• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HIPERPLASIA ENDOMETRIUM"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi Tutorial Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman HIPERPLASIA ENDOMETRIUM Disusun Oleh: Fathul Rizkiansyah Mahfudhah Iklil Khairunnisa

Nikki Junaedy

Trikortea Espandiarie Cahyasit

Pembimbing:

dr. Prima Deri Pella T., Sp.OG

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi

Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperplasia Endometrium adalah suatu kondisi di mana terjadi penebalan/pertumbuhan berlebihan dari lapisan dinding dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada saat menstruasi. Kondisi ini merupakan proses yang jinak (benign), tetapi pada beberapa kasus (hyperplasia tipe atipik) dapat menjadi kanker rahim

Wanita memiliki organ eksterna dan interna serta dilengkapi dengan hormon-hormon reproduksi. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menjadikan wanita rentan sekali terhadap berbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan organ reproduksi contohnya seperti Hyperplasia Endometrium.

Sebanyak 40.000 kasus terdiagnosis di Amerika pada tahun 2005. Risiko terjadinya kelainan ini meningkat pada wanita dengan obesitas, diabetes, dan penggunaan terapi pengganti hormon. Studi yang dilakukan oleh Kurman menyatakan hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker, 3% progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia sederhana atipik. Sementara hiperplasia kompleks atipik, 29% akan progresi menjadi kanker 2,4 %.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari hyperplasia endometrium.

2. Untuk mengetahui penyebab dari hyperplasia endometrium.

(3)

BAB II LAPORAN KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Rabu, 19 April 2017 pukul 14.30 WITA di ruang Mawar Nifas RSUD AW Sjahranie Samarinda.

Anamnesis: Identitas pasien:

Nama : Ny. M

Umur : 45 tahun (DOB 4 November 1971)

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Suku : Jawa

Alamat : Jl. Adam Malik II Gg Manggis RT 4 No 43 Samarinda Masuk RS (MRS) : Hari Rabu, 19 April 2017 pukul 14.30

Identitas suami: Nama : Tn.H Umur : 52 tahun Agama : Islam Pendidikan : SD Pekerjaan : Swasta Suku : Jawa

Alamat : Jl. Adam Malik II Gg Manggis RT 4 No 43 Samarinda

Keluhan Utama:

Perdarahan dari jalan lahir sejak ±4 bulan sebelum masuk rumah sakit (sejak akhir Desember 2016).

(4)

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak ±4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar berwarna kehitaman dan bergumpal-gumpal. Banyaknya perdarahan adalah 5 kali ganti pembalut per harinya. Untuk keluhannya ini selama ini pasien berobat ke Poli Kandungan RS Dirgahayu. Pasien mengaku mendapatkan obat dari RS Dirgahayu, bila mengonsumsi obat tersebut perdarahan yang dialami pasien berhenti, namun bila tidak meminum obat perdarahan akan berlangsung kembali. Perdarahan disertai pengeluaran jaringan seperti daging berwarna merah berbentuk lonjong, 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien pernah dirawat di RS karena Typhoid dan operasi Sectio Caesarea. Pasien pernah menjalani operasi Sectio Caesarea pada tahun 2002.

Pasien tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit jantung. Riwayat alergi dan asma tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat anggota keluarga menderita keluhan serupa tidak ada Riwayat keluarga menderita tumor tidak ada

Riwayat hipertensi dan diabetes melitus di keluarga tidak ada.

Riwayat Perkawinan:

Pasien menikah 1 kali, pertama kali menikah pada usia 22 tahun. Saat ini status pasien masih menikah, pernikahan dengan suami sekarang sudah berjalan selama 24 tahun.

Riwayat Haid:

- Menarche usia 13 tahun

- Siklus haid tidak teratur sejak 4 bulan terakhir.

(5)

- Lama haid 7-8 hari

- Banyaknya perdarahan 3 kali ganti pembalut setiap hari

Riwayat Kontrasepsi:

Pernah memakai KB Pil selama ± 1,5 tahun Pernah memakai KB Suntik selama ± 2,5 tahun Steril sejak 15 tahun yang lalu

Riwayat Obstetrik: No. Tahun partus Tempat Partus Umur kehamilan Jenis Persalinan Penolong Persalinan Penyulit Jenis Kelamin/ Berat Badan Keadaan anak Sekarang 1. 2/10/

1994 Klinik Aterm Spontan Bidan - L/2700 g Sehat

2. 7/9/

1998 RS Aterm Spontan Bidan - L/3400 g Sehat

3. 2/9/ 2002 RS Aterm SC a/i Partus Macet + Sterilisasi Dokter Sp. OG - L/3200 g Sehat Pemeriksaan fisik:

1. Berat badan 52 kg, tinggi badan 146 cm 2. Keadaan Umum : Baik

3. Kesadaran : Composmentis, GCS : E4V5M6 4. Tanda vital:

Tekanan darah : 110/60 mmHg Frekuensi nadi : 81 x/menit Frekuensi napas : 19 x/menit

(6)

5. Status generalis:

Kepala : Normochepal

Mata : Penglihatan kabur (+), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Telinga/hidung/tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) Thorax:

 Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)  Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :

I : Kontur datar, linea nigra (-), striae albicans (-), sikatrik (-), scar op (+) A : Bising usus (+) kesan normal

P : Timpani pada seluruh lapang perut, pekak hepar (+) P : Tidak teraba massa, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :

Atas : Akral hangat, edema (-/-)

Bawah : Edema tungkai (-/-), varices (-/-), refleks patella (+/+)

6. Status Ginekologi:

1. Inspeksi : Tidak terlihat pembesaran / massa pada abdomen 2. Palpasi : Tidak teraba benjolan pada abdomen, nyeri tekan (-) 3. Inspekulo : Tidak dilakukan

4. Pemeriksaan Dalam

Vagina : Tidak teraba massa, terdapat sedikit nyeri tekan Portio : Konsistensi kenyal, arah anterior

Parametrium kanan : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan Parametrium kiri : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan Kavum Douglassi : Tidak menonjol

(7)

Pemeriksaan Tambahan:

Laboratorium Darah Lengkap

a. Leukosit : 12.480/mm3 b. Hemoglobin : 8,6 gr/dl c. Hematokrit : 27,5 %

d. Trombosit : 477.000 / mm3

USG Ginekologi

Kesan : Penebalan endometrium

Patologi Anatomi

Kesimpulan : Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa

Pap Smear Normal PapSmear Radang non spesifik

Fungal/ Haemavilous Vaginalis/ Trichomonas Vaginalis infection

Diagnosis kerja:

Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa

Penatalaksanaan:

(8)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gambar 1. Hiperplasia endometrium

Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kelenjar endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan pada rasio kalenjar/stroma. Hiperplasia endometrium lebih jauh diklasifikasikan menjadi hiperplasia sederhana dan kompleks berdasarkan kompleksitas dan kerumunan dari struktur kalenjar.

B. Anatomi dan Fisiologi Endometrium

Gambar 2. Anatomi endometrium

Uterus adalah organ muskular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus

(9)

dilapisi oleh endometrium dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya sangat sensitive terhadap kerja hormone seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhan dan progesterone mempertahankannya.

Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempat menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi.

Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan,agar hasil konsepsi bisa tertanam. Pada suatu fase dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim.

Siklus endometrium normal

Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni

(10)

a. Fase Menstruasi (Deskuamasi)

Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan endometrium dari dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang mengalami disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan hemolisis serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.

b. Fase Pasca Haid (Regenerasi)

Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi epitel mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini membuat lapisan endometrium setebal ± 0,5 mm.

c. Fase Intermenstrum (Proliferasi)

Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung selama ± 10 hari (hari ke 5-14 siklus haid)

1. Fase proliferasi dini (early proliferation phase) Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini terdapat regenerasi kelenjar dari mulut kelenjar dengan epitel permukaan yang tipis. Bentuk kelenjar khas fase proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.

2. Fase proliferasi madya (midproliferation phase) Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini merupakan bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan yang berbentuk torak dan tinggi. Kelenjar berlekuk-lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema. Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus).

3. Fase proliferasi akhir (late proliferation phase) Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari permukaan kelenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti

(11)

epitel kelenjar membentuk pseudostratifikasi. Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.

d. Fase Pra Haid (Sekresi)

Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang berbeda adalah bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk, panjang dan mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni

1. Fase sekresi dini

Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan menjadi beberapa lapisan yakni

a. Stratum basale yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar

b. Stratum spongiosum

yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit stroma di antaranya c. Stratum kompaktum

yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema

2. Fase sekresi lanjut

Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak mengandung pembuluh darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat ideal

(12)

untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah. Sel stroma ini akan berubah menjadi sel desidua jika terjadi pembuahan.

C. Patogenesis

Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler, tetapi telah dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang menyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi. Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium. Peran dari gen Fas/Fas L juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya denga pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis factor (TNF)/ Nerve Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan Fas L (Fas Ligand ) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan Fas L meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat. Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hiperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis

(13)

molekular terbentuknya hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.

Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya stimulasi unoppesd estrogen (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin (feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.

Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun estrogen saja. Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogen) akan menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih.

D. Faktor Resiko

Faktor resiko Hiperplasia endometrium sama seperti pada kasus kanker endometrium, yang paling penting diantaranya adalah peningkatan Body Mass Index (BMI) dan nulipara. Faktor resiko yang lain yaitu anovulasi yang bersifat kronik, late onset of menopouse¸ dan diabetes. Secara teoritis kebanyakan dari kondisi tersebut dihubungkan dengan peningkatan sirkulasi estrogen yang relatif dari progesteron. Dukungan yang lebih kuat dihubungakan dengan unopposed terapi estrogen dalam perkembangan hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium. Beberapa faktor resiko dari Hiperplasia endomtrium adalah sebagai berikut :

(14)

1. Obesitas

2. Chonik anovulatin dan PCOS 3. Nulipara dan infertil

4. Terapi estrogen

5. Selektif Estrogen-Receptor Modulator (SERMs) 6. Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC) 7. Diabetes

E. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium

Gambar 3. Klasifikai hiperplasia endometrium

Sistem klasifikasi untuk hiperplasia endometrium dikembangkan berdasarkan karakteristik histologi dan potensi onkogenik

(15)

Klasifikasi Hiperplasia endometrium berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun 1994 berdasarkan pada kedua kompleksitas arsitektur kelenjar dan adanya nukleus atypia. terdiri dari empat kategori: hiperplasia simpel, hiperplasia kompleks, hiperplasia simpel dengan atipia, hiperplasia kompleks dengan atypia.

Asosiasi sitologi atypia dengan peningkatan risiko kanker endometrium sudah dikenal sejak 1.985, Klasifikasi Intraepithelial Neoplasia Endometrium (EIN) adalah sistem alternatif nonmenklatur yang diusulkan di tahun 2003, tujuannya adalah untuk meningkatkan prediksi hasil klinis , meningkatkan inter-observer reproduktifitas dan mengurangi bias subjektif yang melekat pada klasifikasi WHO 1994. Skema EIN diagnostik terdiri dari tiga kategori, Benign (hiperplasia endometrium), premalignant (diagnosis EIN berdasarkan lima kriteria subjektif histologis) dan malignant (kanker endometrium), tetapi klasifikasi ini tidak banyak digunakan di Inggris.

Berdasarkan Revisi terbaru Tahun 2014 klasifikasi WHO. Hiperplasia endometrium dibedakan menjadi dua kelompok didasarkan pada ada atau tidak adanya sitologi atypia , yaitu hiperplasia tanpa atypia dan hiperplasia atipikal ; kompleksitas arsitektur tidak lagi merupakan bagian dari klasifikasi . Diagnosis dari EIN dalam klasifikasi WHO baru dianggap digantikan dengan hiperplasia atipikal .Tujuan pembaruan klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan WHO 2014 menjadi dasar rekomendasi meskipun WHO Nomenklatur mengkategorikan morfologi hiperplasia yang sederhana atau kompleks.

Hiperplasia endometrium terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi pada pemeriksaan patologi anatomi, yakni :

1. Hiperplasia non-atipikal sederhana

Disebut sebagai hiperplasia kistik atau ringan. Terdapat proliferasi jinak dari kalenjar endometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi disertai , tetapi tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atau sel yang atipik

(16)

2. Hiperplasia atipikal Kompleks (neoplasia intraepitelial endometrium) Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium dengan tepi yang ireguler, arsitektur yang kompleks dan sel yang tumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang atipik. Terjadi peningkatan jumlah dan ukuran endometrium sehingga kelenjar menjadi berdesak-desakan, membesar dan berbentuk irreguler. Bentuk irreguler ini adalah manifestasi utama meninkatnya stratifikasi sel dan pembesaran nukleus serta mungkin meperlihatkan kompleksitas epitel permukaan yang permukaannya menjadi berlekuk-lekuk atau bertumpuk-tumpuk. Gambaran mitotik sering ditemukan, pada bentuk yang paling parah, atipia sitologik dan arsitekturnya dapat sangat mirip dengan adenokarsinoma, dan untuk membedakan hiperplasia atipikal dengan kanker secara pasti harus dilakukan histerektomi.

3. Atipikal : Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan kehilangan polaritassnya

F. Manifestasi Klinis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi estrogen yaang tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adiposa (pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi perifer dari androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada cortex adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium. Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selalu datang dengan perdarahan

(17)

pervaginam. Meskipun karsinoma harus dipertimbangkan pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang sering dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226 wanita dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma, 56 % dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasia dan karsinoma secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang berat sedangkan pasien dengan atrofi biasanya hanya muncul bercak-bercak perdarahan. Pap Smear yang spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi kelainan pada endometrium. Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita post menopause dengan perdarahan uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengandung sel inflamasi akut yang difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu, penemuan yang tidak sengaja dari histiosit pada wanita postmenopause tanpa gejala tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium ataupun karsinoma endometrium.

Usia memiliki efek yang signifikan untuk menindak lanjuti kelainan pada AGC pap smear. Pada studi retrospektif pada 281 wanita dengan AGC papsmear, 90 wanita (32%) memiliki kelainan signifikan yang membutuhkan intervensi. Pada pasien dengan usia < 50 tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki lesi non skuamosa sedangkan 19 pasien (15%) yang berusia > 50 tahun memiliki lesi non skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan AGC pap smear memiliki kemungkinan 13 kali lipat menderita kanker rahim dibandingkan wanita yang berusia kurang dari 50 tahun.

G. Diagnosis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometriumdan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa

(18)

lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460 wanita usia ≤ 40 tahun dengan perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hipeplasia atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. Walaupun begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36 wanita dengan PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium dan tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya hiperplasia atau karsinoma.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hyperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.

1. Ultrasonografi

USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan gambaran dari lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukan ketebalan rahim. USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yang non invasif dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada endometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause, efikasi alat ini sebagai pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal

Estrogen/Progestin Intervensions), dengan batas ketebalan

endometrium 5 mm didaptkan positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV),sensitifitas, dan spesifisitas untuk

(19)

hiperplasia endometrium atau karsinoma adalah 9%, 99%, 90%, 48%.USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika wanita mengalami perdarahan post menopause (PMB) membutuhkan tes diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret) untuk menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339 wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan endometrium ≤ 4 mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun. Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus.

2. Pipelle endometrial biopsy

Pengambilan sampel endometrium dengan pipelle merupakan cara yang ektif dan relatif tidak mahal untuk mengambil jaringan untuk diagnosis histologi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Pada penelitian prospektif, acak untuk membandingkan antara pipelle (n = 149) dan kuret(n = 126) pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal, sampel jaringan yang kurang hanya 12,8% dan 9,5%. Perbedaan ini tidak 30 signifikan (P<0,05). Pada kedua kelompok pasien, memiliki kesamaan diagnosis dengan diagnosis histerektomi sebesar 96%. Studi sebelumnya menjelaskan wanita dengan banyak penyebab perdarahan uterus abnormal, bagaimanapun sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan pipelle EMB untuk membuat diagnosis yang benar. Pada penelitian meta analisis pada 7914 pasien, pipelle memiliki sensitifitas 99% untuk mendeteksi kanker endometrium pada wanita post menopause, tetapi pada wanita dengan hiperplasia endometrium, sensitivitas menurun hingga 75%.

3. Histeroskopi dan/atau Dilatasi dan Kuretase

Histeroskopi secara umum telah disepakati sebagai “gold standard” untuk mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma submukosa dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan

(20)

sensitivitas 92% dan 82%.Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk mendeteksi hiperplasia dan atau karsinoma endometrium meghasilkan angka false-positive yang tinggi dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret untuk diagnosis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas 95%, PPV 96%dan NPV 98% bila dibandingkan dengan diagnosis hasil pemeriksaan jaringaan setelah histerektomi.

4. Sonohisterografi

Sonohisterografi merupakan pendekatan yang relatif baru untuk mendiagnosis penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Keuntungan dari sonohisterografi yang melebihi dari USG transvaginal adalah kemampuannya yang lebih baik untuk mengevaluasi kelainan intrauterin seperti polip dan mioma submukosa. Walaupun begitu, sonohisterografi sendiri memiliki nilai terbatas untuk mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma endometrium.

EMB dengan pipelle merupakan pembuktian yang efektif untuk mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma namun memiliki sensitifitas yang rendah untuk mendiagnosa lesi yang jinak didalam uterus. Beberapa penelitian telah mengkombinasikan transvaginal,sonohisterografi dan EMB dengan pipelle untuk mengidentifikasi penyebab dari perdarahan uterus abnormal dan secara spesifik perdarahan post menopause. Bila dibandingkan dengan DC-histeroskopi sebagai standar utama, transvaginal, sonohisterografi, dan EMB dengan pipelle memiliki sensitivitas lebih dari 94%.Wanita dengan perdarahan post menopause harus menjalani pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk menentukan sumber perdarahan. Jika pemeriksaan fisik tidak dapat menjelaskan penyebab perdarahan, USG transvaginal dapat digunakan sebagai panduan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Wanita post menopause dengan penebalan dinding uterus (>5mm) atau wanita dengan perdarahan persisten yang tidak bisa dijelaskan membutuhkan biopsi endometrium. Diagnosis hiperplasia atau karsinoma endometrium pada pemeriksaan biopsi enometrium

(21)

harus dievaluasi dengan DC untuk memperoleh spesimen yang lebih luas.

Pada sebagian besar kasus , terapi hiperplasia endometrium atipik dilakukan dengan memberikan hormon progesteron. Dengan pemberian progesteron, endometrium dapat luruh dan mencegah pertumbuhan kembali. Kadang kadang disertai dengan perdarahan per vaginam. Besarnya dosis dan lamanya pemberian progesteron ditentukan secara individual. Setelah terapi ,dilakukan biopsi ulang untuk melihat efek terapi. Umumnya jenis progesteron yang diberikan adalah Medroxyprogetseron acetate (MPA) 10 mg per hari selama 10 hari setiap bulannya dan diberikana selama 3 bulan berturut turut.Pada pasien hiperplasia komplek harus dilakukan evaluasi dengan D & Cfraksional dan terapi diberikan dengan progestin setiap hari selama 6 bulan.Pada pasien hiperplasia komplek dan atipik sebaiknya dilakukan histerektomi kecuali bila pasien masih menghendaki anak. Pada pasien dengan tumor penghasil estrogen harus dilakukan ekstirpasi.

H. Diagnosis banding

Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat dipikirkan kemungkinan: 1. Karsinoma endometrium 2. Abortus inkomplit 3. Leiomioma 4. Polip endometrium I. Penatalaksanaan

Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:

1. Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.

(22)

2. Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.

3. Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan, biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain.

Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya.

4. Histerektomi Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan sudah mencoba terapi

(23)

konservatif dengan hasil yang tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik. Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.

(24)

Endometrial Hyperplasia tanpa atipia (EH)

Atipia hyperplasia (AH)

Observasi Faktor resiko LNG-IU (First line), Oral progesteron

(Second Line)

Histerektomi total ± BSO Diperlukan kesuburan atau

kontraindikasi pembedahan

Diperlukan Biopsi endometrial (EB) pada : EH 6 bulan dan

AH 3 bulan

Regresi Persisten Progresif

Review terapi

LNG-IUS-Continue selama 5 tahun Oral progesteron-stop setelah 6 bulan Total histerektomi

± BSO jika terus menerus AUB

Review terapi EH : mulai terapi medik jika

observasi gagal Beritahu untuk Histerektomi total ± BSO jika menetap setelah 12 bulan terapi medikal AH

: Beritahu untuk Histerektomi total ± BSO

Review terapi AH : Histerektomi total ±

BSO EH : atur menurut lokal

cancer guideline

Menyusun Follow up (medical management)

EH : BMI >35 : ≥ Berurutan negativ EBs selama interval 6 bulan dengan discharge BMI ≥35 atau diterapi dengan oral progesteron : ≥ 2 negativ secara berurutan EBs selama interval 6

bulan sesudah tahunan review EB

AH : ≥ 2 negatif EBs berurutan dengan interval selama 3 bulan, sesudah 6-12 bulan review EB

Menyusun Follow up Bukan EC : review selama

6 bulan dan discharge

EC : Tatalksana menurut Lokal guidline cancer

RELAPS

Sarankan untuk Histerektomi total ± BSO

ALGORITMA PENATALAKSANAAN

HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

Keterangan

AH : atipical hiperplasia

AUB : Abnormal Uterine Bleeding BMI : Body Mass Index

BSO : Bilateral Salpingo-oophorectomy EB : Endometrial biopsy

(25)

J. Pencegahan

Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti :

1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim.

2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama.

3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium. 4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi

progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.

(26)

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien Ny. M, Perdarahan dari jalan lahir sejak ±4 bulan sebelum masuk rumah sakit (sejak akhir Desember 2016). Didiagnosis dengan Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa. Penegakkan diagnosis pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

4.1 Anamnesis

Kasus Teori

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak ±4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar berwarna kehitaman dan bergumpal-gumpal. Banyaknya perdarahan adalah 5 kali ganti pembalut per harinya. Untuk keluhannya ini selama ini pasien berobat ke Poli Kandungan RS Dirgahayu. Pasien mengaku mendapatkan obat dari RS Dirgahayu, bila mengonsumsi obat tersebut perdarahan yang dialami pasien berhenti, namun bila tidak meminum obat perdarahan akan berlangsung kembali. Perdarahan disertai pengeluaran jaringan seperti daging berwarna merah berbentuk lonjong, 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah.

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian

Syndrome (PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi

estrogen yaang tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adiposa (pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi perifer dari androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada cortex adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium. Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selalu datang dengan perdarahan pervaginam.

(27)

4.2 Pemeriksaan Fisik

Kasus Teori

Status Ginekologi:

Inspeksi : Tidak

terlihat pembesaran / massa pada abdomen

Palpasi : Tidak teraba benjolan pada abdomen, nyeri tekan (-)

Inspekulo : Tidak dilakukan Pemeriksaan Dalam

Vagina :

Tidak teraba massa, terdapat sedikit nyeri tekan

Portio :

Konsistensi kenyal, arah anterior

Parametrium kanan : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan

Parametrium kiri : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan

Kavum Douglassi : Tidak menonjol

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometriumdan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460 wanita usia ≤ 40 tahun dengan perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hipeplasia atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. Walaupun begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36 wanita dengan PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium dan tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya hiperplasia atau karsinoma.

(28)

4.3 Pemeriksaan penunjang

4.4 Diagnosis

Kasus Teori

Penegakan diagnosis pasien berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini, didiagnosa Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa

Diagnosis hiperplasia endometrium hanya dapat ditegakkan dari pemeriksaan patologi anatomi dari pemeriksaan jaringan yang berasal dari biopsi endometrium atau dilatasi kuretase (D & C)

Kasus Teori

Laboratorium Darah Lengkap

Leukosit : 12.480/mm3 Hemoglobin : 8,6 gr/dl Hematokrit : 27,5 % Trombosit : 477.000 / mm3 USG Ginekologi

Kesan : Penebalan endometrium

Patologi Anatomi Kesimpulan : Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa Pap Smear Normal PapSmear Radang non spesifik

Fungal/ Haemavilous Vaginalis/ Trichomonas Vaginalis infection

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hyperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.

(29)

4.5 Penatalaksanaan

Kasus Teori

 Pada pasien dilakukan tindakan Perbaikan KU terlebih dahulu

Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:

 Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.

 Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh.

 Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan, biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain.

 Histerektomi Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus abnormal.

(30)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. M yang berusia 45 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak ±4 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan

Inspeksi : Tidak terlihat pembesaran / massa pada abdomen Palpasi : Tidak teraba benjolan pada abdomen, nyeri tekan (-) Inspekulo : Tidak dilakukan

Pemeriksaan Dalam

Vagina : Tidak teraba massa, terdapat sedikit nyeri tekan Portio : Konsistensi kenyal, arah anterior

Parametrium kanan : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan Parametrium kiri : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan Kavum Douglassi : Tidak menonjol

Pemeriksaan Penunjang USG Ginekologi

Kesan : Penebalan endometrium Patologi Anatomi

Kesimpulan : Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa Pap Smear

Normal PapSmear Radang non spesifik

Fungal/ Haemavilous Vaginalis/ Trichomonas Vaginalis infection

Diagnosis akhir pada pasien ini adalah Hiperplasia Glandulare Endometrium Adenomatosa. Secara umum penegakkan diagnosis maupun penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat dan sesuai dengan teori.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Hammond, R., & Johnson, J. (2001). Endometrial Hyperplasia. Curr Obstet Gynecol. Jing Wang Chiang, M., & Warner K Huh, M. (2013, March 13). Retrieved February 27, 2015, from http://emedicine.medscape.com/article/269919-overview#showall

John O. Schorge, M. J. (2008). Williams Gynecology. The McGraw-Hill Companies, Inc. Kaku , T., & Tsukamoto, N. (1996). Endometrial Carcinoma Associated with Hyperplasia.

Lurain, J. R. (2007). Uterine Cancer. In J. S. Berek, Berek & Novak's Gynecology (14th Edition ed., pp. 1343-1403). Lippincott Williams & Wilkins.

Montgomery, B., Daum, G., & Dunton, C. (2004). Obstetrical and Gynecological Survey.

Endometrial Hyperplasia: A Review , 368-378.

Ronald S. Gibbs MD, B. Y. (2008). Danforth's Obstetrics and Gynecology Tenth Edition.

Lippincott Williams & Wilkins.

Schorge, J. O., Schaeffer, J. I., Halvorson, L. M., Hoffman, B. L., Bradshaw, K. D., & Cunningham, F. G. (2008). Endometrial Cancer. In J. O. Schorge, J. I. Schaeffer, L. M. Halvorson, B. L. Hoffman, K. D. Bradshaw, & F. G. Cunningham, Williams Gynecology.

McGraw-Hill.

Wildemeersch, D., & Dhont, M. (n.d.). American Journal of Obstretics and Gynecologics.

Treatment of Non Atypical and Atypical Endometrial Hyperplasia With a

Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine System , 1-4.

Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2006.

Ara, S., & Roohi, M. (2011). Abnormal Uterine Bleeding; Histopathological Diagnosis by Conventional Dilatation and Curretage. The Professional Medical Journal , 587-591.

Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2006). Abnormal Uterine Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-602.

Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Non Gravid Women of Reproductive Age. International Journal of Gynecology and Obstetrics , 3-12.

Gambar

Gambar 1. Hiperplasia endometrium
Gambar 3. Klasifikai hiperplasia endometrium

Referensi

Dokumen terkait

sedangkan sisanya sebesar 65,50% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, masalah yang akan diteliti adalah “ Bagaimana Pengembangan Instrumen Tes Diagnostik Two-Tier untuk Mengidentifikasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesalahan manusia yang mempengaruhi ketidaksesuaian kualitas produk dan faktor – faktor penyebab terjadinya

Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan survai terhadap proyek-proyek konstruksi bangunan bertingkat untuk mengidentifikasi

Salah satu etiologi perdarahan post partum adalah tonus, dimana yang menjadi penyebab terbanyak dari tonus adalah ketidakmampuan dari tonus otot uterus untuk berkontraksi

Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan survai terhadap proyek-proyek konstruksi bangunan bertingkat untuk mengidentifikasi

Metode yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh perusahaan yaitu metode Seven Tools Quality Control untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya kecacatan

Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian perdarahan uterus abnormal dengan penggunaan KB suntik 3 bulan di RSUD Kabupaten Sidoarjo, yang bermanfaat untuk