49
PENGANGKUTAN BENIH IKAN NILA (
Tilapia nilotica
) SISTEM
TERTUTUP DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA
Sugi Yannoor1), Agussyarif Hanafie2), Akhmad Murjani3)
1)yannoor_sugi@yahoo.com2)chevm1964@gmail.com3)murjani.tectona@ymail.com 1,2,3)Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengangkutan benih ikan nila dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, selama 2 jam masa pengangkutan dan 24 jam masa pemeliharaan dengan jumlah benih yang diangkut sebanyak 1.125 ekor hanya 3 ekor benih ikan yang mati. Pada perlakuan B tidak ada benih ikan yang mati, sedangkan pada pelakuan A terdapat benih ikan yang mati sebanyak 1 ekor, dan pada perlakuan C sebanyak 2 ekor. Rendahnya jumlah benih ikan yang mati selama masa pengangkutan dan pemeliharaan, karena luas ruang angkut dan jumlah oksigen yang diberikan masih mencukupi untuk hidup benih ikan nila. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran dan analisa kualitas air yang masih memenuhi
syarat hidup ikan yang diangkut, yakni suhu berkisar antara 29-30oC, pH antara
6,39-6,62, DO antara 5,4-6,1 mg/L, dan amoniak antara 0,01-2,1 mg/L.Hasil uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap ketiga perlakuan yang diberikan, sehingga
dari hipotesis yang dibuat terima Ho dan tolak H1. Rekomendasi untuk keperluan
pengangkutan benih ikan nila ukuran antara 1-5 cm, sebaiknya dilakukan dengan padat angkut 150 ekor/2 liter air dengan perbandingan oksigen 1:1 selama 2 jam.
Kata kunci: nila, pengangkutan, kepadatan, dan kualitas air.
ABSTRACT
The purpose of this research was to find out the success rate of tilapia fry transport with different density levels. The result of the research showed that upon the two hours in time transport and 24 hours in nurture period with 1.125 fry that were transported, only 3 fry were died. There was no dead fry on the B treatment, whereas one died on the A treatment, and two died on the C treatment. The low number of dead fry in time transport and nurture period because the space transport and the number of oxygen that were given still sufficed for tilapia fry’s life. These were indicated from the measurement result and water quality analysis which still qualified as the life requirement for fish transport, that was the temperature ranged between 29-30oC, pH between 6,39-6,62, DO between 5,4-6,1 mg/L, and ammonia between 0,01-2,1 mg/L. Statistical test results showed there was no real difference to the treatments. Accordingly, the null hypothesis was accepted and the alternative hypothesis was rejected. The result of the research suggested that the size requirement for tilapia fry transport is 1-5 cm, and it should be conducted with the density for fry is 150/2 liter for the water with comparison of the oxygen 1:1 for 2 hours.
1.
PENDAHULUANKegiatan budidaya ikan nila (Tilapia nilotica) semakin diminati oleh pembudidaya ikan air tawar sehingga
memberikan kontribusi produksi
komoditas utama perikanan budidaya air
tawar terbanyak. PPL-LIPI (2013) menyebutkan bahwa kontribusi produksi nila di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 37% atau mencapai 684.400 ton. Jumlah kontribusi produksi ikan nila lebih banyak dibandingkan komoditas
50
utama lainnya seperti lele (Clarias sp.)
sebesar 22% (407.700 ton), ikan mas (Cyprinus carpio) 20% (375.200 ton),
patin (Pangasius sp.) sebesar 16%
(300.300 ton), dan gurame
(Osphronemus gouramy) 3,78% (69.500 ton). Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab semakin meningkatnya
permintaan benih nila sehingga
penyediaan benih ikan harus dilakukan secara terus menerus.
Salah satu tahapan dalam pe-nyediaan benih adalah kegiatan trans-portasi benih, terutama jika lokasi budidaya berjauhan dengan panti benih. Kegiatan transportasi benih umumnya dilakukan dengan kepadatan yang tinggi untuk menghemat biaya. Namun dalam aplikasinya, kepadatan ikan yang tinggi mengakibatkan benih ikan menjadi stres dan lebih rentan mengalami kematian. Hal tersebut dikarenakan kepadatan yang tinggi menyebabkan aktivitas
metabolisme ikan meningkat dan
konsumsi oksigen menjadi tinggi
sehingga oksigen terlarut menurun. Penanganan transportasi benih ikan menjadi sangat penting terhadap keberhasilan pembesaran. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan transportasi berkaitan dengan kualitas air terutama terhadap parameter oksigen terlarut (DO), suhu, amoniak, dan pH. Selain itu faktor luar seperti guncangan dan lama transportasi. Dengan demikian perlu dipelajari mengenai metode penanganan selama pengangkutan benih ikan nila.
Salah satu faktor penentu keber-hasilan pengangkutan benih ikan nila (Tilapia nilotica) adalah padat angkut,
karena terkait dengan ruang dan
konsumsi oksigen terlarut selama
pengangkutan.Belum ada informasi
mengenai tingkat kepadatan optimal untuk pengangkutan benih ikan nila ukuran tersebut untuk lama pengangkut-an sekitar 2 jam.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pengangkutan benih ikan nila (Tilapia
nilotica) dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tingkat kepadatan optimal dalam
pengangkutan benih ikan nila yang akan ditebar dan dibesarkan dalam tempat pemeliharaan.
2.
METODE PENELITIANRancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Adapun perlakuan penelitian sebagai berikut:
Perlakuan A = 100 ekor benih ikan nila per kantong.
Perlakuan B = 125 ekor benih ikan nila per kantong.
Perlakuan C = 150 ekor benih ikan nila per kantong.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H0:Padat pengangkutan benih ikan nila
berpengaruh nyata terhadap mortalitas.
H1:Padat pengangkutan benih ikan nila
tidak berpengaruh nyata terhadap
mortalitas.
Selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam untuk menguji hipotesis
tersebut. Jika hasil pengujian
menunjukkan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang mana yang memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas.
Persiapan wadah pada penelitian ini berupa wadah pengangkutan berupa kantong plastik dan wadah pemeliharaan yang berupa akuarium sebagai media pemeliharaan benih ikan nila setelah
pengangkutan. Persiapan wadah
penelitian dilakukan berupa
pembersihan akuarium, pengisian air setinggi 20 cm serta pemberian aerasi pada setiap akuarium yang bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen pada
wadah pemeliharaan.Pemberokan
dilakukan didalam baskom selama 24 jam bertujuan untuk mengurangi tingkat stres pada saat pengangkutan benih ikan nila tersebut.
Packing benih ikan nila
menggunakan kantong plastik dengan volume 2 liter air kemudian benih ikan
51
plastik dengan jumlah sesuai perlakuan, setelah itu pemberian oksigen kedalam kantong plastik sebanyak 2/3 bagian dari volume kantong plastik.Setelah itu
diikatdengan menggunakan karet
gelang.Pengangkutan dilakukan selama 2 jam menggunakan transportasi darat (mobil).
Setelah benih ikan nila tiba di tempat, selanjutnya benih ditebar di wadah pemeliharaan. Sebelum benih
ikan nila ditebar terlebih dahulu
dilakukan aklimatisasi.Pengamatan
dilakukan sebelum dan setelah proses pengangkutan, dan selama 24 jam masa pemeliharaan. Parameter yang diamati meliputi: mortalitas dan survival rate, kandungan oksigen terlarut, kandungan amoniak, pH, dan suhu.
Dalam penelitian ini mortalitas dihitung sejak masa pengangkutan dan saat penebaran benih ikan nila sampai akhir pemeliharaan. Rumus mortalitas adalah sebagai berikut (Effendie 1997): Keterangan :
No=Jumlah ikan pada awal pemeli- haraan.
Nt=Jumlah ikan pada akhir pemeli- Haraan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 MortalitasData mutlak hasil pengamatan mortalitas benih ikan nila selama pengangkutan dan pemeliharaan untuk penyesuaian/aklimatisasi menunjukkan bahwa hanya ada 3 ekor benih ikan nila
yang mati, yakni 2 ekor saat
pengangkutan dan 1 ekor saat
pemeliharaan 24 jam. Selengkapnya data jumlah benih ikan nila selama masa penelitian disajikan padaTabel 1.
Tabel 1. Jumlah Benih Ikan Nila Sebelum dan Setelah
Pengangkutan serta Setelah Pemeliharaan
P e r . Jumlah Sebelum Pengangkutan (ekor) Jumlah Setelah Pengangkutan (ekor) Jumlah Benih Ikan pada Saat Pengangkutan dan Setelah Pemeliharaan (ekor) 06.30 WITA 08.30 WITA 08.30-14.30 WITA 14.30-20.30 WITA 20.30-02.30 WITA 02.30-08.30 WITA A 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 A 2 1 0 0 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 A 3 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 B 1 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 B 2 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 B 3 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 C 1 1 5 0 1 5 0 1 5 0 1 5 0 1 4 9 1 4 9 C 2 1 5 0 1 5 0 1 5 0 1 5 0 1 5 0 1 5 0 C 3 1 5 0 1 4 9 1 4 9 1 4 9 1 4 9 1 4 9
Pada perlakuan B (padat angkut 125 ekor/2 liter air) tidak ditemukan benih ikan nila yang mati (mortalitas 0%), baik selama maupun sesudah pengangkutan dan selalah aklimatisasi. Sedangkan pada perlakuan A dengan padat angkut 100 ekor/2 liter air) terdapat 1 ekor benih ikan nila yang mati, yakni setelah pengangkutan pada perlakuan A2 (mortalitas 1%) dan pada perlakuan C3 (padat angkut 150 ekor/2 liter air) selama pengangkutan ditemu-kan benih iditemu-kan nila yang mati sebanyak 1 ekor dan selama aklimatisasi pada
perlakuan C1 sebanyak 1 ekor,
sehinggamortalitasnya adalah 1,6 %. Tingginya tingkat mortalitas yang dihasilkan pada perlakuan C dibanding-kan dengan perlakuan lainnya diduga berhubungan dengan padat angkut yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan A dan B, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih banyak pula. Hal terbukti dari hasil analisa oksigen terlarut (DO) pada akhir masa penelitian yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Proses pengangkutan memberikan pengaruh terhadap mor-talitas benih ikan nila pada perlakuan A2 dan C3. Hasil pengamatan pada masa pemeliharaan juga menunjukkan bahwa dalam waktu 18 jam pemeliharaan terjadi kematian sebanyak 1 ekor pada perlakuan C1.
Menurut Gomez et al. (2003)
yang membuktikan bahwa kepadatan
benih ikan bawal (Collosoma
macropo-mum) sebesar 78 kg/m3 atau setara
dengan 156 gram dalam 2 liter tidak menyebabkan kematian pada benih karena tekanan lingkungan yang sangat rendah.
Kepadatan yang tinggi menyebab-kan kematian yang tinggi lebih utama disebabkan oleh konsumsi oksigen. Semakin tinggi padat angkut membuat konsumsi oksigen yang semakin besar sehingga ketersediaan oksigen dalam sistem tertutup semakin rendah (Gomes et al. 2003). Hal senada jugadinyatakan
52
oleh Basham et al. (1982) bahwa
penyebab utama kematian berhubungan dengan perlakuan setelah transportasi. 3.2 Kualitas Air
3.2.1. Oksigen Terlarut
Parameter oksigen terlarut
(Dissolved oxygen) diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Konsentrasi Oksigen Terlarut Hasil Pengamatan
Perlakuan Sebelum pengangkutan Setelah pengangkutan Setelah pemeliharaan
A
6 , 1 6
,
1 5
,
9
B
6 , 1 6
,
1 5
,
8
C
6 , 1 6
,
1 5
,
4
Kandungan oksigen terlarut
sebelum dan setelah pengangkutan menunjukkan hasil yang sama yaitu sebesar 6,1 mg/l. Hal ini membuktikan
bahwa transportasi dengan sistem
tertutup dengan kepadatan 100 – 150
ekor dalam dua liter tidak
mempengaruhi kandungan oksigen
selama kurun waktu 2 jam karena dalam jangka waktu tersebut proses difusi dan
turbulensi oksigen masih dapat
berlangsung dalam sistem tertutup. Kandungan oksigen dipengaruhi oleh suhu, turbulensi, aktivitas fotosintesis, dan respirasi (Effendi 2003). Sementara itu kandungan oksigen terlarut menurun setelah 24 jam masa pemeliharaan dengan kandungan tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu perlakuan A (5,9 mg/l), perlakuan B (5,8 mg/l), dan perlakuan C (5,4 mg/l). Effendie (2003) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air berfluktuasi
secara harian dengan kandungan
terendah terjadi pada pagi hari. Proses aerasi dalam penelitian ini menyebabkan kandungan oksigen masih berkisar >5 mg/l sehingga masih dapat ditoleransi oleh benih. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Effendi (2003) bahwa
kandungan oksigen terlarut yang masih dapat diroleransi oleh biota perairan adalah >5 mg/l
3.2.2. Konsentrasi Amoniak (NH3)
Parameter amoniak (NH3)
diamati pada saat sebelum proses
pengangkutan, setelah proses
pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik kandungan amoniak
pada perlakuan A ( ), B
( ) dan C ( )
Kandungan amoniak secara
keseluruhan mengalami fluktuatif pada setiap perlakuan. Kandungan amoniak perlakuan A mengalami penurunan pada saat setelah pengangkutan (<0,01 mg/l) dan mengalami peningkatan setelah 24
masa pemeliharaan (0,96 mg/l).
Kandungan amoniak perlakuan B
mengalami peningkatan saat setelah pengangkutan (1,9 mg/l) dan mengalami
penurunan setelah 24 jam masa
pemeliharaan (1,24 mg/l). Kandungan amoniak pada perlakuan C mengalami peningkatan saat setelah pengangkutan (2,1 mg/l) dan mengalami penurunan yang sangat signifikan setelah 24 jam
masa pemeliharaan (<0,01
mg/l).Amoniak dalam sistem tertutup ini bersumber dari feses biota akuatik yang
merupakan hasil dari proses
metabolisme. Amoniak berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dari feses. Amoniak yang terukur dalam penelitian ini merupakan
amoniak bebas yang tidak dapat
terionisasi. Pada pH kurang dari 7, amoniak akan terionisasi. Namun, jika pH lebih dari 7 maka akan semakin banyak amoniak yang tidak terionisasi. Amoniak yang tidak terionisasi ini bersifat toksik terhadap biota perairan (Effendi 2003). pH dan suhu air
0,18 0,01 0,96 0,18 1,9 1,24 0,18 2,1 0,01 0 0,5 1 1,5 2 2,5 Sebelum pengangkutan Setelah pengangkutan Setelah pemeliharaan K an dun ga n a m o n ia k (m g/l )
53
berpengaruh terhadap toksisitas amoniak (Boyd, 1982).
3.2.3.Kadar pH
Parameter pH diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Kadar pH Hasil Pengamatan
Perlakua n Sebelum pengangkutan Setelah pengangkutan Setelah pemeliharaan
A 6 , 6 2 6 , 4 0 6 , 4 4
B 6 , 6 2 6 , 3 9 6 , 4 0
C 6 , 6 2 6 , 4 2 6 , 5 0
Kadar pH pada setiap perlakuan
setelah pengangkutan mengalami
penurunan. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan kandungan karbon-dioksida dalam air. Kadar pH air di-pengaruhi oleh kandungan karbondiok-sida. Jika karbondioksida masuk ke dalam air maka akan membentuk asam
karbonat (H2CO3). Selanjutnya asam
karbonat dalam air terurai menjadi ion
H+ dan ion bikarbonat (HCO
3-) sehingga
pH dalam air menurun (Effendi 2003). Sementara itu, pH air mengalami sedikit peningkatanmeskipun tidak signifikan setelah 24 jam masa pemeliharaan.
3.2.4. Suhu
Parameter suhu diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (lihat Tabel 4). Tabel 4. Suhu Hasil Pengamatan
Perlakuan Sebelum pengangkutan Setelah pengangkutan Setelah pemeliharaan
A 2 9 3 0 2 9
B 2 9 3 0 2 9
C 2 9 3 0 2 9
Hasil pengamatan suhu menun-jukkan bahwa kenaikan suhu terjadi
setelah proses pengangkutan dan
kembali mengalami penurunan setelah 24 jam masa pemeliharaan.Kenaikan suhu dalam sistem transportasi tertutup sangat sering terjadi. Peningkatan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme organisme perairan. Kenaikan suhu
sebesar 1°C dapat meningkatkan
konsumsi oksigen sebesar 10% (Effendi 2003).
4.
KESIMPULANSelama masa pengangkutan dan pemeliharaan benih ikan nila, hanya 3 ekor yang mati. Pada perlakuan B tidak ada benih ikan yang mati (mortalitas 0%), sedangkan pada pelakuan A terdapat benih ikan yang mati sebanyak 1 ekor (1%), dan pada perlakuan C sebanyak 2 ekor (1,6%).
Rendahnya jumlah benih ikan yang mati selama masa pengangkutan dan pemeliharaan, karena luas ruang angkut dan jumlah oksigen yang diberikan masih mencukupi untuk hidup benih ikan nila. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran dan analisa kualitas air yang masih memenuhi syarat hidup ikan yang diangkut, yakni suhu berkisar
antara 29-30oC, pH antara 6,39-6,62,
DO antara 5,4-6,1 mg/L, dan amoniak antara 0,01-2,1 mg/L.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap ketiga perlakuan yang diberikan, sehingga dari
hipotesis yang dibuat terima Ho dan
tolak H1.
Untuk keperluan transportasi
benih ikan nila sebaiknya digunakan padat angkut sebanyak 150 ekor benih dengan ukuran 1-5 cm sistem tertutup.
5.
REFERENSIAfrianto E, Liviawaty E. 1994.
Peng-endalian Hama dan Penyakit
Ikan.Yogyakarta (ID):Kanisius.89
p.
Anonim. 1977. Prospek Pengembangan
Sumber-sumber Perikanan dan Arah Pengaturannya. Jakarta (ID): Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan. 8 p.
Anonim. 1980. Pedoman Pembenihan
Udang Peneid. Jepara (ID): Balai Budidaya Air Payau. 139 p.
Anonim. 2008. Ikan Betok. [diunduh 2016 Nov 2]. Tersedia pada: http//wiki.verkata.com/id/wiki/beto k.
Basham LR, Delarm MR, Athearn JB,
Pettit SW. 1982. Fish
54
Annual Report-FY 1981 Transport Operations on The Snake and Columbia Rivers. Maryland (US): NOAA. 58 p.
Boyd CE. 1982. Water quality
management for pond fish culture. Amsterdam (NL): Elsevier Science Publishers.
Cholik, Fuad, Artati dan Arifudin
Rahmat. 1986. Pengelolaan
Kualitas Air Kolam Ikan. Jakarta
(ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air.
Jakarta (ID): Kanisius.
Effendie M I. 1997. Biologi Ikan.
Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusantara. 164 p.
Gomes LC, Araujo-Lima CARM,
Roubach R, Chippari-Gomes AR, Lopes NP, Urbinati EC. 2003. Effect of fish density during
transportation on stress and
mortality of benih tambaqui
Colossoma macropomum. Journal
of World Aquaculture Society. 34(1):76-84.
Gomez, KA. and Gomez AA. 1983. Statistical Procedure For Agriculture Research.Manila (P): An International Rice Research Intsute Los Banos. 680 p.
HanafiahKA. 1993. Rancangan
Percobaan Teori dan Aplikasi.
Palembang (ID): Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 238 p.
Hartono R. 1978. Teknologi Hasil
Perikanan. Bogor (ID):
Departemen Pertanian Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Petanian SUPM Negeri Budaya. 137 p.
IriadentaE. 2002. Ekologi Rawa.
Banjarbaru (ID): Universitas
Lambung Mangkurat. 70 p.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. 2013. Statistik Menakar
Target Ikan Air Tawar Tahun 2013. Jakarta (ID): LIPI.
Saanin H. 1986. Taksonomi dan Kunci
Identifikasi Ikan. Bogor (ID): Bina Cipta. 520 p.
Soesono. 1981. Dasar-dasar Perikanan
Umum. Jakarta (ID): Yasaguna. 155
p.
Trewavas E. 1983. Tilapiine fishes of the
genera Sarotherodon, Oreochromis and Danakilia. London (UK). 583 p.
Wardoyo STH. 1975. Pengelolaan
Kualitas Air. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zonneveid NH, Husman EA, Boon JH.
1991. Prinsip Budidaya Ikan.
Jakarta (ID): GramediaPustaka Utama. 38 p.