi sampai sore hari (Woodhead, 1966 dalam Gunarso, 1985).

Penggunaan lampu pada pengoperasian bagan akan merangsang fitoplankton yang bersifat phototaksis positif berkumpul di bawah lampu. Keberadaan fitoplankton tersebut akan menarik ikan-ikan kecil (plankton feeder) yang diikuti oleh ikan predator sehingga terjadi jejaring makanan di area pengoperasian bagan.

(29)

Pergerakan ikan tembang secara vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam. Pada malam hari gerombolan ikan cenderung berenang ke permukaan dan akan berada pada permukaan sampai dengan matahari sudah akan terbit. Pada malam terang bulan gerombolan ikan itu akan berpencar atau tetap berada di bawah permukaan air (Gunarso, 1988).

2.4 Hasil tangkapan bagan

Berdasarkan data perikanan PPN Palabuhanratu 2009, hasil tangkapan bagan mencapai 225 ton/tahun. Hasil tangkapan tersebut terdiri atas berbagai jenis ikan pelagis. Menurut Subani dan Barus (1988), bagan ditujukan untuk menangkap jenis ikan fototaksis positif, yaitu teri (Stolephorus spp). Adapun hasil tangkapan sampingannya adalah tembang (Sardinella fimbriata), cumi-cumi (Loligo sp), pepetek (Leiognathus sp), dan kembung (Rastreliger sp).

2.4.1 Teri (Stolephorus spp)

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan teri adalah sebagai berikut : Filum : Chordata; Subfilum : Vertebrata; Kelas : Pisces; Ordo : Malacopterygii; Subordo : Percoidei; Family : Clupeidae;

Genus : Stolephorus; dan

Species : Stolephorus spp. (Gambar 3).

Sumber : www.wikipedia.org. (2012)

(30)

Ikan teri umumnya berukuran kecil sekitar 6-9 cm. Ikan ini umumnya menghuni perairan dekat pantai dan hidup secara bergerombol. Stelophorus spp, mempunyai tanda-tanda khas seperti yang terlihat pada Gambar 3, yaitu umumnya tidak berwarna, bagian samping tubuhnya (linear lateralis) terdapat garis putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari belakang kepala hingga ekor. Bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform) dan pipih (compressed).

Teri menyebar pada wilayah Samudera Hindia bagian timur sampai Samudera Pasifik Tengah. Penyebaran ke selatan sampai ke daerah Australia. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa teri selama siang hari membentuk gerombolan dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana tebalnya gerombolan ini adalah 6-15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang hari dan bermigrasi ke daerah yang dangkal (permukaan) pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini berkaitan erat dengan cahaya, teri menyukai intensitas cahaya tertentu dan kedalaman dari intensitas bervariasi sesuai dengan waktu, derajat perawanan dan koefisien konsistensi air. Beberapa sifat fisika-kimia air merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangan ikan teri. Dalam kondisi alamiah, faktor lingkungan yang berpengaruh adalah suhu, oksigen terlarut, periode penyinaran, dan ketersediaan pangan (Omori and Ikeda 1984).

2.4.2 Tembang (Sardinella fimbriata)

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tembang adalah sebagai berikut; Filum : Chordata; Subfilum : Vertebrata ; Kelas : Pisces ; Subkelas : Teleostei ; Ordo : Malacopterygii ; Subordo : Clupeidai ; Famili : Clupeidae ; Subfamili : Clupeinae ; Genus : Clupea ; dan

(31)

Sumber : www. eol.org. (2012)

Gambar 4. Ikan tembang

Ikan tembang merupakan ikan pelagis yang banyak ditemukan di wilayah pantai. Ikan ini hidup bergerombol (schooling) dan berpindah-pindah (Nybakken, 1992). Plankton adalah organisme kecil yang menjadi makanannya, baik ikan kecil maupun ikan dewasa. Berkembang biak satu kali dalam satu tahun pada bulan Juni-Juli di wilayah pantai ketika suhu udara dan kadar garam rendah.

Ciri-ciri morfologi ikan tembang adalah memiliki bentuk badan fusiform, pipih dengan duri dibagian bawah badan. Panjangnya berkisar 15 – 25 cm. Warna tubuh biru kehijauan pada bagian atas, putih perak pada bagian bawah. Sirip-siripnya pucat kehijauan serta tembus cahaya.

2.4.3 Cumi-cumi (Loligo sp)

Menurut Roper, et al. (1984), cumi-cumi diklasifikasikan kedalam : Filum : Mollusca;

Kelas : Cephalopoda ; Ordo : Teuthoidea ;

Sub ordo : Myopsida ; Famili : Loliginidae ;

Genus : Loligo, Sepioteuthis, dan Doryteuthis; dan Spesies : Loligo sp (Gambar 5).

(32)

Sumber : www. wikipedia. org. (2012)

Gambar 5. Cumi-cumi

Cumi – cumi merupakan binatang bertubuh lunak dengan bentuk tubuh memanjang silindris dan bagian belakang meruncing dengan sepasang sirip berbentuk triangular atau bundar. Cumi-cumi mempunyai sepasang mata di samping kepala. Pada bagian tengah kepalanya terdapat mulut yang dikelilingi tentakel dengan alat penghisap (sucker). Cumi-cumi memiliki sejenis cangkang yang sudah termodifikasi menjadi cangkang tipis yang mengandung zat tanduk atau khitin, disebut “pen”, dan terletak di dalam mantel. Seluruh tubuh bagian dalam dan sebagian dari kepalanya masuk kedalam rongga mantel tersebut. Pada bagian kepala cumi-cumi terdapat lubang seperti corong yang dinamakan siphon. Siphon ini berguna untuk mengeluarkan air dari rongga mantel yang menghasilkan daya dorong untuk pergerakan cumi-cumi. Melalui siphon ini juga cumi-cumi terkadang mengaluarkan tinta berwarna coklat hitam untuk menghindari predator (Buchsbaum et. al., 1987).

Cumi-cumi hidup di daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 400 m. Beberapa spesies cumi-cumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi digolongkan sebagai organisme pelagik. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan pada malam harinya. Umumnya cumi-cumi tertarik pada cahaya (fototaksis positif) sehingga sering ditangkap dengan menggunakan bantuan cahaya (Ropper et. al.,1984).

2.4.4 Pepetek ( Leiognathus sp)

Kalsifikasi ikan pepetek menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata

(33)

Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Famili : Leognathidae Genus : Leognathus

Spesies : Leiognathus sp (Gambar 6)

Sumber : www. fishbase. org (2012)

Gambar 6. Ikan pepetek

Ikan pepetek berbentuk pipih, berukuran kecil dengan panjang < 15 cm. Ikan ini dapat digolongkan dalam 3 marga yaitu Leiognathus, Gazza dan Secutor. Perbedaan ketiga jenis ini terdapat pada gigi dan bentuk mulutnya. Gazza mempunyai gigi taring sedangkan yang lain hanya mempunyai gigi kecil dan mulutnya dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (secutor) ataupun ke bawah (Leiognathus) (Nontji, 2005).

Pepetek hidup di perairan dangkal dan biasanya dalam gerombolan yang besar. Menurut Nontji (2005) produksi pepetek yang tertinggi biasanya terdapat di pesisir Jawa Timur biasanya sekitar bulan Desember-Maret, sedangkan terendah pada bulan Juli-September.

2.4.5 Kembung (Rastreliger sp)

Ikan kembung atau dikenal dengan nama latin Rastrelliger sp termasuk jenis ikan pelagis kecil yang hidup bergerombol. Menurut Cuvier (1817) klasifikasinya adalah :

Filum : Chordata ;

Subfilum : Vertebrata ; Kelas : Actinopterygii ;

(34)

Ordo : Perciformes ;

Famili : Scombridae ; Genus : Rastrelliger ;

Spesies : Rastrelliger sp (Gambar 7)

Sumber : www. kahaku. go (2012)

Gambar 7. Ikan kembung

Ikan kembung dapat hidup di perairan pantai maupun lepas pantai, terutama di daerah yang berkadar garam tinggi. Ikan kembung terdiri atas 2 species, yaitu ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) (Kriswantoro dan Sunyoto, 1986).

Penyebaran ikan kembung di Indonesia sangat luas, hampir meliputi seluruh perairan yang ada. Menurut Kriswantoro dan Sunyoto (1986), konsentrasi terbesar ikan kembung lelaki terdapat di Barat Sumatera, Laut Jawa, Selat Malaka, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Muna – Buton, dan perairan Arafura. Adapun menurut Widyaningsih (1995), ikan kembung perempuan jenis R. branchsoma hanya terdapat di perairan Indonesia bagian Timur (Kepulauan Maluku). Keberadaan ikan kembung di suatu wilayah membuktikan bahwa wilayah tersebut merupakan tempat yang dilalui oleh migrasi ikan cakalang.

Pendugaan mengenai waktu dan tempat pemijahan ikan kembung telah dilakukan oleh beberapa ahli. Menurut Widyaningsih (1995), musim pemijahan ikan kembung terjadi pada musim barat (Oktober – Februari) dan musim timur (Juni – September). Tempat pemijahan terdapat di Utara Tanjung Satai (Kalimantan Barat), Laut Cina Selatan, Samudera Indonesia, dan Laut Flores. Musim pemijahan utama ikan kembung terjadi antara bulan April dan Agustus dengan puncak musim diduga berlangsung bulan Agustus.

(35)

3 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Palabuhanratu merupakan salah satu kabupaten di sebelah selatan Jawa Barat yang memiliki wilayah perairan laut. Perairannya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Letak geografis Teluk Palabuhanratu berada pada 6˚57’-7˚25’ Lintang Selatan dan 106˚49’-107˚00’ Bujur Timur. Kecamatan Palabuhanratu berjarak sekitar 61 km dari kabupaten Sukabumi (Nurhayati, 2006).

Karakteristik dasar perairan Palabuhanratu adalah teksturnya kasar, bergelombang dan terdiri atas daerah perbukitan. Garis pantai panjangnya mencapai ±105 km. Ditinjau dari topografi dasar laut, perairan dengan kedalaman 200 m di teluk tersebut dapat dijumpai hingga jarak sekitar 300 m dari garis pantai. Setelah itu, dasar pantai menurun dengan tajam mencapai kedalaman > 600 m di bagian tengah teluk (Nurhayati, 2006). Beberapa sungai yang bermuara ke perairan Palabuhanratu antara lain Sungai Cimandiri, Cibareno, Cisolok, Cimaja, Citepus, Cipalabuhan dan Cipangairan. Banyaknya sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu memberi pengaruh terhadap kondisi perairan laut sekitarnya (Anita, 2003).

Aktivitas perikanan di Palabuhanratu sangat tinggi terlihat dari produksi pendaratan tangkapan yang sangat tinggi. Beberapa jenis ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu adalah teri, tembang, layur, selar, dan bentrong (Subani, 1988). Adapun musim penangkapan ikan di teluk Palabuhanratu, menurut Tampubolon (1990), terdiri atas 3 musim, yaitu :

1. Musim banyak ikan (Juni-September) ;

2. Musim sedang ikan (Maret-Mei dan Oktober-November) ; dan 3. Musim kurang ikan (Desember-Februari).

Keadaan arus pada perairan dipengaruhi oleh pasang surut, angin, densitas dan pengaruh masukan air dari muara sungai. Arus pantai selatan Jawa pada bulan Februari sampai Juni bergerak ke arah timur dan bulan Juli hingga Januari bergerak ke arah barat. Pada bulan Februari arus pantai maksimum mencapai 75 cm/detik dengan rata - rata kecepatan 50 cm/detik dengan arah dominan ke Selatan (Surbakti dan Nugraha, 2009). Pada bulan Agustus, arus pantai berganti arah ke barat dengan kecepatan 75 cm/detik, kemudian menurun hingga kecepatan

(36)

50 cm/detik sampai bulan Oktober. Salinitas di perairan Palabuhanratu berkisar antara 32,33‰ – 35,96‰. Kisaran suhu pada perairan Palabuhanratu berkisar antara 27 - 30˚C, sedangkan tinggi gelombang dapat berkisar antara 1-3 meter (PPN Palabuhanratu, 2007).

Kondisi iklim tropis di wilayah pesisir Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, dipengaruhi oleh musim angin barat yang bertiup dari timur ke barat, dan musim angin timur yang bertiup dari barat ke timur. Musim angin barat bertiup dari bulan Desember sampai Maret, sedangkan musim angin timur berlangsung antara bulan Juni sampai September. Curah hujan tahunan di pesisir Teluk Palabuhanratu berkisar antara 2.500-3.500 mm/tahun dan hari hujan antara 110-170 hari/tahun. Suhu udara di sekitar wilayah ini berkisar antara 18˚-30˚C dan memiliki kelembaban udara yang berkisar antara 70 - 90% (PPN Palabuhanratu, 2007).

Perbedaan musim barat dan musim timur tersebut sangat mempengaruhi operasi penangkapan ikan. Keadaan oseanografi perairan Palabuhanratu yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sangat dipengaruhi oleh kekuatan angin yang besar terlebih pada musim barat. Selama musim barat, ombak sangat besar disertai dengan angin dan hujan yang sangat lebat mengakibatkan para nelayan tidak melaut. Sebaliknya pada musim timur, keadaan perairan biasanya tenang, jarang terjadi hujan dan ombak relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut. Pada waktu ini terjadi musim puncak ikan (Nurhayati, 2006).

(37)

4 METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan antara bulan Juli 2010 – Juli 2011 bertempat di laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan, PSP, IPB ; dan perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

4.2 Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 1 unit bagan apung, 4 lampu Philips tornado berdaya 24 watt, 4 reflektor bertudung kerucut terpancung, 1 unit genset dengan daya listrik 1.000 watt, stabilizer 220 v, luxmeter, meteran dan timbangan.

Luxmeter yang digunakan merupakan underwater luxmeter buatan Jepang seri osk 16648 Marine Lux-Metre. Luxmeter ini digerakkan dengan sistem analog. Adapun skala untuk melakukan pengukuran adalah low (0-50 lx) dan high (0-500 lx).

4.3 Metode pengambilan data

Penelitian menggunakan metode experimental fishing. Percobaan dilakukan dengan mengoperasikan bagan di perairan Teluk Palabuhanratu. Pengoperasian bagan hanya dilakukan pada saat bulan gelap. Penelitian diawali dengan pengukuran intensitas cahaya lampu, pembuatan reflektor lampu, lampu dalam air dan terakhir operasi penangkapan.

Adapun tahapan-tahapan dalam pengoperasian tersebut sebagai berikut : 1) Pengukuran intensitas cahaya lampu dengan luxmeter

Prosedur yang dilakukan adalah lampu dinyalakan dalam ruang gelap dan intensitasnya diukur pada jarak 1 m dengan luxmeter. Lampu tubular lamp (TL) yang digunakan bermerek Philips tornado berdaya listrik 24 watt. Intensitas cahaya diukur pada berbagai posisi, yaitu atas, bawah, dan sisi kanan-kiri. Nilai intensitas cahaya pada setiap sudut pengukuran 15˚ dicatat. Arah sebaran cahaya digunakan untuk mendesain reflektor guna memfokuskan cahaya. Posisi pengukuran intensitas cahaya ditunjukkan pada Gambar 8.

(38)

a)

b)

Gambar 8. Posisi pengukuran intensitas cahaya dengan luxmeter. a) jarak lampu dari luxmeter ; dan b) sudut pengukuran

2) Pembuatan konstruksi lampu

Reflektor lampu dibuat berdasarkan jarak lampu dengan kerangka jaring. Sebaran cahaya lampu diusahakan terfokus pada kerangka jaring yang berada di permukaan air.

Pada penelitian ini, lampu bagan yang digunakan berjumlah 4 buah. Keempat lampu tersebut ditempatkan pada 4 sudut kerangka yang berbentuk

(39)

34,5 cm

34 cm

persegi dengan panjang setiap sisinya 50 cm. Jarak antara lampu dengan permukaan air adalah 1 m. Adapun kerangka jaring berbentuk persegi dengan sisi-sisinya berukuran 8 m. Dengan demikian, cahaya lampu harus dapat menerangi areal permukaan air dengan diameter ± 3,75 m.

Panjang sisi reflektor ditetapkan 34 cm agar tidak berbenturan dengan ketiga reflektor lampu lainnya. Reflektor terbuat dari seng dan dilapisi dengan cat berwarna perak. Pada Gambar 9 diperlihatkan konstruksi dan dimensi reflektor lampu.

3) Pembuatan lampu dalam air

Lampu dalam air terdiri atas lampu TL Philips tornado 24 watt yang dimasukkan kedalam setoples kaca bekas serbuk minuman Nutrisari. Bagian dudukan lampu diberi lem kaca agar kedap udara sehingga air tidak mudah masuk. Bagian tutup toples di beri plastik yang diikat dengan menggunakan karet ban bekas.

Lampu diujicobakan pada kedalaman 1 m untuk menguji ada atau tidaknya kebocoran. Lampu diberi pemberat, ditenggelamkan dan dinyalakan. Setelah dilakukan perendaman selama 6 jam dan dipastikan tidak ada air yang masuk kedalam toples, maka pembuatan satu lampu bawah air dianggap selesai. Gambar 10 menunjukkan konstruksi dan dimensi lampu dalam air.

(40)

4) Pengambilan data

Jenis data yang diambil hanya berupa data primer. Data yang diambil berupa instensitas cahaya baik secara vertikal maupun horizontal, kecepatan berkumpulnya ikan dan komposisi jenis serta jumlah hasil tangkapan. Selain itu, data lain yang dikumpulkan adalah kecerahan dan suhu perairan.

Pengukuran intensitas cahaya secara horizontal dilakukan dengan menentukan 4 titik berjarak 1,3 m, 2,6 m dan 3,9 m. Ketiga titik tersebut diukur dari titik tengah di atas kerangka jaring bagan (Gambar 11). Intensitas cahaya juga diukur pada kedalaman 1 m, 2 m, 3 m, 4 m, 5 m, 6 m, 7 m, 8 m, 9 m, 10 m, 11 m dan 12 m di bawah permukaan air pada posisi titik pengukuran iluminasi secara horizontal (Gambar 12).

Kecepatan berkumpulnya ikan diamati secara visual. Pengamatan dimulai ketika bagan mulai dioperasikan hingga ikan berkumpul dan membentuk kelompok. Jenis ikan yang dijadikan indikator adalah teri.

Data tangkapan didapat dari hasil operasi penangkapan ikan dengan bagan. Urutannya adalah :

1) Pengoperasian malam pertama digunakan lampu tanpa reflektor, malam kedua menggunakan lampu dengan reflektor, dan malam ketiga menggunakan

(41)

lampu dalam air. Surface lamp dan underwater lamp di pasang dengan jarak 1 m dari permukaan air ;

2) Bobot total hasil tangkapan pada setiap perlakuan ditimbang dan diidentifikasi jenisnya;

3) Pengoperasian alat tangkap dibagi dalam 3 kelompok waktu, yaitu pukul 19.00-22.00, 22.00-01.00, dan 01.00-04.00; dan

4) Operasi penangkapan dilakukan sebanyak 10 kali ulangan untuk setiap perlakuan.

Gambar 11. Posisi pengukuran intensitas lampu secara horizontal

1,3m 8 m 3,9 m 8 m 2,6 m Lampu Frame bagan

(42)

Gambar 12. Posisi pengukuran intensitas lampu secara vertikal

1,3m 2,6 m 3,9 m 1 m 1 m 1 m Lampu 12 m 12 m 12 m a)

(43)

Pengapung

Lampu celup

Jaring

Gambar 13. Posisi pemasangan ketiga jenis lampu (tampak depan). a) lampu tabung ; b) lampu bereflektor ; dan c) lampu dalam air

b)

(44)

4.5 Analisa data

Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif terhadap data aspek hasil tangkapan secara perhitungan rata-rata, kisaran rata-rata, dan analisis grafik. Keterkaitan penggunaan lampu bereflektor dan lacuda dianalisis datanya menggunakan analisis komparatif antara hasil tangkapan lampu tabung dengan lampu bereflektor dan lacuda.

Data hasil tangkapan diplotkan dalam bentuk grafik untuk selanjutnya dianalisa secara deskriptif komparatif. Selain itu, data juga dianalisa secara statistik melalui uji kenormalan data. Data yang tersebar normal diuji parametrik, yaitu dengan menggunakan uji nilai tengah (t-student).

Analisis data dengan menggunakan uji nilai tengah dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh penggunaan lampu bereflektor dan lampu celup dalam air terhadap hasil tangkapan. Uji nilai tengah dilakukan dengan asumsi bahwa ragam populasi adalah sama dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Walpole, 1992) :

Rumus derajat bebas :

2

Dasar pengambilan keputusan dalam uji nilai tengah berdasarkan nilai probabilitas (tingkat signifikan) dari hasil nilai t, pada selang kepercayaan 95%. Hipotesis yang digunakan adalah :

yang berarti tidak ada pengaruh penggunaan lampu bereflektor/ lacuda terhadap hasil tangkapan ; dan

yang berarti ada pengaruh penggunaan lampu bereflektor/ lacuda terhadap hasil tangkapan.

Keterangan :

: Rata – rata laju tangkap menggunakan lampu tabung (kontrol) ; dan : Rata – rata laju tangkap menggunakan lampu bereflektor/ lacuda.

(45)

Nilai t- hitung diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Dimana adalah simpangan koefisien b yang dapat ditentukan dari model rumus , sedangkan dan KTG dicari melalui analisis kovarian. Penarikan keputusan dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel pada selang kepercayaan 95 %. Jika nilai t hitung > t tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol, dan jika t hitung < t tabel maka keputusannya adalah menerima hipotesa nol.

(46)
(47)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Iluminasi cahaya

Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. Iluminasi cahaya dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan jarak antara sumber cahaya dengan permukaan bidang (Ben Yami, 1987). Intensitas cahaya adalah kekuatan cahaya yang berasal dari satu sumber dengan satuan candela. Hubungan antara nilai iluminasi cahaya, intensitas cahaya dan jarak dari sumber cahaya dirumuskan dengan :

Keterangan : E : Iluminasi cahaya (lux) ;

I : Intensitas cahaya (candela) ; dan r : Jarak dari sumber cahaya (m).

Nilai iluminasi cahaya akan menurun jika jaraknya semakin jauh dari sumber cahaya atau melewati medium tertentu. Indeks bias cahaya berbeda-beda pada setiap medium tertentu. Pembiasan cahaya menyebabkan pembelokkan, sehingga iluminasi cahaya menjadi berkurang. Indeks bias cahaya pada medium udara adalah 1, sedangkan pada medium air sebesar 1,3.

5.1.1 Medium udara

Menurut Cayless dan Marsden (1983), cahaya dapat merambat pada medium udara. Frekuensi cahaya tidak mengalami perubahan saat merambat di udara. Cepat rambat dan panjang gelombangnya saja yang berubah.

1) Lampu tabung

Data hasil pengukuran iluminasi lampu tabung pada berbagai sudut dijelaskan pada Tabel 1, sedangkan grafiknya disajikan pada Gambar 14. Iluminasi cahaya pada setiap sudut pengukuran berbeda.

(48)

Tabel 1. Iluminasi cahaya lampu tabung pada berbagai sudut pengukuran Sudut (o) Iluminasi (lux) Sudut (o) Iluminasi (lux) Sudut (o) Iluminasi (lux) 0 32 75 151 150 173 15 55 90 167 165 155 30 81 105 171 180 153 45 132 120 184 60 144 135 179

Gambar 14. Iluminasi cahaya lampu tabung pada medium udara

Iluminasi cahaya pada sudut pengukuran 0˚ – 30˚ sangat rendah dibandingkan dengan sudut lainnya. Hal ini disebabkan posisi pengukuran iluminasi agak terhalang oleh kepala lampu. Selanjutnya, iluminasi cahaya mulai dari sudut 45˚ hingga 120˚ terus mengalami kenaikan yang cukup besar. Intensitas cahaya dari tabung tidak terhalang oleh apapun. Iluminasi cahaya antara sudut 135˚ – 180˚ terus berkurang. Pengurangan tersebut disebabkan bidang yang memancarkan cahaya langsung mengecil. Nilai iluminasi tertinggi cenderung berada pada sudut pengukuran 120˚. Pada posisi ini terjadi interferensi cahaya dari tabung lampu.

(49)

Pada Gambar 14, sebagian besar arah pancaran cahaya lampu tabung yang memiliki iluminasi tinggi berada pada posisi 90˚ – 180˚, atau cenderung ke arah horizontal. Pola sebaran demikian tidak dapat dimanfaatkan secara optimal pada perikanan bagan. Cahaya tidak dapat mengumpulkan ikan dibawah bagan, tetapi menyebar di sekitar bagan. Alat tangkap bagan memerlukan lampu beriluminasi tinggi dengan pancaran cahaya ke arah bawah bagan, atau pada sudut antara 135˚ – 225˚. Pola arah penyinaran lampu tabung beriluminasi tinggi yang cenderung mengarah ke samping dan ke bawah pada sudut 90o-150o dan mengharuskan penempatan lampu tidak jauh dari permukaan air. Ini dimaksudkan agar cahaya yang masuk ke dalam air lebih banyak dari pada yang tersebar di medium udara.

2) Lampu tabung dengan reflektor

Pengukuran iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor dapat dilihat hasilnya pada Tabel 2, dan diilustrasikan pada gambar 15 sebagai berikut:

Tabel 2. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada berbagai sudut pengukuran Sudut (o) Iluminasi (lux) Sudut (o) Iluminasi (lux) Sudut (o) Iluminasi (lux) 0 0 75 0 150 512 15 0 90 0 165 536 30 0 105 28 180 562 45 0 120 312 60 0 135 427

(50)

Gambar 15. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada medium udara

Iluminasi cahaya antara sudut 0˚ - 90˚ dan 255˚ - 360˚ tidak dapat diukur, karena terhalang oleh reflektor. Adapun pada sudut pengukuran 105˚ dan 255˚, iluminasi cahaya masih dapat diukur meskipun bernilai kecil yaitu 28 lux. Iluminasi ini dimungkinkan berasal dari pantulan cahaya di ujung sisi bagian dalam reflektor yang tidak sempurna.

Dari seluruh sudut pengukuran, iluminasi tertinggi terdapat pada sudut 180˚, yaitu sebesar 562 lux. Pada posisi ini terjadi akumulasi cahaya yang berasal dari lampu dan pantulan reflektor berwarna perak. Persentase pantulan cahaya datang dari reflektor perak adalah sebesar 91 - 95 % dan putih 85 - 90 % (www.energyefficiencyasia.org).

Penggunaan reflektor pada lampu tabung sangat baik jika dioperasikan di bagan. Pemusatan cahaya di bawah bagan dengan reflektor memberi peluang ikan banyak terkumpul di atas jaring. Reflektor membantu cahaya lampu agar lebih memusat ke arah bawah, sehingga tidak terbuang ke arah lainnya.

3) Lampu dalam air

Hasil pengukuran terhadap iluminasi cahaya lampu dalam air memberikan hasil yang berbeda dengan lampu tabung tanpa perlakuan. Iluminasi cahayanya lebih rendah. Penyebabnya cahaya yang memancar ke luar setoples telah direduksi oleh lapisan kaca. Iluminasi cahaya terbesar pada posisi pengukuran 90o. Semakin

(51)

jauh dari sudut pengukuran tersebut, nilai iluminasi akan semakin kecil, karena ketebalan kaca setoples yang dilewati oleh cahaya semakin tebal. Tabel 3 menjelaskan data iluminasi cahaya lampu dalam air dan grafiknya disajikan pada Gambar 16.

Tabel 3. Iluminasi cahaya lampu dalam air pada berbagai sudut pengukuran

Sudut (o) Iluminasi (lux) Sudut (o) Iluminasi (lux) Sudut (o) Iluminasi (lux) 0 0 75 104 150 119 15 0 90 137 165 97 30 0 105 134 180 93 45 46 120 132 60 83 135 127

Berdasarkan hasil pengukuran, nilai iluminasi bernilai 0 pada sudut 0˚ - 30˚. Cahaya lampu terhalang oleh penutup setoples sehingga nilai iluminasi tidak terukur pada sudut tersebut. Iluminasi bernilai 46 lux terukur pada sudut 45˚. Nilai ini berasal dari hasil pembiasan cahaya lampu pada bagian leher setoples yang berbentuk ulir.

Penyinaran kearah samping pada sudut pengukuran 90o -150o dan 210 o – 270o memberikan nilai iluminasi yang tinggi. Iluminasi cahaya ke arah bawah antara 165 o - 195o lebih rendah dari iluminasi cahaya ke arah samping, tetapi

(52)

lebih tinggi dibandingkan dengan kearah atas 0o-90o dan 270o-360o. Hal ini mengindikasikan bahwa lampu dalam air sangat sesuai digunakan untuk mengumpulkan ikan yang berada di sekitar sumber cahaya. Selain itu, iluminasi cahaya yang rendah ke arah atas mengharuskan penempatan lampu tidak terlalu dalam. Sebab, pancaran cahaya pada sudut 105 o -150o dan 210 o -255o tidak dapat secara maksimal digunakan untuk mengumpulkan ikan.

4) Perbandingan ketiga lampu

Bagan memerlukan alat bantu cahaya yang berfungsi sebagai pengumpul ikan. Berdasarkan arah pancaran cahaya yang beriluminasi tinggi, lampu tabung kurang efektif untuk mengumpulkan ikan, karena hampir semua cahaya terpancar ke arah samping dan hanya sedikit cahaya yang masuk ke dalam air. Pada lampu tabung bereflektor, seluruh pancaran cahaya mengarah ke bawah. Cara ini juga kurang efektif untuk mengumpulkan ikan yang berada di sekitar bagan. Lampu hanya memiliki kemampuan mengumpulkan ikan yang berada tidak jauh dari bagan. Lampu dalam air lebih efektif karena cahayanya memancar ke arah samping dan sebagian kebawah. Hanya permasalahannya, keberadaan kaca setoples mengurangi iluminasi cahaya yang masuk ke dalam air.

Nilai intensitas cahaya di dalam air tertinggi dengan lampu dalam air, karena dengan lampu tabung dan reflektor cahaya mengalami pemantulan saat di permukaan air. Oleh karena itu, lampu dalam air sangat baik dioperasikan untuk memanggil ikan yang berada jauh dari bagan.

5.1.2 Medium air

Medium air memiliki indeks bias yang lebih tinggi dibandingkan dengan udara. Menurut Cayless dan Marsden (1983), indeks bias cahaya di medium air sebesar 1,3 dan udara 1. Inilah yang menyebabkan mengapa cahaya lebih mudah merambat melalui medium udara dibandingkan dengan air. Cahaya yang merambat dari medium udara ke air akan mengalami penurunan iluminasi.

1) Lampu tabung

Ketinggian lampu tabung dari permukaan air ditetapkan sejauh 1 m. Ini sesuai dengan pengoperasian yang biasa dilakukan oleh nelayan. Hasil

(53)

pengukuran iluminasi cahaya pada sudut tersebut dituliskan pada Tabel 4. Gambar 17 menjelaskan grafik iluminasi cahaya berdasarkan sudut pengukuran.

Tabel 4. Iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air

D Titik Pengukuran -3,9 -2,6 -1,3 0 1,3 2,6 3,9 Iluminasi -1 7,8 33,3 54,5 51,7 54,5 33,3 7,8 -2 9,2 23,7 33,7 27,7 33,7 23,7 9,2 -3 6,4 12,3 17,8 12 17,8 12,3 6,4 -4 3,3 9,9 6,8 5,9 6,8 9,9 3,3 -5 1,1 6,6 3,3 2 3,3 6,6 1,1 -6 0,1 2 1,8 1,3 1,8 2 0,1

Sesuai dengan Gambar 17, iluminasi cahaya lampu tabung di dalam air cenderung semakin berkurang dengan cepat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Penetrasi cahaya secara umum hanya mencapai kedalaman 6 m. Pengurangan intensitas cahaya tidak hanya terjadi secara vertikal, tetapi juga

(54)

secara horizontal. Penurunan iluminasi cahaya secara horizontal lebih besar dibandingkan dengan vertikal. Hal ini disebabkan selain karena jaraknya yang semakin jauh dari lampu, cahaya juga mengalami pembelokan.

Cahaya maksimal pada posisi pengukuran 1,3 m. Hal ini sesuai dengan arah pancaran maksimum pada medium udara yaitu di sudut pengukuran 120o . Nilai iluminasi pada posisi ini adalah hasil interferensi cahaya dari tabung lampu. Artinya telah terjadi penumpukan berkas sinar yang jatuh pada luxmeter sehingga nilai iluminasinya meningkat.

Pada kedalaman 4 m telihat nilai sebaran cahaya yang semakin tinggi secara horizontal di titik 1,3 dan 2,6 m. Perubahan ini terjadi sebagai bukti adanya hasil akumulasi cahaya sudut pengukuran 120o. Hal ini membuat cahaya pada sudut pengukuran 120˚ memiliki nilai yang tinggi.

2) Lampu tabung dengan reflektor

Reflektor dirancang agar cahaya menerangi permukaan air dengan radius 8 meter. Penggunaan pelapis perak pada reflektor dimaksudkan agar memberikan efek pantulan cahaya yang semakin tinggi. Hasil pengukuran iluminasi lampu dengan reflektor disajikan pada Tabel 5 dan grafik pada Gambar 18.

Tabel 5. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada medium air

D Titik Pengukuran -3,9 -2,6 -1,3 0 1,3 2,6 3,9 Iluminasi -1 5,5 19,3 63,0 162,5 63,0 19,3 5,5 -2 4,8 16,5 41,3 78,3 41,3 16,5 4,8 -3 3,5 13,3 33,3 29,0 33,3 13,3 3,5 -4 3,3 11,3 22,0 19,7 22,0 11,3 3,3 -5 1,8 9 12,8 10,3 12,8 9 1,8 -6 0,8 6,3 7,3 2,3 7,3 6,3 0,8 -7 3,5 3,8 1,8 3,8 3,5 -8 1,8 2 1 2 1,8 -9 0,5 0,3 0,8 0,3 0,5

(55)

Gambar 18. Iluminasi cahaya lampu tabung dengan reflektor pada medium air

Iluminasi cahaya tertinggi sebesar 162,5 lux terdapat pada titik pengukuran 0. Pada titik ini terjadi interferensi cahaya yang berasal dari cahaya pantulan reflektor dan pancaran cahaya langsung dari lampu.

Pada kedalaman 3 – 7 m, nilai iluminasi cahaya pada titik pengukuran 1,3 lebih tinggi dibandingkan dengan di titik 0. Nilai iluminasi pada titik tersebut merupakan akumulasi pantulan cahaya dari reflektor, sedangkan di titik 0 hanya berasal dari lampu.

Iluminasi cahaya dengan menggunakan reflektor lebih terfokus ke arah bawah. Hal ini terlihat pada kemampuan daya tembus cahaya yang mencapai kedalaman 9 m. Pola sebaran tersebut lebih terfokus dan terang dibandingkan dengan lampu tabung tanpa reflektor. Hal ini terjadi karena reflektor memantulkan sebagian besar sinar cahaya ke perairan.

-3 -2 -1 0 1 2 3 (Lux) -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 (Me ter ) (Meter) -3,9 -2,6 -1,3 0 1,3 2,6 3,9

(56)

3) Lampu dalam air

Lampu dalam air memiliki nilai pancaran yang besar baik secara vertikal maupun horizontal. Hal ini terlihat dari nilai iluminasi pada posisi pengukuran terjauh (3,9 m) dan kedalaman 10 m yang masih cukup besar. Secara horizontal terjauh nilai iluminasi tertinggi berada pada kedalaman 5 m sebesar 4,5 lux. Nilai sebaran iluminasi selengkapnya pada lampu dalam air terdapat di Tabel 6 dibawah ini :

Tabel 6. Iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium air

D Titik Pengukuran -3,9 -2,6 -1,3 0 1,3 2,6 3,9 Iluminasi -1 1,6 3,9 95,2 263 95,2 3,9 1,6 -2 2,2 16,8 48,2 209,6 48,2 16,8 2,2 -3 3,4 22,4 30,8 91,6 30,8 22,4 3,4 -4 3,7 17,0 29 42,1 29 17 3,7 -5 4,5 11,2 19,6 25,8 19,6 11,2 4,5 -6 3,5 7,9 12,1 14,6 12,1 7,9 3,5 -7 3,2 5,0 7,6 8,5 7,6 5,0 3,2 -8 1,6 3,2 4,3 5,1 4,3 3,2 1,6 -9 0,8 1,7 3,5 2,7 3,5 1,7 0,8 -10 0 1 1,1 0,9 1,1 1 0

(57)

Nilai iluminasi cahaya maksimum pada lampu dalam air mencapai 263 lux. Hasil pengukuran ini relatif tinggi dibandingkan lampu lainnya karena letak lampu yang dekat dengan luxmeter (berada didalam air). Cahaya lampu dalam air terhindar dari reduksi akibat pemantulan di permukaan air.

Sebaran cahaya pada lampu dalam air menyebar ke segala arah. Secara vertikal, cahaya lampu menembus kedalaman 10 m. Terjadi penurunan pada setiap kedalaman akibat pembiasan dan pengaruh kandungan partikel di air laut. Seperti terlihat pada data diatas, nilai iluminasi pada kedalaman 1 dan 2 m terjadi penurunan dari 263 menjadi 209,3 lux.

Hasil pengukuran diatas membuktikan bahwa lampu dalam air tidak cocok untuk pengumpul tangkapan diatas jaring. Hal ini disebabkan sifat cahaya lampu yang menyebar kesegala arah. Iluminasi lampu pada titik pengukuran 3,9 (kedalaman 5 m) yang bernilai 4,5 lux masih cukup tinggi dan dapat mengakibatkan ikan berkumpul di sekitar jaring.

Lampu dalam air baik untuk memanggil ikan agar mendekati bagan. Selain itu, cahaya dalam air relatif lebih tenang karena lampu tidak banyak bergoyang yang biasa disebabkan oleh angin di medium udara.

5.2 Komposisi Hasil Tangkapan 5.2.1 Berdasarkan jenis ikan a. Berat total tangkapan

Bagan menghasilkan jenis ikan tangkapan yang berbeda. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah tembang (Sardinella fimbriata). Adapun jenis lainnya yang cukup banyak tertangkap adalah kembung (Rastrelliger spp), teri (Stelophorus spp), dan rebon. Jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap dalam jumlah relatif sedikit meliputi layur, bawal, cumi-cumi (Loligo spp), dan tongkol. Jenis-jenis ikan tembang, kembung, teri, cumi-cumi, menurut Subani (1972) sering tertangkap oleh bagan. Komposisi berat hasil tangkapan bagan berdasarkan jenis organisme disajikan pada Gambar 20.

(58)

Gambar 20. Komposisi berat hasil tangkapan bagan berdasarkan jenis organisme

Jenis ikan yang terbanyak tertangkap adalah tembang, yakni seberat 95 kg atau 30% dari total berat tangkapan. Pengoperasian bagan di sekitar pantai dengan menggunakan bantuan cahaya sangat memungkinkan tembang tertangkap dalam jumlah banyak. Tembang memiliki habitat di daerah pantai, hidup di permukaan secara bergerombol dan mengejar plankton sebagai makanannya (Amiruddin, 2006). Selain itu, musim tembang di perairan Palabuhanratu, menurut Chaira (2010), berlangsung sepanjang tahun. Hal ini juga didukung oleh data perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2007 yang menyatakan bahwa jenis tembang selalu didaratkan oleh nelayan setempat.

Jenis ikan berikutnya yang banyak tertangkap adalah kembung. Ikan ini tertangkap seberat 57,8 kg (18%). Ikan ini termasuk famili scombridae, yaitu jenis ikan yang suka hidup bergerombol di permukaan air yang dekat dengan pantai dan membentuk gerombolan besar. Makanannya berupa plankton halus dan biasanya tertangkap pada malam hari (Basmi, 1995). Kembung cenderung berenang mendekati permukaan air pada malam hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan suhu, faktor hidrografis dan salinitas (Pasaribu, 1967). Hal ini menguntungkan nelayan yang melakukan penangkapan pada malam hari dengan menggunakan bagan.

95 57.8 44.4 34.5 29.5 20.5 17.0 14.5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Tembang Kembung Teri Rebon Layur Bawal Cumi Tongkol

Berat tangkapan

(kg)

Gambar

Gambar 1. Bagan apung dan bagian-bagiannya  2.1.2  Lampu bagan
Gambar 2. Ilustrasi posisi lampu pada alat tangkap bagan  2.2 Cahaya
Gambar 8. Posisi pengukuran intensitas cahaya dengan luxmeter. a) jarak  lampu dari luxmeter ; dan b) sudut pengukuran
Gambar 9. Konstruksi dan dimensi reflektor
+7

Referensi

Dokumen terkait