• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMASI BIROKRASI DAN REINVENTING GOVERNMENT: Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Oleh Arisman 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFORMASI BIROKRASI DAN REINVENTING GOVERNMENT: Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Oleh Arisman 1"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMASI BIROKRASI DAN REINVENTING GOVERNMENT: Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

Oleh Arisman1

Kondisi Birokrasi Saat ini

Reformasi yang sudah dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998 telah berhasil meletakkan landasan politik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance). Dalam bidang ekonomi, reformasi juga telah mampu membawa kondisi ekonomi yang semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income countries (MICs). Oleh karena itu, Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa krisis dengan baik. Meskipun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun di Asia. Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat

(2)

menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.

Reformasi pelayanan publik menjadi titik strategis untukmemulai pengembangan

good governance. Sebab, pertama,pelayanan publik menjadi ranah interaksi antara negara

yangdiwakili pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah(masyarakat sipil dan mekanisme pasar). Dan, kedua, berbagaiaspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudahpada ranah pelayanan publik, sekaligus lebih mudah dinilaikinerjanya,

Pelayanan publik dewasa ini menjadi isu yang kian strategis karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbaikan kinerja pelayanan birokrasi di bidang ekonomi misalnya, akan mendorong terciptanya iklim kondusif bagi kegiatan usaha dan investasi, yang pada gilirannya akan membuka kesempatan kerja lebih luas. Secara politis, perbaikan kinerja pelayanan birokrasi akan berdampak tumbuhnya kepercayaan (trust), dan legitimasi terhadap pemerintah sehingga mendorong partisipasi masyarakat. Pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(3)

Permasalahan Utama Birokrasi

Ada beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan birokrasi, yaitu: a. Organisasi

Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Peraturan perundang-undangan

b. Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, banyak peraturan perundang-undangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat.

c. SDM Aparatur

SDM aparatur negara Indonesia (PNS) saat ini berjumlah 4,732,472 orang (data BKN per Mei 2010). Masalah utama SDM aparatur negara adalah alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta tingkat produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan yang diperoleh dari evaluasi jabatan. Gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan golongan/pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin kesejahteraan.

(4)

d. Kewenangan

Masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan belum mantapnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

e. Pelayanan public

Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat.

f. Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set)

Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).

Prinsip-Prinsip Reformasi Birokrasi

Beberapa prinsip dalam melaksanakan reformasi birokrasi dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Outcomes oriented

Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM

(5)

aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan kelas dunia.

b. Terukur

Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya.

c. Efisien

Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efisien dan profesional. d. Efektif

Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi.

e. Realistik

f. Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal.

g. Konsisten

Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai.

h. Sinergi

Pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan

(6)

oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang tindih antarkegiatan di setiap instansi.

i. Inovatif

j. Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.

k. Kepatuhan

Reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan. l. Dimonitor

Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan2

Reinventing Government dan Optimalisasi Pelayanan

Sebenarnya perdebatan mengenai optimalisasi pelayanan publik oleh pemerintah telah lama berkembang dalam studi administrasi publik. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi dikalangan para pakar mengenai cara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap, dan akuntabel. Masing-masing pakar memaparkan teori dan atau membantah dan memperbaiki teori yang ada sebelumnya. Teori yang mapan menjadi paradigma dan di"mitos"kan, kemudian muncul teori baru untuk mendemistifikasi teori yang mapan tersebut. Teori Reinventing Government yang tergolong pada The New Public Management merupakan demistifikasi atas The Old Public

2Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tTahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025

(7)

Management. Dan sebenarnya sekarang telah muncul demistifikasi atas The New public Management dengan munculnya konsep The New Public service.3

Para ilmuwan politik, misalnya, telah memperdebatkan kemungkinan mengembangkan good government dan representative government, sejak awal abad 20an4. Bahkan tidak hanya itu, Woodrow Wilson pada tahun 1987 dalam The Study of Administration telah mengemukakan konsep dikotomi politik dan administrasi untuk

menciptakan pemerintahan yang efisien. Selain Wilson, ada Max weber (1922) dengan teori The Ideal Type of Bureucracy, Luther gullick (1937) dengan konsep POSDCORB, Frank J. Goodnow (1900) dengan konsepnya yang tertuang dalam makalahnya Politics

and Administration, Frederick W. Taylor (1912) dengan konsepnya Scientific Management,

Herbert A. Simon (1946) dengan konsepnya The Proverbs of Administration dan masih banyak lagi yang ikut memberikan kontribusi konsep dan teori dalam optimalisasi pelayanan publik5. Sedangkan gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh

David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-konsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan David Osborne dan Ted Gaebler tentang Reinventing Government tertuang dalam karyanya yang berjudul Reinventing Government: How the Entrepreneurial

Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 1992 dan Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, buku terakhir ini

3Dinamika konsep administrasi publik dari The Old Public Management, lalu menjadi The New Public

Management, dan terakhir The New Public service beserta ulasan detail tentang konsep dan kritik atas

konsep tersebut dapat dilihat dalam Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public service:

Serving, not Steering, New York: ANSI, 2002. Khusus untuk gagasan-gagasan The Old Public Administration dapat dilihat dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration,

USA: Harcourt Brace & company, 1978.

4John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Consideration on Representative Government, Vermont: Everyman, 1993.

5 Uraian secara detail dan lengkap tentang teori-teori kalsik tersebut dapat dilihat dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Op. Cit., USA: Harcourt Brace & company, 1978; Miftah Thoha, Ilmu Administrasi

Negara, Jakarta: Rajawali Press, cet. keVIII, 2003; dan Inu Kencana Syafi'I, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999.

(8)

ditulis oleh David Osborne dan Peter Plastik yang dipublikasikan pada tahun 1997. Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Bahkan di penghujung tahun 1980-an, majalah Time pada sampul mukanya menanyakan: "Sudah

Matikah Pemerintahan?". Di awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul bagi kebanyakan

orang Amerika adalah "Ya".

Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas pendidikan, sekolah-sekolah di negeri AS adalah yang terburuk di antara negara-negara maju. Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Banyak kota dan negara bagian yang dibanggakan pailit dengan defisit multi-milyaran dolar sehingga ribuan pekerja diberhentikan dari kerja6. Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi7.

Adapun 10 prinsip tersebut adalah pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan

ketimbang mengayuh. Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran

pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh). Cara ini membiarkan pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak berbagai produsen dengan cara yang dapat

6Ulasan tentang krisis kepercayaan yang terjadi di AS bisa dilihat dalam David Osborne dan Ted Gaebler,

Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector; karya ini

telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Rasyid, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996.

7Ulasan 10 prinsip Reinventing Government ini secara utuh bisa dilihat dalam David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing; atau terjemahannya Mewirausahakan, hlm. 29-343. sebagai bahan pelengkap juga baca David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan

(9)

mencapai sasaran kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak istimewa. Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari organisasi manajemen yang menentukan kebijakan. Upaya mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Upaya mengayuh membutuhkan orang yang secara-sungguh-sungguh memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik.

Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani.

Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir. Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.

Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya

menyebabkan risorsis pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah

(10)

(organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif. Di antara keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah efisiensi yang lebih besar sehingga mendatangkan lebih banyak uang, kompetisi memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon segala kebutuhan pelanggannya, kompetisi menghargai inovasi, dan kompetisi membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang pegawai negeri.

Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan

akan tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut. Di antara keunggulan pemerintah yang digerakkan oleh misi adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan lebih mempuyai semangat yang tinggi ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh aturan.

Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan.

Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada

(11)

prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas. Karena tidak mengukur hasil, pemerintahan-pemerintahan yang birokratis jarang sekali mencapai keberhasilan. Mereka lebih banyak mengeluarkan untuk pendidikan negeri, namun nilai tes dan angka putus sekolah nyaris tidak berubah. Mereka mengeluarkan lebih banyak untuk polisi dan penjara, namun angka kejahatan terus meningkat.

Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak

fokus dan perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat yang datang keistansinya. Tradisi ini harus diubah dengan menghargai mereka sebagai warga negara yang berdaulat dan harus diperlakukan dengan baik dan wajar. Di antara keunggulan sistem berorientasi pada pelanggan adalah memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya, mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa, merangsang lebih banyak inovasi, memberi kesempatan kepada warga untuk memilih di antara berbagai macam pelayanan, tidak boros karena pasokan disesuaikan dengan permintaan, mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen, dan menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan.

Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan.

(12)

yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil, meski dalam situasi keuangan yang sulit.

Kedelapan, pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. Artinya,

pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran. Pola pencegahan (preventif) harus dikedepankan dari pada pengobatan mengingat persoalan-persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah (masih berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan kehilangan kapasitasnya untuk memberikan respon atas masalah-masalah publik yang muncul.

Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih

lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami

(13)

perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Tak ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun. Beban keputusan harus dibagi kepada lebih banyak orang, yang memungkinkan keputusan dibuat "ke bawah" atau pada "pinggiran" ketimbang menngonsentrasikannya pada pusat atau level atas. Kerjasama antara sektor pemerintah, sektor bisnis dan sektor civil socity perlu digalakkan untuk membentuk tim kerja dalam pelayanan publik.

Prinsip kesepuluh adalah pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak

perubahan melalui pasar. Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang

atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama. Dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik, 10 prinsip di atas seharusnya dijalankan oleh pemerintah sekaligus, dikumpulkan semua menjadi satu dalam sistem pemerintahan, sehingga pelayanan publik yang dilakukan bisa berjalan lebih optimal dan maksimal. 10 prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan publik yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif) cheaper (operasionalnya murah) dan kompetitif.

(14)

Dengan demikian, pelayanan publik oleh birokrasi kita bisa menjadi lebih optimal dan akuntabel.

Core Competence dalam Pelayanan Publik

Kualitas pelayanan publik yang prima sangat ditentukan oleh perangkat birokrasi ditingkat operasional. Institusi birokrasi pada jenjang ini dituntut memiliki kemampuan dan

keterampilan terutama menyangkut pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan,

pelayanan sosial, keamanan dan ketertiban. Upaya meningkatkan birokrasi sangat terkait dengan peranan pemerintah , hubungan warga-klien, dan para professional. Di samping itu menempa ketrampilan birokrasi menuntut adanya komitmen kepemimpinan yang besar karena memerlukan sinergi sumber daya yang ada.

Sejak tahun 1970, terdapat konsep yang umum di gunakan menyangkut inti pelayanan dalam sektor privat dengan pengertian yang hampir sama, seperti halnya kompetensi inti (core competence) kemampuan inti (core capability). Dalam kenyataannya dengan konsep tersebut perusahaan adalah sebagai entitas kehidupan, sebagai komunitas pekerjaan yang memiliki struktur dari dalam (inner structure), sebuah kekuatan dinamis dari dalam (inner dynamic force), ketrampilan inti (core skill) yang memungkinkan perusaan tersebut berfungsi. Perusahaan tersebut memiliki rancangan organis yang mencerminkan kekuatan dalam lingkungan eksternal dan pasar yang kompetitif (Moch Ichsan, 1998:23).

Core Competence dapat dipahami sebagai pengetahuan, ketrampilan, dan

kebiasaan kolektif menyangkut kekuatan pasar dan teknologi yang saling terkait, yang diperlukan oleh kader manajerial dan teknik apabila perusahaan ingin bertahan dalam sebuah pasar yang kompetitif. Konsepsi pentingnya peranan pemerintah dalam

(15)

memberikan pelayanan publik. Penggunaan konsep tersebut secara teoritis dapat dilakukan sebagaimana pendapat Agus D bahwa pelayanan public yang berkulitas perlu mengadopsi nilai-nilai privat (privat value) ke dalam sektor public. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa pelayanan publik dapat dikelola oleh organisasi publik, organisasi privat, dan organisasi publik quasi privat.Dalam mengembangkan core skill adalah diawali dengan adanya fungsi dasar yang harus dimiliki organisasi (perusahaan) yaitu pemasaran, operasional dan finansial. Atas fungsi dasar tersebut dikembangkan core skill yang saling terkait dengan fungsi-fungsi yang lain. Sebagaimana oleh Moch Ichsan(1998:22) bahwa membangun dan menciptakan core skill adalah menyangkut berbagai substansi yang secara sinergis harus dapat dilakukan oleh individu atau kelompok.

Beberapa substansi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, di mana hal ini sudah biasa dilakukan administrasi bisnis adalah meliputi:

1. Core sklills, pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki perangkat birokrasi baik menyangkut profesionalisme individu maupun kolektif untuk mengantisipasi perubahan teknologi dan pasar secara kompetitif.

2. echnicians, adalah kemampuan birokrat untuk menguasai aspek teknis secara professional di bidang pekerjaan sehingga menunjukkan kinerja yang penuh rasa tanggung jawab (responsibility).

3. Management: kemampuan birokrat untuk dapat mengelola pekerjaan secara professional baik menyangkut kinerja individual, kinerja tim maupun aspek managerial dan leadership.

4. Business knowledge, tuntutan terhadap pemahaman pengetahuan bisnis khususnya menyangkut nilai-nilai keuntungan (privit making) yang perlu diadopsi kesektor publik dengan tidak mengabaikan aspek pemertaan dan keadilan.

(16)

5. Skill, ketrampilan khusus yang harus dimiliki oleh setiap aparatur khususnya menyangkut bidang pekerjaanya, termasuk penyesuaian terhadap proses perubahan.

6. Habits, membiasakan bekerja secara profesional dengan tidak mengabaikan aspek etika dan moral sehingga akan tercipta kultur kinerja yang kondusif.

7. Cohesion, membisakan bekerja secara sistemik atau keterpaduan antara berbagai komponen yang terlihat dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

8. Collective Experience, menjadikan pengalaman individu atau kelompok tentang keberhasilan atau kegagalan dalam bekerja sebagai penglaman bersama.

9. Knowledge of environment, menyadari terjadinya perubahan setiap saat dalam suatu lingkungan sehingga pengetahuan tentang lingkungan untuk mengantisipasi perubahan sangat diperlukan.

10. Technology, diperlukan penguasaan teknologi sebagaimana persyaratan penting karena menguasai teknologi dapat diibaratkan menguasai dunia dan perubahan.

Pelayanan Publik yang Berkualitas

Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dilakukan untuk memenuhi kepuasan masyarakat.Pelayanan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer-drivengovernment-Osborne & Gaebler, 1992) merupakan paradigma pelayanan publik yang direkomendasikan dengan karakteristik sebagaiberikut:

(17)

a. Lebih terfokus kepada fungsipengaturan melalui berbagaikebijakan yang memfasilitasi kondisiyang kondusif bagi kegiatanpelayanan publik;

b. Lebih berorientasi kepadapemberdayaan masyarakat sehinggamasyarakat mempunyai rasamemiliki yang tinggi terhadapfasilitas pelayanan yang telahdibangun bersama; c. Menerapkan sistem kompetisi dalampenyediaan pelayanan public tertentu sehingga

masyarakat dapatmemilih pelayanan yang lebihberkualitas;

d. Terfokus pada pencapaian visi, misitujuan, dan sasaran denganberorientasi kepada hasil (outcomes)sesuai dengan input yang digunakan;

e. Lebih mengutamakan kebutuhanyang diinginkan oleh masyarakat,bukan semata-mata keinginanpemerintah atau pejabat;

f. Pada beberapa situasi, pemerintah juga berhak memperolehpendapatan dari pelayanan public yang diselenggarakan;

g. Lebih mengutamakan antisipasiterhadap permasalahan pelayananyang kemungkinan dapat terjadi; dan

h. menerapkan sistem pasar dalammemberikan pelayanan, antara lainpenyediaan layanan sesuai dengankebutuhan masyarakat.

Kesimpulan

Birokrasi pemerintah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan profesional. Birokrasi harus sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bekerja untuk memberikan pelayanan prima, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semangat inilah yang mendasari pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah di Indonesia.

(18)

Pada hakekatnya bebarapa prinsip dalam konsep birokrasi yang dikemukakan oleh Weber masih representatif untuk diterapkan pada lembaga pelayanan publik, misalnya standar kerja dan pembagian tugas yang jelas, obyektivitas dan netralitas, profesionalitas dan loyalitas yang tinggi, dan sistem prestasi kerja dalam karir pegawai. Sebaliknya, beberapa prinsip lainnya tampaknya harus ditinggalkan karena tidak lagi sesuai dengan tuntutan organsiasi modern, seperti monopoli top-down yang tersentralisasi, proses pengambilan keputusan yang panjang dan berbelitbelit, struktur lembaga yang hirarkis, atau karir pegawai yang hanya didasarkan kepada sistem senioritas. Dalam hubungan ini beberapa konsep reformasi birokrasi pelayanan publik dikemukakan para ahli, baik secara individual maupun institusional.

Konsep-konsep seperti ReinventingGovernment, Banishing Bureaucracy,

GoodGovernance, dan sebagainya cukup memberikan inspirasi bagi perbaikan pelayanan

publik. Meskipun demikian, penerapa secara per se seharusnya tidak dilakukan mengingat bahwa konsepkonsep tersebut disusun untuk konsumsi masyarakat barat. Perlu beberapa penyesuaian agar konsep-konsep tersebut dapat diterapkan pada tataran budaya Indonesia. Profesionalitas birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat harus ditingkatkan. Salah satu hambatan dalam praktek pelayana prima adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan penyalahgunaan kewenangan dan sikap apatis yang menyebabkan demotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam mencoba memperbaiki birokrasi pelayanan. Dengan demikian, reformasi birokrasi memang harus dilakukan untuk memperbaiki pelayanan publik. Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk tujuan survival. Meskipun demikian, proses perubahannya

(19)

sebaiknya dilakukan secara incremental, setahap demi setahap, sesuai dengan rencana strategis yang telah disusun. Perubahan secara radical dan tanpa rencana rasanya yang matang dan terstruktur rasanya tidak akan efektif, mengingat ketimpangan dalam pelayanan publik sudah membudaya. Beberapa tahapan harus dilakukan dalam proses reformasi pelayanan publik ini: pertama, melalui tahapan-tahapan manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi; kedua, melibatkan semua pihak terkait, mulai dari para ahli pemerintahan, praktisi birokrasi hingga masyarakat sebagai stakeholders; dan ketiga, kontrol yang intensif dari pimpinan birokrasi agar semua pihak tetap konsisten terhadap komitmen yang telah dibangun hingga tercapainya tujuan utama agenda reformasi birokrasi: pelayanan public yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler

menemukan titik relevansinya dalam konteks peningkatan kualitas pelayanan publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Pelaksanaan 10 prinsip Reinventing Government, tentu harus disesuaikan dengan sosio-kultur kita, bisa menjadi solusi alternatif yang efektif untuk menghilangkan patologi-patologi birokrasi peradilan kita selama ini.

(20)

Daftar Pustaka.

David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, terjemahan. Abdul Rasyid, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996.

David Osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju

Pemerintahan Wirausaha, terjemahan. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM,

2000.

Center For Population And Policy Studies, Public Service Performance, Bureucratic

Corruptionin Indonesia, Gajah Mada University, Yogyakarta, 2001.

Cohen, Steven, 1993, Total Quality Management in Government : “a Practical Guide for theReal World”, San Fransisco : Jossey Bass Inc.

Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, New York: ANSI, 2002. Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classics of Public

Administration, USA: Harcourt Brace & company, 1978.

John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Consideration on Representative Government, Vermont: Everyman, 1993. Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari "Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?" dalam Policy Brief, No. II/PB/2003. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tTahun 2010 Tentang Grand Design

Reformasi Birokrasi 2010-2025

Weber, Max. The Theory of Social andEconomic Organization, dalam Peter M.Blau dan Marshall W. Meyer,Birokrasi Dalam Masyarakat Modern.Jakarta: Prestasi Pustakakarya, 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah nomor 0223/Pdt.G/2015/PTA.Sby Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya memiliki beberapa pertimbangan dalam memutus perkara

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, jika kita mengetahui faktor- faktor apa yang menyebabkan para remaja bergabung dalam komunitas yang sering melakukan juvenile

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari 28 Jamaah Tabligh yang mengikuti shalat berjamaah sekarang menjadi 37 orang Jamaah Tabligh yang mengikuti shalat

Renja Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah tahun 2017 merupakan rencana tahun keempat dalam pelaksanaan RPJMD Kabupaten Bogor tahun 2013-2018 yang harus memuat

Dapat masuk fasilitas meskipun ditengah tahun ajaran Berbeda tergantung tiap fasilitas Tiap fasilitas Divisi Taman kanak-kanak dan pengasuhan anak Fasilitas pengasuhan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain pembelajaran ini mampu menstimulasi siswa untuk mem- berikan karakteristik refleksi dan transformasi geometri lainnya secara

Hasil simulasi akan menampilkan nilai koefisien perpindahan panas, temperatur keluar fluida dan juga model dari STHE yang digunakan seperti pada Gambar 1.. Reynolds Number pada

Hasil analisis tersebut akan menjadi dasar kajian dalam menentukan luas area yang dibutuhkan untuk penyediaan Ruang Terbuka Hijau pada lokasi penelitian dengan membandingkan