• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkelanjutan selama kehidupan manusia berkembang. Pemukiman tepi sungai adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkelanjutan selama kehidupan manusia berkembang. Pemukiman tepi sungai adalah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemukiman Tepi Air

Pemukiman adalah produk budaya juga ruang tempat manusia berbudaya itu sendiri, yang terus berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya kebudayaan. Pemukiman akan dengan sendirinya berkembang secara berkelanjutan selama kehidupan manusia berkembang. Pemukiman tepi sungai adalah pemukiman organis/spontan meskipun pada akhirnya secara spasial pemukiman tersebut memunculkan pembentuk lingkungannya sendiri (Budiharjo E., 1993).

Pola penyediaan perumahan/pemukiman menurut Turner dalam Yunus (1976) secara garis besar perumahan dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Housing for people, dimana penyediaan perumahan untuk masyarakat dilakukan oleh badan pemerintah atau lembaga yang ditunjuk dan diawasi oleh pemerintah. Pada kasus di kawasan tepi sungai khususnya Indonesia pola penyediaan permukiman ini tidak pernah dilakukan. b. Housing by people, dimana penyediaan perumahan untuk masyarakat

dilakukan sendiri oleh masyarakat tersebut secara individual maupun kelompok. Pada kasus di kawasan tepi sungai khususnya Indonesia pola penyediaan permukiman ini dilakukan bahkan tanpa pengawasan pemerintah dan penentu kebijakan lainnya.

Menurut Suprijanto I (2003) secara garis besar karakteristik umum permukiman tepi sungai antara lain:

(2)

a. Karena belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, kawasan permukiman di atas air cenderung rapat dan kumuh.

b. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi tradisional konvensional seperti rumah-rumah kayu dengan struktur sederhana.

c. Karakteristik penduduk tergolong ekonomi lemah terbelakang, dengan pendidikan yang relatif terbatas sehingga pengetahuan akan perumahan sehat cenderung masih kurang.

d. Dampak dari kondisi diatas terjadi kecenderungan akan berbagai kebiasaan tidak sadar lingkungan seperti: sifat mengotori dan mencemari sumber-sumber air, mencemari lingkungan yang berpengaruh terhadap air permukaan, dan memungkinkan penyebaran penyakit melalui pembuangan air limbah, Terbatasnya teknologi terapan untuk penanganan masalah-masalah di atas seperti system pembuangan air limbah, sampah pengelolaan air bersih .

Pembangunan perumahan/pemukiman yang sedemikian pesatnya menyebabkan banyak pertumbuhan pemukiman yang tidak teratur dan terencana dengan baik. Rumah berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Rumah menjadi tempat dimana nilai-nilai sebuah keluarga berlangsung, menjadi ruang dimana manusia mengekspresikan cara melakoni kehidupan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya. Rumah juga dijadikan alat untuk menampilkan citra dimana nilai norma dan tradisi lebih berpengaruh dalam citra, bentuk dan ruangnya (Rapoport, A. 1969).

(3)

Sinulingga B (1999), mengemukakan di dalam setiap rencana kota terlihat bahwa penggunaan lahan untuk pemukiman mengambil bagian yang paling besar untuk pemukiman. Untuk menjadikan pemukiman menjadi suatu kawasan yang utuh dibutuhkan beberapa komponen didalamnya seperti:

a. Adanya lahan atau tanah untuk peruntukannya dimana harga dari satuan rumah sangat berpengaruh terhadap lokasi pemukiman itu sendiri.

b. Adanya sarana dan prasarana pemukiman seperti jalan lokal, saluran drainase, saluran air kotor, saluran air bersih, jaringan listrik, jaringan telepon. Sarana dan prasarana ini akan menunjang kualitas dari pemukiman

c. Adanya perumahan (tempat tinggal yang dibangun) dalam kawasan pemukiman

d. Adanya fasilitas umum dan fasilitas sosial didalamnya seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, lapangan bermain dan lain-lain.

Pada umumnya masalah perumahan di kawasan perkotaan terjadi karena: a. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi baik berasal dari pertumbuhan

alamiah maupun terjadi akibat arus urbanisasi.

b. Mahalnya pembangunan rumah di kota ditunjang dengan keterbatasan lahan.

c. Rendahnya kemampuan penduduk untuk tinggal dikawasan pemukiman layak huni karena keterbatasan kondisi ekonomi.

(4)

d. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat terutama masyarakat ekonomi bawah.

Dalam tulisan Rapoport, A. (1969) dinyatakan, dalam suatu pemukiman terjadi hubungan antar manusia dengan manusia, dengan alam, serta manusia dengan penciptanya. Perbedaan gaya hidup dan sistim nilai yang dianut suatau masyarakat, berpengaruh besar terhadap bagaimana masyarakat itu membentuk lingkungannya. Faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan mengenai bentuk dan pola suatu rumah meliputi faktor kultur, religi dan perilaku. Sedangkan rumah menunjukkan fungsi tertentu yaitu fungsi pertama rumah menunjukkan tempat tinggal, fungsi kedua rumah merupakan mediasi antara manusia dan dunia, fungsi ketiga, rumah merupakan arsenal, dimana manusia mendapat kekuatannya kembali.

Pemukiman memiliki banyak bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, antara lain berupa sistim sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberi kontribusi fisik lingkungan, Koentjaraningrat (1977) dalam Yudohusodo. Juga menurut Koentjaraningrat (1985) dalam Yudohusodo, perumahan dan pemukiman (rumah dan lingkungannya) sebagai ujud fisik kebudayaan (physical culture) merupakan hasil dari kompleks gagasan suatu sistim budaya yang tercermin pada pola aktifitas sosial masyarakat. Sejalan dengan pendapat Rapoport, A. (1969), bahwa arsitektur terbentuk dari tradisi masyarakat (fork traditional) merupakan bangunan yang mencerminkan secara langsung budaya masyarakat, nilai-nilai yang dianut, kebiasaan-kebiasaan, serta keinginan-keinginan masyarakat.

(5)

Adapun terbentuknya suatu pemukiman didasarkan pada beberapa faktor yang dianggap dominan dalam menentukan terciptanya suatu lingkungan pemukiman. Pemukiman yang standar (layak huni) maupun tidak memenuhi standar muncul akibat adanya berbagai faktor yang timbul dari kemampuan masyarakat itu sendiri. Mau tidak mau, masyarakat akan membentuk suatu komunitas dan tinggal di daerah– daerah jalur hijau dan bantaran sungai, rel kereta api dan juga lahan–lahan kosong yang tidak bertuan

Kelompok masyarakat yang bermukim pada suatu tempat atau ruang bukanlah merupakan komunitas jika tidak ada keterkaitan hubungan diantara mereka yang bisa terjadi secara sosial, budaya maupun ekonomi, menurut Tetuko (2001) dalam Dhenov mengatakan bahwa komunitas memiliki makna dalam tiga hal yaitu suatu kelompok yang memiliki ruang tertentu, suatu kelompok yang mempunyai sifat sama, suatu kelompok yang dibatasi oleh identitas budaya yang sama dan dibentuk dengan hubungan sosial yang sama.

2.2 Garis Sempadan Sungai

Garis sempadan sungai menurut peraturan mengenai sempadan sungai mengacu pada Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dan PP No. 47 Tahun 1997 yang menetapkan lebar sempadan pada sungai besar diluar permukiman minimal 100 meter dan pada anak sungai besar minimal 50 meter di kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk jalan inspeksi 10–15 meter. PP. 47 Tahun 1997 juga menetapkan bahwa lebar sempadan sungai bertanggul diluar daerah permukiman adalah 5 meter sepanjang kaki tanggul. Sedang lebar sempadan

(6)

sungai yang tidak bertanggul diluar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak bertanggul di daerah permukiman, ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang (Departemen Kimpraswil, 1995).

Secara hidrolis sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang berfungsi memberikan kemungkinan luapan air banjir ke samping kanan kiri sungai sehingga kecepatan air kehilir dapat dikurangi, energi air dapat diredam disepanjang sungai, serta erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat dikurangi secara simultan. Disamping itu sempadan sungai merupakan daerah tata air sungai yang padanya terdapat mekanisme inflow ke sungai dan outflow ke air tanah. Seperti gambar 2.1 yang menunjukkan potongan melintang sungai.

Gambar 2.1 Potongan melintang sungai Sumber: BAPEDAL Jatim online, 2009

2.3 Peranan Sungai Perkotaan

Sungai menurut PP No. 35/1991 mempunyai pengertian sebagai suatu tempat atau wadah serta jaringan pengaliran air mulai mata air sampai muara dengan

(7)

dibatasi kanan dan kirinya serta disepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Menurut Indratmo dan Sewuko, sungai suatu alur yang panjang diatas permukaan buni yang merupakan tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan dan pada akhirnya melimpah ke danau atau laut.

Sungai telah memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia. Sejak ribuan tahun yang lalu telah dikenal adanya suatu perkembangan, peradaban manusia pada lembah sungai yang melahirkan kota-kota penting di dunia (Mumporo, 1961 dalam Saptorini). Pada awal pertumbuhannya telah ditandai dengan terbentuknya suatu konsentrasi penduduk dengan kelompok pemukiman tertentu di lembah sungai yang subur. Peranan sungai di dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya air, manusia memanfaatkan untuk minum, mandi mencuci. Dan kemudian peran sungai berkembang menjadi sarana transportasi, yang mendorong pertumbuhan permukiman seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan aktifitas social-ekonominya makin lama peranannya makin berkembang dan tidak terpisahkan lagi dari keseluruhan sisitim pelayanan kota.

Peranan Sungai dapat dibafi dalam 2 (dua) bagian yaitu berperan sebagai daerah belakang maupun sungai sebagai daerah muka. Sebagai badan akhir pembuangan limbah termasuk sampah penduduk (limbah padat), mandi, cuci. Hal ini menunjukkan sungai berperan sebagai daearah belakang. Sedangkan peranan sungai sebagai daerah muka dimana sungai merupakan elemen tata ruang baik estetika maupun fisik. Hal ini banyak ditemui di luar negeri seperti Venesia (Italia). Meskipun sungai berperan sebagai tempat pembuangan dalam kehidupan sehari-hari. Namun

(8)

dibantaran sungai banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, berjualan, tarnsportasi sehingga mempunyai nilai yang lebih.

Peranan sungai sebagai daerah muka memberikan nilai tambah yang besar karena selain secara estetika sungai enak dlihat atau dipandang, juga mendorong masyarakat untuk tetap memperlakukan sungai sebagai tempat pembuangan melainkan sebagai sesuatu yang harus dijaga kebersihannya. Dengan memanfaatkan sungai manusia dapat berpindah-pindah, mendapatkan pemukiman baru mereka unuk selanjutnya menetap dan berkembang menjadi pemukiman yang lebih ramai, menjadi desa, lalu berkembang menjadi kota, bahkan terus berkembang menjadi kota cosmopolitan dan terkenal di dunia.

Keberadaan sungai dalam suatu kaasan dengan karakter fisik yang berbeda dari wilayah yang dilewatinya menjadikan sungai sebagai edges (batas/tepi) suatu kawasan (Lynch, 1971). Pemanfaatan badan sungai juga menghasilkan ruang aktifitas ditepinya. Pembentukan ruang terbuka sungai dan tepinya membentuk koridor, yang juga memiliki kontinuitas melewati banyak kawasan variasi fungsi yang di lalui sungai, pengaruh factor alan, sejarah dan budaya masyarakat setempat serta peraturan pemerintah menghasilkan koridor sungai dengan potensinya masing-masing (Rezeki, 1999 dalam Saptorini). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa secara umum sungai sangat berperan dalam membentuk pewajahan suatu wilayah, yaitu memberikan karakter khusus yang membedakannya dengan wilayah lain.

(9)

2.4 Klasifikasi Kawasan Sekitar Aliran Sungai

Kegiatan yang dikembangkan pada suatu kawasan sekitar aliran sungai sangat tergantung pada potensi yang ada pada kawasan atau area yang dikembangkan. Berdasarkan aktifitas-aktifitas yang dikembangkan didalamnya, kawasan sekitar aliran sungai sapat dikategorikan sebagai serikut (Breen & Rigby, 1994 dalam Saptorini):

a. Cultural, mewadahi aktifitas budaya, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Aktifitas tersebut memanfaatkan sungai sebagai objek budaya atau ilmu pengetahuan dengan mengorientasikan pengembangan kawasan pada fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan budaya. Hal ini dapat dilhat dari beberapa fasilitas yang ada pada kawasan Memorial Fountain (Detroit Michigan), kawasan tepi sungai dengan program/event khusus (Ontario, Kanada), Aquarium (Baltimore, Maryland dan Monterey California.

b. Enviromental, Pengembangan kawasan tepi sungai yang bertumpu pada usaha peningkatan kualitas yang mengalami degradasi, mamanfaatkan potensi dari keaslian lingkungan yang tumbuh secara alami, seperti yang dilakukan pada sungai-sungai di Portland, Oregon dan Maryland. Pengembangan kawasan diarahkan pada kegiatan preservasi dan konservasi lingkungan alam, serta memanfaatkannya sebagai taman wisata alam, rekreasi dan taman bermain.

c. Historical, Pada umumnya dikembangkan sebagai upaya konservasi dan restorasi bangunan sejarah yang berada di tepi sungai. Konterks kesejarahan yang data dikembangkan dapat berupa dermaga tua seperti di

(10)

Baltimore, Maryland dan Boston. Bendungan dan jembatan kuno seperti di Pennsylvania, bangunan tua d new Orleans, jalur transportasi tua sepanjang perairan Seattle dan Washington.

d. Mixed-Use, Penerapan konsep mixed-use merupakan salah satu upaya untuk menyatukan berbagai kepentingan yang pada umumnya menjadi dilemma dalam megembangkan kawasan tepi sungai perkotaan. Pegambangan mixed-use diarahkan pada penggabungan fungsi perdagangan, rekreasi, perumahan, perkantoran, transportasi wisata dan olahraha

e. Recreational, pengembangan kawasan tepi sungai dengan fungsi aktifitas rekreasi dapat didukung dengan berbagai fasilitas antara lain: taman bermain, taman air, taman duduk, taman hiburan, area untuk memancing,

riverwalk, amphitheatre, dam, diving, pelabuhan sungai, gardu pandang, fasilitas perkapalan, fasilitas olah raga, museum, hotel, restoran dan aquarium.

2.5 Tipologi Bangunan

Purwito (2002) mengemukakan konstruksi bangunan rumah pemukiman tepi air umumnya menggunakan konstruksi kayu dengan tipe rumah panggung untuk rumah yang didirikan di darat maupun di tepi sungai. Rumah yang didirikan di tepian sungai bentuknya sangat sederhana (empat persegi panjang) dengan tipe atap pelana begitu pula tata ruang (denah) rumahnya. Dari segi kenyamanan sebetulnya cukup baik karena semua rumah dilengkapi dengan cukup bukaan (jendela/pintu) hanya

(11)

untuk kawasan pemukiman padat seperti yang terletak di muara Sungai Kuin dengan Sungai Barito karena kerapatan bangunannya tinggi maka jendela rumah yang satu dengan yang lain kadang-kadang saling berhadapan dan cahaya matahari kurang. Purwito, (2002) menjelaskan beberapa tipe rumah yang terdapat di lokasi adalah sebagai berikut:

a. Rumah tipe tunggal tidak bertingkat dan bertingkat kebanyakan didirikan di daratan dengan batas rumah/lahan dan jalan cukup jelas (pagar kayu). Lahan biasanya berupa tanah asli dengan tanaman bunga atau keras seperti kelapa, jambu dll. Untuk rumah yang letaknya di pinggir jalan umumnya berfungsi ganda, yaitu sebagai rumah tinggal dan juga sebagai tempat usaha (warung, toko, bengkel dll).

b. Rumah tipe tunggal tidak bertingkat dengan lokasi bagian depan di tepi jalan (daratan), sedangkan bagian belakang ditepian sungai. Batas antara rumah/lahan dengan jalan jelas (pagar kayu). Umumnya bagian depan yang menghadap jalan berfungsi sebagai rumah tinggal sedangkan yang menghadap tepian sungai sebagai tempat usaha (toko, gudang dll).

c. Rumah di tepian sungai umumnya tidak bertingkat dan berkelompok serta bergandengan. Kerapatan bangunan sangat tinggi sehingga batas rumah kadang-kadang tidak jelas karena dinding rumah langsung berbatasan dengan jalan (titian kayu). Dari sekian rumah yang dikunjungi hanya ada satu rumah bertingkat ayang ditinggali oleh dua keluarga (orang tua dan anak mereka yang sudah berkeluarga).

(12)

Bila dikaji lebih dalam lagi, tiap pemukiman tepi sungai mempunyai tingkat kompleksitas permasalahan yang beragam. Hal ini dipengaruhi oleh ragam komunitas yang menempati tiap pemukiman sehingga solusi untuk menangani tiap pemukiman akan berbeda pula. Di samping itu, kondisi sosial- budaya sekitar ikut mempengaruhi suatu pemukiman tersebut. Kawasan pemukiman tepian sungai memiliki tipologi fenomenal yang berbeda dengan pemukiman pada umumnya. Tipologi yang menggejala tersebut ditunjukkan melalui kondisi sosial yang terkait dengan aspek hubungan sosial, pendidikan dan mata pencaharian masyarakatnya.

Secara tipologi pemukiman menurut Departemen Kimpraswil, (1995), pemukiman tepi sungai terbagi dua:

1. Tipe pertama terletak di luar garis sempadan sungai baik yang bertanggul maupun tidak, penyebabnya adalah terbatasnya prasarana dan sarana dasar dan lahan untuk prasarana dan sarana dasar, eksploitasi pemanfaatan ruang dalam dan luar secara berlebihan, tingkat pendapatan rendah, kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan rendah, aksesbilitas terhadap pengadaan prasarana dan sarana dasar terbatas. 2. Tipe kedua, secara historis di area badan sungai bagian tepi sampai

dengan tepi sungai karena menempatkan sungai sebagai sarana transportasi vital. Tipe bangunan rakit panggung dan bidang lantai langsung berhubungan dengan tanah penyebabnya adalah penyusutan bangunan dan komponen lingkungan terbangun lainnya, menurun/hilangnya vitalitas lingkungan oleh imbas hilangnya vitalitas

(13)

kota, ditinggalkan oleh penghuninya kemudian ditempati oleh penyewa/penunggu.

Secara arsitektur, bangunan pemukiman tepi sungai dibedakan (Saptorini, 2004) menjadi bangunan di atas tanah, bangunan panggung di darat, bangunan panggung di atas air, bangunan rakit di atas air (gambar 2.2).

Bangunan di daratan Bangunan diatas air

Gambar 2.2 Bentuk Pemukiman Tepi Air Sumber: Analisa, 2011

Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern, sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-masing.

a. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin.

b. Sering terjadi kebakaran karena kelalaian, penggunaan bahan/peralatan berbahaya, mudah terbakar dan belum tersedianya sarana dan pedoman

(14)

penanggulangan kebakaran khususnya perumahan diatas air (Suprijanto, 2003).

2.6 Morfologi Pemukiman Tepi Sungai

Tinjauan terhadap morfologi kota (pemukiman) ditekankan pada bentuk fisik dari lingkungan kota/pemukiman. Secara fisik yang antara lain tercermin dari pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik didaerah hunian ataupun bukan perdagangan/industri dan juga bangunan-bangunan individual (Herbert, 1973 dalam Saptorini).

Dari hasil teori-teori dan penelitian yang telah dibuat terdahulu, maka terdapat pola-pola atau bentuk dari pemukiman yang ada ditepi sungai disebabkan oleh perkembangan penduduk yang mendiaminya. Pola dan bentuk pemukiman tepi sungai ini juga dipengaruhi oleh bentuk geografi dan pola bentuknya dapat diklasifikasikan (Hassan, 2001) adalah:

a. Morfologi arah daratan, pemukiman ini menempati dan berkembang dari tepi sungai ke arah daratan mengikuti garis topografi sungai, di mulai dari rumah-rumah yang di bangun pada bantaran di sepanjang muara sungai, rapat antara satu bangunan rumah dengan yang lainnya. Pola pemukiman ini berbentuk pyramid terbalik seperti terihat pada gambar 2.3.

(15)

Gambar 2.3 Morfologi ke Arah Daratan Sumber: Hassan, 2001

b. Morfologi arah ke air, pola pemukiman ini mengarah ke tengah sungai dan pemukiman ini didirikan diatas air sungai, berbentuk panggung. Dasar sungai biasanya tidak terlalu dalam dan tinggi bangunan rumah umumnya antara 2,5-5 meter untuk menghindari air pasang surut. Pola pemukiman ini berbentuk pyramid (gambar 2.4).

Gambar 2.4 Morfologi ke arah air Sumber: Hassan, 2001

c. Morfologi selari, pemukiman ini terbentuk dan berkembang melalui topografi tepian sungai dan pada belakang rumah-rumah dibangun jalan

(16)

yang terbuat dari titian kayu sejajar dengan rumah lapisan pertama tadi. Pola pemukiman ini berbentuk melengkung mengikuti topografi tepi sungai. Terbentuknya ruang melalui proses alamiah dan organik. Tidak ada pola khusus dalam penempatan ruang pola permukiman hanya mengikuti pola aliran sungai (gambar 2.5).

Gambar 2.5 Morfologi ke arah selari Sumber: Hassan, 2001

d. Morfologi atas air, terbentuknya pemukiman ini diatas tanah di tepian sungai yang selalu terjadi pasang surut sungai atau rawa-rawa di tepi sungai, bentuk rumah panggung terbuat dari kayu dan tata letak bangunannya tidak teratur (gambar 2.6).

(17)

Gambar 2.6 Morfologi di atas Air Sumber: Hassan, 2001

e. Morfologi muka muara, perkembangan pemukiman ini disepanjang muara sungai dan selat diatas sungai yang mempunyai bentang kecil. Di kedua tepian sungai dihubungkan titian/jembatan kayu yang tidak mengganggu lalu lintas perahu nelayan (gambar 2.7).

Gambar 2.7 Morfologi Muka Muara Sumber: Hassan, 2001

f. Morfologi gabungan, pemukiman ini terbentuk berdasarkan gabungan dua atau lebih pola mofologi pemukiman yang diatas. Bentuk pemukiman ini sangat kompleks dan kadang-kadang sulit untuk ditentukan berpola pemukiman apa.

(18)

Bentuk atau pola perumahan itu sendiri terjadi atas perilaku sosial dan budaya dari masyarakat yang mendiaminya. Dari hasil Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman di tepi air Indonesia terdapat teori-teori (Suprijanto, 2002) antara lain:

a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/pemukiman di kota tepi sungai dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu:

1. Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi di tepi sungai, yang kemudian menetap dan berkembang secara turun temurun membentuk suatu komunitas serta cenderung bersifat sangat hemogen, tertutup dan mengembangkan tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter dan ciri khas pemukiman tersebut.

2. Perkembangan sebagai daerah alternatif pemukiman, karena peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh perkotaan.

b. Tahapan perkembangan kawasan pemukiman kota tepi sungai adalah: 1. Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan

sebagai sumber air untuk keperluan hidup masyarakat kota masih merupakan suatu kelompok pemukiman di tepi sungai dan di atas air. 2. Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya

(kepentingan perdagangan) maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di tepi sungai (linier).

(19)

3. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan fungsional sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan (makin beragam).

c. Kawasan pemukiman diatas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dan lain-lain). Dominasi kawasan perumahan/pemukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.

d. Pola pemukiman di pengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 (tiga), yaitu daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah, daerah relatif datar dan cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola grid atau linear dengan tata letak banguan berada di kiri kanan jalan atau linier sejajar dengan (mengikuti) garis tepi sungai, daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau linier sejajar garis badan sungai.

e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai dengan orientasi kegiatan berbasiskan perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesblitas.

(20)

Disini dibedakan antara tipologi pemukiman nelayan dan pemukiman tepi sungai, antara lain:

a. Tipologi pemukiman nelayan, yaitu terletak di luar area antara garis pasang tertinggi dan terendah, mata pencaharian masyarakat dan atau yang terkait dengan nelayan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tertinggi permukaan tanah dan air laut relatif sama sehingga banyak jaringan sanitasi dan drainase yang tak berfungsi, air bersih sangat terbatas, penyusutan dini komponen lingkungan terbangun oleh iklim, terbatasnya lahan untuk prasarana dan sarana dasar, fungsi ruang tumpang tindih karena aktifitas yang padat, tingkat pendapatan tidak menentu, kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan rendah.

b. Tipologi pemukiman tepi sungai, yaitu terletak di luar garis sempadan sungai baik yang bertanggul maupun tidak, mata pencaharian masyarakat tidak hanya nelayan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya prasarana dan sarana dasar dan lahan untuk prasarana dan sarana dasar, eksplotasi pemanfaatan ruang dalam dan luar secara berlebihan, tingkat pendapatan rendah, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan rendah, aksesibilitas terhadap pengadaan prasarana dan sarana dasar terbatas.

Gambar

Gambar 2.1 Potongan melintang sungai   Sumber: BAPEDAL Jatim online, 2009
Gambar 2.2  Bentuk Pemukiman Tepi Air  Sumber: Analisa, 2011
Gambar 2.3 Morfologi ke Arah Daratan   Sumber: Hassan, 2001
Gambar 2.5 Morfologi ke arah selari  Sumber: Hassan, 2001
+2

Referensi

Dokumen terkait

KI 4 : Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan

Dengan demikian, nama PPPG Matematika berubah menjadi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika, dan merupakan

Hasil pengujian terhadap rendemen produk sayuran kering dari berbagai alat pengering menunjukkan bahwa pada alat pengering Hybrid Surya memberikan rendemen wortel

Pemilihan program Microsoft Excel untuk Perhitungan Posisi Bulan dan Matahari Algoritma Meeus by Rinto Anugraha sebagai program pembanding dikarenakan program tersebut

Tujuh artikel tersebut mengulas tentang, Penilaian indeks kualitas lingkungan untuk menentukan wilayah konservasi ikan belida (Chitala lopis ) di Sungai Kampar, Riau;

Ada hubungan pengetahuan ibu bersalin tentang KB pasca salin dengan keikutsertaan penggunaan KB pasca salin pengguna Jampersal di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Pada penelitian ini telah dilakukan uji daya antimikroba dari ekstrak etanol 80% daun kemuning {Murraya paniculata (L.) Jack}dengan cara perkolasi terhadap pertumbuhan