• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

KREATIVITAS

WAYANG KULIT BALI

(Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

SKRIPSI

OLEH :

PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

(2)

INSPIRASI KREATIVITAS

WAYANG KULIT BALI

(Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

SKRIPSI

OLEH :

PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

(3)

ii

WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER

INSPIRASI KREATIVITAS

WAYANG KULIT BALI

(Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)

MENYETUJUI :

PEMBIMBING I

Drs. I Wayan Mardana, M.Pd NIP. 19541231 198303 1 016

PEMBIMBING II

Dra. Ni Diah Purnamawati, M.Si NIP. 19581128 198503 2 001

(4)

iii

Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh panitia Ujian Akhir Sarjana (S1) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Pada

Hari / Tanggal : Rabu, 14 Mei 2014

Ketua : I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si (……….) NIP. 19630730 199002 1 001

Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum (……….) NIP. 19641231 199002 1 040

Dosen Penguji :

1. Dr. I Nyoman Catra, SST., M.A (……….) NIP. 19541231 197803 1 008

2. Drs. I Wayan Mardana, M.Pd (……….)

NIP. 19541231 198303 1 016

3. Dra. Ni Diah Purnamawati, M.Si (……….) NIP. 19581128 198503 2 001

Disahkan pada tanggal : ………. Mengetahui :

Fakultas Seni Pertunjukan

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Dekan Fakultas Seni Pertunjukan,

I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si NIP. 19630730 199002 1 001

Ketua Jurusan Pedalangan

I Kadek Widnyana, SSP., M. Si NIP. 19661227 199203 1 004

(5)

iv ABSTRAK

Wayang Betel merupakan sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi

dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog. Pada tahun 2010 dengan daya inovasi dan kreasi yang khas, I Ketut Kodi, dalang akademik dari Banjar Mukti, Desa Singapadu kecamatan Sukawati kabupaten Gianyar memunculkan apa yang sampai saat ini di kenal dengan Wayang Betel yaitu sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari wayang lemah atau wayang gedog.

Adapun ruang lingkup dari Kajian objek penelitian ini membahas seputar bentuk Wayang Lemah sebagai kreativitas Wayang kulit Bali (studi kasus WayangBetel: Dalang I Ketut Kodi). Sebuah produk seni pertunjukan berdasarkan data kualitatif dalam penelitian ini seperti: lamanya pertunjukan, tahapan-tahapan pertunjukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan WayangBetel ini di bangun oleh dalang I Ketut Kodi, maka kontribusi penelitian ini akan di analisis secara kualitatif.

Penerapan metode kualitatif dalam penelitian ini menurut Arikunto (dalam Purnamawati 1989: 201) bertujuan untuk mencari dan menemukan ada atau tidak hubungan antar gejala yang ada. Kalau ada seberapa jauh hubungan itu, disamping berarti tidaknya hubungan itu. Subjeknya diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber: I Ketut Kodi dan berbagai sumber literatur terkait. Sebagai acuan akan menjadikan mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis teks Wayang Betel: dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dalam pertunjukan dilokasi penelitian. Disitulah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut struktur dan bentuk Wayang Betel, kemudian menelusuri fungsi yang terkandung didalamnya lewat dialog, monolog yang muncul dari lakon itu.

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian dengan menggunakan tiga teori yaitu: teori estetika, teori kreativitas dan teori fungsional. Metode-metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Seluruh data diolah menggunakan tekhnik deskriptif interpretatif. Hasil penelitian ini ditulis menggunakan Pedoman Tugas Akhir pada Program Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.

Hasil penelitian ini membahas tentang Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi) dalam pembahasan ini menguraikan tentang Aspek Pertunjukan Wayang Kulit Bali dan Wayang Betel: Wayang, Darma Pewayangan, Pertunjukan Wayang Kulit Bali, Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran Wayang Betel, Masa Kanak-Kanak, Masa Remaja dan Terobosan Baru Tentang Tayang Tulit. Bentuk Pertunjukan Wayang Betel: Angga, Struktur, Aparatus. Wacana: Sumber Cerita, Tandakan, dan Lawakan. Tetikesan: Bentuk dan Kehasan, Tokoh dan Penokohan. dan Fungsi: Fungsi Estetika, Fungsi Kreativitas dan Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya. Penelitian ini membuktikan bahwa kreativitas mempunyai peranan penting dalam pertunjukan wayang kulit inovatif (Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi).

(6)

v

Moto:

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya dapat tersusun kripsp dengan judul “Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)” tepat pada waktunya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan telah disetujui untuk diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar.

Sebagai hamba Tuhan, penulis menyadari akan keterbatasan yang penulis miliki dan menyadari hakekat menjadi manusia, yang sudah tentu membutuhkan bantuan dari orang lain. Selesainya penulisan skripsi ini sesungguhnya banyak memperoleh bantuan, arahan, masukan dan saran-saran berupa dorongan dari berbagai pihak. Dari kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:

Melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak atas kemurahan hati membantu penulis, sehingga skripsi ini rampung tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada :

1. Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., selaku Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menempuh perkuliahan.

(8)

vii

Pertunjukan dan sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Ujian Tugas Akhir Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, yang telah memberi motivasi selama mengikuti perkuliahan dan pada proses tugas akhir.

3. Bapak I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I, yang telah memberi motivasi selama mengikuti peroses pembelajaran.

4. Ibu Doktor Ni Luh Sustyawati, M.pd selaku pembantu dekan III, yang telah memberi motivasi selama mengikuti perkuliahan dan pada proses tugas akhir serta bimbingan moril selama penulis mengikuti perkuliahan dan kegiatan kampus.

5. Bapak I Kadek Widnyana, SSP., M. Si, selaku Ketua Jurusan Seni Pedalangan ISI Denpasar, yang telah membantu penulis dalam proses akademik selama mengikuti perkuliahan.

6. Ibu Ni Komang Sekar Marhaeni, SSP., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Seni Pedalangan ISI Denpasar, telah banyak memberikan dorongan motivasi dan membantu secara akademis selama perkuliahan.

7. Bapak I Made Sidia., SSP, M.Si., selaku Pembimbing Akedemik yang meluangkan waktunya memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini serta bimbingan moril dan spiritualnya kepada penulis sehingga penulis tetap bersemangat untuk mengikuti perkuliahan di Jurusan Pedalangan.

(9)

viii

8. Bapak Drs. I Wayan Mardana, M.Pd selaku Pembimbing I atas perhatian, bimbinganya, dan motivasi selama menempuh perkuliahan mengoreksi dan membenahi tulisan pada skripsi ini.

9. Ibu Dra. Ni Diah Purnamawati., M.Si., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, motivasi yang sangat berarti bagi penulis, mengoreksi dan membenahi tulisan pada skripsi ini.

10. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sedana, SSP, M.A., selaku Guru Besar di Jurusan Pedalangan dan Dosen yang sudah dengan sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan semangat dari awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

11. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar di Jurusan Pedalangan berserta Pegawai Fakultas Seni Pertunjukan yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, pengalaman, motivasi, bantuan, dan arahan selama awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

12. Bapak I Ketut Kodi., SSP, M.Si, dosen penulis sekaligus seorang dalang Wayang Betel atas kesediaannya sebagai informan, penulis ucapkan terimakasih.

13. Teman-teman di Jurusan Pedalangan dan di Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Denpasar, atas dukungan dan dorongan spiritual yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat rampung tepat pada waktu yang telah ditentukan.

14. Ayah tercinta Pande Ketut Sutrisna dan Ibuku Terkasih Alm. Ni Ketut Sari yang sudah banyak memberikan bantuan dan dukungan moral serta spirit kepada penulis selama perkuliahan dan dalam proses penyusunan

(10)

ix akan mampu mencapai semua ini.

Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis diterima sebagai amal serta mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya, dan besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi yang memerlukannya.

Denpasar, 28 April Mei 2014

(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR FOTO ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 6

1. 3 Tujuan Penelitian ... 6 1.3.1 Tujuan Umum ... 6 1.3.2 Tujuan Khusus ... 6 1.4 Manfaat Penelitian... 7 1.4.1 Manfaat Teoretis ... 7 1.4.2 Manfaat Praktis ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI ... 10

2.1 Kajian Sumber ... 10

2.2 Landasan Teori ... 12

2.2.1 Teori Estetika ... 13

2.2.2 Teori Kreativitas ... 14

2.2.3 Teori Fungsional ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Rancangan Penelitian ... 17

3.2 Subjek Penelitian dan Jenis Data ... 18

3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 19

3.3.1 Metode Pengumpulan Data ... 19

3.3.2 Instrumen Penelitian ... 21

3.4 Metode Deskripsi Data dan Penyajian Hasil Analisis ... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Aspek Pertunjukan Wayang... .. ... 26

4.1.1 Wayang... 26

4.1.2 Darma Pewayangan ... . 28

4.1.3 Pertunjukan Wayang Kulit Bali ... 30

4.1.4 Pertunjukan Wayang Lemah... 31

4.1.5 Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran WB... 34

4.1.6 Masa Kanak-Kanak... . 36

4.1.7 Masa Remaja... . 37

(12)

xi 4.2.1.1 Struktur Pertunjukan... 40 4.2.1.2 Aparatus Pertunjukan... 43 4.3 Wacana... 51 4.3.1 Sumber Cerita... 51 4.3.2 Tandak... 53 4.3.3 Retorika... 54 4.3.4 Teknik Teaterikal... 55 4.3.5 Lawakan/Lelucon... 55 4.4 Tetikesan... 56

4.4.1 Bentuk dan Hiasan... 56

4.4.2 Tokoh dan Penokohan... 57

4.4.2.1 Protagonis... 57 4.4.2.2 Antagonis... 57 4.4.2.3 Tokoh Pembantu... 58 4.5 Fungsi... 58 4.5.1 Fungsi Estetika... 59 4.5.2 Fungsi Kreativitas... 61

4.5.3 Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya... 65

BAB V PENUTUTUP... 69 5.1 Simpulan... 70 5.2 Saran-saran... 70 DAFTAR PUSTAKA ... 71 DAFTAR INFORMAN ... 74 LAMPIRAN 1 ... 75 LAMPIRAN 2 ... 85 LAMPIRAN 3 ... 86

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Bagan Struktur Pertunjukan WB. ... 41

(14)

xiii Betel : Tembus

Lemah : Siang Gedog : Kropak

Banjar : Istilah rumah warga di Bali Kawi dalang : kreativitas dalang

University : Universitas Wali : Upacara Kelir : Layar

Blencong : Lampu yang bersumbu Tukelan : Nama benang

Gender : Alat musik untuk wayang Dapdap : Nama pohon

WB : Singkatan dari Wayang Betel Quality : Kwalitas

DVD : Kaset vidio Doyong : Miring

Royong : Selalu bergerak Baying : Barang

Madya : Tengah Amangku : Orang suci Panglukatan

panyudamalan : Alat Untuk mensucikan Akekawin : Melagukan

(15)

xiv Wadah : Menara usungan mayat Ngetisin : Memercikan

Toya : Air

Melaspasin : Menyucikan Nunas : Meminta Sesari : Imbalan Gedebong : Pohon pisang

Ritus : Tata cara upacara keagamaan Rambat : Nama sebuah alat musik Ngeseng : Membakar Bingin : Beringin Bondres : Lawakan Tetikesan : Sabet Paileh : Jalannya Seledet : Melirik Tetuwek : Isinya Pemungkah : Permulaan Petangkilan : Menghadap Angkat-angkat : Perjalanan Papeson : Keluar Gending : Nyanyian

Alas arum : Nama istilah lagu dalam wayang Bali

Penyacah parwa : Istilah sbelum mulai pertunjukan wayang Bali Gayor : Hiasan panggung wayang

(16)

xv Kropak : Tempat menyimpan wayang

Cepala : Alat yang dipakai untuk memberikan isyarat Knock down : Buka-tutup

Fleksibel : Lentur Predana : Perempuan Upakara : Sarana Upakara : Persembahan Gerong : Sinden

Rangon : Tempat pentas Sport light : Nama lampu Gamelan : Alat musik Bali Barungan : Macam-macam benda

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk Panggung WB ... 87

Gambar 2. Dalang melakukan persembahan sebelum pentas ... 87

Gambar 3. Ekspresi Dalang saat memainkan kayonan ... 88

Gambar 4. Adegan Begawan Beksakarma menghadap ibunya Dewi Gangga ... 88

Gambar 5. Adegan Bima dan Dimbi ... 89

Gambar 6. Dialog Punakawan Tualen dan Merdah ... 89

Gambar 7. Adegan Pertarungan Bima dan Detya Dimba ... 90

Gambar 8. Adegan Pengabenan setelah Detya Dimba kalah perang melawan Bima ... 90

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu unsur dari kebudayaan Indonesia adalah kesenian. Berkesenian bagi masyarakat Bali, merupakan kegiatan paling menonjol dalam kehidupan sehari-hari karena kesenian di Bali disamping sebagai hiburan atau tontonan juga berfungsi sebagai ritual. Kondisi ini menimbulkan tantangan bagi para seniman untuk mencipta dan terus menerus melakukan kreasi dan inovasi dalam menciptakan bentuk untuk mencari nuansa baru.

Tumbuh suburnya kegiatan berkesenian Bali disebabkan oleh dorongan yang kuat masyarakat Bali yang sebagian besar menganut Agama Hindu. Agama Hindu memiliki unsur-unsur rasional, ritual, dan kepercayaan. Kegiatan berkesenian Bali ini, didalam pelaksanaannya sering dijadikan sebagai drama ritual dan sebagai persembahan kepada Tuhan. Kegiatan ini dapat menjadi sarana untuk memperkuat rasa bhakti kepada Tuhan. Berbagai jenis kesenian Bali tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Bali, seperti: arja, gambuh, topeng, seni tari, seni bertembang, janger, wayang kulit dan sebagainya. Karena dimantapkan dan dipelihara melalui dukungan sistem sosial yang berintikan lembaga-lembaga tradisional. Lembaga-lembaga tersebut, seperti: desa adat,

banjar, subak dan berbagai jenis sekaa (organisasi profesi) sebagaimana

diungkapkan oleh Rudita (2013: 1).

Ditengah-tengah maraknya pertumbuhan apresiasi masyarakat terhadap kesenian, salah satu seni pertunjukan yang masih tetap eksis hingga saat ini adalah Wayang Kulit. Dewasa ini, seni pertunjukan Wayang Kulit Bali mengalami

(19)

2 perkembangan yang sangat mengembirakan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, kemajuan seni pertunjukan Wayang Kulit Bali dapat dilihat dalam beberapa aspek penting seperti jumblah dalang, jumlah aktivitas atau kegiatannya, jumlah penonton dan jumlah jenis wayang yang ada di Bali. Secara kualitas pertunjukan Wayang Kulit Bali sebagai kesenian tradisional, keberadaannya sangat diharapkan ditengah masyarakat, terutama berkaitan dengan upacara ritual keagamaan. Satu sisi pertunjukan wayang mampu menjadi media “tuntunan” atau pembelajaran bagi masyarakat, sementara disisi yang lain pertunjukan wayang diharapkan mampu menjadi media “tontonan” atau media hiburan bagi masyarakat.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang kulit tetap bertahan dan eksis di zaman globalisasi ini karena wayang merupakan sebuah kesenian yang kaya dengan kreativitas dan kreasi senimannya. Kreativitas dalang merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesenian wayang. Kreativitas dalang juga merupakan suatu kekayaan seni yang lain daripada yang lain. Dalam disertasinya yang berjudul Kawi Dalang:Creativity in Wayang Theatre yang diajukan di University of Georgia, USA, tahun (2002: 2) Sedana menjelaskan bahwa:

“This creative element is known as kawi dalang, which means the creativity (kawi) of the puppet master (dalang). The kawi dalang is not only crucial in perpetuating the genre, but it also allows each production to be distinct and unique, even though the dalang may perform the same story over and over again. Kawi dalang demands that each performance change in accordance with the fluctuating place-time-circumstances (desakala-patra). To a dalang artist, like myself, this element is both interesting and challenging, for it demands the creative response of the dalang puppeteer to any performance situation. Thus, kawi dalang is a term in the Balinese traditional theater that solely deals with the dalang’s creativity and improvisation in his/her performance. Kawi refers to two different things: an action of aesthetic creation and the name of a language. With reference to the action of aesthetic

(20)

creation, kawi means creation, improvisation, invention, or modification.”

(2002: 2) yang artinya dalam bahasa indonesia seperti di bawah ini:

“Elemen kreatif ini dikenal sebagai kawi dalang, yang berarti kreativitas (kawi) dari seorang puppet master (dalang). Kawi Dalang tidak hanya krusial untuk mengekalkan gaya pertunjukan, tetapi ia juga memperbolehkan setiap produksi untuk menjadi berbeda dan unik, sekalipun Sang Dalang mungkin mempertunjukkan cerita yang sama terus menerus. Kawi dalang menuntut agar setiap pertunjukan berubah berkenaan dengan berubahnya tempat-waktu-keadaan (desa-kala-patra). Bagi seorang seniman dalang, seperti saya, elemen ini menarik sekaligus menantang, untuk tuntutan ini respon kreatif dari Dalang diperlukan dalam berbagai situasi pertunjukan. Sehingga, Kawi Dalang adalah sebuah istilah dalam theater tradisional Bali yang semata-mata diuraikan dengan creativitas dalang dan improfisasi dalam pertunjukannya. Kawi merujuk pada dua hal berbeda: sebuah aksi dari kreasi estetis dan nama dari sebuah bahasa. Dengan referensi untuk sebuah aksi dari kreasi estetis, kawi berarti kreasi, improfisasi, penemuan, atau modifikasi.”

Hal-hal sebagaimana diungkapkan Sedana di depan, secara kualitas dapat dideteksi dari peningkatan mutu dalang, penonton dan pertunjukannya. Sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional, pertunjukan wayang kulit di Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis pertunjukan yaitu, Wayang Peteng dan Wayang

Lemah. Wayang Peteng adalah wayang yang dipentaskan pada malam hari. Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang yang diadakan pada siang hari. Sesuai

dengan namanya, wayang lemah, bahwa lemah berarti siang atau terang (Kamus Bali-Indonesia dalam Purnamawati, 2005: 67).

Kalau dilihat dari fungsinya pertunjukan wayang kulit termasuk kesenian pelengkap upacara keagamaan (Wali) dalam rangkaian mengiringi Panca Yadnya

(Dewa Yadnyda, Bhuta Yadnya, dan Rsi Yadnya) (Kawen dalam Purnamawati,

2005: 68). Di beberapa tempat disebut juga dengan Wayang Gedog. Wayang ini dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan Lampu Blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (Benang Tukelan). sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada batang kayu Dapdap yang dipancangkan pada batang pisang

(21)

4 dikedua sisi dalang. Gamelan pengiringnya adalah gender-wayang yang berlaras

slendro (lima nada). Wayang upacara ini pementasannya sangat tergantung pada

waktu pelaksanaan upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat dipentaskan pada siang hari, sore hari, maupun malam hari. Pendukung pertunjukan ini yang paling kecil, 3 sampai 5 orang yang terdiri dari seorang dalang dan satu atau dua opasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan Wayang Lemah biasanya mengambil tempat disekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan panggung khusus. Lakon yang dibawakan pada umumny bersumber pada cerita Mahabarata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat upacara yang diiringinya. Jangka waktu pementasan Wayang Lemah pada umumnya singkat, sekitar 1-2 jam.

Untuk memberikan sentuhan lain terhadap minat para penonton Wayang

Lemah, agar tidak merasa jenuh, monoton, maka salah seorang dalang yaitu I

Ketut Kodi memberanikan diri melakukan inovasi dan kreativitas melalui pola

Wayang Lemah, menghasilkan produk baru yang bersifat tontonan atau hiburan.

Menurut I Ketut Kodi, kreativitas seni pewayangan atau pedalangan kini sudah saatnya memikirkan optimalisasi wayang dan seniman dalang dalam berbagai ungkapan artistiknya yang belakangan ini sering direduksi hanya sebagai pembaca naskah pertunjukan. Sebagai seniman dalang mempunyai beberapa peranan vital, yakni sebagai penyusun lakon, sebagai sutradara, sebagai narator atau pembawa cerita, sebagai penyanyi, sebagai pemain wayang, sebagai pelawak dan penceramah yang istimewa dan paling dekat dengan mayoritas masyarakat. (wawancara, senin tgl 24 febuari 2014).

(22)

Berkenaan dengan wawancara yang penulis lakukan tersebut diatas, maka muncul keinginan penulis sebagai peneliti untuk mengajak masyarakat mengenal lebih jauh perkembangan Wayang Lemah di Bali. Kebanyakan masyarakat mengetahui bahwa Wayang Lemah hanya dipentaskan pada saat adanya upacara keagamaan di Bali. Namun, belakangan ini Wayang Lemah yang sering kita lihat atau kita tonton didalam suatu upacara keagamaan isa dijadikan suatu acuan dalam penciptaan suatu karya Inovasi. Seperti apa yang telah dilakukan oleh seorang dalang, I Ketut Kodi. Beliau menciptakan Wayang Betel dengan menggabungkan berbagai elemen, menjadikannya suatu garapan inovasi.

Wayang Betel merupakan sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi

dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog. Pada tahun 2010 dengan daya inovasi dan kreasi yang khas, I Ketut Kodi, dalang akademik dari Banjar Mukti, Desa Singapadu kecamatan Sukawati kabupaten Gianyar memunculkan apa yang sampai saat ini di kenal dengan Wayang Betel yaitu sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog.

Saat usulan penelitian ini ditulis (2014) Wayang Betel (selanjutnya ditulis WB) sangat digemari oleh penonton, hal ini terjadi karena WB telah berasil pentas di sejumlah tempat seperti dalam Pesta Kesenian Bali tahun 2010, dan gedung Candra Metu ISI Denpasar sebagai pemenang dana DIVA ISI Denpasar. Dari sekian kali pementasan dijadikan objek dalam penelitian ini, di tinjau dari bentuk dan kreativitas wayang kulit Bali.

Alasan peneliti memilih WB sebagai kasus analisis dalam penelitian ini ada tiga alasan yang dapat dikemukanan yaitu;

(23)

6

1) WB muncul dengan fenomena baru, terutama dalam pertunjukan Wayang Lemah.

2) Pementasan WB yang unik karena munculnya mengalami perubahan

lewat kreativitas dalang.

3) Sepanjang pengetahuan peneliti WB belum pernah ada yang meneliti.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas atas maka dapat dirumuskan ke dalam dua masalah penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana bentuk WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi kreativitas Wayang Kulit Bali ?

2) Faktor apa yang menyebabkan Wayang Lemah dijadikan sumber inspirasi kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi ?

3) Apa fungsi WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi kreativitas Wayang Kulit Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Wayang Lemah sebagai Sumber inspirasi wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) karena dalam pertunjukan WB memberikan inspirasi bagi masyarakat umum, bahwa Wayang Lemah yang biasanya dipentaskan dalam suatu upacara keagamaan di Bali dapat dijadikan sebagai acuan seni pertunjukan wayang yang bersifat hiburan atau tontonan.

(24)

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan mencari relevansi teori-teori kreativitas dengan pakta empiris dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali, Dalang I Ketut Kodi dengan memperhatikan, bentuk, faktor yang mendorong dan fungsi sosial serta budaya masyarakat Bali tujuan dilaksanakan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut;

1. untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi Wayang Kulit Bali.

2. untuk mendepkripsikan faktor-faktor yang menyebabkan Wayang Lemah dijadikan sumber inpsirasi kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi.

3. untuk mendepkripsikan fungsi WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber

inspirasi kreativitas Wayang Kulit Bali. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Mengenai manfaat dari penelitian ini, penulis akan menjabarkannya sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat dijadikan salah satu sumber infomasi secara ilmiah tentang kajian diskripsi dalam pertunjukan wayang kulit Bali.

2. Dapat menambah referensi hasil-hasil penelitian khususnya tentang

Wayang Lemah sebagai sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali

(studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi).

3. Dapat dijadikan bahan infomasi bagi para peneliti yang hendak melakukan penelitian ilmiah mengenai wayang kulit Bali.

(25)

8 Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan teori kreativitas, khususnya teori kreativitas yang berkaitan dengan bentuk WB dalam seni pertunjukan wayang kulit. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi para peneliti yang berminat meneliti aspek kreativitas dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali.

1.4.2 Manfaat Praktis

- Meningkatkan wawasan masyarakat penikmat seni pertunjukan wayang kulit Bali bahwa, telah terjadi kreativitas dalam pertunjukan Wayang

Lemah.

- Dapat menggugah minat dan bakat para calon peneliti untuk melakukan penelitian tentang Wayang Lemah sebagai sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) dari pemikiran yang berbeda.

- Membuka wawasan berpikir para dalang wayang kulit Bali bahwa Wayang

Lemah yang sering dikaitkan dalam suatu upacara keagamaan di Bali dapat

dijadikan sumber inspirasi untuk berkreativitas.

- Sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan (pemerintah), baik Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam menyusun program pembangunan di bidang kebudayaan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menafsirkan objek kajian penelitian dan mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang penulis miliki maka, adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

(26)

1) Kajian objek penelitian ini membahas seputar bentuk Wayang Lemah sebagai kreativitas Wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi).

Sebuah produk seni pertunjukan berdasarkan data kualitatif dalam penelitian ini misalnya seperti: lamanya pertunjukan, tahapan-tahapan pertunjukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan WB ini di bangun oleh dalang I Ketut Kodi, maka kontribusi penelitian ini akan di analisis secara kualitatif. Penerapan metode kualitatif dalam penelitian ini menurut Arikunto (dalam Purnamawati 1989: 201) bertujuan untuk mencari dan menemukan ada atau tidak hubungan antar gejala yang ada. Kalau ada seberapa jauh hubungan itu, disamping berarti tidaknya hubungan itu. 2) Subjeknya diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber: I Ketut

Kodi dan berbagai sumber literatur terkait. Sebagai acuan akan menjadikan mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis teks WB: Dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dalam pertunjukan dilokasi penelitian. Disitulah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut struktur dan bentuk WB, kemudian menelusuri fungsi yang terkandung didalamnya lewat dialog, monolog yang muncul dari lakon itu.

(27)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini digunakan berbagai sumber-sumber pustaka atau buku-buku sebagai sarana pendukung untuk dijadikan pedoman dan acuan dalam menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

Menurut Mulyono (1978: 263) dalam bukunya yang berjudul ‘Wayang’ disebutkan bahwa, pertunjukan wayang itu seluruhnya menurut zaman kuna dan adat ini dipertahankan sedemikian setianya, sehingga sampai sekarangpun pembaharuan-pembaharuan yang dicobanya pada pertunjukan wayang dilihat oleh “orang jawa” dengan kecurigaan dan sedapat mungkin ditolak.

Penelitian yang berjudul Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur

Dramatiknya oleh Soediro Satoto tahun 1985 yang diterbitkan oleh proyek

penelitian dan pengkajian Kebudayaan Nusantara (javanologi), Direktorat jeneral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam penelitian ini dianalisis struktur dramatik dan makna lakon wayang Purwa ( Jawa ) “Banjaran

Karna” dan “Karna tanding” yang dipentaskan oleh Ki Narto Sabdo. Penelitian

ini terkait dengan pendeskripsian ketika mengkaji masalah bentuk pertunjukan WB.

A.A.M. Djelantik dalam buku yang berjudul, Estetika Instrumental: Pengantar Dasar Ilmu Estetika. Buku ini, membahas tentang aspek-aspek yang mendasar yang terdapat pada benda atau peristiwa kesenian, dijelaskan terdapat tiga aspek, yakni: (1) wujud, (2) bobot, dan (3) penampilan. Pertama, wujud

(28)

memiliki dua unsur, yaitu bentuk dan struktur. Kedua, bobot memiliki tiga unsur, yaitu suasana, gagasan, dan pesan. Ketiga, penampilan memiliki tiga unsur, yaitu bakat, ketrampilan dan sarana. Buku ini, memberikan acuan dalam menentukan konsep garap, dan dalam tata penyajian di atas pentas.

Darsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira (2002: 98) dalam bukunya berjudul Pengantar Estetika mengungkapkan, bahwa suatu pertunjukan dibangun dengan pondasi estetika baik dari segi wujud, bobot, dan penampilannya, merupakan satu-satunya yang sangat komplit dan membangun kesan indah, sehingga pertunjukan menjadi menarik untuk ditonton dan dinikmati, yang mampu meninggalkan kesan mendalam bagi para penikmatnya. Pernyataan Djelantik dan Darsono ini sangat penting artinya ketika membahas tentang estetika karena pertunjukan WB sarat dengan kreativitas dalang.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang kulit tetap bertahan dan eksis di zaman globalisasi ini karena wayang merupakan sebuah kesenian yang kaya dengan kreativitas dan kreasi senimannya. Kreativitas dalang merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesenian wayang. Kreativitas dalang juga merupakan suatu kekayaan seni yang lain daripada yang lain. Dalam disertasinya yang berjudul Kawi Dalang:Creativity in Wayang Theatre yang diajukan di University of Georgia, USA, Sedana (2002: 2).

Menurut Mardana (2008: 5) dalam tesisnya yang berjudul “Retorika

Dalam Ragam Tutur Pertunjukan Wayang Kulit Bali” mengungkapkan bahwa

dalam pertunjukan wayang kulit, kemampuan beretorika dari seorang dalang memiliki peranan yang sangat sentral, karena kemampuan beretorika itulah yang menjadikan suatu pertunjukan wayang kulit menjadi menarik dan komunikatif.

(29)

12 Umumnya pertunjukan wayang kulit akan terasa menarik apabila dalangnya memiliki kemampuan beretorika yang memadai. Tanpa memiliki kemampuan beretorika yang memadai dari dalang, suatu pertunjukan akan terasa membosankan dan ditinggalkan oleh penontonnya. Pandangan Mardana dan Sedana diatas sama-sama menekankan bahwa ada semacam benang merah agar seorang dalang harus memiliki kemampuan berkreativitas dan berdialog dengan baik agar tidak ditinggalkan penonton.

Dalam sebuah garapan pakeliran akan menyangkut dua aspek yaitu aspek teaterikal dan aspek dramatikal. Yang dimaksud dengan aspek teaterikal disini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pendukung pertunjukan seperti, iringan, kelir, wayang, damar, panggung, keropak, cepala dan lain-lain. Sedangkan aspek dramatikal adalah suatu yang berkaitan dengan pertunjukan itu sendiri, seperti lakon, dialog, tetikesan dan lain-lainnya.(Sukerta, 2009: 2) Buku ajar: pakeliran gaya baku VII. Ketika mengupas masalah struktur dan fungsi dalam penelitian ini, maka pandangan Sukerta diatas pasti banyak kegunaanya dalam mendukung penelitian WB ini.

2.2 Landasan Teori

Teori mempunyai fungsi yang sangat penting dalam penelitian ilmiah yaitu sebagai alat untuk membedah permasalahan. Mark dan Godson (dalam Rudita, 2013: 18) menyatakan bahwa teori adalah aturan untuk menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang terkait dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas represetasi simbolik dari: (1) hubungan-hubungan yang diamati diantara kejadian-kejadian yang diukur: (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan itu: (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan

(30)

serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama teori estetika untuk menganalisis dan mengkaji bentuk Wayang Lemah Sebagai kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) dari segi bentuk, bobot atau isi dan penampilan dalam penyajiannya. Teori kedua adalah teori kreativitas untuk menganalisis daripada dasar-dasar kreatif atau kreasi seorang dalang dalam mengkemas suatu pertunjukan wayang kulit Bali yaitu Wayang

Lemah dijadikan acuan dalam berkreativitas sehingga muncul seni baru dalam

pertunjukan wayang kulit Bali. Sedangkan teori yang ketiga adalah teori funsional untuk menganalisis struktur dan bentuk Wayang Lemah Sebagai Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) maupun menganalisis hubungan dan keterkaitan secara fungsional antara Wayang Lemah dan kreativitas WB.

2.2.1 Teori Estetika

Teori Estetika menurut Djelantik (2004 : 15) bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar yakni: wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian. Wujud mempunyai arti lebih luas dari pada rupa yang lazim dipakai dalam kata seni rupa atau semisal dalam kalimat batu itu mempunyai rupa seperti burung. Bobot adalah isi dari suatu barang kesenian bukan hanya yang dilihat belaka tapi juga meliputi apa yang bisa dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Salah seorang pelopor teori estetika adalah Gustav Theodor Fechner (dalam Diah, 2004: 36)

(31)

14 berusaha menemukan kaidah-kaidah atau dalil-dalil mengapa orang lebih menghargai sesuatu hal tertentu yang indah dan kurang menyukai yang lainnya.

Pandangan-pandangan diatas tentang estetika sejalan dengan pendapat Mudji Sutrisno dan Christ Verhsak (dalam Purnamawati 2004: 36-37) dalam bukunya Estetika: Filsafat Keindahan, yakni mengemukakan tiga pandangan mengenai estetika atau keindahan, yaitu (1) keindahan berdasarkan keseimbangan, (2) keindahan sebagai jalan menuju kontemplasi, dan (3) keindahan sebagai pengalaman aposteriori dan empiris manusia. Teori ini digunakan untuk membahas bentuk WB pada pertunjukan wayang kulit Bali, terutama menganalisis tentang keindahan yang dimunculkan karena WB merupakan sebuah produk karya seni.

Relevansi teori ini terhadap kedua rumusan masalah tersebut diatas dapat digunakan untuk mengkaji bentuk dan fungsi pertunjukan Wayang Parwa dengan lakon Gugurnya Detya Dimba oleh Dalang I Ketut Kodi. Bentuk dan struktur pertunjukan wayang dari awal hingga akhir akan dapat dikaji berdasarkan konsep estetika dan metode artistik sebagaimana yang diatur dalam koridor teori estetika. 2.2.2 Teori Kreativitas

Dalam buku “Kreativitas Sepanjang Masa Munandar” (1988: 1) menjelaskan bahwa akhir-akhir ini kata kreativitas seringkali digunakan baik dalam media masa, dalam percakapan sehari-hari, dalam kreativitas lebih mudah penggunaannya daripada dalam perumusannya. Kalau kita minta pada orang-orang, para hadirin atau peserta seminar dan pertemuan lainnya untuk merumuskan pengertian kreativitas maka banyak yang mengalami kesulitan untuk

(32)

memberi batasan yang menurut mereka tepat. Kemungkinan hal ini disebabkan disebabkan antara lain karena luas dan majemuknya konsep kreativitas.

Kreativitas menyangkut penemuan sesuatu yang “seni”nya belum pernah terwujud sebelumnya. Apa yang dimaksudkan dengan “seni”nya tidak mudah ditangkap, karena ini menyangkut sesuatu yang prinsipil, dan konseptual. Yang dimaksudkan bukanlah hanya “wujud” yang baru, tetapi adanya pembaharuan dalam konsep-konsep estetikanya sendiri, atau penemuan konsep yang baru sama sekali. (Djelantik, 2004: 67). Teori ini digunakan untuk membahas kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi dalam pertunjukan wayang kulit Bali, sehingga menghasilkan produksi baru.

2.2.3 Teori Fungsional

David Kaplan (2002: 76) mengatakan bahwa dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan pada studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama dasawarsa silam. (Sudah barang tentu menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan hal kebetulan). Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodelogis bahwa kita harus mengekplorasi ciri sistemik bukan daya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membudaya suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis. Teori ini digunakan untuk membahas kreativitas dan keterkaitan secara fungsional antara

(33)

16 bentuk pertunjukan, lakon, plot dan karakter atau tokoh dalam WB: Dalang I Ketut Kodi Dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali.

(34)

17 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti menyajikan paparan yang berhubungan dengan metode penelitian yang telah diadopsi dalam penelitian ini. Bab ini mencakup paparan mengenai (1) rancangan penelitian, (2) populasi sampel, (3) instrumen penelitian (4) pengumpulan data, dan (5) deskripsi data.

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif untuk mendapatkan data yang nyata dan alamiah, tentang Wayang Lemah yang dijadikan sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi). Penelitian kualitatif menurut Satori (dalam Rudita, 2002: 22) adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang atau jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau jasa berupa kejadian/fenomena/gejala sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori. Jangan sampai sesuatu yang berharga tersebut berlalu bersama waktu tanpa meninggalkan manfaat. Penelitian kualitatif dapat didesain untuk memberikan sumbangannya terhadap teori, praktis, kebijakan, masalah-masalah sosial dan tindakan. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan.

Mekanisme kerja penelitian ini adalah menganalisis teks WB: Dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dari pertunjukan yang berupa DVD. Dalam penelitian ini dirancang diskriptif kualitatif dalam bentuk studi kasus. Karena itu,

(35)

18 data-data diperoleh berhubungan dengan kreativitas dari seorang dalang selama pertunjukan berlangsung. Jadi penelitian ini dilaksanakan pada latar pertunjukan Wayang Kulit Bali yang berlangsung secara alamiah, sedangkan sumber data penelitian adalah kreativitas Dalang I Ketut Kodi.

3.2 Subjek Penelitian dan Jenis Data

Kajian ini difokuskan pada Wayang Lemah sebagai Sumber inspirasi kreativitas Wayang Kulit Bali Dalang I Ketut Kodi. Hal ini berarti penelitian yang dilaksanakan berhubungan dengan perilaku verbal dalam kreativitas sang dalang selama pertunjukan Wayang Kulit Bali. Dengan demikian yang menjadi sumber data penelitian ini adalah pertunjukan WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai subjek penelitian. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Mardana, 1992: 54) mengatakan data penelitian kualitatif mencakup materi atau bahan mentah (rough materials) yang dikumpulkan dari lapangan penelitian: data-data tersebut merupakan materi atau bahan khusus (particulars) yang dianalisis dan dimanfaatkan untuk menjawab masalah penelitian. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa data verbal yang dikumpulkan menggunakan teknik rekam, observasi, dan wawancara. Jenis data yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Data yang berupa kreativitas Dalang I Ketut Kodi yang digunakan dalam pertunjukan WB yang didapatkan melalui hasil rekaman berupa DVD; 2) Dokumen atau naskah yang berhubungan dengan perilaku, situasi, dan

peristiwa sesuai dengan cakupan penelitian ini yang didapatkan melalui metode observasi;

(36)

Data (1), (2), dan (3) didiskripsikan dan di manfaatkan untuk menjawab semua rumusan masalah penelitian ini.

3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Dengan mempertimbangkan sumber data, subjek penelitian, dan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam metode pengumpulan data serta instrumen penelitian. Secara rinci, ketiga macam metode pengumpulan data dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

3.3.1 Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber, jenis, dan karakteristik data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam metode pengumpulan data, yakni: metode rekam dengan rekaman audio-vidio (audio-vidio rekording), metode observasi tak langsung (indirect observation), dan metode wawancara (interview). Pemanfaatan ketiga macam metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Metode rekam

Metode rekam adalah metode pengumpulan data yang dimanfaatkan dengan melakukan perekaman audio-vidio (audio-vidio recording) yang dilakukan terhadap kreativitas dalang I Ketut Kodi dalam pertunjukan wayang kulit Bali WB. Hasil perekaman selanjutnya didokumentasikan dalam bentuk DVD. Secara khusus perekaman audio-vidio dilakukan ketika dalang I Ketut Kodi mementaskan wayang kulit Bali WB. Di gedung Candra Metu Institut Seni Indonesia Denpasar tgl 20 Januari 2010, hasil rekaman tersebut berupa 1 keping DVD dengan masa putar keseluruhan 73 menit 01 detik. Metode rekam ini

(37)

20 dimanfaatkan untuk mendapatkan data yang dapat memberikan gambaran secara lengkap dan menyeluruh mengenai kreativitas Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Wayang Kulit Bali. (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) berlangsung.

2) Metode Observasi

Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi tidak langsung (inderect observastion) yakni teknik pengumpulan data di mana penyelidikan mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subjek yang diselidiki dengan perantaraan sebuah alat, baik alat yang sudah ada (yang semula tidak khusus dibuat untuk keperluan tersebut), maupun sengaja dibuat untuk keperluan yang khusus itu (Surakhmad 1990: 162). Pelaksanaannya dapat berlangsung di dalam situasi yang sebenarnya maupun di dalam situasi buatan.

Metode ini dimanfaatkan untuk melakukan pengamatan terhadap hasil perekaman audio-vidio yang telah didokumentasikan dalam bentuk DVD, bukan pengamatan terhadap pertunjukan Wayang kulit Bali WB oleh Dalang I Ketut Kodi di atas panggung, sehingga observasi yang dilakukan ini termasuk observasi tak langsung.melalui observasi terhadap hasil perekaman audio-vidio, peneliti melakukan pencatatan hal-hal penting seperti teknik penyajian dan Wayang

Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Wayang Kulit Bali Dalang I Ketut Kodi. Di sini

peneliti mengamati dan mencatat hal-hal yang penting dari hasil rekaman itu sendiri. Dengan menyaksikan hasil rekaman itu secara berulang-ulang serta pencatatan ini digunakan sebagai data pendukung untuk menjawab rumusan masalah diatas.

(38)

3) Metode wawancara

Metode wawancara digunakan untuk memperoleh penjelasan dari subjek penelitian tentang kreativitas Wayang Lemah dijadikan acuan dalam kreativitas Wayang Kulit Bali WB, untuk mengetahui faktor penyebab dan fungsinya sebagai bahan yang dapat mendukung pembahasan rumusan masalah kedua dan ketiga. Karena itu, model wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi terstruktur dan terbuka. Alasan menggunakan model wawancara ini karena peneliti ingin menemukan penjelasan atau gambaran yang lebih dalam tentang temuan-temuan tertentu yang teridentifikasi dalam transkripsi data dan proses kreativitas pengembangan dari Wayang Lemah ke WB Dengan demikian , peneliti akan menyiapkan pedoman wawancara setelah melakukan identifikasi atas temuan-temuan penelitian. Disamping itu, pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara akan berkembang bergantung pada situasi saat wawancara berlangsung atau berupa pertanyaan pendalaman. Pelaksanaan wawancara akan berlangsung secara fleksibel bergantung pada ketersediaan waktu subjek penelitian. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan I Ketut Kodi sebagai dalang WB secara lisan pada hari Jumat 28 Februari 2014. Wawancara ini ditulis dan direkam dengan perekam catatan suara HP Blackberry. Dalam penelitian ini Kodi sebagai dalang WB, sebagai informan utama dan informan lainnya sebagai tambahan.

3.3.2 Instrumen Penelitian

Berdasarkan metode yang digunakan dalam pengumpulan data, instrumen penelitian yang dipersiapkan dan dipakai dalam penelitian ini disesuaikan dengan karakteristik metode pengumpulan data yang digunakan. Instrumen penelitian

(39)

22 yang dipersiapkan dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pengumpulan data sesuai dengan karakteristik masing-masing metode. Dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan dua macam instrumen penelitian. Kedua instrumen yang dimaksud adalah:

1) Kartu Data

Kartu data sebagai instrumen penelitian dimanfaatkan untuk mengamati rekaman berupa 1 keping DVD dengan masa putar 73 menit 01 detik. Penayangan hasil rekaman DVD merk Polytron ditayangkan di layar televisi merk Polytron, mencatat hal-hal yang menarik perhatian dan dianggap penting selama kegiatan observasi dilakukan, seperti aktivitas verbal tertentu, gerakan-gerakan dalang yang mendukung aktivitas verbalnya, situasi, dan peristiwa yang diamati, dirasakan dan didengar. Catatan-catatan hasil observasi dijadikan sebagai data pendukung untuk menganalisis dan mendeskripsikan proses membangun kreativitas oleh dalang guna menjawab rumusan masalah kedua.

2) Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara sebagai instrumen pendukung pengumpulan data melalui metode wawancara dibuat setelah peneliti melakukan perekaman dan observasi. Pertanyaan–pertanyaan yang disusun dalam pedoman wawancara disesuaikan dengan temuan-temuan yang didapatkan melalui observasi terhadap hasil rekaman. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat semi terstruktur dan terbuka. Pertanyaan semi terstruktur dimaksudkan untuk mendapat jawaban sesuai dengan keinginan peneliti berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan dalam kegiatan observasi. Pertanyaan bersifat terbuka berbentuk tanya jawab, tatap muka antara si penanya atau wawancara dengan menggunakan alat yang disebut dengan

(40)

pedoman wawancara. Berarti pertanyaan yang memberikan kebebasan kepada subjek penelitian untuk memberikan jawaban sesuai dengan kapasitasnya sebagai dalang.

3.4 Metode Deskripsi Data dan Penyajian Hasil Penelitian

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Seperti apa yang diungkapkan oleh Miles (dalam Rudita, 2013: 34) analisis kualitatif diartikan sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang tersusun kedalam bentuk teks yang diperluas. Analisis dalam hal ini merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis catatan wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang terhimpun untuk memperoleh pengetahuan mengenai data tersebut dan mengkomunikasikan sesuatu yang telah ditemukan. Data yang diperoleh berupa kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskritif, maka analisis data yang digunakan adalah teknik deskritif. Tahapan-tahapan yang ditempuh dalam kegiatan diskripsi data dan penyajian hasil analisis dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Transkripsi Data

Data verbal yang berupa kreativitas dalang yang telah direkam ditranskripsikan menjadi naskah tertulis. Kreativitas dalang yang dijadikan naskah tertulis adalah kreativitas wayang lemah sebagai acuan dalam penciptaan WB yang dilakukan oleh Dalang I Ketut Kodi selama proses pertunjukan wayang kulit berlangsung.

(41)

24 2) Identifikasi dan reduksi data

Data mengenai transkripsi rekaman pertunjukan WB selanjutnya diidentifikasi dan direduksi. Data berupa kreativitas dalang selama pertunjukan yang tidak relevan dengan masalah penelitian direduksi sehingga hasil reduksi mendapatkan data-data yang relevan dengan masalah penelitian. Untuk itu proses reduksi data dijadikan objek utama penelitian.

3) Deskripsi dan Interpretasi Data

Pada bagian ini, data yang telah diklasifikasikan ke dalam beberapa katagori dan diberikan kode selanjutnya akan disajikan secara deskritif dan diinterpretasikan dengan aspek-aspek yang kreativitas yang terkandung di dalamnya. Interpretasi data kemudian dibahas secara hierarkis berdasarkan urutan masalah yang telah dirumuskan untuk menarik kesimpulan dari penelitian ini. Untuk menjawab rumusan masalah penelitian, hasil interpretasi dihubungkan dengan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini yang akan didukung oleh hasil triangulasi data melalui metode wawancara.

4) Triangulasi data

Untuk menjamin validitas dan reliabilitas hasil analisis data, sebelum mendapat simpulan dari temuan-temuan yang didapatkan, peneliti melakukan triangulasi data melalui metode wawancara. Triangulasi data dilakukan untuk mendapatkan konfirmasi dan penjelasan dari subjek penelitian.

5) Penyajian Hasil Analisis

Temuan dari interpretasi yang didapatkan dalam analisis data selanjutnya akan disimpulkan sebagai hasil penelitian dan disajikan secara verbal. Temuan dari hasil penelitian disajikan secara hirarkis sesuai dengan urutan rumusan

(42)

masalah penelitian, yang meliputi: aspek-aspek kreativitas dalam proses penciptaan WB. oleh dalang, proses membangun komposisi berkreativitas dalam WB, dan fungsi-fungsi kreativitas yang di kembangkan oleh I Ketut Kodi selaku Dalang WB.

(43)

26 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aspek Pertunjukan

Data yang berasil dikumpulkan dalam penulisan ini menunjukan bahwa kreativitas yang digunakan dalam pengembangan Wayang lemah oleh: Dalang I Ketut Kodi yang kita kenal dengan istilah (WB). Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Bali dengan lakon Gugurnya Detya Adimba adalah pengembangan dan pengemasan secara rapi antara tradisi Wayang lemah dengan gerak Dalang yang lebih dinamis dengan pencahayaan, dan beberapa pengolahan bentuk dialog, vokal, gerak wayang, serta iringan.

4.1.1 Wayang

Wayang dalam bahasa jawa kata ini berarti “bayangan” dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh: bayeng. Dalam bahasa Bugis wayang atau bayang. Dalam bahasa bikol dikenal kata baying artinya

“barang” yaitu apa yang bisa dilihat dengan nyata. Akar kata dari wayang adalah yang. Akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain dapat dalam kata layang atau terbang dan doyong bebrarti miring, tidak stabil, royong slalu

bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Poyang-payingan atau berjalan sempoyongan, tidak tenang dan lain sebagainya. Mulyono (1978: 9)

Secara etimologis, Holt (dalam Bandem, 1994: 31) kata “wayang” berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi, yakni “mawayang” yang sama artinya dengan “bayang-bayang”. Dari kata wayang kemudian lahir istilah Wayang kulit Bali, yakni sebuah istilah yang mengacu kepada prihal dan seluk beluk wayang sebagai media pertunjukan yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau, dipahat,

(44)

ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk imajinasi atau khayalan mengenai dewa-dewa, manusia, binatang, raksasa, pohon-pohonan, dan lain-lainnya. Selain itu, sebagai seni pertunjukan yang menggunakan wayang sebagai media ungkap, wayang kulit Bali dimainkan oleh orang yang ahli yang dinamakan dalang.

Perioderisasi sejarah pewayangan Indonesia dibedakan secara umum menjadi pewayangan pada zaman pra sejarah dan pewayangan pada zaman sejarah. Pada zaman Pra-sejarah pewayangan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang masih sangat sederhana dan belum mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme sangat kuat. Kepercayaan ini di dominasi oleh keyakinan bahwa roh nenek moyang masih hidup dan dapat mengganggu kebahagiaan manusia apabila tidak diadakan upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang. Wayang sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang dianggap sudah ada sejak zaman Pra-sejarah, karena terdapat kegiatan pemujaan yang menggunakan bayang-bayang sebagai simbol datangnya roh nenek moyang. (Seramasara, 2000: 5).

Pendapat Seramasara dikuatkan oleh (Pandji dkk, 1987: 1) Dalam sejarah wayang dikatakan oleh para sarjana atau para ahli didalam maupun di luar negeri bahwa wayang itu telah ada di Indonesia sejak zaman Pra-sejarah yaitu sekitar tahun 1500 S.M. wayang pada saat itu merupakan salah satu aspek upacara keagamaan yang berbentuk penyembahan kepada nenek moyang atau kepada Hyang. Upacara itu dilakukan oleh seorang pemimpin upacara yang disebut Syaman. Semua nenek moyang dilukiskan dengan bentuk arca atau batu, tetapi kemudian digambarkan dalam kulit binatang. Kemudyan dimasukan dengan kebudayaan Hindu ke Indonesia sekitar tahun 400 M dengan membawa dua epos

(45)

28 besar Ramayana dan Mahabharata maka tokoh-tokoh nenek moyang diganti dan diberi nama dengan tokoh-tokoh yang terdapat pada epos tersebut. Pemimpin semula yang dilakukan oleh Syaman kemudian diganti dengan sebutan Dalang yang sebetulnya fungsinya sama dengan Syaman tetapi ada mengarah dengan pertunjukan.

Wayang adalah warisan kebudayaan leluhur yang telah mampu bertahan berabad-abad dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai mencapai bentuknya sekarang ini. Wayang memang dikenal dan didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang memiliki corak yang khas dan bermutu tinggi sehingga dikatakan sebagai salah satu kebudayaan nasional Edi sedyawati (dalam Wicaksana, 2003:50-51).

Datangnya Agama Islam, sejarah seni pewayangan Indonesia mengalami proses pengembangan dengan segala ketentuan tradisi seni rupa Islam-Indonesia (S. Haryanto, 1992: 25). Pada saat itulah lahir bentuk wayang yang mencerminkan suatu konsepsi matang yang lebih sesuai dengan tradisi seni Indonesia, visual maupun spiritual, yang kemudian melahirkan bermacam-macam bentuk perwujudan wayang antara lain, Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Krucil,

Wayang Madya dan lain-lainnya.

4.1.2 Darma Pewayangan

Kitab darma pewayangan adalah pustaka khusus yang isinya memuat petunjuk yang membimbing para dalang dalam melaksanakan darma atau kewajibannya sebagai dalang. Disamping itu secara tidak langsung juga merupakan rambu-rambu yang mengikat dalang untuk tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran agam dan etika.

(46)

Dalam kamus Bali-Indonesia Dharma antara lain berarti kebenaran. Sementara itu dalam kamus Jawa kuno-Indonesia (2000: 197) dharma antara lain berarti kebiasaan, hukum, tata cara, tingkah laku, kewajiba atau sopan santun yang harus dilakukan. Sedangkan kata pewayangan dalam kamus Jawa kuno-Indonesia (2000: 1406) berarti tempat untuk pertunjukan wayang atau seperangkat boneka wayang. Bertitik tolak dari makna leksikal dari kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa, Dharma Pewayangan adalah semacam panduan atau pegangan (hukum, tata cara, kewajiban) yang harus dilakukan oleh siapa saja yang akan beraktivitas memainkan boneka-boneka wayang di daerah tempat pertunjukan wayang, yaitu para dalang atau yang sedang mempersiapkan diri menjadi dalang sebagaimana tertera pada wacana pembuka pada lontar darma

pewayangan. Purnamawati (dalam Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan 2005: 67).

Kata “Dharma” dalam kamus Jawa kuno-Indonesia karangan L. Mardiwarsito berarti pokok ajaran, doktrin, hukum, undang-undang. Kemudian dharma juga dapat pula berarti ketuhanan, kebatinan, kewajiban suci, setia jujur adil, kebenaran, kebajikan, agama dan sabar (Wicaksana, 2009: 34-35). Menurut Hooykaas (dalam Wicaksana, 2009: 35) struktur isi naskah Dharma Pewayangan secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi 10 bagian antara lain: (1) Bagian Pendahuluan, yang mengandung hal-hal yang bersifat metafisik; (2) Bagian yang menggambarkan perbuatan dan mantra-mantra yang dianggap penting bagi sang dalang; (3) Bagian yang menggambarkan perbuatan sang amangku dalang, dan mantra-mantra yang berfungsi sebagai panglikatan panyudamalan (penyucian); (4) Bagian yang memuat mantra-mantra yang diucapkan oleh dalang dalam rangkaian upacara orang meninggal, antara lain mantra pada waktu sang dalang

(47)

30 akan akekawin/amanjang (melagukan tembang gede), pada wadah (menara usungan mayat) yang diusung ke kuburan; (5) Kegiatan dan mantra pada waktu oton (kelahiran) wayang; (6) Mantra untuk membuat air suci (toya) yang dipercikan kepada wayang-wayang dan sarana lainnya; (7) Aktivitas yang dilakukan sang dalang pada waktu ngetisin toya wayang (memercikan air suci untuk wayang); (8) Mantra-mantra yang didasarkan (diucapkan) pada waktu membuat wayang, pada waktu mewarnai wayang, dan pada waktu melaspasin (mensucikan) wayang; (9) Pantangan-pantangan bagi sang amangku dalang; (10) Pahala yang diterima sang amangku dalang yang taat melaksanakan isi lontar

Dharma Pewayangan , antara lain ia boleh mengambil upah (nunas sesari), boleh

melaksanakan pertunjukan wayang panyudamalan, ia dapat dikatagorikan sebagai “dalang utama”, ia akan mendapatkan keselamatan lahir dan batin.

4.1.3 Pertunjukan Wayang Kulit Bali

Wayang menjadi sebuah seni pertunjukan adiluhung, telah nampak sejak abad XI, ketika syair-syair Arjuna Wiwaha digubah oleh Empu Kanwa menyirat sebuah karya seni yang agung bahwa: bila melihat wayang yang berduka cita, maka para penonton ikut terharu, sedih, menangis, dan bingung, padahal hanya boneka belaka dan semua yang dilakukan itu hanya hayalan belaka. Nilai adiluhungnya terkesan dalam perannya yang mampu mengkomunikasi nilai-nilai yang dapat mempengaruhi batin manusia. Pohon-pohon yang ditampilkan mengesankan sebagai tokoh wayang, seolah-olah hidup dan memberikan isyarat kepada manusia. (Seramasara, 2000: 21).

Seni pewayangan Bali sebagai warisan masa lampau telah memberikan citra dan membentuk identitas budaya menyebabkan Bali menjadi cukup dikenal

(48)

oleh masyarakat dunia. Pertunjukan wayang diciptakan sebagai wahana komunikatif, dan edukatif supaya masyarakat Bali menjadi lebih bermoral, etis dan normatif dalam menyikapi perkembangan zaman. Dengan demikian seni Pewayangan Bali merupakan produk seni, hasil dari interaksi yang kondusif dan hakiki antara seniman dengan masyarakat Bali yang di jiwai oleh nilai-nilai budaya Bali (Sidemen dalam Seramasara, 2005: 1).

Wayang kulit di Bali pada umumnya di pentaskan berkaitan dengan hubungan upacara keagamaan misalnya seperti upacara Panca Yadnya (dewa, rsi,

pitra, butha dan manusa yadnya). Cerita yang diambil biasanya dari epos

Mahabharata dan Ramayana yang sarat dengan makna dan nilai-nilai kebenaran sehingga selaras dengan inti ajaran agama Hindu yakni dharma dan kebenaran. (Purnamawati, 2005: 64)

4.1.4 Wayang Lemah

Sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional, pertunjukan wayang kulit di Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis pertunjukan yaitu, Wayang Peteng dan

Wayang Lemah. Wayang Peteng adalah wayang yang dipentaskan pada malam

hari. Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang yang diadakan pada siang hari. Sesuai dengan namanya, Wayang Lemah, bahwa lemah berarti siang atau terang (Kamus Bali-Indonesia dalam Purnamawati, 2005: 67).

Kalau dilihat dari fungsinya adalah termasuk kesenian pelengkap upacara keagamaan (Wali) dalam rangkaian mengiringi Panca Yadnya (Dewa Yadnyda,

Bhuta Yadnya, dan Rsi Yadnya) (Kawen dalam Purnamawati, 2005: 68). Di

beberapa tempat disebut juga dengan wayang gedog. Wayang ini dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan Lampu Blencong. Dalam memainkan

(49)

32 wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (Benang Tukelan). sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada batang kayu Dapdap yang dipancangkan pada batang pisang dikedua sisi dalang. Gamelan pengiringnya adalah gender-wayang yang berlaras slendro (lima nada). Wayang upacara ini, pementasannya sangat tergantung pada waktu pelaksanaan upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat dipentaskan pada siang hari, sore hari, maupun malam hari. Pendukung pertunjukan ini yang paling kecil, 3 sampai 5 orang yang terdiri dari seorang dalang dan satu atau dua pasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan Wayang Lemah biasanya mengambil tempat disekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan panggung khusus. Lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita Mahabarata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat upacara yang diiringinya. Jangka waktu pementasan Wayang Lemah pada umumnya singkat, sekitar 1-2 Jam.

Sesuai dengan namanya Wayang Lemah semestinya dipentaskan pada siang hari sejalan dengan yadnya yang diiringinya, karena fungsi utamanya adalah mengiring Panca yadnya yaitu: Manusa yadnya, Pitra yadnya, Dewa yadnya, Bhuta yadnya dan Resi yadnya. Akan tetapi apabila yadnya itu dilakukan dikala malam hari, Wayang Lemah pun dipentaskan pada malam hari pula (beriringan dengan jalannya yadnya).

Pementasan baik dikala siang maupun pada malam hari tidak mempergunakan kelir (layar putih) melainkan mempergunakan benang tukelan direntangkan susun tiga masing-masing berisi uang kepeng, diikatkan pada dua ranting dadap cabang tiga yang terpancang pada kedua belah ujung gedebong

(50)

pentas yaitu sebelah menyebelah dan tidak memakai lampu belencong. Bebanten (sajen) pementasannya yang pokok, ialah suci asoroh dengan guling itiknya, ajuman putih kuning, canang gantal, lenga-wangi buratwangi, Daksina Gede serba empat, sarana 8100 kepeng, Segehan Gede, Pedupaan dan tetabuhan arak berem. Bahan air suci sama dengan persediaan pada wayang Sapuh Leger, dipuja setelah pementasan selesai. Hasilnya dipercikkan oleh Pengacara yadnya atau oleh Ki Mangku Dalang sendiri kepada apa yang diupacarai.

Pemakaian lakon Wayang Lemah disesuaikan dengan jenisnya yadnya umpama untuk mengiringi Dewa yadnya diambilkan dari ceritra Dewa Ruci atau Maha Bharata (Parwa), misalnya Wana Parwa yang isinya mengandung ungkapan-ungkapan bahwa Dewa-Dewalah penegak kebenaran dan keadilan. Apabila untuk Manusia Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya dicukilkan dari Maha Bharata (Asta Dasa Parwa), Bhima Suarga dan Dewa Ruci. Selesailah sudah mengungkapkan garis-garis besar dari Wayang Lemah. Wayang

Lemah juga merupakan suatu kesenian yang kaya akan nilai etika, estetika, moral,

spiritual yang bisa dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dan sumber ilmu pengetahuan.

4.1.5 Wayang Betel (WB)

WB adalah suatu terobosan baru tentang Wayang lemah dengan sangat mementingkan kreativitas sebagai seorang seniman dalang agar menjadi sebuah pertunjukan yang bisa dinikmati oleh masyarakat, tidak hanya untuk kepentingan upacara keagamaan saja, melainkan menjadi sebuah hiburan yang segar. Dalam garapan ini dalang beriteraksi aktif membangun suasana dramatik. Dalang yang biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan berakting

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Proposal pembangunan Pagar Keliling SMAN 1 Rantau melalui Anggaran Dinas Proposal pembangunan Pagar Keliling SMAN 1 Rantau melalui Anggaran Dinas Pendidikan

Tabel di atas menunjukkan nilai rata-rata skor penilaian yang diperoleh dari 5 aspek yaitu : 1) Petunjuk pengisian angket praktikalitas sudah dibuat dengan jelas

Analisis uji chi-square memperoleh nilai p-value =0,034 yang artinya terdapat hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja, dan nilai OR sebesar 5,19 yang

Berdasarkan hasil uji signifikasi in- dividual (uji t), diketahui bahwa terdapat 5 variabel independen yang berpengaruh signifi kan terhadap produksi kopra, antara lain jumlah

Hasil dari proses identifikasi risiko di BTPN terdapat tiga risiko utama dengan macam risikonya yang terkait, pertama yaitu risiko kredit antara lain risiko pinjaman, risiko

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ∆ PER dan ∆ PBV satu tahun sebelum stock split tepat memprediksi tindakan pemecahan saham, sedangkan ∆ PER dan ∆ PBV dua dan,

Sebaran kasus malaria di Desa Hadakamali cukup merata dan berada pada radius yang cukup dekat 0 sampai dengan 2000 meter dengan habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles