• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA MENHIR DI NAGARI MAHAT (Kajian Etnoarkeologi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA MENHIR DI NAGARI MAHAT (Kajian Etnoarkeologi)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA MENHIR DI NAGARI MAHAT

(Kajian Etnoarkeologi)

Romi Hidayat

(Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gorontalo)

ABSTRAK

Nagari Mahat, located in Lima Puluh Kota Regency, West Sumatera, is a nagari which is rich for its stones. Those stones then become the materials to make the upright monumental stone (menhir) by the local artists. This research then focuses on the typology, function and the meaning of menhir for the community. There are approximately 800 menhirs in Nagari Mahat which are varied in shape, size and design. The data of the research is mainly from menhir in Koto Tinggi Site, Padang Ilalang Site, and Koto Gadang Site. Other than menhir, this research also collects the data about the behaviour of the local community in relation to the menhir they make.The typology of menhir that is classifi ed based on the shape, design, and the technology is 367 menhirs, and from the artifact analysis found that there are 6 types of menhir. Overall the menhir has a distinct shape, there are the hilt of machete and sword, with tendril, double tendril and triangle shaped ornamental patterns. Menhir in Mahat is used as a burial, medium to worship the ancestors, land border, and the central for ceremonial activities. The meaning of its shape and design is symbolic to the one who is buried.

Keywords: Typology, Function, Meanings, and Nagari Mahat

Pendahuluan

Latar Belakang

Sisa-sisa peninggalan budaya dari masa prasejarah dikelompokkan dalam beberapa masa yaitu masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Pada masa bercocok tanam atau masa neolitik ini muncul tradisi budaya tersendiri yang dikenal dengan kebudayaan megalitik (Soejono, 1990:

(2)

16-17). Kebudayaan megalitik merupakan istilah untuk menyebutkan kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar. Mega berarti besar dan lithos berarti batu, kebudayaan megalitik selalu berdasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan antara yang meninggal, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari salah satu yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Objek-objek batu yang berukuran kecil, dan bahan-bahan seperti kayu pun harus dimasukkan ke dalam klasifi kasi megalitik bila benda-benda itu jelas dipergunakan untuk tujuan sakral tertentu, yakni pemujaan kepada arwah nenek moyang (Soejono, 1990: 205).

Sisa-sisa peninggalan megalitik ditemukan hampir di setiap wilayah Indonesia. Situs-situs megalitik yang telah ditemukan sampai saat ini antara lain Nias (Sumatera Utara), Nagari Mahat, Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat), Cirebon, Kuningan, Sukabumi, Cianjur (Jawa Barat), Matesih, Terjan (Jawa Tengah), Gunung Kidul (Yogyakarta), Besuki (Jawa Timur), Minahasa (Sulawesi Utara), Toraja (Sulawesi Selatan), dan masih banyak lagi di berbagai daerah di Indonesia (Sukendar, 1982: 60).

Schnitger dalam bukunya Forgotten Kingdom in Sumatra (1939) pernah menyebut beberapa daerah yang ada di Lima Puluh Kota seperti Aur Duri, Koto Tinggi, Koto Gadang, Suliki, dan Belubus sebagai tempat-tempat berkembangnya tradisi megalitik.

Tijdschift Bataviasch Genootschappen jilid IV terdapat artikel yang berjudul

”Oudheden te Weskunt van Sumatera” dengan pengarang yang tidak diketahui, artikel ini menyebutkan adanya peninggalan tradisi megalitik di daerah Sumatera Barat (Anonim, 1955: 549-550).

Penemuan menhir di Sumatera, khususnya di Sumatera Barat yang masih memiliki sisa peninggalan berupa kebudayaan megalitik adalah kawasan Mahat, yang berstatus salah satu nagari di antara dua belas nagari yang ada di Kecamatan Bukit Barisan. Secara administratif Mahat termasuk dalam wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Mahat yang terletak di lembah, berpagar perbukitan, memiliki duabelas ke-nagari-an yakni: Koto Gadang, Bungo Tanjuang, Aur Duri, Ampang Godang I, Ampang Godang II, Ronah, Koto Tinggi I, Koto Tinggi II, Koto Tinggi III, Nenan, Sapam Tanah, dan Sapam Godang. Di wilayah ini peninggalan megalitik yang ditemukan berupa: menhir, lumpang batu, batu dakon, batu-batu bulat, batur punden, batu-batu besar berlubang, batu besar berukir, dan sebagainya. Menhir menduduki jenis penemuan paling dominan. Ditemukan

(3)

dalam berbagai bentuk, ukuran, dan pola hias (Tim Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, 1985: 18-19).

Pada beberapa situs, ditemukan sisa-sisa peninggalan purbakala berupa batu tegak (menhir), lumpang batu, batu dakon, susunan temu gelang, dan lain-lain. Beberapa situs seperti Koto Tinggi (Bawah Parit), Ronah, Ampang Gadang, Kayu Keciak, Bukit Dompu, dan lain-lain menunjukkan bukti kreativitas seni hias sisa peninggalan masa lampau pada batu tegak. Peninggalan kepurbakalaan di atas pertama kali disebutkan oleh Schnitger yang mengaitkan batu tegak tersebut dengan bentuk yang sama ditemukan di Semenanjung Malaka. Selanjutnya, beberapa peneliti asing dan pribumi sedikit demi sedikit mulai menaruh perhatian terhadap peninggalan di atas. Beberapa batu tegak (menhir) dapat dikategorikan berdasarkan bentuk, hiasan, dan ukuran. Bentuk batu tegak terdiri atas bentuk yang tidak memerlukan pembentukkan atau mengikuti struktur batuan, pembentukan sederhana, dan pembentukan dengan memahat salah satu sisi batuan menjadi bentuk melengkung. Teknik pembuatan batu tegak tidak lepas dari jenis bahan bakunya (Aziz, 1998: 24-25).

Bentuk dan ukuran menhir yang ada di Nagari Mahat menyiratkan fungsi dan makna, yang pada perkembangan selanjutnya, tradisi megalitik di Nagari Mahat tidak lagi semata-mata bertujuan untuk memuja arwah leluhur, tetapi memiliki tujuan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari pendukung tradisi megalitik. Tujuan lain tersebut adalah untuk memohon terhindar dari wabah penyakit, memohon dimurahkan rezeki, melindungi diri dari bencana (alam dan peperangan), mohon kesuburan, dan sebagai penolak bala terhadap kekuatan jahat. Hal ini telah terjadi pergeseran fungsi yang mula-mula sebagai media pemujaan roh leluhur, kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan.

Di Situs Koto Tinggi tahun 1985 dan 1986, Puslit Arkenas melakukan penggalian dan menemukan 7 rangka manusia yang memiliki ciri-ciri Ras Mongoloid. Dari hasil penggalian terlihat adanya satu orientasi dari pola peletakan mayat dalam kubur, yaitu arah Barat laut-Tenggara, dan semua rangka yang ditemukan tersebut ditempatkan pada sebuah lubang atau liang lahat (Yondri, 1996: 5-9).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, menhir di Nagari Mahat memiliki variasi tipologi yang beragam serta variasi hiasan yang di dalamnya tersirat makna

(4)

tertentu. Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut peninggalan menhir yang terdapat di Situs Ke-nagari-an Mahat.

Permasalahan

Berdasarkan hal di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi.

1. Bagaimana tipologi menhir di Situs Nagari Mahat?

2. Bagaimana fungsi dan makna menhir dalam kehidupan sosial adat istiadat di

Nagari Mahat masa lampau dan sekarang?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keragaman bentuk, ukuran, dan pola hias menhir yang terdapat di situs Nagari Mahat terutama di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang. Selain itu juga mengenai fungsi dan makna menhir dalam kehidupan sosial adat istiadat masyarakat Mahat khususnya dan Minangkabau umumnya.

Metode Penelitian

Pengumpulan data merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mengumpulkan semua data yang ada berhubungan dengan objek yang akan diteliti. Tahapan ini dilakukan pengumpulan data, baik itu data primer (data lapangan) maupun data sekunder. Pengumpulan data ini menggunakan beberapa metode yaitu:

a. Studi kepustakaan

Metode ini digunakan untuk mengeksplorasikan data sekunder dalam bentuk konsep-konsep, pernyataan, dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu, khususnya mengenai menhir. Dalam menganalisis menhir di Nagari Mahat, perlu dihimpun data dari beberapa sumber tertulis berupa buku, jurnal, laporan penelitian, skripsi, makalah, majalah, peta, gambar maupun bahan publikasi lainnya yang relevan dengan tipologi serta fungsi dan makna menhir.

(5)

b. Metode observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung untuk memperoleh data lapangan terhadap objek yang diteliti serta pola tingkah laku masyarakat terhadap objek. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi tentang keberadaan menhir di Nagari Mahat. Tahap dokumentasi dilakukan dengan melakukan pemotretan, pengukuran, penggambaran, dan pencatatan terhadap objek menhir yang tersebar di

Nagari Mahat. c. Metode wawancara

Untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi, dilakukan wawancara. Teknik wawancara dilakukan tanpa struktur atau free interview tetapi pertanyaan terfokus pada permasalahan yang diangkat, dengan maksud memberikan keterangan yang sebanyak-banyaknya.

Pembahasan

Situs-situs Megalitik di Nagari Mahat

Hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Nagari Mahat tercatat 12 situs temuan tradisi megalitik, dimana temuan dominannya adalah menhir dengan jumlah ± 800 buah, diantaranya:

a. Megalitik Bawah Parit b. Megalitik Bukit Domo I c. Megalitik Bukit Domo II d. Megalitik Padang Ilalang e. Megalitik Ronah I f. Megalitik Ronah II

g. Megalitik Kayu Kaciak h. Megalitik Balai-balai Batu i. Megalitik Tanjung Masjid

j. Megalitik Kampung

k. Megalitik Ampang Gadang I l. Megalitik Ampang Gadang II

Setelah melakukan penjajagan dan survei permukaan tanah dari 12 situs menhir tersebut di atas, maka yang diambil untuk menjadi objek penelitian adalah sebanyak 3 situs. Pengambilan 3 situs ini karena dari variasi bentuk, ukuran, dan ragam hias diyakini mampu mewakili dari keseluruhan tinggalan-tinggalan megalitik yang ada di Nagari Mahat, ketiga situs tersebut antara lain:

(6)

1. Situs Koto Tinggi (Bawah Parit) 2. Situs Padang Ilalang

3. Situs Koto Gadang (Balai-balai Batu)

Situs Koto Tinggi

Situs Koto Tinggi oleh masyarakat lokal biasa disebut dengan Situs Bawah Parit, secara astronomi Situs Koto Tinggi terletak antara 00º 1’ 35,5” LU dan 100º29’ 41” BT, berada pada ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Situs Kota Tinggi terletak di

Jorong Koto Tinggi, Nagari Mahat, Kecamatan Bukit Barisan.

Situs Koto Tinggi merupakan situs utama di wilayah ini dan menjadi situs menhir terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan luas 80 x 125 m. Status kepemilikan lahan situs adalah milik Kaum Pasukuan Melayu dengan batas tanah utara-selatan milik Kaum Pasukuan Melayu dan timur-barat juga tanah milik Kaum Pasukuan Melayu.

Dilihat dari geomorfologi, Jorong Koto Tinggi dikelilingi oleh bukit-bukit terjal, di sebelah barat terdapat Bukit Gadang dan Bukit Sanggul, di sebelah barat daya dan selatan terdapat Bukit Takincir, di sisi utara terdapat Bukit Kasan, dan di sisi timurnya terdapat Bukit Baranak dan Pasuak. Situs Koto Tinggi ini terletak di atas punggung bukit dan di sebelah selatan mengalir sebuah sungai kecil yang banyak mengandung batu-batu monolit yang sejenis dengan batu-batu menhir yang ada di Situs Koto Tinggi (Sudibyo, 1983:15).

Banyaknya temuan menhir yang berada di Situs Koto Tinggi, beberapa kali penelitian tentang bangunan tradisi megalitik di daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dipusatkan di situs ini. Penelitian pertama kali dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada tanggal 17 Juli sampai 1 Agustus 1985. Penelitian yang pertama berusaha membersihkan situs dan pencatatan semua temuan. Dari penelitian berhasil dicatat sejumlah temuan menhir lain di beberapa Situs Nagari Mahat. Penelitian kedua dilakukan oleh Puslit Arkenas pada tanggal 19 Agustus sampai 7 September 1986. Penelitian ini dilakukan dengan metode ekskavasi. Penelitian kedua ini menemukan beberapa kerangka manusia yang sangat rapuh, tetapi pada kotak galian yang lain tidak ditemukan kerangka manusia.

(7)

Jumlah menhir di Situs Koto Tinggi sebanyak 311 buah dari berbagai bentuk dan ukuran, 80% masih berdiri sedang selebihnya roboh dan banyak bekas vandalisme atau dipecah untuk bahan bangunan seperti untuk jembatan dan pematang sawah. Situs Koto Tinggi terdapat sebuah menhir yang sangat besar dengan ukuran ± 400 cm namun dalam keadaan roboh.

Orientasi keseluruhan menhir pada situs ini mengarah ke tenggara yakni ke Gunung Sago. Diantara beberapa jumlah menhir di Situs Koto Tinggi terdapat 4 buah menhir berhias, diantaranya berhias segi tiga, suluran, sulur ganda, fauna, dan garis. Temuan megalitik lainnya di Situs Koto Tinggi adalah batu dakon yang terletak pada ujung barat laut situs, batu dakon tersebut menyembul di permukaan tanah merupakan batu monolit dan lumpang batu.

Situs Padang Ilalang

Situs ini berada di Jorong Ronah, terletak antara 00º 1’ 63” LU dan 100º 30’ 28” BT, sekitar 1 km ke arah barat dari Pasar Ronah. Status kepemilikan lahannya milik A. Datuk Komo, dengan batas tanah utara-selatan dan timur-barat milik Pasukuan Domo. Lokasinya berada di atas sebuah bukit yaitu Bukit Domo. Situs ini telah dipagar dengan kawat berduri namun tidak terawat dengan luas lahan 462 m2. Pada situs ini terdapat 25

buah menhir, 5 diantaranya dalam keadaan roboh. Menhir-menhir di situs ini umumnya berbentuk seperti tangkai pedang.

Menhir tertinggi berukuran 230 cm, lebar 43 cm, dan tebal 24 cm tanpa pola hias, sedangkan 1 buah menhir berhias bermotif tumpul segitiga pada sisi kanan-kiri, berukuran tinggi 170 cm, lebar 45 cm, dan tebal 30 cm. Menurut informasi penduduk menhir berhias tersebut merupakan tanda makam seorang tokoh masyarakat yang menyebarkan ajaran agama Islam di Ronah. Orientasi menhir Situs Padang Ilalang mengarah ke selatan.

Situs Koto Gadang

Jorong Koto Gadang merupakan jorong yang pertama ditemukan di Nagari

(8)

dengan luas situs 4776 m2. Status kepemilikan lahan milik Suku Kampai dengan

batas-batas tanah sebelah utara-selatan, timur-barat merupakan tanah Situs Koto Gadang. Di Situs Koto Gadang ditemukan sebanyak 31 buah menhir, hampir 50% menhir roboh. Selain 31 menhir yang ditemukan, terdapat sebuah undakan tanah seperti punden kecil yang berukuran 6 m x 6 m serta tinggi 85 cm. Punden ini berupa gundukan tanah yang telah diperkuat dengan susunan batu kali. Menurut informasi penduduk di atasnya dulu terdapat bekas-bekas pemujaan, dan bediri sebuah menhir setinggi 150 cm yang dikeramatkan oleh masyarakat karena dapat memberi petunjuk akan adanya suatu peristiwa yang berhubungan erat dengan kesejahteraan Nagari Mahat, dan dulu pada setiap sudut punden terdapat menhir-menhir kecil sekarang sudah tidak ada. Masyarakat sekitar menyebut Situs Koto Gadang dengan sebutan Situs Balai-balai Batu.

Informasi masyarakat setempat menyebutkan menhir di atas punden ini diambil dan beberapa menhir berhias dibawa oleh orang Belanda ke Jawa. Menhir tersebut tercatat di Museum Jakarta dengan nomor inventaris 164 dan nomor 165. Menurut keterangan yang ada di buku inventaris Museum Pusat, menhir yang itu dibawa oleh Schitger dari

Poear Datar pada tahun 1933. Nama Poear Datar adalah sebutan bagi daerah Mahat dan

sekitarnya pada masa lalu (Sudibyo, 1983: 18).

Bentuk menhir di situs ini bermacam-macam, ada yang berbentuk kepala sejenis binatang, tidak beraturan, berbentuk tangkai pedang, dan biji-bijian. Orientasinya menhir ke arah tenggara. Menhir yang berukuran paling besar sudah roboh dan pecah berukuran ± 300 cm. Salah satu menhir yang masih berdiri berukuran tinggi ± 210 cm, lebar 45 cm. Pola hias yang terdapat di situs ini antara lain suluran dan garis. Selain menhir, temuan megalitik lain adalah lasuang batu (lumpang batu), lumpang batu di Nagari Mahat tidak ada yang insitu, karena dilihat dari fungsinya lumpang batu difungsikan sebagai alat penumbuk padi atau biji-bijian, namun ada juga pendapat masyarakat yang mengatakan dulu air yang sengaja dituangkan ke lubang lumpang batu itu setelah dibacakan doa bisa bermanfaat untuk kesehatan hewan ternak atau menyembuhkan ternak. Lumpang batu di

(9)

Bentuk-bentuk Menhir

Berdasarkan hasil pengamatan bentuk-bentuk menhir yang ada di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang dapat dijabarkan atas beberapa tipe sebagai berikut.

1. Tipe Menhir Mahat (MM) 1, bagian bawah menhir berbentuk persegi panjang, bentuk badan tegak lurus, namun dari ketebalan bagian paling atas makin mengecil, pada ujung atas yang membengkok atau melengkung sedikit menipis, sehingga meruncing seperti hulu pedang. Rata-rata ukuran tinggi menhir tipe MM 1 berkisar antara 50-400 cm.

2. Tipe Menhir Mahat (MM) 2, bagian bawah menhir berbentuk persegi panjang, bentuk badan tegak lurus, namun dari ketebalan menhir makin ke atas makin mengecil, yang pada ujung atasnya membentuk setengah lingkaran (membulat) seperti gagang golok atau keris. Rata-rata ukuran tinggi menhir tipe MM 2 berkisar antara 60-175 cm. 3. Tipe Menhir Mahat (MM) 3, bagian bawah menhir berbentuk persegi panjang,

ketebalan menhir hampir sama, dan pada ujung menhir yang membengkok datar sehingga membentuk siku atau sudut. Rata-rata ukuran tinggi menhir tipe MM 3 berkisar antara 60 - 190 cm.

4. Tipe Menhir Mahat (MM) 4, bagian bawah menhir berbentuk persegi panjang, bentuk badan menhir melengkung, dari ketebalannya makin ke atas makin mengecil, yang pada ujungnya ada yang runcing, membulat, dan ada yang menyerupai phallus. Rata-rata ukuran tinggi menhir tipe MM 4 berkisar antara 50-195 cm.

5. Tipe Menhir Mahat (MM) 5, tipe menhir yang berbentuk seperti makluk hidup (fl ora dan fauna), bagian bawah tidak beraturan, makin ke atas ketebalan menhir makin mengecil. Rata-rata ukuran tinggi menhir tipe MM 5 berkisar antara 80 - 95 cm. 6. Tipe Menhir Mahat (MM) 6, merupakan tipe yang tidak beraturan, terutama dari

ketebalan dan bentuk ujung menhir. Rata-rata ukuran tinggi menhir tipe MM 6 berkisar antara 30-110 cm.

Dari beberapa tipe menhir yang dijabarkan, perbedaan menhir nampak pada bentuk badan dan bentuk ujung atas menhir, sedangkan dari arah lengkungan menhir,

(10)

keseluruhan menhir melengkung ke arah tenggara kecuali di Situs Padang Ilalang orientasi lengkungannya ke selatan. Dilihat dari ukuran memiliki variasi pada masing-masing tipe menhir.

Bentuk-bentuk menhir yang ada di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang dijabarkan atas beberapa tipe. Variasi tipe-tipe menhir di situs Nagari Mahat berbeda pada masing-masing situs dilihat dari segi jumlah. Jumlah keseluruhan tipologi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Persentase Tipe Menhir di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang

No Tipe Menhir Jumlah Menhir Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 Tipe MM 1 Tipe MM 2 Tipe MM 3 Tipe MM 4 Tipe MM 5 Tipe MM 6 111 88 49 43 4 72 30 % 24 % 13 % 12 % 1 % 20 % Total 367 buah 100 %

Berdasarkan tabel di atas dari 367 buah menhir yang terletak di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang diklasifi kasi menjadi 6 buah tipe. Secara keseluruhan tipe MM 1 dan tipe MM 2 menunjukkan jumlah yang paling dominan dibandingkan tipe-tipe yang lainnya.

Secara umum persentase tipe menhir MM 1 jumlahnya 111 buah atau sekitar 30% dan menhir tipe MM 2 dengan jumlah 88 buah atau sekitar 24 %. Jadi dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Situs Menhir Nagari Mahat memiliki ciri bentuk menhir yang khas yaitu berbentuk seperti hulu pedang atau gagang keris dengan ukuran tinggi menhir berkisar 40 - 400 cm.

Situs Koto Tinggi

Dilihat dari bentuk, ukuran, dan pola hias menhir di Situs Koto Tinggi, tipe bentuk menhir dapat dijabarkan pada tabel dibawah ini.

(11)

Tabel Tipologi Menhir Situs Koto Tinggi

No Tipe Menhir Ukuran

(tinggi) cm Arah Hadap

Pola Hias

(jumlah) Total Persentase

1 2 3 4 5 6 Tipe MM 1 Tipe MM 2 Tipe MM 3 Tipe MM 4 Tipe MM 5 Tipe MM 6 50-400 70-160 60-120 50-190 80-95 30-110 Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara 1 1 2 -86 78 46 42 2 57 27,6% 25,1% 14,8% 13,5% 0,7% 18,3% Jumlah 4 311 100%

Menhir yang terletak di Situs Koto Tinggi berjumlah 311 buah, dari total menhir yang ada di Situs Koto Tinggi, tipe menhir MM 1 dan tipe MM 2 lebih dominan. Jumlah menhir tipe MM 1 (27,6%) dan MM 2 (25,1%) atau jumlah persentase ke dua tipe tersebut sebesar 52,7% dari total menhir di Situs Koto Tinggi, sedangkan tipe menhir MM 5 paling sedikit yaitu sebanyak 2 buah atau 0,7%. Bentuk menhir tipe MM 5 ini seperti bentuk kepala kuda dan kepala buaya.

Secara keseluruhan situs menhir Koto Tinggi memiliki variasi ukuran, menhir tertinggi berukuran 400 cm (tipe MM 1) namun menhir tersebut sudah roboh dan pada badan menhir tidak ditemukan pola hias, sedangkan menhir paling kecil berukuran 30 cm (tipe MM 6). Di Situs Koto Tinggi terdapat 4 buah menhir yang berhias yakni pada tipe MM 1, MM 2, dan MM 3. Bentuk motif hiasnya sangat beragam yakni segi tiga, suluran, sulur ganda, fauna, dan garis. Motif hias menhir tidak terdapat pada menhir tipe MM 4, MM 5, dan MM 6.

Situs Padang Ilalang

Dilihat dari bentuk dan ukuran menhir di Situs Padang Ilalang, tipe menhir bisa dilihat pada tabel dibawah ini.

(12)

Tabel Tipologi Menhir Situs Padang Ilalang

No Tipe Menhir Ukuran

(tinggi) Arah Hadap

Pola Hias (jml) Total Persentase 1 2 3 4 5 6 Tipe MM 1 Tipe MM 2 Tipe MM 3 Tipe MM 4 Tipe MM 5 Tipe MM 6 70-230 cm 60-120 cm 80-90 cm 170 cm -30-60cm Selatan Selatan Selatan Selatan -Selatan -1 -11 4 3 1 -6 44% 16% 12% 4% -24% Jumlah 1 25 100%

Total menhir di Situs Padang Ilalang adalah 25 buah dan 5 diantaranya dalam keadaan roboh. Total menhir yang ada di situs ini, tipe menhir MM 1 lebih dominan yakni 11 buah atau 44% dari total keseluruhan menhir. Berbeda halnya dari Situs Koto Tinggi, di Situs Padang Ilalang tidak ditemui menhir yang berbentuk atau tipe menhir MM 5.

Di Situs Padang Ilalang hanya memiliki 1 buah menhir (tipe MM 4) yang berhias. Pola Hias yang terdapat pada menhir tersebut bermotif segitiga sama sisi. Menhir Situs Padang Ilalang memiliki variasi ukuran berkisar antara 30 – 230 cm.

Situs Koto Gadang

Dilihat dari bentuk serta ukuran menhir di situs Koto Gadang, tipe menhir dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel Tipologi Menhir Situs Koto Gadang

No Tipe Menhir Ukuran

(tinggi)

Arah Hadap

Pola Hias

(jumlah) Total Persentase

1 2 3 4 5 6 Tipe MM 1 Tipe MM 2 Tipe MM 3 Tipe MM 4 Tipe MM 5 Tipe MM 6 100-300 cm 80-175 cm -80-90 cm 75-90 cm Tenggara Tenggara -Tenggara Tenggara -2 -14 6 -2 9 45,2% 19,2% -6,3% 29,3% Jumlah 2 31 100%

(13)

Jumlah menhir di Situs Koto Gadang 31 buah kurang lebih 50% menhir roboh dan hancur. Dari total menhir yang ada di Situs Koto Gadang, persentase tipe menhir yang paling dominan adalah tipe MM 1 yakni 14 buah atau sebesar 45,2%.

Secara keseluruhan situs menhir Koto Gadang memiliki variasi ukuran berkisar 75-300 cm, menhir tertinggi berukuran 300 cm (tipe MM 1) namun menhir tersebut sudah roboh dan pecah. Di Situs Koto Gadang terdapat 2 buah menhir yang berhias atau 6,4% dari total menhir. Bentuk pola hias menhir tersebut bermotif sulur dan garis, sedangkan bentuk menhir tipe MM 5 di Situs Koto Gadang ini seperti kepala buaya dan biji-bijian. Di Situs Koto Gadang tidak ditemukan menhir dengan tipe MM 3 dan MM 4.

Ukuran Menhir

Pemberian ukuran menhir yang ada di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang terbatas pada bagian yang tampak di atas permukaan tanah. Ukuran menhir meliputi tinggi, lebar, dan tebal dengan satuan pengukuran centimeter (cm), serta dengan membulatkan angka bilangan desimal menjadi angka bilangan bulat.

Ukuran yang menjadi dasar pembagian ketiga jenis menhir tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel Klasifi kasi Menhir

No Jenis Menhir Ukuran (tinggi)

1. 2. 3.

Menhir ukuran kecil Menhir ukuran sedang Menhir ukuran besar

0-70 cm 71-140 cm

> 141 cm

Mengenai perbandingan jumlah tipe-tipe menhir yang terletak di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(14)

Tabel Menhir Berdasarkan Ukuran

No Tipe Menhir Kecil Sedang Besar

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6. Tipe MM 1 Tipe MM 2 Tipe MM 3 Tipe MM 4 Tipe MM 5 Tipe MM 6 22 19 7 4 -59 6% 5% 2% 1% -17% 53 48 42 23 4 13 14% 13% 11% 6% 1% 3% 36 21 -16 -10% 6% -4% -Jumlah 111 31 % 183 49 % 73 20 %

Total Menhir 367 buah

Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa menhir dengan ukuran sedang menunjukkan jumlah paling dominan yaitu dengan jumlah 183 buah menhir atau sekitar 49% dari 367 buah menhir yang diteliti, sedangkan menhir berukuran kecil 111 buah atau 31%, begitu juga halnya dengan menhir berukuran besar menunjukkan jumlah paling sedikit yaitu dengan jumlah 73 buah atau sekitar 20%.

Ragam Hias Menhir

Ragam hias tradisional di Minangkabau baik bersumber pada lingkungan alam sekitarnya, sesuai dengan dasar fi lsafah adat Minangkabau alam takambang jadi

guru (alam yang luas jadikan guru). Motif hias yang muncul selalu berlandaskan dari

lingkungan dan alam sekitarnya.

Beberapa motif yang muncul dari bentuk dasar dedaunan, bunga, dan akar-akaran seperti aka cino sagagang (akar Cina satu gagang), aka cino duo gagang (akar Cina dua gagang), aka cino tangah duo gagang (akar Cina satu setengah gagang), sikambang

manih (si kembang manis), siriah gadang (sirih besar), pucuak rabuang (pucuk rebung),

dan lain-lain.

Pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang sekarang mempunyai hubungan yang erat dengan pola hias yang muncul di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Kota. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sejarah asal usul pola hias di Minangkabau berasal dari masa prasejarah terutama megalitik.

(15)

Pola hias tradisi megalitik itulah awal dari pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang sekarang. Artinya cikal bakal pola hias Minangkabau telah muncul semenjak abad ke-5. Pola hias megalitik tersebut jelas telah melalui perjalanan panjang seiring dengan perkembangan sejarah Minangkabau pada masa berikutnya yaitu masa Hindu-Budha dan masa Islam. Meskipun telah melalui beberapa periodisasi namun masih dapat ditelusuri bentuk-bentuk pola dasarnya.

Di situs-situs Nagari Mahat jumlah menhir berhias pada masing-masing situs dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Persentase Jumlah Menhir Berhias di Situs Nagari Mahat

No Situs Jumlah Jumlah Menhir Berhias

1 2 3

Situs Koto Tinggi Situs Padang Ilalang Situs Koto Gadang

311 25 31 4 1 2 Total 367 7

Persentase (%) menhir berhias 100% 1,91%

Berdasarkan tabel di atas dari total 367 menhir, menhir berhias paling banyak ditemukan di Situs Koto Tinggi sebanyak 4 buah menhir. Hiasan yang terdapat pada menhir bervariasi begitu juga dengan keletakan pada menhir dan cara pembuatan hiasan menhir.

Penggolongan menhir berdasarkan pola hias apabila dikaitkan dengan ukuran yang ada dapat dikatakan bahwa pola hias menhir hanya terdapat pada menhir yang berukuran sedang dan besar, sedangkan menhir yang termasuk ke dalam golongan berukuran kecil tidak ditemukan pola hias. Menhir-menhir yang berhias dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Pola Hias Menhir

No Jenis Menhir Jumlah Menhir Jumlah Pola Hias

1. 2. 3.

Menhir ukuran kecil Menhir ukuran sedang Menhir ukuran besar

111 183 73 -3 4 Total 367 7

Dilihat dari tabel menhir yang tergolong berukuran besar (>141 cm) memiliki pola hias sebanyak 4 buah menhir dan menhir berukuran sedang sebanyak 3 buah menhir,

(16)

sedangkan pada menhir yang tergolong berukuran kecil tidak ditemukan pola hias. Hiasan menhir yang terdapat di Situs Koto Tinggi, Padang Ilalang, dan Koto Gadang dapat diklasifi kasi dengan terlebih dahulu dengan menentukan beberapa atribut yang dapat diamati pada masing-masing menhir antara lain.

Pola hias menhir yang tersebar di Nagari Mahat lebih banyak dihiasi oleh motif-motif sulur. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi yang sederhana. Motif tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.

Pada dasarnya di Minangkabau nama yang diberikan pada hiasan di atas ialah seperti berikut.

a. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.

b. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.

c. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau

jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.

d. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang atau mekar). e. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk). f. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk

tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.

Di samping motif akar dengan berbagai pola tersebut ada juga motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung. Motif lainnya ialah motif geometri segitiga, persegi empat, dan jajaran genjang, motif segitiga disebut juga motif pucuak rabuang (pucuk rebung). Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.

(17)

Teknik meghias menhir yang terdapat di situs-situs Nagari Mahat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Teknik Hias

No Teknis Hias Situs

Koto Tinggi Padang Ilalang Koto Gadang

1 2 Timbul Cekung v v -v v v

Dari hasil pengamatan teknik menghias di Situs Padang Ilalang tidak dijumpai teknik menghias dengan cara timbul, sedangkan di Situs Koto Gadang ditemukan 1 buah, dan Situs Koto Tinggi 2 buah menhir dengan hiasan timbul. Dilihat dari hasil hiasan yang dihasilkan, penguasaan dan pemahaman teknik menghias masyarakat di Nagari Mahat sudah sangat maju, karena dari motif dan pola hiasnya rumit yang sangat kaya akan corak hias.

Berdasarkan uraian dan pemahaman di atas mengenai pola hias menhir di situs-situs megalitik Lima Puluh Kota umumnya terutama di Nagari Mahat dikatakan sebagai akar pola hias Minangkabau. Bentuk dasar guratan lurus dan geometris yang telah muncul semenjak zaman megalitik kemudian berkembang lebih jauh ke dalam pola hias tradisional Minangkabau.

Arah Hadap Menhir di Situs Nagari Mahat

Keberadaan menhir di Situs Nagari Mahat tidak lepas dari konsep-konsep kepercayaan yang berkembang pada waktu itu. Para pendukung tradisi megalitk di

Nagari Mahat tentunya akan menjalankan dan patuh terhadap norma-norma kepercayaan

mereka, baik dalam bertingkah laku, bertindak, dan dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu norma yang berlaku pada masa berkembangnya tradisi megalitik secara umum adalah kepercayaan terhadap arwah nenek moyang.

Kepercayaan bahwa arwah leluhur berkumpul pada suatu tempat seperti gunung atau bukit, mungkin juga berpengaruh pada pendirian menhir di situs-situs Nagari Mahat. Pengaruh itu nampak jelas pada bentuk ujung menhir yang membengkok, umumnya arah

(18)

hadap menhir di Nagari Mahat berorientasi ke tenggara. Arah yang dituju adalah Puncak Gunung Sago yang terletak di sebelah tenggara situs-situs menhir di Nagari Mahat. Hasil pengamatan dan pengukuran serta menentukan arah hadap menhir melalui media kompas, dapat diketahui hampir semua menhir yang terletak di Situs Koto Tinggi dan Koto Gadang menghadap ke tenggara, terkecuali menhir yang terletak di Situs Padang Ilalang orientasi hadap menhirnya ke selatan. Hasil wawancara dengan masyarakat di sekitar Situs Padang Ilalang menjelaskan bahwa menhir di Situs Padang Ilalang, terutama pada menhir berhias segi tiga tersebut merupakan makam seorang penyebar agama Islam yang bernama Datuak Sati.

Masyarakat Mahat sekarang yang mayoritas memeluk agama Islam, menganggap menhir yang ada di sekitarnya itu disebut sebagai batu urang saisuak (batu orang dahulu kala), fungsinya sebagai nisan kuburan (mejan) orang-orang masa lalu. Selain dianggap sebagai nisan kuburan ada juga yang dianggap sebagai batas tanah atau dalam istilah lokal disebut dengan lantak tanah, dan ada juga menyebutkan menhir sebagai lambang pesukuan. Umumnya mejan-mejan dan lantak tanah tersebut dianggap sebagai suatu yang dikeramatkan dan angker untuk didekati, bahkan ada yang beranggapan menhir-menhir ini dapat mendatangkan bencana seperti sakit dan sebagainya jika benda tersebut didekati atau dijamah.

Namun seiring berjalannya waktu terutama setelah kuatnya ajaran Islam di

Nagari Mahat semua mitos itu tidak dihiraukan lagi oleh beberapa kelompok masyarakat.

Peninggalan megalitik di Nagari Mahat berupa menhir hampir mengalami kehancuran dan kepunahan. Beberapa menhir yang sudah roboh sengaja dijadikan untuk memenuhi keperluan lain seperti pondasi jembatan, batas lahan pertanian, dan lain-lain. Semenjak tahun 1980 barulah situs-situs di Nagari Mahat mendapat perhatian dan perlindungan dari pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Semenjak itu masyarakat baru mengetahui tentang arti pentingnya tinggalan-tinggalan megalitik terutama menhir yang sangat beragam di nagari mereka.

Fungsi menhir di situs-situs Nagari Mahat selain didapat dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan yaitu dari hasil ekskavasi dapat juga dijelaskan dari hasil wawancara dengan masyarakat dan juru pelihara situs. Sangat banyak pendapat mengenai fungsi menhir yang ada.

(19)

Tingkah laku manusia berbeda dengan tingkah laku binatang, memiliki beragam makna bagi perilakunya. Makna itu dapat ditemukan dari individu masyarakat itu sendiri terutama melalui studi etnografi yang memiliki alat dan cara untuk membahas kenyataan makna ini (Spradley, 1997:16).

Makna motif hias pada peninggalan megalitik menurut Sukendar, 1987 secara umum berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.

1. Makna motif hias yang berkaitan dengan arwah leluhur, dibagi menjadi: a. makna motif hias yang berkaitan dengan pemujaan arwah leluhur,

b. makna motif hias yang berkaitan dengan pelindung atau pengawal arwah, dan c. makna motif hias yang berkaitan dengan personifi kasi dari arwah.

2. Makna motif hias yang berkaitan dengan kekuatan gaib atau magis.

3. Makna motif hias yang berkaitan dengan penghormatan seorang pemimpin atau raja-raja dan sifat-sifat semasa hidupnya.

4. Makna motif hias yang berkaitan dengan status sosial, kekuasaan, persatuan, dan kekayaan.

Pemaknaan tersebut dilihat dari motif-motifnya ada yang memiliki kesamaan, seperti motif kadal atau buaya bermakna pelindung arwah dan kekuatan gaib. Terdapat beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan masalah makna yang tersirat di hiasan menhir. Pertama, bahwa menhir sengaja dibuat oleh nenek moyang dengan pola-pola tertentu. Kedua, menhir yang diyakini sebagai tanda kubur tersebut semuanya didirikan dengan menghadap ke satu arah yang sama. Menhir di Nagari Mahat mayoritas menghadap ke arah Gunung Sago. Ketiga, sebagian menhir yang terdapat di Nagari Mahat memiliki motif hias yang dipahatkan pada sisi-sisi menhir.

Ragam hias dalam tradisi adat Minangkabau memiliki makna-makna tertentu yang berhubungan dengan fi losofi adat, dalam sebuah pepatah Minang dibunyikan:

Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak kaniru. Satitiak jadikan lauik,

(20)

Terjemahan:

Penakik pisau siraut, ambil galah batang lintabung, seladang ambil ke niru, setitik jadikan laut,

sekepal jadikan gunung, alam yang luas jadikan guru”

Motif hias di Nagari Mahat seperti di Koto Tinggi dan Koto Gadang umumnya memiliki motif hias sulur dan sulur ganda. Di Minangkabau hiasan sulur memaknai adat yang mengatakan alam takambang jadi guru, hiasan-hiasan yang ada di menhir tidak jauh dari kondisi alam sekitarnya. Secara keseluruhan di Situs Koto Tinggi dan Koto Gadang motif hias berbentuk sulur kaluak paku, ula gerang, pucuak rabuang (segitiga).

Masyarakat umumnya memaknai motif kaluak paku adalah bermakna keselarasan dengan alam sekitar, bahwa motif kaluak paku tersebut adalah jenis tumbuhan yang banyak tumbuh di Minangkabau. Keselarasan inspirasi pemahat dengan lingkungan sekitarnya sangatlah erat.

Motif ula gerang umumnya di simbolkan sebagai perlambangan tentang paga

diri, maksudnya untuk selalu menjaga diri atau melindungi diri dari pengaruh-pengaruh

luar. Motif ini masih dipakai pada busana kebesaran bundo kanduang.

Motif hias segitiga yang ada pada menhir melambangkan sebuah gunung yang berarti besar dan tinggi. Gunung dalam kepercayaan tradisi megalitik menganggap bahwa gunung sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Apabila dibandingkan dengan makna motif segitiga yang ada dalam tradisi adat istiadat Minangkabau sekarang memiliki kesamaan. Karya imaginatif dan makna objek menhir berubah sesuai dengan proses pemikiran dalam masing-masing individu dan masyarakat. Makna alam sebagai tempat belajar dan hidup, hubungan manusia sesama manusia yang berkembang pada masyarakat pendukung budaya materi berorientasi pada nilai-nilai budaya yang beranggapan alam sesuatu yang besar dan sempurna.

Di Minangkabau makna motif segitiga berarti melambangkan kebesaran, ini dilihat dari arsitekur rumah gadang pada bagian sisi atapnya. Bentuk rumah gadang kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi garis alam Bukit Barisan dan garis rumah

(21)

gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika.

Jadi makna motif hias di Nagari Mahat dalam menciptakan suatu karya seni, para pemahat menhir tersebut mempunyai dasar Islam. Akan tetapi jika dilihat dari media menunjukkan bahwa sebagian mereka masih terpengaruh oleh kepercayaan yang berasal dari pra Islam. Penjelasan sebelumnya menyatakan makam dibuat sesederhana mungkin cukup dengan tanda. Namun karena tradisi adat istiadat menempatkan menhir sebagai tanda kubur dengan hiasan-hiasan yang beragam jelas akibat perkembangan fungsi menhir tidak sekedar tanda kubur, melainkan sebagai media untuk berhubungan dengan leluhur dan lambang status sosial tertentu. Keindahan adalah sesuatu yang disukai dan dapat memuaskan batin manusia akan turut menunjang fungsi di atas.

Penutup

Penelitian terhadap 367 buah menhir dapat diketahui tipologi menhir yang memperlihatkan ciri-ciri pembeda antara satu dengan yang lainnya. Tipologi menhir memiliki bentuk yang dibedakan menjadi 6 tipe yaitu bentuk meruncing hulu pedang (tipe MM 1), setengah lingkaran atau gagang golok (MM 2), bentuk persegi atau siku (MM 3), melengkung atau phallus (MM 4), makhluk hidup (MM 5), dan tidak beraturan (MM 6). Berdasarkan ukuran menhir di Nagari Mahat dibagi menjadi tiga golongan ukuran yaitu kecil (0-70 cm), sedang (71-140 cm), dan besar (> 141 cm).

Berdasarkan pengamatan terhadap ragam hias, pada menhir terdapat motif sulur (kaluak paku), sulur ganda (ula gerang), garis, dan segitiga (pucuak rabuang). Pengamatan terhadap pola hias menhir menghasilkan penggolongan bagian menhir yang dihias yaitu sisi atas, tengah, bawah, kiri, kanan, depan, dan belakang. Teknik pembuatan motif hias yang digunakan masyarakat Mahat adalah teknik cekung dan teknik timbul.

Menhir oleh para ahli mengatakan bahwa menhir berkaitan erat dengan media pemujaan arwah leluhur perlu ditinjau kembali, karena berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Nagari Mahat menhir berfungsi sebagai tanda kubur, media penghormatan,

lantak tanah (batas tanah), lambang persukuan, tempat berunding kepala suku, dan media

(22)

adalah sebagai pusat kegiatan (central palace) untuk upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Mahat.

Makna religi menhir dilihat dari bentuk yang ada, di Nagari Mahat sudah dipengaruhi budaya pra Islam namun tidak melepaskan tradisi nenek moyang. Bentuk serta ukuran menhir itu menunjukkan makna sebagai peringatan bagi generasi selanjutnya untuk penghormatan terhadap si mati. Peringatan untuk penghormatan tidak lain dimaksudkan sebagai rasa bangga atau hormat generasi penerus seperti anak atau saudara yang masih hidup terhadap yang mati. Pada kenyataannya hiasan yang dipahatkan pada menhir tetntunya terkait dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada waktu itu, yaitu kepercayaan yang masih termasuk dalam tradisi megalitik.

Pemujaan terhadap orang yang harus dihormati atau penghormatan terhadap leluhur tidak lain dengan melakukan upacara-upacara dengan sesajian atau upacara dengan permohonan doa. Tetapi pemujaan itu dilakukan dengan memberi suatu perlambangan atau dengan cara lainnya. Maksud dari memberikan hiasan perlambangan itu tidak jauh berbeda dengan upacara sesajian atau doa, dan status sosial.

Keberagaman bentuk, ukuran, dan hiasan menhir memiliki nilai-nilai estetis dan nilai budaya. Kedua nilai tersebut memperlihatkan adanya makna kedudukan sosial masyarakat. Hal ini dikemukakan sama halnya dengan penjelasan sebelumnya bahwa pada masa berlangsungnya kebudayaan megalitik atau khususnya pada waktu munculnya budaya ini telah ada sistem pelapisan masyarakat, bahkan sudah mengenal adanya pemimpin atau kepala suku di Nagari Mahat.

Proses perubahan budaya megalitik-Islam terjadi di Nagari Mahat, diambil dari keempat macam hukum adat yakni adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat taradat, dan adat istiadat memang sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan, dan telah adanya pemimpin suku dalam suatu kelompok masyarakat. Hukum adat ini berlangsung sampai kira-kira abad ketujuh dibuktikan dengan pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1955. ”Oudheden te Westkunt van Sumatera”. TBG IV. Hlm. 549-550.

Aziz, Fadhila Arifi n. 1998. ”Batu Tegak (Menhir): Wujud Kreativitas Seni Hias Masyarakat Minangkabau pada Masa Lampau”. Amoghapasa, 7/IV/April, Hlm. 24-30. Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Sumbar-Riau. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota. 2007. Kabupaten Lima Puluh Kota

dalam Angka, Lima Puluh Kota Regency in Figures 2006. Lima Puluh Kota:

BAPPEDA dan BPS Lima Puluh Kota.

Ramayulis, Yunizar Cobra, H.DJ.DT. Bandaro Lubuk Sati, dan Nazwir DT.Simarajo. 1994/1995. ”Sejarah Kebudayaan Minangkabau”. Buku Muatan Lokal. Sumatera Barat: Dinas P dan K Daerah Tingkat I.

Schnitger, F.M. 1939. Forgotten Kingdoms in Sumatera. Leiden: Brill

Soejono, R.P. 1990. ”Jaman Prasejarah di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi , terjemahan Misbah Zulfah Elizabeth. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta.

Sudibyo, Yuwono. 1983. Mahat dengan Peninggalan Sejarahnya. Padang: Proyek Pemugaran dan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat.

Sukendar, Haris. 1982. ”Tinjauan Tentang Berbagai Situs Megalitik di Indonesia”. PIA II Hlm. 55-68. Jakarta: Puslit Arkenas.

Tim Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. 1985.

Peninggalan Megalitik di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yondri, Lutfi . 1996. ”Situs Bawah Parit Corak Tradisi Penguburan Megalitik Masa Transisi, Koto Tinggi, Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar”. Jurnal Penelitian Balai

Arkeologi Bandung. Hlm. 5-9.

http://minangkabauinfo.com, “Alam Takambang Jadi Guru”, 11 November 2007, diakses 23 Januari 2008.

Gambar

Tabel Persentase Tipe Menhir di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs  Koto Gadang
Tabel  Tipologi Menhir Situs Koto Tinggi No Tipe Menhir Ukuran
Tabel Tipologi Menhir Situs Padang Ilalang No Tipe Menhir Ukuran
Tabel Klasifi kasi Menhir
+4

Referensi

Dokumen terkait

Submedan makna aktivitas tangan untuk “menerima” dalam bahasa Sasak dialek ngeno-ngene di Desa Labuhan Haji hanya memiliki satu leksem saja, yakni terima’

Penelitian mengenai ekspektasi CSR dalam kaitannya dengan dukungan terhadap tindakan CSR, Podnar and Golob (2007), melakukan penelitian mengenai CSR yang bertujuan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan simpulan di atas maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Pendidikan dan pelatihan pada masing-masing LPD

Hal ini diakibatkan karena belum adanya rencana atau strategi yang dirancang secara maksimal untuk mencapai tujuan dari pengawasan, belum adanya pembinaan yang

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Presentasi Diri Wujud Panggung Utama Aktor Politik Kajian Dramaturgi Erving Goffman pada Permadi Sebagai Penyambung Lidah Bung

(3) Walikota berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu, dapat

Pada perlakuan umbi lapis, didapatkan hasil bahwa pada perlakuan Pada perlakuan umbi lapis, didapatkan hasil bahwa pada perlakuan  bawang merah dipotong 1/3

[r]