• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFISIENSI DAN ECONOMIES OF SCALE SEKTOR USAHA INDONESIA QIYAMUDDIN ROBBANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFISIENSI DAN ECONOMIES OF SCALE SEKTOR USAHA INDONESIA QIYAMUDDIN ROBBANI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

SYARIAH PADA BANK PEMBANGUNAN DAERAH DI

INDONESIA

QIYAMUDDIN ROBBANI

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

SYARIAH PADA BANK PEMBANGUNAN DAERAH

DI INDONESIA

QIYAMUDDIN ROBBANI

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efisiensi dan Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan Bapak Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Qiyamuddin Robbani

(4)

ABSTRAK

QIYAMUDDIN ROBBANI. Efisiensi dan Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS.

Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki peranan penting dalam percepatan pembangunan daerah dengan mengerahkan modal dan potensi daerahnya masing-masing. Dari 26 BPD yang telah didirikan, 16 diantaranya telah memiliki usaha syariah, baik berupa Unit Usaha Syariah (UUS) maupun Bank Umum Syariah (BUS). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia no. 11/10/PBI/2009, UUS harus menjadi BUS pada tahun 2023 dengan persyaratan modal inti minimum Rp500 miliar. Tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan memberikan kemudahan bagi UUS yang akan berubah menjadi BUS dengan modal inti minimum hanya Rp100 miliar. Kemudahan ini perlu diimbangi dengan kinerja yang baik. Kinerja 14 usaha syariah dan 26 usaha konvensional BPD diukur untuk mengetahui tingkat efisiensi masing-masing menggunakan metode Distribution Free Approach selama periode tahun 2008-2013. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha konvensional BPD lebih efisien dibandingkan usaha syariah. Usaha syariah yang mencapai economies of scale hanya Bank Jawa Barat dan Banten Syariah sedangkan usaha konvensional hampir seluruhnya mencapai economies of scale.

Kata kunci: Bank Syariah, distribution free approach, efisiensi, skala usaha

ABSTRACT

QIYAMUDDIN ROBBANI. Efficiency and Economies of Scale of Sharia Regional Development Banks in Indonesia. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS.

Regional Development Banks (BPD) has an important role in accelerating the development of the region by deploying capital and potential of their respective regions. Of 26 BPD who have established, 16 of them already have sharia unit, in the form of Sharia Business Unit (UUS) or Islamic Banks (BUS). Based on Bank Indonesia Regulation no. 11/10/PBI/2009, UUS must being BUS in 2023 with a minimum core capital requirement of Rp500 billion. In 2014, the Financial Services Authority (OJK) makes minimum core capital requirement only Rp100 billion. Ease of this needs to be balanced with good performance. The performance of 14 sharia and 26 conventional businesses BPD is measured using Distribution Free Approach method to determine the level of efficiency during the period 2008-2013. The result shows that conventional BPD is more efficient than the sharia. Sharia business sector that achieve economies of scale is only Bank of West Java and Banten Sharia whereas conventional sector almost entirely achieve economies of scale.

(5)

EFISIENSI DAN

ECONOMIES OF SCALE

SEKTOR USAHA

SYARIAH PADA BANK PEMBANGUNAN DAERAH DI

INDONESIA

QIYAMUDDIN ROBBANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

QIYAMUDDIN ROBBANI

EFISIENSI DAN

ECONOMIES OF SCALE

SEKTOR USAHA

SYARIAH PADA BANK PEMBANGUNAN DAERAH

DI INDONESIA

(6)
(7)

Bank Pembangunan Daerah di Indonesia

Nama : Qiyamuddin Robbani

NIM : H54100002

Disetujui oleh

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Efisiensi dan

Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini menjadi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah, Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan perkembangan kinerja sektor usaha syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia, serta menganalisis dan membandingkan tingkat efisiensi dan economies of scale sektor tersebut dengan sektor usaha konvensionalnya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dalam penulisan skripsi ini dan Ibu Ranti Wiliasih, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing akademik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga penulis, istriku tercinta Kartika Nadya Haqiqa, Abi Arief Munandar, Ummi Rina Ningsih,

Aba Margaharta Iskandar, Ibu Narni Farmayanti, Salma Mustaqimah, Aa’ Mikael Tohaga, M. Marogi Yoshi, Mary Haqiqa Izumi, Abdurrahman Fathony Syaukat dan Sari Khairunnisa selaku teman satu bimbingan, Ahmad Fauzi dan Putri Eka Ayuni S. atas diskusi dan koreksinya, keluarga Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan 47, Forkom Alims, serta seluruh sahabat dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya.

Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat untuk perkembangan Ilmu Ekonomi Syariah, khususnya di Indonesia.

Bogor, September 2014

(9)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5 Konsep Efisiensi ... 5 Economies of Scale ... 7 Penelitian Terdahulu ... 7 Kerangka Pemikiran ... 9 METODE PENELITIAN ... 10

Jenis dan Sumber Data ... 10

Model Penelitian ... 11

Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Perkembangan Kinerja Usaha Syariah BPD ... 16

Hasil Estimasi Fungsi Biaya dan Evaluasi Model ... 25

Tingkat Efisiensi Sektor Usaha Syariah dan Konvensional Setiap BPD ... 26

Economies of Scale Sektor Usaha Syariah dan Konvensional Setiap BPD ... 29

SIMPULAN DAN SARAN ... 31

Simpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

LAMPIRAN ... 35

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun 2013 ... 3 2 Hasil Uji Hausman ... 25 3 Hasil Estimasi Fungsi Biaya Menggunakan FEM dengan Pembobotan

Cross Section dan White Cross Section Covariance ... 26 4 Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan dalam Analisis Efisiensi ... 27 5 Tingkat Efisiensi Unit Usaha Setiap BPD ... 28 6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Usaha Syariah dan Usaha Konvensional

Masing-Masing BPD ... 29 7 Perbandingan Rata-Rata Economies of Scale (SCE) Usaha Syariah dan

Usaha Konvensional Masing-Masing BPD ... 30

DAFTAR GAMBAR

1 CAR, FDR, dan NPF Perbankan Syariah Tahun 2005-2012 ... 2 2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 10 3 Perkembangan Total Biaya Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ... 17 4 Perkembangan Total Laba Tahun Berjalan Usaha Syariah BPD Tahun

2008-2013 ... 18 5 Perkembangan Total DPK Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ... 19 6 Perkembangan Total Aset Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ... 21 7 Perkembangan Jumlah Pinjaman yang Disalurkan dari Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ... 22 8 Perkembangan Rasio BOPO Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ... 23 9 Rata-Rata Rasio BOPO Usaha Syariah dan Usaha Konvensional BPD

Tahun 2008-2013 ... 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Estimasi Fungsi Biaya Translog Menggunakan FEM dengan

Pembobotan Cross Section dan White Cross Section Covariance ... 35 2 Peringkat Efisiensi Usaha Syariah dan Usaha Konvensional BPD

Berdasarkan Metode DFA ... 36 3 Hasil Uji T Tingkat Efisiensi Sektor Usaha Syariah dan Konvensional ... 37 4 Hasil Perhitungan Economies of Scale Masing-Masing Sektor Usaha

(11)

Latar Belakang

Bank Pembangunan Daerah (BPD) adalah bank yang didirikan di Daerah Swatantra (Otonom) Tingkat I atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Pendirian BPD mengacu pada Undang-Undang (UU) no. 13 tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Fungsi BPD adalah untuk mempercepat pembangunan yang merata di semua daerah dengan mengerahkan modal dan potensi daerah masing-masing.

Sejak tahun 1962, sebanyak 26 BPD telah didirikan di berbagai daerah, seperti Bank DKI, Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), BPD DI Yogyakarta, Bank Aceh, BPD Papua, dan lain-lain. Keseluruhan BPD tersebut tergabung dalam Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) yang dibentuk pada tahun 1999. Salah satu peran penting ASBANDA adalah sebagai wadah aspirasi bagi setiap kepentingan BPD dalam forum Federasi Perbankan Indonesia dengan segala aktivitasnya. Akhir tahun 2010, ASBANDA beserta Bank Indonesia (BI) menggulirkan program BPD Regional Championship (BRC). BRC merupakan tahapan bagi BPD agar BPD menjadi tuan rumah di daerah sendiri dengan tiga pilar utama, yaitu memiliki ketahanan kelembagaan yang kuat sehingga mampu beroperasi secara efisien, memiliki kemampuan sebagai agent of regional development, serta memiliki kemampuan melayani kebutuhan masyarakat.

Indonesia menganut dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk memberikan alternatif jasa perbankan yang lebih lengkap kepada masyarakat. Sistem perbankan ganda mengacu pada penggunaan sistem konvensional dan sistem syariah dalam usaha bisnis perbankan di Indonesia. Sistem konvensional menggunakan bunga (interest) untuk mencari keuntungan dalam bisnisnya sedangkan sistem syariah menggunakan bagi hasil (profit atau revenue sharing) dan margin dari jasa yang diberikan.

BPD termasuk perbankan yang menjalankan usaha syariah. Usaha syariah pada BPD dimulai sekitar tahun 1998 semenjak dikeluarkannya UU no. 10 tahun 1998 yang merupakan perubahan dari UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU tersebut memberikan kesempatan bagi perbankan untuk mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS). Berdasarkan UU no. 10 tahun 1998, status BPD disamakan seperti bank umum lainnya sehingga dapat melakukan usaha-usaha yang sama dengan bank umum, termasuk mendirikan UUS. Perkembangan regulasi selanjutnya ditandai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 8/3/PBI/2006 yang memungkinkan pembukaan layanan syariah di kantor cabang konvensional. Tahap berikutnya perkembangan perekonomian syariah dari sisi regulasi ditandai dengan disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara khusus.

Tahun 2011, pemerintah membentuk suatu badan independen yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk perbankan. Lembaga ini disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan diatur berdasarkan UU no. 21 tahun 2011. Hadirnya OJK menjadi peluang sekaligus tantangan bagi sektor perbankan syariah agar mampu meningkatkan kinerjanya dengan baik.

(12)

Kinerja industri keuangan syariah, khususnya sektor perbankan, relatif cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari 3 indikator, yaitu tingkat kecukupan modal atau

capital adequacy ratio (CAR), fungsi intermediasi yang tercermin dalam rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga atau financing to deposit ratio (FDR), dan tingkat pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF).

Gambar 1 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005-2012, tingkat kecukupan modal industri perbankan syariah, yang mencakup Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), masih berada diatas minimum 8%. Rata-rata CAR industri perbankan syariah mencapai sekitar 15.2%. Kemudian rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga berada pada tingkat optimal dengan rata-rata FDR sebesar 97.2%. Selain itu, tingkat pembiayaan bermasalah masih terjaga dibawah 5% dengan rata-rata NPF sebesar 2.7%.

Sumber: Bank Indonesia (2012)

Gambar 1 CAR, FDR, dan NPF Perbankan Syariah Tahun 2005-2012

BPD juga memiliki peran penting dalam perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Sampai tahun 2013, 16 dari 26 BPD telah memiliki usaha syariah. Dari total 23 Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS, 15 diantaranya merupakan UUS BPD sementara dari 11 BUS yang ada di Indonesia, 1 diantaranya merupakan BUS yang berasal dari BPD.

BPD yang telah memiliki UUS tersebut antara lain, Bank Aceh, Bank DKI, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan Selatan, BPD Kalimantan Timur, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD Riau Kepri, BPD Sulawesi Selatan dan Barat, BPD Sumatera Barat, BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, BPD Sumatera Utara, dan BPD Yogyakarta.

Pendirian UUS merupakan langkah awal untuk membentuk BUS. BPD yang telah membentuk BUS dari unit usaha syariahnya adalah Bank Jawa Barat dan Banten (BJB). BJB memutuskan untuk menjadikan unit usaha syariahnya menjadi BUS pada tahun 2010. Oleh karena itu, Bank Jabar Banten Syariah (BJB Syariah) berdiri pada tanggal 15 Januari 2010. UUS BJB sendiri sudah beroperasi selama 10 tahun semenjak tahun 2000.

(13)

Perumusan Masalah

Pendirian UUS diharapkan mampu menjadi rintisan awal bagi sektor perbankan syariah di Indonesia. Setiap UUS diharuskan untuk mampu menjadi BUS secara mandiri sehingga tidak terus menginduk kepada perbankan konvensional. Berdasarkan PBI no. 11/10/PBI/2009 pasal 40, setiap Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS wajib membentuk UUS menjadi BUS apabila nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total aset BUK induknya. Selain itu, pemisahan UUS wajib dilakukan selambat-lambatnya 15 tahun sejak berlakunya UU no. 21 tahun 2008. Artinya, BUK harus memisahkan unit usaha syariahnya menjadi BUS paling lambat tahun 2023.

Untuk memisahkan UUS menjadi BUS membutuhkan modal yang cukup besar. Berdasarkan PBI no. 11/10/PBI/2009, pembentukan UUS menjadi BUS membutuhkan modal inti minimal 500 miliar rupiah dan dalam 10 tahun harus mencapai modal inti 1 triliun rupiah. Tabel 1 menjelaskan modal inti masing-masing BPD yang memiliki usaha syariah pada tahun 2013. Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa beberapa BPD masih memiliki modal di bawah 1 triliun rupiah, yaitu BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan Selatan, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD Yogyakarta, dan Bank Jambi. BPD yang memiliki modal inti di atas 5 triliun rupiah hanya Bank Jawa Barat dan Banten.

Tabel 1 Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun 2013 (dalam juta rupiah)

Nama BPD Modal Inti

Bank Aceh 1 490 312

Bank DKI 2 507 946

Bank Jawa Barat dan Banten 5 425 010

Bank Jawa Tengah 2 314 053

BPD Jawa Timur 4 792 566

BPD Kalimantan Barat 971 321

BPD Kalimantan Selatan 962 250

BPD Kalimantan Timur 3 544 081

BPD Nusa Tenggara Barat 584 529

BPD Riau Kepri 1 869 721

BPD Sulawesi Selatan dan Barat 1 217 276

BPD Sumatera Barat 1 215 898

BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung 1 535 399

BPD Sumatera Utara 1 486 762

BPD Yogyakarta 627 020

Bank Jambi 664 329

Sumber: Bank Indonesia (2013)

Pada tahun 2014, OJK mengubah ketentuan persyaratan modal inti menjadi minimal 100 miliar rupiah bagi BUK yang ingin memisahkan unit usaha syariahnya menjadi BUS dengan syarat rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) tidak kurang dari 8%. Kemudahan ini perlu disertai dengan kinerja yang baik agar BUS yang didirikan tidak lantas tutup di tengah jalan. Evaluasi kinerja dapat dilakukan salah satunya dengan mengukur tingkat efisiensi dan economies of

(14)

scale masing UUS dari setiap BPD sehingga dapat dilihat apakah masing-masing UUS tersebut mampu menjadi BUS.

Tingkat efisiensi merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur kinerja perbankan, termasuk perbankan syariah. BPD yang dituntut untuk dapat menjadi agent of development bagi daerah tentunya harus memiliki kinerja yang baik, salah satunya dari sisi efisiensi. Begitupula usaha syariah yang dilakukan oleh BPD seharusnya dapat dilaksanakan secara efisien.

Secara ideologi, ekonomi syariah berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam setiap aktivitas mu’amalah (ekonomi). Islam mengajarkan pemeluknya untuk tidak mubadzir atau berlebih-lebihan. Ini berarti efisiensi seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalan usaha-usaha yang berlandaskan syariah.

Selain tingkat efisiensi, indikator untuk mengukur kinerja perbankan juga dapat dilihat dari economies of scale. Economies of scale dapat menggambarkan kenaikan biaya relatif yang terjadi akibat dari kenaikan seluruh output secara proporsional. Artinya, biaya per unit output yang dihasilkan akan semakin rendah sehingga perbankan lebih efisien dan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan mendasar yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Apakah kinerja usaha syariah pada setiap BPD di Indonesia sudah baik? 2. Apakah terdapat perbedaan signifikan antara tingkat efisiensi sektor usaha

syariah BPD dengan sektor usaha konvensionalnya?

3. Apakah sektor usaha syariah BPD di Indonesia mampu mencapai tingkat biaya yang lebih efisien ketika outputnya meningkat?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah sebelumnya, dapat dirumuskan tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mendeskripsikan perkembangan kinerja usaha syariah setiap BPD di Indonesia.

2. Menganalisa dan membandingkan tingkat efisiensi usaha syariah dengan usaha konvensional BPD di Indonesia.

3. Mengidentifikasi apakah sektor usaha syariah setiap BPD di Indonesia mampu mencapai economies of scale.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pertimbangan bagi para praktisi BPD, terutama unit syariahnya, agar dapat mengevaluasi kembali kinerja usahanya. Usaha yang dijalankan dengan efisien tentu berdampak pada pengoptimalan sumber daya yang dimiliki sehingga menghasilkan output yang juga optimal. Dengan begitu, tujuan BPD sebagai agen pembangunan daerah dapat terlaksana dengan baik.

(15)

Penelitian ini juga dapat digunakan oleh Bank Indonesia maupun pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, untuk memberikan regulasi yang sesuai bagi masing-masing BPD agar terjalin sinergi yang baik antara legislator dan eksekutor. Terakhir bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya terkait efisiensi, khususnya mengenai perbankan syariah.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Efisiensi

Efisiensi merupakan salah satu parameter untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Efisiensi, khususnya efisiensi teknis, adalah kemampuan perusahaan meminimalkan penggunaan input dalam suatu produksi untuk mendapatkan sejumlah output tertentu atau kemampuan perusahaan memaksimumkan output yang didapat dengan sejumlah input tertentu (Kumbhakar dan Lovell 2000). Zainal dan Ismail (2010) menyebutkan bahwa efisiensi adalah sebuah proses terbaik suatu perusahaan agar dapat menggunakan input untuk memproduksi output yang diinginkan. Dalam dunia perbankan, efisiensi menjadi parameter kinerja yang cukup populer karena dapat menjadi jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran kinerja (Hadad et al. 2003).

Ascarya dan Yumanita (2008) menyebutkan bahwa konsep efisiensi berakar dari konsep mikroekonomi, yaitu teori produsen dan konsumen. Teori konsumen mencoba untuk memaksimumkan kepuasan dari sisi konsumen sedangkan teori produsen berusaha untuk memaksimumkan profit atau meminimumkan biaya produksi.

Farrell (1957) menyebutkan bahwa keseluruhan efisiensi dari suatu perusahaan terdiri dari dua jenis, yakni efisiensi teknis dan efisiensi harga. Ascarya

et al. (2009) juga menyebutkan bahwa efisiensi terdiri dari dua komponen, yang disebut:

a. Efisiensi teknis (technical efficiency): kemampuan suatu perusahaan untuk memaksimumkan output dari sejumlah input tertentu.

b. Efisiensi alokatif (allocative efficiency): kemampuan suatu perusahaan untuk menggunakan sejumlah input secara proporsional berdasarkan harga input tersebut.

Jika kedua komponen efisiensi tersebut dikombinasikan, dapat dihasilkan efisiensi ekonomi (economic efficiency).

Konsep Efisiensi dalam Islam

Islam mengajarkan pemeluknya untuk tidak berperilaku berlebih-lebihan (israf) dan boros (tabdzir) dalam penggunaan sumber daya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Dalam Islam, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi adalah perilaku israf dan tabzir. Khan (2003) mendefinisikan israf

sebagai perbuatan hilang kontrol diri, tidak seimbang, berlebihan, dan sia-sia. Perilaku israf juga mencakup pengeluaran barang-barang yang halal, tetapi berlebihan dari sisi kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Allah

(16)

subhanahuwata’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-An’am [6] ayat 141 yang artinya:

“…dan janganlah berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Tabzir dapat didefinisikan sebagai perilaku boros. Istilah tabzir digunakan secara khusus dalam aktivitas ekonomi sedangkan istilah israf memiliki cakupan makna yang lebih luas tidak hanya terbatas dalam aktivitas ekonomi. Termasuk diantara perilaku tabdzir adalah tidak memanfaatkan sumber daya secara optimal. Dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ [17] ayat 26-27, Allah subhanahuwata’ala berfirman:

“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Fauzi (2014) berpendapat bahwa aplikasi dari ayat tersebut pada perusahaan, dalam hal ini lembaga keuangan, dapat dilihat dari tingkat efisiensi perusahaan tersebut. Tingkat efisiensi suatu perusahaan dapat menggambarkan kinerja perusahaan tersebut dalam menggunakan input yang ada untuk menghasilkan output yang maksimum tanpa adanya penghamburan sumber daya yang dimiliki.

Konsep efisiensi dalam Islam tidak terbatas pada hubungan antara input dan output semata. Islam mengajarkan agar dalam setiap aktivitas ekonomi (muamalah) hendaknya tidak bertentangan dengan syariat yang telah diberikan melalui Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu, konsep efisiensi dalam Islam adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memperoleh output yang maksimal dari sejumlah input tertentu dengan menggunakan cara-cara yang halal dan toyyib (baik) sesuai firman Allah subhanahuwata’ala dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 168:

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan…”

Chapra (1992) menyebutkan bahwa inefisiensi alokatif dalam sumber daya keuangan yang terjadi pada sistem perbankan konvensional merupakan sebuah konsekuensi yang logis. Kredit yang diberikan lebih banyak kepada sektor swasta dengan basis jaminan, sumber yang stabil untuk melayani utang, atau sektor pemerintah yang dianggap minim risiko. Hal ini menyebabkan proposal keuangan tidak dievaluasi dengan baik. Kredit menjadi tersedia untuk keperluan apapun sehingga berkontribusi dalam kelebihan ekspansi sektor moneter serta menyebabkan DPK tidak produktif dan sia-sia. Hal ini merupakan salah satu bentuk perilaku berlebih-lebihan, terlebih menggunakan instrumen bunga (riba) yang jelas dilarang oleh syariat.

Pengukuran Tingkat Efisiensi

Pengukuran tingkat efisiensi dapat menggunakan metode non-parametrik maupun metode parametrik. Metode non-parametrik relatif lebih mudah dilakukan karena tidak perlu merumuskan bentuk fungsi secara spesifik. Namun, metode parametrik mampu mengestimasi random error sehingga dapat mengurangi kesalahan dalam pengukuran tingkat efisiensi.

Salah satu metode non-parametrik yang cukup sering digunakan adalah metode Data Envelopment Analysis (DEA). Metode parametrik, menurut Berger dan Mester (1997), terbagi dalam metode Stochastic Frontier Approach (SFA),

(17)

Selain itu untuk mengukur tingkat efisiensi, dapat digunakan beberapa pendekatan. Berger dan Mester (1997) membagi pendekatan tersebut menjadi tiga, yaitu efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi laba standar (standard profit efficiency), dan efisiensi laba alternatif (alternative profit efficiency).

Efisiensi biaya mengukur biaya terendah yang dibutuhkan suatu perusahaan jika perusahaan tersebut beroperasi sama efisiennya dengan praktik perusahaan terbaik terhadap biaya aktual yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Artinya, suatu bank dengan tingkat efisiensi biaya 0.70 memiliki efisiensi biaya 70% atau mengeluarkan 30% biaya lebih besar dibandingkan bank yang paling efisien jika dihadapkan pada kondisi yang sama.

Efisiensi laba standar dan efisiensi laba alternatif sama-sama mengukur efisiensi melalui pendekatan laba. Efisiensi diukur dari laba aktual yang diperoleh suatu perusahaan terhadap laba maksimum yang dapat dicapai perusahaan tersebut bila beroperasi sama efisiennya dengan praktik perusahaan terbaik. Artinya, suatu bank dengan tingkat efisiensi laba 0.70 berarti hanya mampu mendapat laba 70% dari laba yang mampu dicapai bank yang paling efisien jika dihadapkan pada kondisi yang sama. Perbedaan efisiensi laba standar dan laba alternatif terletak pada output. Efisiensi laba standar mengukur laba berdasarkan harga output, sedangkan efisiensi laba alternatif mengukur laba berdasarkan tingkat output.

Economies of Scale

Christensen dan Greene (1976) menyebutkan bahwa economies of scale

seringkali didefinisikan sebagai peningkatan relatif suatu output yang dihasilkan dari penambahan secara proporsional dari seluruh input (increasing return to scale). Dari sisi biaya, economies of scale menunjukkan kenaikan biaya relatif akibat dari kenaikan seluruh output secara proporsional.

Suatu bank mencapai economies of scale ketika bank tersebut mampu menghasilkan output yang lebih banyak dengan proporsi kenaikan biaya yang relatif lebih kecil. Sebaliknya, suatu bank tidak mencapai economies of scale, atau disebut diseconomies of scale, ketika proporsi kenaikan biayanya relatif lebih besar untuk menghasilkan output yang lebih banyak. Artinya, bank yang mampu mencapai economies of scale lebih efisien.

Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian mengenai efisiensi perbankan cukup banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar Indonesia dengan menggunakan metode parametrik ataupun non-parametrik. Namun, penelitian yang menggunakan metode parametrik untuk mengukur tingkat efisiensi perbankan syariah dan komparasinya dengan perbankan konvensional masih cukup terbatas. Umumnya studi komparasi ini masih menggunakan metode non-parametrik.

Pengukuran efisiensi menggunakan pendekatan parametrik sudah mulai dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Salah satu penelitian yang cukup berpengaruh dalam pengukuran efisiensi adalah penelitian Aigner, Lovell, dan Schmidt (1977). Penelitian tersebut memperkenalkan fungsi stochastic frontier

(18)

dengan merumuskan struktur error pada model deterministic frontier yang sebelumnya telah ditulis oleh Schmidt pada tahun 1976 sehingga didapatkan fungsi sebagai berikut:

𝑦𝑖 = 𝑓(𝑥𝑖; 𝛽) + 𝜀𝑖 (2.1)

di mana: 𝜀𝑖 = 𝑣𝑖 + 𝑢𝑖 (2.2)

Struktur error ini dapat menggambarkan inefisiensi yang terjadi dalam sebuah proses produksi. Nilai 𝑣𝑖 merepresentasikan gangguan simetris sedangkan 𝑢𝑖

merupakan random error.

Penelitian lainnya yang memiliki pengaruh cukup besar dalam mengukur efisiensi dengan pendekatan parametrik adalah penelitian Berger dan Mester (1997). Penelitian tersebut menggunakan data hampir 6 000 bank komersial di Amerika Serikat yang terus beroperasi selama periode 1990-1995. Dalam penelitiannya, Berger dan Mester mengemukakan tiga konsep pendekatan dalam mengukur efisiensi, yaitu pendekatan efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi laba standar (standard profit efficiency), dan efisiensi laba alternatif (alternative profit efficiency).

Penelitian terkait efisiensi perbankan syariah telah dilakukan antara lain oleh Yudistira (2004), Hassan (2006), Mokhtar et al. (2006), Andryani (2008), Aliyar (2010), Amirillah (2010), Abdalla dan Onour (2011), serta Rahman dan Rosman (2013). Penelitian terkait komparasi tingkat efisiensi perbankan syariah dan perbankan konvensional pernah dilakukan oleh Heralina (2005), Mediadianto (2007), Ascarya dan Yumanita (2008), Bader et al. (2008), Ascarya et al. (2009), Iqbal (2011), dan Puspitasari (2012). Penelitian yang secara khusus mengukur tingkat efisiensi BPD di Indonesia sendiri pernah dilakukan oleh Abidin dan Endri (2009) serta Wardani (2013) sedangkan penelitian yang secara khusus mengukur efisiensi sektor usaha syariah BPD di Indonesia belum pernah dilakukan.

Heralina (2005) meneliti perbandingan efisiensi bank syariah dan bank konvensional di Indonesia menggunakan metode DFA dan SFA. Penelitiannya menggunakan fungsi biaya dengan bentuk translog yang direstriksi untuk menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan tingkat efisiensi perbankan konvensional. Penelitian ini membuktikan bahwa bentuk fungsi translog dapat memenuhi sifat-sifat fungsi biaya sehingga dapat digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara efisiensi perbankan syariah maupun konvensional. Selain itu, perbankan syariah di Indonesia secara rata-rata dapat mencapai economies of scale.

Hasil penelitian Mediadianto (2007) menunjukkan bahwa bank syariah relatif lebih efisien dibandingkan dengan bank konvensional, baik menggunakan pendekatan aset maupun pendekatan produksi. Penelitiannya mengukur efisiensi tiga bank syariah dan tiga bank konvensional yang memiliki aset setara dengan menggunakan metode DEA. Penelitian ini juga melihat pengaruh karakteristik bank terhadap tingkat efisiensi. Karakteristik yang signifikan memengaruhi tingkat efisiensi adalah profitabilitas dan modal.

Penelitian efisiensi bank konvensional dan bank syariah di Indonesia menggunakan metode DEA juga dilakukan oleh Ascarya dan Yumanita (2008).

(19)

Penelitian ini menggunakan jumlah bank, baik konvensional maupun syariah, yang berbeda setiap tahunnya dalam kurun waktu 2003-2005. Tingkat efisiensi diukur dua kali, yakni setiap tahun dan digabungkan (pooled) secara keseluruhan dalam periode tiga tahun tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbankan syariah relatif lebih efisien secara keseluruhan dan teknis, tetapi relatif kurang efisien dalam skala efisiensi. Selain itu, tenaga kerja menjadi prioritas utama untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan efisiensi perbankan, baik konvensional maupun syariah.

Penelitian Bader et al. (2008) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara efisiensi perbankan syariah dengan efisiensi perbankan konvensional. Penelitian ini menggunakan 3 pendekatan sekaligus, yaitu efisiensi biaya, efisiensi penerimaan, dan efisiensi keuntungan. Bank syariah relatif lebih efisien dalam pendekatan penerimaan dan keuntungan, sementara bank konvensional relatif lebih efisien dalam pendekatan biaya.

Ascarya et al. (2009) juga melakukan penelitian menggunakan metode parametrik, yakni SFA dan DFA. Sebanyak 52 bank konvensional dan 7 bank syariah diteliti dalam periode 2002-2006 menggunakan bentuk translog dari fungsi biaya. Hasil penelitian dengan metode DFA menunjukkan bank konvensional rata-rata relatif lebih efisien dibanding bank syariah. Namun, hasil pengukuran dengan metode SFA menunjukkan bahwa bank syariah mampu bersaing di tahun 2003 dengan tingkat efisiensi 0.840 yang lebih besar dibanding bank konvensional dengan tingkat efisiensi hanya 0.760. Setelah itu, baik bank syariah maupun bank konvensional sama-sama mencapai efisiensi optimal 1.

Penelitian lain mengukur tingkat efisiensi tiga BUS dan sepuluh BUK selama periode 2006-2009. Hasil penelitian Iqbal (2011) tersebut menunjukkan bahwa BUK lebih efisien dibandingkan BUS, tetapi tidak berbeda signifikan berdasarkan hasil uji beda.

Puspitasari (2012) juga meneliti tingkat efisiensi BUS dan BUK. Sebanyak 4 BUS dan 8 BUK diukur menggunakan metode DEA. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BUS efisien di tahun 2006-2008 dan 2011, sedangkan BUK efisien di tahun 2006, 2006, 2010, dan 2011. BUK lebih unggul pada indikator

Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Return on Assets (ROA), sedangkan BUS lebih unggul pada indikator Financing to Deposit Ratio (FDR) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).

Penelitian economies of scale seringkali disandingkan dengan penelitian terkait tingkat efisiensi. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara tingkat efisiensi dengan economies of scale. Hasil penelitian Heralina (2005) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara economies of scale dengan tingkat efisiensi perbankan. Peningkatan economies of scale akan meningkatkan tingkat efisiensi.

Kerangka Pemikiran

Setiap BUK diharuskan mengubah UUS-nya menjadi BUS selambat-lambatnya tahun 2023. BPD sebagai salah satu BUK tidak memiliki kecukupan modal sehingga sulit untuk membentuk BUS secara mandiri. Kemudahan persyaratan dari OJK di tahun 2014 berupa modal inti minimum hanya sebesar

(20)

Rp100 miliar perlu diimbangi dengan kinerja yang baik sehingga mampu menjamin keberlangsungan usaha setiap BUS. Evaluasi kinerja dapat dilakukan dengan mengukur tingkat efisiensi dan economies of scale dari masing-masing sektor usaha syariah BPD dan dibandingkan terhadap sektor usaha konvensionalnya.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data panel berupa data cross section dari setiap BPD di Indonesia dan data time series mulai dari periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2013. Data yang diperoleh merupakan data sekunder berupa Laporan Keuangan Publikasi setiap BPD dari Bank Indonesia dan masing-masing BPD, baik usaha konvensional maupun syariah.

BPD wajib mengubah UUS menjadi BUS

Modal inti BPD masih relatif kecil

Evaluasi Kinerja Sektor Usaha Syariah BPD

Tingkat Efisiensi BPD Konvensional Tingkat Efisiensi BPD Syariah Kesimpulan Rekomendasi Kebijakan Economies of Scale BPD Syariah Economies of Scale BPD Konvensional

(21)

Penelitian ini tidak mengikutsertakan dua UUS BPD, yaitu UUS BPD Jambi dan UUS BPD Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan BPD Jambi baru memulai usaha syariah pada tahun 2012 sedangkan BPD Jawa Tengah pada triwulan ke-2 tahun 2008. BPD lainnya telah memulai usaha syariah sebelum tahun 2008 sehingga tahun tersebut dapat dianggap sudah stabil dalam menjalankan bisnisnya. Oleh karena itu, jumlah total unit cross section yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 40 unit yang terdiri dari 26 unit BPD konvensional dan 14 unit sektor usaha syariah BPD.

Model Penelitian

Penelitian ini menghitung tingkat efisiensi menggunakan pendekatan fungsi biaya yang dikemukakan oleh Berger dan Mester (1997). Fungsi biaya tersebut secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝐶 = 𝑓(𝑤, 𝑦, 𝑧, 𝑣, 𝑢𝑐, 𝜀𝑐) (3.1) di mana:

𝐶 = variabel biaya

𝑤 = vektor harga variabel input

𝑦 = vektor jumlah variabel output

𝑧 = jumlah fixed netput (opsional)

𝑣 = variabel eksogen atau variabel lingkungan (opsional)

𝑢𝑐 = faktor inefisiensi yang dapat meningkatkan biaya

𝜀𝑐 = random error

Fungsi Transcendental Logarithmic (Translog)

Spesifikasi fungsi biaya yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk fungsi transcendental logarithmic (translog). Penggunaan fungsi translog memungkinkan analisis yang lebih mendalam, misalnya elastisitas subtitusi yang merupakan penurunan kedua dari fungsi produksi, biaya, atau utilitas (Greene 2012). Fungsi translog juga masuk akal untuk mendapatkan hubungan yang sebenarnya antara biaya dan output (Schmidt 2005). Selain itu, bentuk fungsi translog memungkinkan pengukuran economies of scale dari fungsi biaya tersebut. Biaya yang dikeluarkan oleh perbankan dipengaruhi oleh faktor input dan output. Faktor input yang paling besar memengaruhi adalah dana pihak ketiga (DPK) dan tenaga kerja sebagai modal utama bagi perbankan untuk menjalankan usahanya. Untuk mendapatkan tingkat harga dana (price of funds) dilakukan pendekatan dengan membagi beban bagi hasil atau beban bunga dengan total DPK (𝑝𝑓). Untuk mendapatkan tingkat harga tenaga kerja (price of labour) dilakukan pendekatan dengan membagi beban personalia terhadap total aktiva (𝑝𝑙).

Faktor output juga dianggap dapat memengaruhi biaya. Semakin banyak output yang dihasilkan, semakin banyak pula biaya yang perlu dikeluarkan. Output yang dihasilkan perbankan berupa jumlah pinjaman yang dikeluarkan (𝑓𝑖𝑛) dan jumlah sekuritas (𝑠𝑒𝑐). Pada usaha syariah, jumlah pinjaman yang dikeluarkan berupa piutang murabahah, salam, istishna, maupun pembiayaan mudharabah dan

(22)

kredit yang diberikan kepada nasabah. Jumlah sekuritas merupakan penggabungan dari penempatan pada BI maupun bank lain, berupa giro atau surat-surat berharga lainnya. Penelitian ini tidak menggunakan variabel fixed netput dan variabel lingkungan karena kurangnya ketersediaan data pada laporan keuangan UUS.

Fungsi biaya dengan bentuk translog yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

ln(𝑇𝐶𝑖𝑡) = 𝛼0 + 𝛼1ln(𝑝𝑓𝑖𝑡) + 𝛼2ln(𝑝𝑙𝑖𝑡) + 𝛽1ln(𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡) + 𝛽2ln(𝑠𝑒𝑐𝑖𝑡) + ½𝛼11ln(𝑝𝑓𝑖𝑡)2 + ½𝛼22ln(𝑝𝑙𝑖𝑡)2 + ½𝛽11ln(𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡)2 + ½𝛽22ln(𝑠𝑒𝑐𝑖𝑡)2 + 𝛼12ln(𝑝𝑓𝑖𝑡)ln(𝑝𝑙𝑖𝑡) + 𝛾11ln(𝑝𝑓𝑖𝑡)ln(𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡) + 𝛾12ln(𝑝𝑓𝑖𝑡)ln(𝑠𝑒𝑐𝑖𝑡) + 𝛾21ln(𝑝𝑙𝑖𝑡)ln(𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡) + 𝛾22ln(𝑝𝑙𝑖𝑡)ln(𝑠𝑒𝑐𝑖𝑡) + 𝛽12ln(𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡)ln(𝑠𝑒𝑐𝑖𝑡) + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 (3.2) di mana:

ln(𝑇𝐶𝑖𝑡) = nilai logaritma natural dari total cost

ln(𝑝𝑓𝑖𝑡) = nilai logaritma natural dari price of funds

ln(𝑝𝑙𝑖𝑡) = nilai logaritma natural dari price of labour

ln(𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡) = nilai logaritma natural dari jumlah pinjaman yang disalurkan ln(𝑠𝑒𝑐𝑖𝑡) = nilai logaritma natural dari jumlah sekuritas

𝑢𝑖𝑡 = faktor inefisiensi

𝜀𝑖𝑡 = random error

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis data panel statis. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan perkembangan kinerja usaha syariah BPD. Kombinasi data cross section dan time series pada data panel menyebabkan jumlah observasi yang lebih besar sehingga dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antarvariabel, serta meningkatkan derajat kebebasan (Firdaus 2011). Baltagi (2005) menyebutkan bahwa data panel memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

1. Mengontrol heterogenitas individu. Penggunaan data panel mampu mengontrol individu, perusahaan, keadaan, ataupun negara sehingga dapat dianggap heterogen. Data cross section maupun time series tidak mampu menangani risiko heterogenitas ini sehingga dapat menyebabkan hasil yang bias.

2. Data panel memberikan data yang lebih informatif, variabilitas yang lebih banyak, kolinearitas antarvariabel yang lebih sedikit, derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien.

3. Data panel lebih baik dalam mempelajari dinamika perubahan dari suatu fenomena. Penggunaan data panel lebih baik karena meneliti secara berulang kali suatu unit cross section dalam sebuah pengamatan (Gujarati 2004). 4. Data panel dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak tampak

pada data cross section atau time series murni.

5. Data panel memungkinkan untuk membuat dan menguji lebih banyak perilaku yang kompleks dalam model dibandingkan data cross section atau

(23)

6. Data panel mikro yang dikumpulkan dari individu, rumah tangga, atau perusahaan relatif lebih akurat untuk diukur dibandingkan variabel yang diukur pada level makro.

7. Di sisi lain, data panel makro dapat memiliki serangkaian waktu yang lebih lama.

Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini adalah Eviews 6, Microsoft Excel 2013, dan SPSS 16. Eviews 6 digunakan untuk mengestimasi model terbaik yang akan digunakan, Microsoft Excel 2013 untuk mengelompokkan dan menghitung nilai efisiensi dan economies of scale masing-masing BPD, dan SPSS 16 untuk menghitung uji beda antara tingkat efisiensi sektor usaha syariah dengan tingkat efisiensi sektor usaha konvensional.

Data panel memiliki 2 bentuk pendekatan yang umum diaplikasikan, yaitu

Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error

dengan variabel bebas (Firdaus 2011).

Fixed Effects Model (FEM)

Pendekatan OLS mengasumsikan bahwa semua koefisien, baik intersep maupun slope, dari persamaan regresi adalah konstan baik antarindividu maupun antarwaktu. Asumsi ini jelas sangat terbatas. Menurut Gujarati (2004), pendekatan tersebut, meskipun sederhana, dapat merusak gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara variabel dependen dan independen terhadap setiap individu.

Untuk mengatasi masalah ini, digunakan Model Efek Tetap atau Fixed Effects Model (FEM). FEM menggunakan variabel-variabel dummy untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep yang bervariasi antarindividu. Namun, koefisien

slope tetap diasumsikan konstan terhadap setiap individu. Hal ini yang menyebabkan model disebut fixed atau tetap.

𝑌𝑖𝑡 = ∑𝛼𝑖𝐷𝑖+ 𝛽𝑋𝑖𝑡+ 𝜀𝑖𝑡 (3.3)

di mana:

𝑌𝑖𝑡 = variabel dependen

𝑋𝑖𝑡 = variabel independen

𝛼 = intersep model yang berubah-ubah antarunit cross section

𝛽 = slope

𝐷 = variabel dummy

i = individu ke-i; dan t = periode waktu ke-t

𝜀 = error

Persamaan di atas telah ditambahkan N-1 variabel dummy ke dalam model sehingga besarnya derajat kebebasan berkurang. FEM juga seringkali disebut sebagai model Least-Squares Dummy Variable (LSDV) karena penggunaan variabel dummy.

Random Effects Model (REM)

Penggunaan variabel dummy pada FEM dapat menyebabkan penurunan derajat kebebasan atau degree of freedom. Hal tersebut pada akhirnya justru dapat mengurangi efisiensi dari parameter yang akan diestimasi. Oleh karena itu,

(24)

digunakan Model Efek Acak atau Random Effects Model (REM) untuk mengatasi masalah tersebut.

𝑌𝑖𝑡 = 𝛼0+ 𝛽𝑋𝑖𝑡+ 𝜀𝑖𝑡 (3.4) REM memasukkan perbedaan antarindividu maupun antarwaktu ke dalam

error (𝜀𝑖𝑡) sehingga nilai intersep dan slope tetap. Perubahan variasi dari intersep maupun slope ditangkap melalui error.

𝜀𝑖𝑡 = 𝑢𝑖𝑡+ 𝑣𝑖𝑡 + 𝑤𝑖𝑡 (3.5) di mana:

𝑢𝑖𝑡 ~ 𝑁(0, 𝛿𝑢)2 = error component cross section

𝑣𝑖𝑡 ~ 𝑁(0, 𝛿𝑣)2 = error component time series

𝑤𝑖𝑡 ~ 𝑁(0, 𝛿𝑤)2 = error component combinations

Model ini mengasumsikan error secara individual tidak saling berkorelasi, begitu juga error kombinasinya. Penggunaan REM dapat menghemat derajat kebebasan sehingga memungkinkan untuk mendapat parameter hasil estimasi yang lebih efisien dibanding FEM. Semakin efisien maka model akan semakin baik (Firdaus 2011).

Uji Hausman

Uji Hausman adalah pengujian statistik yang digunakan untuk memilih model terbaik antara FEM atau REM. Penggunaan FEM mengandung unsur trade-off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan REM juga harus memerhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen error yang dihasilkan (Holis 2006). Uji Hausman dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: Menggunakan Random Effects Model (REM) H1: Menggunakan Fixed Effects Model (FEM)

Penolakan hipotesis nol dilakukan dengan mencari nilai Statistik Hausman dan membandingkannya dengan nilai Chi-square. Statistik Hausman dirumuskan sebagai berikut:

H = (𝛽𝑅𝐸𝑀 – 𝛽𝐹𝐸𝑀)′(𝑀𝐹𝐸𝑀 – 𝑀𝑅𝐸𝑀)-1(𝛽𝑅𝐸𝑀 – 𝛽𝐹𝐸𝑀) ~𝜒2(𝑘) (3.6)

di mana:

𝑀 adalah matriks kovarians untuk parameter 𝛽 𝑘 adalah degree of freedom

Apabila hasil pengujian nilai H lebih besar dari 𝜒2tabel, maka cukup bukti untuk penolakan H0 sehingga model yang digunakan adalah FEM. Begitu pula sebaliknya, jika tidak cukup bukti untuk menolak H0 maka model yang digunakan adalah REM.

(25)

Distribution Free Approach (DFA)

Berger dan Mester (1997) menyebutkan bahwa jika data panel tersedia, metode DFA dapat digunakan. Metode DFA merupakan solusi dari kritik yang dikemukakan oleh Berger dan Mester (1997) terhadap metode SFA karena seolah-seolah menggunakan asumsi distribusi secara semena-mena. Metode ini mengasumsikan bahwa terdapat efisiensi inti atau efisiensi rata-rata untuk masing-masing perusahaan dari waktu ke waktu. Persamaan (3.1) dapat dituliskan kembali dengan memisahkan error term sebagai berikut:

ln(𝑇𝐶𝑖𝑡) ≡ 𝑓(𝑤𝑖𝑡, 𝑦𝑖𝑡, 𝑧𝑖𝑡, 𝑣𝑖𝑡) + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 (3.7)

Residual dari setiap regresi terdiri dari inefisiensi, 𝑢𝑖𝑡, dan komponen random error, 𝜀𝑖𝑡. Namun, komponen random error diasumsikan nol ketika nilai residual dirata-ratakan terhadap periode yang akan diamati sehingga di dapat nilai 𝑢̂𝑖:

𝑢̂𝑖 = 1

𝑇∑(𝑢𝑖𝑡+ 𝜀𝑖𝑡) (3.8)

Nilai 𝑢̂𝑖 menjadi patokan dalam perhitungan efisiensi biaya seperti dirumuskan oleh Berger dan Mester (1997) dalam persamaan berikut:

𝐶𝑜𝑠𝑡𝐸𝐹𝐹𝑖 =𝐶̂ 𝑚𝑖𝑛 𝐶̂𝑖 = {exp[𝑓̂(𝑤𝑖, 𝑦𝑖, 𝑧𝑖, 𝑣𝑖)] × exp[𝑙𝑛(𝑢̂𝑐𝑚𝑖𝑛)]} {exp[𝑓̂(𝑤𝑖, 𝑦𝑖, 𝑧𝑖, 𝑣𝑖)] × exp[𝑙𝑛(𝑢̂ 𝑐 𝑖)]} = 𝑢̂𝑐𝑚𝑖𝑛 𝑢̂𝑐𝑖 (3.9)

Tingkat efisiensi yang didapat (𝐶𝑜𝑠𝑡𝐸𝐹𝐹𝑖) akan berkisar antara (0, 1] yang menunjukkan seberapa efisien bank 𝑖 terhadap bank-bank lain yang diamati.

Overall Economies of Scale (SCE)

Perhitungan economies of scale (SCE) dalam penelitian ini mengikuti perhitungan yang dikemukakan oleh Ray (1982). Economies of scale merupakan turunan dari rumus fungsi biaya translog pada persamaan (3.2) terhadap output yang dihasilkan (𝑦1 𝑑𝑎𝑛 𝑦2) sehingga didapatkan perhitungan sebagai berikut:

𝑆𝐶𝐸 = [ ∑𝑖𝜕 ln(𝑇𝐶) 𝜕 ln(𝑦𝑖) ln(𝑦𝑖) ln(𝑇𝐶)] −1 ; 𝑖 = 1,2 (3.10) 𝑆𝐶𝐸 = [𝛽1+ 𝛽11ln(𝑦1) + 𝛽12ln(𝑦2) + 𝛾11ln(𝑤1) + 𝛾21ln(𝑤2) + 𝛽2 + 𝛽22ln(𝑦2) + 𝛽12ln(𝑦1) + 𝛾12ln(𝑤1) + 𝛾22ln(𝑤2)]−1 (3.11)

Nilai SCE > 1 menunjukkan bahwa suatu bank mencapai economies of scale

sedangkan nilai SCE < 1 menunjukkan bahwa suatu bank tidak mencapai

economies of scale atau disebut diseconomies of scale. Economies of scale

menunjukkan bahwa suatu bank dapat meningkatkan output dengan proporsi kenaikan biaya yang relatif lebih rendah.

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Kinerja Usaha Syariah BPD

Perkembangan kinerja usaha syariah setiap BPD dapat dilihat dari beberapa indikator seperti total biaya, total laba tahun berjalan, total DPK, total aset, jumlah pinjaman yang disalurkan, dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Setiap usaha syariah BPD dapat dilihat perkembangannya berdasarkan indikator-indikator tersebut selama periode 2008 sampai dengan 2013 dan dibandingkan dengan rata-rata BPD konvensional.

Perkembangan Total Biaya

Total biaya merupakan akumulasi dari biaya atau beban operasional maupun non-operasional. Perkembangan total biaya di satu sisi dapat menggambarkan perkembangan usaha suatu bank, tetapi di sisi lain juga memengaruhi efisiensi bank tersebut. Sektor usaha syariah BPD perlu berhati-hati dalam mengeluarkan biaya agar tidak termasuk ke dalam kategori tabzir.

Salah satu unsur dari beban operasional adalah beban bagi hasil. Semakin besar beban bagi hasil artinya semakin banyak return yang diberikan kepada nasabah yang menyimpan uangnya di bank tersebut. Artinya, bank mendapatkan untung yang lebih besar dari usahanya sehingga mampu memberikan bagi hasil yang lebih besar. Namun, semakin besar total biaya juga dapat menurunkan tingkat efisiensi suatu bank jika tidak diimbangi dengan pendapatan yang lebih besar. Gambar 3 menunjukkan perkembangan total biaya dari masing-masing usaha syariah BPD tahun 2008-2013.

Dari Gambar 3, terlihat bahwa seluruh usaha syariah memiliki total biaya jauh di bawah rata-rata total biaya BPD konvensional. Rata-rata total biaya BPD konvensional tumbuh dari Rp 629.11 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 1.31 triliun di tahun 2013 atau tumbuh sekitar 15.87% setiap tahunnya.

Bank Jawa Barat dan Banten Syariah memiliki perkembangan total biaya terbesar dari tahun ke tahun, mulai dari Rp 60.93 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 487.96 miliar di tahun 2013. Perkembangan total biaya terkecil adalah BPD Yogyakarta dengan total biaya hanya sebesar Rp 1.93 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 17.38 miliar di tahun 2013. Secara umum, terlihat dari Gambar 3 bahwa perkembangan total biaya usaha syariah BPD relatif naik dari tahun ke tahun. Penurunan hanya terjadi pada Bank DKI tahun 2009-2010 sebesar -2.84%, tahun 2010-2011 sebesar -16.45%, dan tahun 2012-2013 sebesar -43.84%. Penurunan lainnya terjadi pada BPD Kalimantan Timur sebesar -40.72% di tahun 2011-2012.

Rata-rata pertumbuhan total biaya seluruh usaha syariah BPD sebesar 54.36%. Usaha syariah BPD yang memiliki pertumbuhan total biaya di atas rata-rata adalah BPD Jawa Timur dengan pertumbuhan rata-rata-rata-rata sebesar 69.04%, BPD Kalimantan Timur dengan pertumbuhan sebesar 62.25%, BPD Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan pertumbuhan sebesar 72.36%, BPD Sumatera Barat dengan pertumbuhan sebesar 110.93%, BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung dengan pertumbuhan sebesar 69.08%, serta BPD Yogyakarta dengan pertumbuhan sebesar 64.81%.

(27)

Sumber: Bank Indonesia (2014)

Gambar 3 Perkembangan Total Biaya Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 (dalam juta rupiah)

Pertumbuhan total biaya sektor usaha syariah BPD menunjukkan bahwa aktivitas usaha BPD tersebut terus meningkat. Hal tersebut seiring dengan pertumbuhan aset sektor usaha syariah BPD yang semakin berkembang. Tahun 2008 merupakan awal bagi beberapa UUS BPD yaitu BPD DIY Yogyakarta, BPD Sumatera Barat, BPD Sulawesi Selatan, dan BPD Jawa Timur yang baru berdiri pada tahun 2007.

Pengembangan sektor usaha syariah BPD masih bertumpu pada perluasan jaringan layanan syariah, baik dengan membuka kantor cabang baru ataupun membuka layanan syariah pada kantor-kantor induk BPD konvensional masing-masing. Data Statistik Perbankan Syariah dari Bank Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah kantor sektor perbankan syariah berkembang pesat dari 581 kantor BUS dan 241 kantor UUS di tahun 2008 menjadi 1998 kantor BUS dan 590 kantor UUS di tahun 2013.

Perkembangan Total Laba Tahun Berjalan

Laba tahun berjalan adalah pendapatan operasional dan non-operasional dikurangi beban operasional dan non-operasional. Perkembangan kinerja dapat dilihat dari semakin besarnya laba yang didapat masing-masing usaha syariah dari BPD setiap tahunnya. Kinerja yang semakin baik akan menghasilkan laba yang semakin besar.

Gambar 4 menunjukkan bahwa total laba tahun berjalan usaha syariah setiap BPD berfluktuasi dari tahun ke tahun selama periode 2008-2013. Laba tahun berjalan yang diperoleh setiap usaha syariah BPD masih jauh di bawah rata-rata laba yang diperoleh usaha konvensional. Sektor usaha konvensional mampu

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Aceh DKI Jabar Banten Jatim Kalbar Kalsel Kaltim NTB Riau Sulselbar Sumbar Sumsel Babel Sumut Yogya Rata-Rata Konvensional

(28)

mencapai rata-rata laba tahun berjalan Rp 165.03 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 177.05 miliar di tahun 2013 dengan pertumbuhan rata-rata 1.42% setiap tahunnya. Nilai ini lebih dari dua kali lipat total laba terbesar yang diperoleh sektor usaha syariah sepanjang kurun waktu 2008-2013. Total laba tahun berjalan terbesar diperoleh Bank DKI pada tahun 2013 sebesar Rp 74.18 miliar sedangkan total laba tahun berjalan terkecil didapatkan oleh BPD Kalimantan Timur di tahun 2011 yang mengalami kerugian sebesar Rp 76.30 miliar.

Sumber: Bank Indonesia (2014)

Gambar 4 Perkembangan Total Laba Tahun Berjalan Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 (dalam juta rupiah)

Rata-rata laba tahun berjalan seluruh usaha syariah BPD tahun 2008-2013 sebesar Rp 15.87 miliar. Usaha syariah BPD yang memiliki rata-rata laba di atas nilai rata-rata keseluruhan tersebut antara lain Bank Aceh sebesar Rp 37.27 miliar, Bank DKI sebesar Rp 28.49 miliar, Bank Jawa Barat dan Banten sebesar Rp 18.72 miliar, Bank Kalimantan Barat sebesar Rp 29.30 miliar, Bank Sumatera Barat sebesar Rp 15.89 miliar, serta Bank Sumatera Utara sebesar Rp 33.66 miliar.

UUS BPD Kalimantan Timur mengalami kerugian Rp 76.30 miliar pada tahun 2011. Hal ini disebabkan oleh kasus kredit fiktif yang dilakukan salah satu pegawai cabang Samarinda. Selain itu, Bank Jawa Barat dan Banten Syariah juga mengalami kerugian di tahun 2012 sebesar Rp 18.18 miliar akibat dari besarnya beban cadangan penghapusan pembiayaan sebesar Rp 98.91 miliar dari satu nasabah besar pembiayaan yang mengalami penurunan kolektabilitas. Nilai tersebut tetap harus dibukukan sesuai ketentuan otoritas meskipun penyelesaiannya sedang dalam proses.

Fluktuasi laba sektor usaha syariah BPD menunjukkan perlu adanya perbaikan kinerja dari masing-masing BPD. Akad-akad dalam perbankan syariah

-100000 -50000 0 50000 100000 150000 200000 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Aceh DKI Jabar Banten Jatim Kalbar Kalsel Kaltim NTB Riau Sulselbar Sumbar Sumsel Babel Sumut Yogya Rata-Rata Konvensional

(29)

yang menggunakan prinsip bagi hasil memang memiliki risiko bila dibandingkan dengan prinsip bunga. Oleh karena itu, penanganan setiap transaksi perlu dilakukan dengan hati-hati sehingga mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih baik. Hal ini yang membedakan antara perbankan syariah dan perbankan konvensional dimana risiko ditanggung bersama-sama sehingga bank juga memiliki peran penting dalam pengelolaan dana, tidak hanya sekedar memberikan pinjaman semata.

Perkembangan Total DPK

Dana pihak ketiga merupakan dana yang dititipkan oleh nasabah kepada pihak bank untuk digunakan kembali sebagai modal. Penghimpunan DPK yang semakin besar menunjukkan peningkatan aktivitas usaha syariah dari BPD tersebut, khususnya dalam menjalankan fungsi intermediasi. Pada usaha syariah, penghimpunan DPK dapat berupa akad wadiah yang tidak mensyaratkan bagi hasil, maupun akad mudharabah yang mensyaratkan bagi hasil.

Perkembangan total DPK usaha syariah masing-masing BPD tahun 2008-2013 ditunjukkan oleh Gambar 5. Terlihat bahwa total DPK hampir selalu meningkat setiap tahunnya. Total DPK sektor usaha syariah masih jauh lebih kecil dibandingkan rata-rata DPK BPD konvensional. Rata-rata DPK BPD konvensional mencapai Rp 5.51 triliun di tahun 2008 menjadi Rp 5.82 triliun di tahun 2013 dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 1.11% setiap tahunnya.

Sumber: Bank Indonesia (2014)

Gambar 5 Perkembangan Total DPK Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 (dalam juta rupiah)

Bank Jawa Barat dan Banten Syariah memiliki total DPK terbesar dengan jumlah Rp 258.51 miliar di tahun 2008 dan berkembang menjadi Rp 3.70 triliun di

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Aceh DKI Jabar Banten Jatim Kalbar Kalsel Kaltim NTB Riau Sulselbar Sumbar Sumsel Babel Sumut Yogya Rata-Rata Konvensional

(30)

tahun 2013. BPD dengan total DPK terkecil adalah BPD Nusa Tenggara Barat dengan jumlah Rp 10.93 miliar di tahun 2008 dan hanya menjadi Rp 128.90 miliar di tahun 2013. Penurunan jumlah DPK terjadi pada Bank DKI tahun 2009-2010 sebesar -3.44% dan BPD Sumatera Utara pada tahun 2012-2013 sebesar 13.01%.

Pertumbuhan terbesar diperoleh oleh BPD Sumatera Barat dengan rata-rata pertumbuhan total DPK sebesar 93.09% dengan Rp 21.05 miliar tahun 2008 menjadi Rp 411.37 miliar di tahun 2013. Pertumbuhan terendah diperoleh BPD Riau Kepri dengan rata-rata pertumbuhan total DPK hanya sebesar 29.07% setiap tahunnya. BPD Riau Kepri memiliki total DPK sebesar Rp 164.26 miliar pada tahun 2008 dan menjadi Rp 586.87 miliar di tahun 2013.

Rata-rata pertumbuhan total DPK usaha syariah BPD tahun 2008-2013 sebesar 55.89%. BPD yang memiliki pertumbuhan di atas rata-rata adalah Bank Jawa Barat dan Banten sebesar 76.35%, BPD Jawa Timur sebesar 61.78%, BPD Kalimantan Barat sebesar 56.58%, BPD Nusa Tenggara Barat sebesar 64.33%, BPD Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sebesar 79.41%, BPD Sumatera Barat sebesar 93.09%, serta BPD Sumatera Utara sebesar 59.98%.

Terdapat dua akad yang biasa digunakan oleh perbankan syariah untuk menghimpun DPK, yaitu akad wadiah dan akad mudharabah. Ketentuan akad ini diatur dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No. 02/DSN-MUI/IV/2000. Akad mudharabah mensyaratkan bagi hasil bagi pemilik dana (sohibul maal) atau dalam hal ini nasabah, sedangkan akad wadiah

tidak mensyaratkan bagi hasil karena hanya merupakan titipan nasabah kepada bank.

Penggunaan akad mudharabah jelas berbeda dengan akad bunga (riba) dalam perbankan konvensional. Akad mudharabah menjadikan risiko usaha ditanggung bersama-sama oleh bank dan nasabah. Pada akad bunga, risiko hanya ditanggung oleh bank saja karena nasabah akan tetap mendapatkan persentase bunga yang dijanjikan oleh bank meskipun bank mengalami kerugian. Hal tersebut tentu akan memengaruhi efisiensi kinerja suatu bank.

Perkembangan Total Aset

Perkembangan kinerja usaha syariah dari BPD dapat juga ditunjukkan oleh perkembangan total aset atau aktivanya. Total aset merupakan akumulasi dari kas yang dimiliki, penempatan pada BI maupun bank lain berupa giro atau surat-surat berharga (sekuritas), jumlah pinjaman yang diberikan (berupa piutang ataupun pembiayaan), serta aktiva tetap berupa inventarisasi dan kepemilikan aset fisik. Semakin besar total aset dapat menunjukkan semakin besarnya aktivitas usaha yang dilakukan oleh suatu bank sehingga dapat diduga bahwa bank tersebut menjalankan usahanya dengan lebih efisien.

Dari Gambar 6, terlihat bahwa total aset terbesar diperoleh Bank Jawa Barat dan Banten mulai dari Rp 743.66 miliar di tahun 2008 sampai menjadi Rp 4.70 triliun di tahun 2013. Total aset terendah dimiliki oleh BPD Nusa Tenggara Barat dengan Rp 50.16 miliar di tahun 2008 dan hanya menjadi Rp 279.15 miliar pada tahun 2013.

Secara umum, grafik perkembangan total aset usaha syariah BPD tahun 2008-2013 cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kinerja yang baik dari masing-masing usaha syariah BPD dalam periode tersebut. Penurunan total aset hanya terjadi pada Bank DKI pada tahun 20092010 sebesar

(31)

-9.20% dan BPD Kalimantan Timur sebesar -5.94% pada tahun 2010-2011. Total aset sektor usaha syariah juga masih jauh di bawah rata-rata aset BPD konvensional. BPD konvensional memiliki total aset rata-rata sebesar Rp 7.06 triliun di tahun 2008 dan menjadi Rp 7.43 triliun di tahun 2013 atau tumbuh sekitar 1.03% setiap tahunnya.

Sumber: Bank Indonesia (2014)

Gambar 6 Perkembangan Total Aset Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 (dalam juta rupiah)

Pertumbuhan total aset terbesar dipegang oleh BPD Sumatera Barat sebesar 112.79% dengan pertumbuhan total aset mulai Rp 49.03 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 1.09 triliun di tahun 2013. Pertumbuhan total aset terkecil diperoleh Bank Aceh sebesar 23.13% dengan total aset mulai Rp 607.17 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 1.68 triliun di tahun 2013.

Rata-rata pertumbuhan total aset usaha syariah BPD mencapai 47.88%. BPD yang memperoleh pertumbuhan total aset di atas rata-rata adalah BPD Jawa Timur sebesar 66.04%, BPD Kalimantan Barat sebesar 49.24%, BPD Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sebesar 58.25%, BPD Sumatera Barat sebesar 112.79%, serta BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung sebesar 58.01%.

Perkembangan Jumlah Pinjaman yang Disalurkan

Jumlah pinjaman yang disalurkan dapat menunjukkan fungsi perbankan dalam menggerakkan sektor perekonomian secara riil. Semakin besar pinjaman yang disalurkan akan meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat pada sektor riil, baik untuk konsumsi maupun untuk produksi. Pada usaha syariah, pinjaman yang diberikan dapat berupa piutang murabahah (jual-beli), piutang salam, piutang

istishna, maupun pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Peningkatan jumlah 0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Aceh DKI Jabar Banten Jatim Kalbar Kalsel Kaltim NTB Riau Sulselbar Sumbar Sumsel Babel Sumut Yogya Rata-Rata Konvensional

(32)

pinjaman yang disalurkan juga dapat menunjukkan kinerja bank yang semakin baik dan efisien.

Gambar 7 memperlihatkan peningkatan grafik perkembangan jumlah pinjaman yang disalurkan oleh usaha syariah BPD dari tahun 2008 sampai tahun 2013. Jumlah pinjaman yang disalurkan oleh sektor usaha syariah BPD masig berada di bawah rata-rata jumlah pinjaman yang disalurkan oleh BPD konvensional. BPD konvensional mencapai rata-rata jumlah pinjaman sebesar Rp 3.71 triliun di tahun 2008 dan menjadi Rp 4.07 triliun di tahun 2013 atau tumbuh rata-rata 1.87% setiap tahunnya.

Sumber: Bank Indonesia (2014)

Gambar 7 Perkembangan Jumlah Pinjaman yang Disalurkan dari Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 (dalam juta rupiah)

Jumlah pinjaman terbesar disalurkan oleh Bank Jawa Barat dan Banten Syariah mulai dari Rp 593.53 miliar di tahun 2008 hingga menjadi Rp 3.59 triliun di tahun 2013. Nilai tersebut berselisih hanya sekitar Rp 0.46 triliun dibandingkan capaian rata-rata jumlah pinjaman yang disalurkan BPD konvensional. Dengan pertumbuhan rata-rata 46.94%, BJB Syariah seharusnya mampu melewati capaian rata-rata BPD konvensional tersebut di tahun-tahun berikutnya. Jumlah pinjaman terkecil disalurkan oleh BPD Nusa Tenggara Barat sebesar Rp 44.30 miliar di tahun 2008 dan hanya menjadi Rp 171.84 miliar di tahun 2013.

Pertumbuhan terbesar jumlah pinjaman yang disalurkan diperoleh BPD Sumatera Barat sebesar 118.65% dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 43.72 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 1.06 triliun di tahun 2013. Pertumbuhan terkecil didapatkan oleh BPD Kalimantan Selatan sebesar 25.91% dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 131.13 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 406.06 miliar pada tahun 2013. 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000 4000000 4500000 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Aceh DKI Jabar Banten Jatim Kalbar Kalsel Kaltim NTB Riau Sulselbar Sumbar Sumsel Babel Sumut Yogya Rata-Rata Konvensional

(33)

Rata-rata pertumbuhan jumlah pinjaman disalurkan oleh usaha syariah BPD sebesar 49.25%. BPD yang mampu mencapai pertumbuhan di atas rata-rata tersebut adalah BPD Jawa Timur dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 52.93%, BPD Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sebesar 52.17%, BPD Sumatera Barat sebesar 118.65%, BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung sebesar 52.33%, BPD Sumatera Utara sebesar 57.03%, serta BPD Yogyakarta sebesar 61.29%.

Pinjaman yang disalurkan oleh sektor usaha syariah BPD dapat menggunakan akad murabahah, salam, istishna, mudharabah, atau musyarakah. Berbeda dengan sistem bunga pada BPD konvensional, sektor usaha syariah BPD menanggung risiko dari pembiayaan yang diberikan kepada nasabah. Hal ini menyebabkan portofolio usaha harus diteliti dengan cermat sehingga efisiensi dari DPK yang digunakan dapat ditingkatkan oleh sektor usaha syariah BPD.

Perkembangan Rasio BOPO

Rasio BOPO merupakan indikator yang paling mudah untuk melihat efisiensi suatu perbankan. BOPO didapatkan dengan membagi beban operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio BOPO menunjukkan suatu bank semakin efisien. Semakin rendah nilai BOPO menunjukkan tingkat kinerja yang semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Gambar 8 menunjukkan perkembangan rasio BOPO dari masing-masing usaha syariah BPD selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2013.

Sumber: Bank Indonesia (2014)

Gambar 8 Perkembangan Rasio BOPO Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013

Dari Gambar 8, terlihat bahwa BPD Kalimantan Barat merupakan bank yang paling efisien menurut rasio keuangan BOPO dengan rasio rata-rata hanya sebesar 0.16. Namun, nilai rasio BOPO terkecil diperoleh BPD Yogyakarta pada tahun

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Aceh DKI Jabar Banten Jatim Kalbar Kalsel Kaltim NTB Riau Sulselbar Sumbar Sumsel Babel Sumut Yogya Rata-Rata Konvensional

Gambar

Gambar  1  menunjukkan  bahwa  sepanjang  tahun  2005-2012,  tingkat  kecukupan modal industri perbankan syariah, yang mencakup Bank Umum Syariah  (BUS) dan Unit  Usaha  Syariah (UUS), masih  berada diatas  minimum  8%
Tabel 1  Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun  2013 (dalam juta rupiah)
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 3 Perkembangan Total Biaya Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013  (dalam juta rupiah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk pelaksanaan penilaian baik tes maupun non tes yang dilaksanakan guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebaiknya dilakukan secara variatif. Hal ini

RPP dibuat untuk satu kali pertemuan (dua jam pelajaran) atau disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat berjalan sesuai

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dibuat dengan caramenghaluskan daging kemudian dibuat adonan dengan cara menambahkan garam,bawang putih yang

hadap herding. Dengan demikian, secara langsung pada perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia yang memiliki asset besar akan cen- derung memicu terjadinya herding behavior

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh getah pepaya terhadap kualitas lada putih, konsentrasi getah pepaya yang paling baik dalam perendaman lada, waktu

 Manggarai yang sejahtera ( Prosperity ) berhubungan dengan perubahan terukur di semua aspek kesehatan masyarakat yang berkualitas dan merata; pengelolaan

Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, karena keluarga merupakan tempat tumbuh dan berkembang yang pertama bagi anak, dimana anak akan mendapatkan