• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK-ANAK DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK-ANAK DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

OTITIS MEDIA AKUT

PADA ANAK-ANAK DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

Sakina Umar*, Ratna Dwi Restuti*, Ronny Suwento*, Harim Priyono*,

Muchtarudin Mansyur**

*Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher **Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta - Indonesia

Abstrak

Latar belakang: Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering

terjadi pada anak-anak. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan angka kejadian OMA

Tujuan: Sebagai dasar bagi penelitian berskala nasional dalam memperoleh angka prevalensi

penyakit telinga khususnya OMA di Indonesia, dan mengetahui prevalensi OMA dan gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur.

Metode: Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan metode deskriptif potong

lintang. Subyek penelitian dipilih secara multistage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdassarkan tingkat kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomer rumah

Hasil: Prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur sebesar 5,38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun. Hubungan faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMA adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan OR=2,50), riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan tempat tinggal (p= 0,016;OR=2,60). Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan asap rokok (p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga (p=0,135;OR=0,55). Dari keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia (p<0,001;OR=10,00) dan ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA. (koefisien determinan=0,410).

Kesimpulan: Angka prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur tahun

2012 sebesar 5,38%. Faktor risiko usia dan ISPA merupakan faktor risiko yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA.

Kata kunci: Otitis media akut, faktor risiko, studi epidemiologi

Abstract

Background: Acute Otitis Media (AOM) is the most common ear disease in children. To date, a standardized national data reporting on the number of OMA cases is still not available. Purpose: This research was conducted to become basis for nation-based researches to obtain the number of ear disease prevalence in Indonesia especially AOM, and find out the prevalence and the characteristics description of AOM risk factors in children in the Municipality of East Jakarta.

Methods: This research is epidemiologic study, descriptive and cross-sectional. The research subject was selected with multistage stratified random sampling, authority levels ranging from villages to sub-districts based on population density level. After that, the method employed was spatial random sampling based on house numbers.

(2)

Results: Prevalence of AOM in children in the Municipality of East Jakarta is 5,38%, and the highest prevalence occurred in the group of 2-5 years old children. Statistically significant risk factor relations in AOM cases were in age ( p < 0,001; OR=11,36), gender (p= 0,029 and OR=2,50), upper airway infection history (p< 0,001; OR=14,07), and living environment (p= 0,016;OR=2,60). Risk factors that have a tendency toward causes of OMA case, but statistically not significant are exposure to cigarette smoke (p=0,066;OR=2,18), and household income (p=0,135;OR=0,55). From the four significant AOM risk factors in children in the Municipality of East Jakarta, age risk factor (p<0,001;OR=10,00) and upper airway infection (p<0,001;OR=10,01) are the most significant and dominant toward AOM cases (coefficient determinant=0,410).

Conclusions: Prevalence of AOM in children in the Municipality of East Jakarta in 2012 is 5,38%.. Age risk factor and upper airway infection are the most significant and dominant toward AOM cases.

Key words: Acute Otitis Media, risk factor, epidemiologic study

Pendahuluan

Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering terjadi pada anak-anak, dan merupakan diagnosis klinis yang sering pada anak dengan demam. Data dari negara-negara maju menunjukkan bahwa OMA adalah salah satu infeksi yang umumnya terjadi pada anak usia dini dan merupakan alasan umum untuk berobat. Prevalensi OMA di setiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 - 20%. Berbagai studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan prevalensi terjadinya OMA sekitar 17-20% pada 2 tahun pertama kehidupan. Biaya pemakaian antibiotik yang digunakan untuk kasus OMA di AS per tahun sekitar 3-5 juta US dolar. Prevalensi OMA di negara-negara maju lainnya hampir sama dengan di AS. Studi epidemiologi OMA di negara berkembang sangat jarang. Di Thailand, Prasansuk dikutip dari Bermen5 melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak yang berumur kurang dari 16 tahun pada tahun 1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Berdasarkan survei kesehatan Indera Pendengaran tahun 1994-1996 pada 7 provinsi di Indonesia didapatkan prevalensi penyakit telinga tengah populasi segala umur di Indonesia sebesar 3,9%. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan prevalensi OMA.1-7 Sebelum kemajuan era antibiotik, OMA dapat menimbulkan berbagai komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat seperti meningitis dan abses otak. Setelah era antibiotika berkembang, semua jenis komplikasi tersebut jarang terjadi. Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat menyebabkan gangguan pendengaran anak dan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa, jika dialami oleh anak pada usia perkembangan bicara akan mempengaruhi prestasi belajar.5-8

(3)

Faktor-faktor risiko yang berperan dalam terjadinya OMA, seperti faktor pejamu, faktor lingkungan, dan faktor sosiodemografi, dapat diteliti untuk melihat hubungannya dengan terjadinya OMA. Studi Nasional yang dilaporkan International Primary Care Network

(IPCN) dan Ambulatoy Sentinel Practice Network (ASPN) yang dilakukan oleh Froom dkk di tiga negara yaitu Amerika Utara, Inggris dan Belanda, memberikan hasil bemakna untuk faktor-faktor risiko yang dihubungkan dengan OMA. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko ini, dapat digunakan untuk merencanakan strategi pencegahan, dan penanganan OMA.9 Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai dasar bagi penelitian berskala nasional dalam memperoleh angka prevalensi penyakit telinga khususnya OMA di Indonesia sehingga hasilnya bermanfaat bagi masyarakat, pelayanan kesehatan masyarakat, serta membantu kebijakan di bidang kesehatan telinga. Sedangkan tujuan khusunya adalah mengetahui prevalensi OMA dan gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA (faktor pejamu, lingkungan, dan sosiodemografi) pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur.

Metode

Penelitian ini bersifat deskriptif potong lintang dan merupakan bagian dari penelitian “Profil Otitis Media” untuk mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Penelitian dilakukan pada populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur, yang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di DKI Jakarta diantara 6 Kotamadya yang ada, sehingga penelitian ini dapat menggambarkan populasi DKI Jakarta. Selain itu pemilihan Kotamadya Jakarta Timur berdasarkan heterogenitas dan tingkat kepadatan penduduk. Subyek penelitian dipilih berdasarkan multistage stratified random sampling. Jumlah penduduk Kotamadya Jakarta Timur tahun 2010 sebesar ± 2.693.896 penduduk dengan tingkat ekonomi dan kepadatan yang beragam. Pemilihan acak pertama dilakukan untuk memilih 2 dari 10 kecamatan di Kotamadya Jakarta Timur, pemilihan berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di setiap kecamatan. Didapatkan rata-rata kepadatan penduduk per kecamatan di Jakarta Timur sebesar 11.692,68 km2. Berdasarkan kriteria tersebut diatas pemilihan dilakukan di Kecamatan Kramat Jati dan Makasar masing-masing mewakili kelompok kecamatan yang telah dikelompokkan berdasarkan tingkat kepadatan kurang dari rata-rata dan lebih dari rata-rata.10 Selanjutnya dari masing-masing kecamatan terpilih, dilakukan pemilihan kelompok subyek dengan memilih 1 kelurahan dari masing-masing kelompok kecamatan. Kelurahan Cawang

(4)

dari Kecamatan Kramat Jati dan Kelurahan Cipinang Melayu dari Kecamatan Makasar. Pada tahap pemilihan subyek penelitian digunakan spatial random sampling yaitu memilih subyek penelitian berdasarkan nomor rumah yang didapat dengan menggunakan peta satelit.

Kriteria penerimaan adalah anak-anak yang bertempat tinggal di kotamadya Jakarta Timur yang mendapatkan persetujuan dari orangtua/ wali dan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria penolakan adalah anak yang tidak kooperatif sehingga sulit untuk dilakukan pemeriksaan, anak dengan sumbatan serumen yang tidak berhasil diekstraksi, dan anak dengan atresia liang telinga dan stenosis liang telinga.

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan FKUI/ RSCM, serta persetujuan administrasi wilayah setempat (Walikota, Kecamatan, Kelurahan, RT/RW). Penelitian ini diawali dengan sosialisasi masalah kesehatan telinga di masyarakat kepada kader dan pegawai Puskesmas setempat. Data dikumpulkan dalam kunjungan ke rumah subyek penelitian dengan bantuan mahasiswa, kader dan petugas Puskesmas. Subyek dan atau orang tua subyek penelitian yang setuju secara sukarela diminta persetujuan dalam bentuk pengisian dan penandatanganan lembar informed consent. Tahap selanjutnya pengisisan identitas subyek, serta kuisioner penelitian dalam bentuk wawancara terpimpin. Kuisioner yang digunakan pada penelitian ini telah melalui uji validasi internal dan eksternal. Uji validasi internal dilakukan oleh para ahli THT untuk menilai kelengkapan gejala dan tanda yang sesuai dengan penyakit yang akan dievaluasi pada masyarakat. Uji validasi eksternal dilakukan pada 30 orang non subyek penelitian pada daerah yang sama, sehingga bentuk pertanyaan yang akan diajukan dapat diaplikasikan kepada subyek penelitian.

Selanjutnya subyek penelitian menjalani serangkaian pemeriksaan fisik umum berupa pengukuran berat badan, tinggi badan, dan suhu badan serta pemeriksaan THT. Pemeriksaan telinga dilakukan menggunakan otoskop oleh staf ahli otologi dan didokumentasikan dengan video kamera.

Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir laporan penelitian, dilakukan verifikasi terlebih dahulu dengan melakukan konfirmasi ke subyek penelitian dan atau orang tua subyek penelitiaan, kemudian dimasukkan ke dalam data base komputer. Data yang sudah ada ditransfer dan diolah menggunakan SPSS 18.0, kemudian dilakukan verifikasi ulang dan analisis data secara deskriptif untuk mencari distribusi frekuensi.

(5)

Hasil

Penelitian ini merupakan survei di populasi yang bersifat potong lintang deskriptif dan merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di wilayah Kodya Jakarta Timur. Pengambilan subyek dilakukan pada tanggal 4 Mei sampai dengan tanggal 18 Juni 2012. Subyek adalah populasi anak usia sampai dengan 18 tahun yang bertempat tinggal di wilayah Kodya Jakarta Timur. Subyek yang diambil sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Subyek dari penilitian ini adalah 1565 orang yang terdiri atas dewasa dan anak-anak bersedia diwawancara dan melakukan pengisian kuesioner, hanya 1360 orang (86,9%) yang lanjut ke pemeriksaan fisik THT. Dari 1360 subyek, didapatkan sejumlah 511 anak dengan rentang usia 0-18 tahun. Terdapat 9 anak dengan serumen prop yang tidak berhasil diekstraksi sehingga dieksklusi dari penelitian. Akhirnya diperoleh jumlah subyek sebesar 502 anak.

Karakteristik subyek di Kodya Jakarta Timur

Penelitian ini melibatkan 502 subyek. Subyek penelitian berusia 2,4 bulan sampai 18 tahun terbagi dalam lima klasifikasi usia dengan jumlah terbanyak pada klasifikasi usia 5 – 12 tahun (50,39%). Jumlah subyek berjenis kelamin laki-laki (50,39%) lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (49,61%). Sebagian besar tingkat pendidikan ayah dan ibu subyek penelitian adalah SLTA (56,97% dan 50,19%). Sebagian besar pekerjaan ayah subyek penelitian (45,62%) merupakan karyawan swasta dan ibu subyek penelitian (66,93%) ibu rumah tangga, dengan penghasilan keluarga di atas Rp. 1.800.000,- per bulan (54,78%) lebih banyak dibandingkan di bawah Rp. 1.800.000,- per bulan (45,22%).

Prevalensi dan gambaran karakteristik faktor risiko OMA

Prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi anak Kotamadya Jakarta Timur adalah 5,38%. Pada penelitian ini, jumlah terbanyak subyek penderita OMA didapatkan pada kelompok usia 2 -5 tahun (44,44%), dengan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (70,37%) dan tergolong status gizi kurang (55,56%). Subyek penderita OMA yang memiliki gejala batuk pilek sebesar 66,67% dan tidak ada yang mendapatkan gejala rinitis alergi. Sebagian besar subyek penderita OMA mendapatkan pajanan asap rokok (70,37%) dan tinggal di kawasan padat penduduk (62,96% ) di kelurahan Cawang dengan penghasilan keluarga di bawah Rp. 1.800.000,- per bulan (59,26%).

(6)

Pada penelitian ini, sebagian besar (85%) subyek penderita OMA dengan usia di bawah 5 tahun mendapatkan ASI dengan lama pemberian ASI terbanyak selama 6–11 bulan (30%). Subyek penderita OMA dengan usia di bawah 5 tahun yang mendapatkan susu botol sebesar 65%, sebagian besar (70%) diberikan susunya dengan posisi berbaring. Separuh (50%) subyek penderita OMA dengan usia di bawah 5 tahun menggunakan dot dan sebagian besar (90%) mendapatkan imunisasi lengkap.

Hubungan faktor-faktor risiko dengan angka kejadian OMA

Hasil analisis hubungan faktor risiko OMA dengan angka kejadian OMA pada anak-anak disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Hubungan faktor risiko dengan angka kejadian OMA pada anak-anak di Kodya

Jakarta Timur (N=485)   Faktor Risiko N(27) OMA % Normal N(458) % N(485) Total % P OR (IK 95%) Usia (tahun) 0,2 - < 5 20 74,07 92 20,09 112 23,09 <0,001 11,36 (4,66-27,69) > 5 7 25,93 366 79,91 373 76,91 Jenis Kelamin Laki-laki 19 70,37 223 48,69 242 49,89 0,029 2,50 (1,07-5,83) Prempuan 8 29,63 235 51,31 243 50,11 ISPA Ya 18 66.67 57 12,45 75 15,46 <0,001 14,07 (6,03-32,8) Tidak 9 33.33 401 87,55 410 84,54 Rhinitis Alergi Ya 0 0.00 29 6,33 29 5,98 0,394 1,06 (1,04-1,09) Tidak 27 100.00 429 93,67 456 94,02 Pajanan asap Ya 19 70,37 239 52,18 258 53,19 0,066 2,18(0,93-5,07) Tidak 8 29,63 219 47,82 227 46,81 Kepadatan Cawang (padat) 17 62,96 181 39,52 198 40,82 0,016 2,60 (1,16-5,81) Cipinang melayu 10 37.04 277 60,48 287 59,18 Pendapat-an RT di bawah 1.800.000 16 59.26 204 44,54 220 45,36 0,135 0,55 (0,25-1,22) di atas 1.800.000 11 40,74 254 55,46 265 54,64

(7)

Faktor determinan penyebab OMA

Untuk mengetahui faktor mana yang dominan berhubungan dengan kejadian OMA maka dilakukan analisis multivariat dengan mengunakan regresi logistik pada program SPSS, dengan nilai seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Faktor determinan penyebab OMA pada anak-anak di Kodya Jakarta Timur (N=485)

 

Faktor  Risiko   OMA   N(27)   Normal   N(458)   p   OR  suaian   (IK  95%)   Klasifikasi  usia           0,2  -­‐  <  5  tahun   20   92   <0,001   10,0  (3,81-­‐26,79)   >    5  tahun   7   366       Jenis  kelamin           Laki-­‐laki   19   223   0,062   2,50(0,96-­‐6,57)   Perempuan   8   235       ISPA           Ya   18   57   <0,001   10,1(3,97-­‐25,20)   Tidak   9   401      

Pajanan  asap  rokok          

Ya   19   239   0,688   1,23  (0,45-­‐3,41)   Tidak   8   219       Kepadatan           Cawang  (padat)   17   181   0,080   2,39  (0,90-­‐6,33)   Cipinang  melayu   10   277       Pendapatan  RT           di  bawah        Rp  1.800.000   16   204   0,707   1,19(0,47-­‐3,03)   di  atas    Rp  1.800.000   11   254                  

*suaian  antar  variabel  

(8)

Pembahasan

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai “Profil Otitis Media” di Kotamadya Jakarta Timur, yang diharapkan dapat dilakukan di skala yang lebih besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional.

Penelitian ini melibatkan berbagai struktur terkait, administrasi pemerintahan, pusat kesehatan masyarakat, dan juga peran kader puskesmas sebagai mitra masyarakat, serta tokoh masyarakat. Keadaan ini menunjukan bahwa untuk penanggulangan masalah kesehatan dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak, tidak hanya pihak medis tetapi juga struktural. Hasil penelitian ini didapatkan prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur sebesar 5,38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan angka kejadian OMA. Prevalensi OMA di tiap-tiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 - 20%. Studi epidemiologi untuk OMA di negara-negara berkembang pun sangat jarang. Di Thailand, Prasansuk dikutip dari Bermen5 melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak yang berumur kurang dari 16 tahun pada tahun 1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Di Nigeria, Amusa, Ijadunola dan Onayade11 melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak di bawah 12 tahun pada tahun 2005 sebesar 11,8 %.

Angka yang cukup tinggi pada penelitian ini jika dibandingkan dengan studi epidemiologi di Thailand tersebut, kemungkinan dihubungkan dengan masih tingginya angka prevalensi ISPA di DKI Jakarta yaitu sebesar 22,6% berdasarkan Riset kesehatan dasar 2007. Sedangkan cukup rendah bila dibandingkan dengan studi epidemiologi di Nigeria, yang memiliki angka prevalensi ISPA sebesar 37,4%.12

Strategi penatalaksanaan terintegrasi oleh pihak medis dan struktural, dengan cara preventif, promotif dan kuratif perlu dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi ini. Berdasarkan hasil penelitian ini tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi tingkat kepadatan penduduk dengan program transmigrasi dan menggalakkan program Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga, dan penyuluhan pentingnya menghindari penularan penyakit infeksi yang sering terjadi pada masyarakat dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Penyuluhan berupa pentingnya ASI dan juga

(9)

menghindari pajanan rokok juga perlu dilakukan. Subyek yang mengalami OMA, diharapkan orang tuanya memiliki kesadaran untuk membawa anaknya berobat ke pusat kesehatan, agar tidak terjadi komplikasi dari penyakit ini terutama gangguan pendengaran dan gangguan bicara dan bahasa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar, mengingat pada penelitian ini prevalensi tertinggi pada kelompok usia 2-5 tahun dimana merupakan waktu saat anak belajar bicara.

Pada penelitian ini diperoleh hasil gambaran karakteristik faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Berdasarkan analisis hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian OMA secara bivariat, didapatkan faktor risiko usia, jenis kelamin, riwayat ISPA, dan lingkungan tempat tinggal secara statistik bermakna terhadap kejadian OMA. Pajanan asap rokok dan pendapatan rumah tangga memiliki kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya OMA, akan tetapi secara statistik tidak mempunyai kemaknaan.

Pada penelitian ini proporsi OMA terbanyak terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun sebesar 44,4 %. Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat, usia di bawah 5 tahun merupakan faktor risiko yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA. Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan usia di atas 5 tahun.

Berdasarkan kepustakaan, Stangerup dkk, Alho dkk, Pukander dkk, Rovers dkk seperti dikutip oleh Bluestone13, Wang14 ,dan juga Zakzouk dkk15, menyatakan faktor usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya OM. Stangerup dkk dikutip oleh Bluestone13, menyatakan bahwa usia di bawah 5 tahun merupakan faktor risiko terjadinya OMA, menurut Wang dkk14 usia 3-5 tahun. Zakzouk dkk15 menyatakan usia di bawah 4 tahun secara statistik bermakna terhadap risiko terjadinya OMA jika dibandingkan usia 8 -12 tahun. Alho dkk, Pukander dkk, Rovers dkk, menyatakan bahwa puncak prevalensi terjadinya otitis media pada usia di bawah 2 tahun. Hasil ini juga didukung oleh tingginya prevalensi ISPA di DKI Jakarta pada usia 1-4 tahun dan di bawah 1 tahun. Hal ini juga disebabkan karena pada usia tersebut tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai ukuran dewasa, TE lebih pendek dan letaknya lebih datar/horisontal sehingga sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah.

(10)

Jenis kelamin laki-laki secara bermakna merupakan faktor risiko terhadap kejadian OMA. Hasil penelitian ini sesuai studi yang dilakukan oleh Teele dkk dikutip dari Bluestone13, Sipilia dkk dikutip dari Wang14 , dan Zakzouk dkk15. Hal ini diduga berkaitan dengan pneumatisasi mastoid yang lebih kecil pada laki-laki, pajanan polusi, infeksi saluran napas berulang serta trauma yang lebih sering terjadi pada laki-laki. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Homoe dkk, dan Lundgren dkk dikutip dari Wang14 menyatakan tidak adanya perbedaan bermakna jenis kelamin terhadap faktor risiko OMA. Mekanisme yang masuk akal dan pasti yang dapat menjelaskan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terhadap OMA sampai saat ini belum ada.

ISPA pada penelitian ini secara statistik bermakna sebagai faktor risiko penyebab OMA, dan juga merupakan faktor risiko yang dominan, berdasarkan analisis bivariat dan multivariat. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan ini. Revai dkk16 menyatakan 30% dari ISPA menyebabkan OMA. Chonmaitree dkk17 menyatakan insiden terjadinya otitis media yang disebabkan oleh ISPA sebesar 61%, yaitu 37% OMA dan 24% OME.

Hal ini juga didukung kepustakaan yang menyatakan apabila terjadi ISPA, dapat menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi tuba Eustachius sehingga menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya bakteri dan virus ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius mengakibatkan peradangan dan efusi di telinga tengah. Berdasarkan data riskesdas 2007, ISPA merupakan urutan ke-3 penyakit terbanyak di DKI Jakarta bahkan di Indonesia, angka prevalensinya di Jakarta Timur sebesar 26,6% dan paling banyak terjada pada anak-anak terutama di bawah usia 5 tahun. Jumlah penduduk yang padat di jakarta juga mempengaruhi hal ini, karena penularan dari ISPA ini dan akhirnya dapat mencetuskan terjadinya OMA.5,12,18

Pada penelitian ini lingkungan dengan kepadatan penduduk lebih tinggi secara statistik bermakna sebagai faktor risiko terhadap OMA. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yang dkk19 ,menunjukan bahwa tinggal di lingkungan yang lembab, banjir, dan berjamur memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya OMA. Dalam penelitian ini kelurahan Cawang merupakan daerah dengan tingkat kepadatan tinggi dan juga merupakan daerah yang rawan banjir.

(11)

Dari hasil analisis multivariat dengan regresi logistik yang telah dilakukan pada penelitian ini, ternyata variabel usia dan riwayat ISPA yang secara bermakna dan dominan berhubungan dengan kejadian OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Anak yang usianya di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan anak usianya di atas 5 tahun. Begitupun dengan anak yang memiliki riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir berpeluang 10,10 kali dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat ISPA. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik didapatkan koefisien determinan (r2) 0,410, dengan demikian menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko yang disertakan dalam penelitian memberikan kontribusi hanya 41%, masih banyak faktor risiko lain yang harus diperhitungkan agar dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya OMA.

Hasil penelitian ini didukung oleh kepustakaan yang menyatakan bahwa pada usia tersebut tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai ukuran dewasa, TE lebih pendek dan letaknya lebih datar/horisontal sehingga sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Berbagai kepustakaan juga menyatakan bahwa 95% dari kasus OMA, penyebabnya adalah infeksi bakteri. Dan berdasarkan data riskesdas 2007, ISPA merupakan urutan ke-3 penyakit terbanyak di DKI Jakarta, angka prevalensinya di Jakarta Timur sebesar 26,6% dan paling banyak terjada pada anak-anak terutama di bawah usia 5 tahun.2,12,13

   

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Management of Acute Otitis

Media. Diagnosis and management of acute otitis

media. Pediatrics. May 2004;113(5):1451-65.

2. Deshmukh CT. Acute otitis media in children-treatment options. J Postgrad Med. 1998;44(3):81-4.

3. Casselbrant ML, Mandel EM. Epidemiology.In: Rosenfeld RM, Bluestone CD, editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON, Canada: BC Decker. 2003:p.147-62

4. Sipila M, Pukander J, Karma P. Incidence of acute otitis media up to the age of 1 1/2 years in urban infants. Acta Otolaryngol. 1987;104:138-45.

5. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 1995;96(1): 126-30. 6. Rosenfeld RM, Culpeper L, Doyle KJ, Grundfast KM, Hoberman A, Kenna MA, et al.

Clinical practice guideline : otitis media with effusion. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:S95.

7. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran. Departemen Kesehatan R I Ditjen pembinaan kesehatan masyarakat Direktorat bina upaya kesehatan puskesmas. Jakarta: 1998

(12)

8. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.hal.64-9.

9. Froom J et al. A cross-national study of acute otitis media: risk factors, severity, and treatment at initial visit. Report from the International Primary Care Network (IPCN) and the Ambulatory Sentinel Practice Network (ASPN). J Am Board Fam Pract. 2001;14:406–17.

10.Badan Pusat Statistik. Population and Man Power in Jakarta Timur Figure 2009. Hal 77

11.Amusa YB, Ijadunola IKT , Onayade OO. Epidemiology of otitis media in a local tropical African. WAJM. 2005;24(3):227–30

12.Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas), 2007

13.Bluestone CD. Definition, terminology, and classification. In: Rosenfeld RM, Bluestone CD, editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON, Canada: BC Decker. 2003: p.120-35.

14.Wang PC, Chang YH, Chuang LJ, Su HF, Li CY. Incidence and recurrence of acute otitis media in Taiwan’s pediatric population. CLINICS. 2011;66(3):395-9

15.Zakzouk S.M, Jamal S.T, Daghistani K.J. Epidemiology of acute otitis media among Saudi children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 2002;62:219–22

16.Revai K, Dobbs LA, Nair S, Patel JA, Grady JJ, Chonmaitree T. Incidence of acute otitis media and sinusitis complicating upper respiratory tract infection: the effect of age. Pediatrics. 2007 Jun;119(6):e1408-12

17.Chonmaitree T, Revai K, Grady JJ, Clos A, Patel JA, Nair S, Fan J, Henrickson KJ. Viral upper respiratory tract infection and otitis media complication in young children. Clin Infect Dis. 2008 Mar 15;46(6):815-23

18.Chan LS, Takata GS, Shekelle P, Morton SC, Mason W, Marcy SM. Evidence assessment of management of acute otitis media: II. Research gaps and priorities for future research. Pediatrics 2001;108: 248–54.

19.Yang CY, Cheng MF, Tsai SS, Hung CF, Lai TC, Hwang KC. Effects of indoor environmental factors on risk of acute otitis media in a subtropical area. Journal of Toxicology and Environmental Health. 1999;56:111–9

Gambar

Tabel 1. Hubungan faktor risiko dengan angka kejadian OMA pada anak-anak di Kodya  Jakarta Timur (N=485)  	
   Faktor  Risiko  N(27)  OMA  %  Normal  N(458)  %  Total  N(485)  %  P  OR (IK 95%)  Usia  (tahun)  0,2 - &lt; 5   20  74,07  92  20,09  112  23,0
Tabel 2. Faktor determinan penyebab OMA pada anak-anak di Kodya Jakarta Timur (N=485)  	
  

Referensi

Dokumen terkait

Masukkan hanger dan film dalam larutan developer untuk proses pengembangan film dengan waktu yang telah ditentukan, sambil diagitasi ( agitasi naik t urun).. Selesai waktu

Dalam rangka mendorong peningkatan prestasi mahasiswa, kemampuan akademik, wawasan dan kecintaan mahasiswa terhadap bidang studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

fisiologis yang dapat beradaptasi dalam kondisi ekstrim tersebut.. (Kathiresan dan

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan

Dengan menemukan prasyarat keberhasilan/keberlanjutan dari kelompok-kelompok ini, maka dapat diketahui substansi persoalan dari tantangan keberlanjutan pengelolaan sumber

Pada dasarnya air hujan harus disalurkan melalui sistem pembuangan yang terpisah dari sistem pembuangan air bekas dan air kotor. Bila dicampurkan, kemungkinan

Setelah dilakukan validasi produk oleh ahli, dapat disimpulkan bahwa multimedia interaktif berbasis scientific approach pada materi sistem pencernaan dinyatakan

Untuk itulah dengan adanya pemanfaatan teknologi untuk penjualan secara elektronik ini atau berbasis web dapat mempermudah customer dimana saja untuk bisa