• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak

yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan

pada Tahun 2009

Oleh:

TAN HONG SIEW

070100322

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak

yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan

pada Tahun 2009

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

TAN HONG SIEW

070100322

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke

Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)

Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009

Nama: Tan Hong Siew

NIM: 070100322

Pembimbing

Penguji

Tanda Tangan

Tanda Tangan

(dr. Andrina Rambe, SpTHT)

(dr. Juliandi Harahap, MA)

Medan, 1 Desember 2010

Dekan

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Latar Belakang: Otitis Media Akut (OMA) merupakan penyakit yang sering dijumpai

pada masa anak-anak. Anak-anak lebih rentan terhadap OMA, terutama dalam usia 2

tahun. Gejala klinis OMA termasuk otalgia dan efusi telinga tengah. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui karakteristik penderita OMA pada anak yang berobat ke

Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik

Medan pada tahun 2009.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medis semua

anak yang berumur 1 hari sampai dengan 18 tahun. Karakteristik seperti umur, jenis

kelamin, gejala klinis, stadium OMA, sisi telinga yang terkena OMA dan riwayat ISPA

akan dicatat. Kemudian data diproses dengan menggunakan Statistical Product and

Service Solution (SPSS).

Hasil: 85 data telah dikumpulkan. Distribusi proporsi tertinggi adalah pada usia >5-12

(32,9%), laki-laki (55,3%), keluar cairan (84,7%), stadium perforasi (66,3%), unilateral

(81,2%), dan ada riwayat ISPA (65,9%).

Diskusi: Insidensi terjadinya OMA cukup tinggi di kalangan anak-anak. Oleh karena itu,

orang tua disarankan untuk membawa anak-anak menjalankan konsultansi awal kepada

dokter jika terdeteksi gejala klinis OMA. Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk

menentukan faktor risiko terjadinya OMA, yang berguna untuk tindakan pencegahan.

Kata kunci: Otitis media akut, Karakteristik, Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

(5)

ABSTRACT

Background: Acute otitis media is one of the most common diseases of childhood.

Younger children are more susceptible to acute otitis media, especially in their first 2 years of life. It involves the rapid onset of signs and symptoms including otalgia and middle ear effusion. The purpose of this study was to define the characteristics of patients with acute otitis media in outpatient children of E.N.T. Department at Haji Adam Malik Medan General Hospital in 2009.

Methods: This study has been carried out by assessing the medical records of all

children who aged between 1 day to 18 years old. Data on children were gathered from medical records, including age, gender, clinical manifestations, staging, ear/ears involved, and history of upper respiratory tract infection. The data obtained were then processed by using Statistical Product and Service Solution (SPSS).

Results: A total of 85 data were collected. The highest proportion is: age >5-12 years

old (32,9%), male (55,3%), middle ear effusion (84,7%), perforation stage (66,3%), unilateral ear involved (81,2%), and positive history of upper respiratory tract infection (65,9%).

Discussion: The incidence of acute otitis media is high among children. Therefore

parents are encouraged to bring their children for early consultation to doctors if there is any symptom of acute otitis media. Further study is needed to determine the various risk factors associated with acute otitis media, for prevention purposes.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan proposal karya tulis ilmiah ini, yang

berjudul “Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi

Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan

pada Tahun 2009”.

Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis telah banyak

menerima bantuan, dukungan, serta bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini,

penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Andrina Rambe, Sp. THT selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak

membantu dan memberikan saran-saran selama penulisan proposal karya tulis

ilmiah, sehingga proposal karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Para staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

4. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan nasihat kepada

penulis.

5. Seluruh rakan mahasiswa/ mahasiswi yang telah membantu memberikan saran

dalam menyelesaikan proposal karya tulis ilmiah ini.

Untuk seluruh bantuan baik moral atau materil yang diberikan kepada penulis

selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan membalas dengan pahala

yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk

itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat

berguna bagi semua pihak.

Medan, 1 Desember 2010

TAN HONG SIEW

(7)

DAFTAR ISI

1.2. Rumusan Masalah………..3

1.3. Tujuan Penelitian………..4

1.3.1. Tujuan Umum………...4

1.3.2. Tujuan Khusus………..4

1.4. Manfaat Penelitian………4

1.4.1. Bagi Peneliti………..4

1.4.2. Bagi Masyarakat………5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Klasifikasi……….6

2.2. Etiologi ……….7

2.3. Faktor Risiko……….9

2.4. Gejala Klinis……….9

2.5. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis………..11

(8)

2.5.2. Patogenesis OMA……….11

2.5.3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA………12

2.6. Stadium OMA……….13

2.7. Diagnosis……….17

2.7.1. Kriteria Diagnosis OMA……….17

2.7.2. Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi………18

2.8. Penatalaksanaan……….18

2.8.1. Pengobatan……….18

2.8.2. Pembedahan ……….21

2.9. Komplikasi………22

2.10. Pencegahan………...22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian………23

3.2. Definisi Operasional………23

3.2.1. Definisi………23

3.2.2. Cara Ukur………25

3.2.3. Alat Ukur……….25

3.2.4. Kategori………25

3.2.5. Skala Pengukuran……….26

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian………27

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………27

4.2.1. Lokasi Penelitian………27

4.2.2. Waktu Penelitian………27

4.3. Populasi dan Sampel………27

4.3.1. Populasi……….27

4.3.2. Sampel………27

4.4. Metode Pengumpulan Data……….28

(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian ………...…………..29

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….….29

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden………..29

5.1.3. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Umur..…..30

5.1.4. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Jenis

Kelamin………30

5.1.5. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Gejala

Klinis………31

5.1.6. Distribusi Frekuensi Telinga Penderita OMA pada Anak Berdasarkan

Stadium OMA………31

5.1.7. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Sisi Telinga

yang Terkena OMA………..32

5.1.8. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Riwayat

ISPA……….33

5.2 Pembahasan

5.2.1. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Umur……..34

5.2.2. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Jenis

Kelamin………34

5.2.3. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Gejala

Klinis………34

5.2.4. Distribusi Frekuensi Telinga Penderita OMA pada Anak Berdasarkan

Stadium OMA………35

5.2.5. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Sisi Telinga

yang Terkena OMA………..35

5.2.6. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Riwayat

(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan………..37

6.2. Saran……….38

DAFTAR PUSTAKA………...39

(11)

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Skor OMA

Tabel 2.2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

Tabel 2.3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Table 5.1. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Umur di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Table 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Jenis

Kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Table 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Gejala

Klinis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Table 5.4. Distribusi Frekuensi Telinga Penderita OMA pada Anak Berdasarkan

Stadium OMA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Table 5.5. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Sisi Telinga

yang Terkena OMA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Table 5.6. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Riwayat

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema pembagian otitis media

Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien

OMA.

Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

Gambar 2.5. Membran Timpani Normal

Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2. Data Induk

Lampiran 3. Hasil Analisa SPSS

Lampiran 4. Persetujuan Komisi Etik tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

(14)

DAFTAR SINGKATAN

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

THT Telinga Hidung dan Tenggorok

OMA Otitis Media Akut

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Atas

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang: Otitis Media Akut (OMA) merupakan penyakit yang sering dijumpai

pada masa anak-anak. Anak-anak lebih rentan terhadap OMA, terutama dalam usia 2

tahun. Gejala klinis OMA termasuk otalgia dan efusi telinga tengah. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui karakteristik penderita OMA pada anak yang berobat ke

Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik

Medan pada tahun 2009.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medis semua

anak yang berumur 1 hari sampai dengan 18 tahun. Karakteristik seperti umur, jenis

kelamin, gejala klinis, stadium OMA, sisi telinga yang terkena OMA dan riwayat ISPA

akan dicatat. Kemudian data diproses dengan menggunakan Statistical Product and

Service Solution (SPSS).

Hasil: 85 data telah dikumpulkan. Distribusi proporsi tertinggi adalah pada usia >5-12

(32,9%), laki-laki (55,3%), keluar cairan (84,7%), stadium perforasi (66,3%), unilateral

(81,2%), dan ada riwayat ISPA (65,9%).

Diskusi: Insidensi terjadinya OMA cukup tinggi di kalangan anak-anak. Oleh karena itu,

orang tua disarankan untuk membawa anak-anak menjalankan konsultansi awal kepada

dokter jika terdeteksi gejala klinis OMA. Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk

menentukan faktor risiko terjadinya OMA, yang berguna untuk tindakan pencegahan.

Kata kunci: Otitis media akut, Karakteristik, Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

(16)

ABSTRACT

Background: Acute otitis media is one of the most common diseases of childhood.

Younger children are more susceptible to acute otitis media, especially in their first 2 years of life. It involves the rapid onset of signs and symptoms including otalgia and middle ear effusion. The purpose of this study was to define the characteristics of patients with acute otitis media in outpatient children of E.N.T. Department at Haji Adam Malik Medan General Hospital in 2009.

Methods: This study has been carried out by assessing the medical records of all

children who aged between 1 day to 18 years old. Data on children were gathered from medical records, including age, gender, clinical manifestations, staging, ear/ears involved, and history of upper respiratory tract infection. The data obtained were then processed by using Statistical Product and Service Solution (SPSS).

Results: A total of 85 data were collected. The highest proportion is: age >5-12 years

old (32,9%), male (55,3%), middle ear effusion (84,7%), perforation stage (66,3%), unilateral ear involved (81,2%), and positive history of upper respiratory tract infection (65,9%).

Discussion: The incidence of acute otitis media is high among children. Therefore

parents are encouraged to bring their children for early consultation to doctors if there is any symptom of acute otitis media. Further study is needed to determine the various risk factors associated with acute otitis media, for prevention purposes.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis Media Akut (OMA) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masa

anak-anak (Vernacchio et al, 2004). Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa sekitar 9,3

juta anak-anak mengalami serangan OMA pada 2 tahun pertama kehidupannya (Berman,

1995). Insidens tertinggi kasus OMA yang dilaporkan di Amerika Serikat adalah pada

umur 6 sampai dengan 20 bulan (Kerschner, 2007). Menurut Teele (1991) dalam

Commisso et al. (2000), 33% anak akan mengalami sekurang-kurangnya satu episode

OMA pada usia 3 tahun pertama. Terdapat 70% anak usia kurang dari 15 tahun pernah

mengalami satu episode OMA (Bluestone, 1996). Faktanya, ditemukan bahwa otitis

media menjadi penyebab 22,7% anak pada usia dibawah 1 tahun dan 40%

anak-anak pada usia 4 sampai dengan 5 tahun yang datang berkunjung ke dokter anak-anak. Selain

itu, sekitar sepertiga kunjungan ke dokter didiagnosa sebagai OMA dan sekitar 75%

kunjungan balik ke dokter adalah untuk follow-up penyakit otitis media tersebut (Teele et

al., 1989). Menurut Casselbrant (1999) dalam Titisari (2005), menunjukkan bahwa 19%

hingga 62% anak-anak mengalami sekurang-kurangnya satu episode OMA dalam tahun

pertama kehidupannya dan sekitar 50-84% anak-anak mengalami paling sedikit satu

episode OMA ketika ia mencapai usia 3 tahun. Di Amerika Serikat, insidens OMA

tertinggi dicapai pada usia 0 sampai dengan 2 tahun, diikuti dengan anak-anak pada usia

5 tahun.

OMA rekuren juga biasa dijumpai. Penelitian menunjukkan dari 165 orang anak

yang menderita OMA, sebanyak 50% mengalami OMA rekuren dalam satu tahun.

Sebanyak 60% anak-anak pada usia 0 sampai dengan 1 tahun akan diserang

sekurang-kurangnya satu episode rekuren. Anak laki-laki mengalami rekurensi yang lebih

(18)

Di Finlandia Utara, dalam satu penelitian, ditemukan faktor resiko menderita OMA

meliputi anak-anak usia kurang dari 6 tahun, jenis kelamin laki-laki, kurangnya asupan

air susu ibu (ASI), lingkungan merokok, anak yang dititipkan ke penitipan

anak-anak,

Di Amerika Serikat, antibakteri paling sering dianjurkan sebagai pengobatan OMA

(American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians, 2004).

Menurut Stool (1989) yang dikutip oleh Buchman et al. (2003), efek OMA terhadap

keadaan sosioekonomis juga besar, dengan miliaran dolar dihabiskan setiap tahunnya

untuk pengobatan otitis media baik secara obat-obatan maupun bedah. Menurut Gates

(1996) dalam Buchman et al. (2003), diestimasi bahwa OMA bertanggung jawab atas

anggaran sekitar 3,15 miliar dolar setiap tahun, dimana 1,4 miliar dolar dihabiskan untuk

pengobatan kesehatan, dan 1,75 miliar dolar dihabiskan sebagai anggaran keluarga yang

berhubungan dengan penyakit.

abnormalitas pertumbuhan kraniofasialis, adanya infeksi saluran pernapasan atas

(ISPA) yang disebabkan virus, penyakit immunodefisiensi yang mendasari dan

predisposisi genetik (Alho et al., 1996). Faktor risiko yang sama juga ditemui dalam

penelitian yang dijalankan pada anak-anak yang berumur 3 sampai dengan 8 tahun di

Greenland (Homoe et al.,1999).

Otitis media pada anak-anak sering kali diakibatkan oleh ISPA (Revai, 2007).

Menurut Banz (1998) dalam Mora et al. (2002), kasus ISPA rekuren yang sering terjadi

adalah rinitis, bronkitis, dan sinusitis kronik. Pada penelitian terhadap 112 orang pasien

anak-anak yang berumur 6 sampai dengan 35 bulan, didapatkan 30% mengalami OMA

dan 8% sinusitis (Revai, 2007). Di Saudi, penelitian menunjukkan 62% anak-anak

dibawah 12 tahun yang menderita OMA mempunyai riwayat ISPA (Zakzouk et al., 2002).

Kecenderungan menderita OMA pada anak-anak berhubungan dengan belum matangnya

sistem imun. Pada anak-anak, makin tinggi frekuensi serangan ISPA, makin besar risiko

terjadinya OMA. Bayi dan anak-anak mudah terkena OMA, karena anatomi tuba

Eustachius yang masih relatif pendek, lebar dan letaknya lebih horizontal (Djaafar, 2007).

Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Poli THT sub-bagian Otologi THT

RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita pada Agustus 2004 sampai dengan Februari

(19)

dijumpai pada anak-anak yang berumur kurang dari 2 tahun. Anak-anak yang berumur 2

sampai dengan 5 tahun adalah sebanyak 23,3%. Golongan umur 5 sampai dengan 12

tahun adalah paling tinggi yaitu 32,6%. Anak-anak yang berumur 12 sampai dengan 18

tahun adalah 4,7% dan bagi yang berumur 18 tahun ke atas adalah 9,2% (Titisari, 2005).

Pada penelitian yang sama, antara 43 orang pasien, 30,2% pasien tidak ada riwayat

demam. 62,8% pasien mempunyai riwayat demam selama satu hingga tujuh hari.

Terdapat 7,0% pasien dengan riwayat demam lapan hari hingga dua minggu. Selain itu,

antara 43 orang pasien, 62,8% pasien adalah didahului dengan riwayat ISPA kurang dari

tujuh hari. Pasien dengan riwayat ISPA tujuh hari sampai dua minggu mencapai 27,9%.

Yang lebih dari dua minggu adalah 9,3%. Dari hasil kultur, jenis kuman telinga tengah

yang dijumpai adalah Staphylococcus aureus (78,3%), Haemophilus influenzae (8,7%),

dan Streptococcus pneumonia (13,0%) (Titisari, 2005). Selain tiga jenis mikroorganisme

tersebut, Streptococcus pyogenes dan Moraxella catarrhalis juga biasa dijumpai (Mora et

al., 2002).

Dari latar belakang tersebut, penulis berminat untuk mengkaji karakteristik

penderita otitis media akut pada anak yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009.

1.2 Rumusan Masalah

Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk

merumuskan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana karakteristik penderita OMA pada

anak yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)

Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009?

1.3. Tujuan Penelitian

(20)

Dari penelitian ini dapat diketahui karakteristik penderita otitis media akut (OMA)

pada anak yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat

(RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009.

1.3.2.Tujuan khusus :

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan

umur.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan

jenis kelamin.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan

gejala klinis.

4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan

stadium OMA.

5. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan

sisi telinga yang terkena OMA.

6. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan

riwayat ISPA.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1.Bagi peneliti

1. Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian.

2. Meningkatkan kemampuan dalam mengaplikasikan pengetahuan statistik

kedokteran ke dalam penelitian.

3. Menerapkan ilmu kedokteran yang dimiliki dan didapat selama pendidikan di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Mengembangkan minat dan kemampuan meneliti dalam bidang penelitian.

(21)

1. Sebagai masuka n bagi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik

Medan untuk mengetahui gambaran karakteristik penderita otitis media akut di

kalangan anak.

2. Sebagai masuka n bagi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik

Medan, dan bidang pelayanan kesehatan masyarakat lain, untuk

mengoptimalkan penanganan otitis media akut pada anak.

3. Sebagai masukan bagi orang tua anak-anak penderita OMA, untuk menjalankan

konsultansi dan pengobatan awal terhadap anak-anak, supaya tidak membawa

efek samping buruk.

4. Sebagai masukan bagi penelitian lain dan bahan referensi bagi perpustakaan

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Klasifikasi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,

tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan

tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik

dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,

muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada

pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya

efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada

membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat

cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

Otitis media berdasarkan gejalanya

dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing

memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,

seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis

media adhesiva (Djaafar, 2007).

(23)

Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

2.2. Etiologi

1. Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,

65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri

terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai

non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri

penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh

Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%

kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A

beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus

dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani

rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita.

Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang

(24)

2. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau

bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada

anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus

(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau

enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,

menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat

antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).

Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific

enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan

telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

Menurut Bluestone (2001) dalam Klein (2009), distribusi mikroorganisme yang

diisolasi dari cairan telinga tengah, dari 2807 orang pasien OMA di Pittsburgh Otitis

Media Research Center, pada tahun 1980 sampai dengan 1989 adalah seperti berikut:

Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien

(25)

2.3. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,

status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,

lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,

status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba

Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA

pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang

atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi

anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi

dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan

Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras

lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti

kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah,

dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada

anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang

kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan

anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.

Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat

penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas

kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut

terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan

komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus

(Kerschner, 2007).

2.4. Gejala Klinis

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak

yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping

(26)

yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan

pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan

anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada

stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,

kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur

membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur

tenang (Djaafar, 2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu

penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien

tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani

yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari

(2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel 2.1. Skor OMA

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,

berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau

sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila

nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal (Titisari,

(27)

2.5. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis

2.5.1. Tuba Eustachius

Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.

Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan

nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan

sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka

apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan

dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini

apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai

dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi,

proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam

telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga

tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring

ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga

tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

2.5.2. Patogenesis OMA

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran

pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa

saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi

sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan

demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri

dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah

bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari

nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses

inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor

pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat,

(28)

telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari

infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang

dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat

meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum

pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses

inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan

tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang

terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang

meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.

Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu

timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu,

sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal

dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor

ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

2.5.3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA

Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang

dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya

lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih

mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak

di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang

terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens

terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah

berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi

obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah

sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah

satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak,

adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan

(29)

terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian

menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

2.6. Stadium OMA

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung

pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,

stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan

stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar 2.5. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi

membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,

dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus

(30)

Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani

kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi

mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan

tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam

pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang

ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret

eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang

berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi

berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan

tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh

dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,

tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara

yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai

dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah

di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga

tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat

yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging

(31)

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta

rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.

Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat

disertai muntah dan kejang.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan

menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan

submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di

kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler

membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih

lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah

kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah

akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran

timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi

lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya

tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh rupt ur membran timpani sehingga sekret berupa

nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.

Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering

(32)

Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat

tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap

berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif

subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah

sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik

(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya

dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal

hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang

dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun

tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan

virulensi kuman rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media

supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,

dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.

Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media

serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami

(33)

2.7. Diagnosis

2.7.1. Kriteria Diagnosis OMA

Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal

berikut, yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga

tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti

menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan

pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,

dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan

adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada

membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas

normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu

ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di

telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di

belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang

purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti

demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran

timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan

demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

2.7.2. Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi

OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.

(34)

otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan

pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.

Table 2.2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

Gejala dan tanda Otitis Media

Akut

Otitis Media

dengan Efusi

Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga

(tugging)

+ -

Inflamasi akut, demam + -

Efusi telinga tengah + +

Membran timpani membengkak

(bulging), rasa penuh di telinga

+/- -

Gerakan membran timpani berkurang

atau tidak ada

+ +

Warna membran timpani abnormal

seperti menjadi putih, kuning, dan biru

+ +

Gangguan pendengaran + +

Otore purulen akut + -

Kemerahan membran timpani, erythema + -

2.8. Penatalaksanaa

2.8.1. Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada

stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian

antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis

media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin

terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi

membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba

Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung

(35)

efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang

dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.

Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi

resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk

terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah

sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa

dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap

penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari

yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50

mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk

melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang

dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara

berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai

dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan

hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar,

2007).

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak

ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di

liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan

sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,

2007).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.

Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua

sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera

dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah

yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik

(36)

mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan

antibiotik sebagai berikut.

Table 2.3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Usia Diagnosis pasti (certain) Diagnosis meragukan

(uncertain)

Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik

6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,

observasi jika gejala ringan

2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala berat,

observasi jika gejala ringan

Observasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi

telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan

adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir.

Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan

observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai

dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan

pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti

asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line

terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari.

Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan

terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi

seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella

catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).

(37)

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,

seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman,

2003).

1. Miringo tomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supa ya terjadi

drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan

secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat

dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang

diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di

telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah

nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,

labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada

pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode

OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak

OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi

mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan

pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk

tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,

terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh

rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA

seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding

dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. Adenoidektomi

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi

dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba

timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA

rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,

(38)

2.9. Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses

subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi

tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003)

dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal

(perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,

petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,

tromboflebitis).

2.10. Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA

pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan

pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan

(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka

kerangka konsep penelitian mengenai Karakteristik Penderita Otitis Media Akut (OMA)

pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat

(RSUP) Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009, dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Penderita OMA pada Anak

Umur

Jenis Kelamin

Gejala Klinis

Stadium OMA

Sisi Telinga yang Terkena OMA

Riwayat ISPA

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Definisi

3.2.1.1. Karakteristik adalah ciri-ciri anak berdasarkan umur, jenis kelamin, gejala klinis,

stadium OMA, sisi telinga yang terkena OMA, dan riwayat ISPA.

3.2.1.2. Anak dalam penelitian ini dikategorikan mengikut golongan umur yaitu ≤ 2

tahun, >2 – 5 tahun, > 5 – 12 tahun, dan >12 – 18 tahun (Titisari, 2005). Karakteristik

Penderita OMA pada

(40)

3.2.1.3. Penderita OMA adalah anak yang datang berobat dengan tanda dan gejala klinis

penyakit OMA berdasarkan diagnosa dokter yang dinyatakan menderita OMA.

3.2.1.4. Umur adalah usia penderita anak yang didapatkan dari menganalisa rekam

medis, dihitung dari tanggal lahir yang tertulis dalam rekam medis sampai waktu

pengambilan data dalam ukuran tahun, yaitu dikategorikan atas (Titisari, 2005):

1. ≤ 2 Tahun

2. >2 – 5 Ttahun

3. >5 – 12 Tahun

4. >12 – 18 Tahun

3.2.1.5. Jenis Kelamin adalah jenis kelamin anak penderita OMA yang tercatat pada

kartu status, dikategorikan menjadi:

1. Laki-laki

2. Perempuan

3.2.1.6. Gejala Klinis adalah keluhan atau gejala dominan yang dialami penderita OMA,

sesuai dengan yang tercatat dalam kartu status, yang dikategorikan atas:

1. Nyeri telinga

2. Keluar cairan dari telinga

3. Rasa penuh dalam telinga

4. Demam

5. Pendengaran menurun

6. Pegang telinga yang sakit

7. Gelisah, sukar tidur

8. Mual, muntah, diare

3.2.1.5 Stadium OMA adalah keterangan yang menunjukkan tingkat keparahan OMA

sesuai dengan yang tercatat pada kartu status, dikategorikan atas:

1. Stadium Oklusi Tuba

(41)

3. Stadium Supurasi

4. Stadium Perforasi

5. Stadium Resolusi

3.2.1.6. Sisi Telinga yang Terkena OMA adalah terbagi kepada:

1. Unilateral

2. Bilateral

3.2.1.7. Riwayat ISPA adalah penyakit ISPA yang pernah diderita oleh penderita

sebelum menderita OMA, sesuai dengan yang tercatat dalam kartu status, yang

dikategorikan atas:

1. Ada

2. Tidak ada

3.2.2. Cara Ukur

Penelitian dijalankan dengan menganalisa rekam medis (data sekunder) dan buku

register di bagian Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat

(RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009.

3.2.3. Alat Ukur

Rekam medis penderita OMA pada anak yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan

SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada

tahun 2009.

3.2.4. Kategori

Rerata, persentase dan proporsi.

3.2.5. Skala pengukuran

Skala kategorikal yaitu skala nominal (jenis kelamin, gejala klinis, stadium OMA,

(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

1.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross

sectional study, dimana peneliti menjalankan pengumpulan data satu kali berdasarkan

survei rekam medis. Dari segi waktu adalah secara retrospektif.

1.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

1.2.1.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan SMF THT dan Rekam Medis

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan. Lokasi ini dipilih

berdasarkan pertimbangan karena tersedianya data yang dibutuhkan serta belum pernah

diadakan penelitian yang serupa di rumah sakit tersebut.

1.2.2.Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan September 2010.

1.3. Populasi dan Sampel

1.3.1.Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita OMA pada anak, yaitu

berumur dari 1 hari – 18 tahun, yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah

Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009.

1.3.2.Sampel

Sampel adalah semua populasi dari penelitian ini, yaitu penderita OMA pada anak

(43)

Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009 (total sampling)

(Madiyono et al., 2008).

1.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, yaitu rekam medis dan buku

register penderita OMA pada anak yang berobat di bagian Instalasi Rawat Jalan SMF

THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009.

Kemudian hal-hal yang diperlukan akan dicatat dan ditabulasikan, sesuai dengan variabel

yang akan diteliti.

1.5. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah diperoleh akan diolah dengan menggunakan bantuan komputer

program Statistical Product and Service Solution (SPSS), kemudian hasil akan disajikan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, serta akan dituangkan dalam bentuk grafik bila

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ini beralamat di Jalan Bunga

Lau No. 17, Medan, Km.12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi

Sumatera Utara. RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan

SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII/1990, dan juga merupakan pusat rujukan kesehatan

untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera

Barat dan Riau.

RSUP H. Adam Malik Medan mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan

secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan

pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan

serta melaksanakan upaya rujukan.

RSUP H. Adam Malik Medan juga sebagai rumah sakit pendidikan sesuai dengan

SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991, yang bekerja sama dengan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan lembaga lainnya dalam menyelenggarakan

pendidikan klinik calon dokter dan pendidikan dokter keahlian, calon dokter spesialis

serta tenaga kesehatan lainnya.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan pada semua penderita OMA pada anak berumur 1 hari

(45)

(RSUP) Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009. Sebanyak 85 data telah dikumpulkan

dari rekam medis.

5.1.3. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Umur

Distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan umur di RSUP H.

Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Umur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

No. Umur (Tahun) Jumlah

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita tertinggi

dijumpai pada umur > 5-12 tahun, yaitu 28 orang (32,9%). Proporsi terendah terdapat

pada umur > 2-5 tahun, yaitu 14 orang (16,5%).

5.1.4. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan jenis kelamin di

RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

No. Jenis Kelamin Jumlah

f %

1. Laki-laki 47 55,3

2. Perempuan 38 44,7

(46)

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin tertinggi pada

laki-laki, yaitu 47 orang (55,3%). Perempuan adalah 38 orang (44,7%).

5.1.5. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Gejala Klinis

Distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan gejala klinis di RSUP

H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut. Seorang penderita

dapat mempunyai satu atau lebih dari satu gejala klinis pada masa yang sama.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

No. Gejala Klinis Jumlah

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa proporsi gejala klinis penderita OMA

pada anak terbanyak adalah keluar cairan sebanyak 72 orang (84,7%), diikuti demam 42

orang (49,4%), nyeri telinga 32 orang (37,6%), dan pendengaran menurun 5 orang (5,9%).

5.1.6. Distribusi Frekuensi Telinga yang Menderita OMA pada Anak Berdasarkan Stadium OMA

Distribusi frekuensi telinga yang menderita OMA pada anak berdasarkan stadium

OMA di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut.

Dari 85 orang penderita, terdapat 16 orang penderita yang kedua-dua telinganya terkena

OMA. Stadium OMA dari kedua-dua telinga dicatat. 69 orang penderita lain terkena

OMA pada satu telinga sahaja. Oleh itu, jumlah telinga yang menderita OMA pada anak

berdasarkan stadium adalah 101.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Telinga yang Menderita OMA pada Anak Berdasarkan Stadium OMA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

(47)

f %

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi telinga penderita

OMA pada anak berdasarkan stadium OMA adalah stadium perforasi yaitu 67 telinga

(66,3%), dan yang terendah adalah stadium resolusi yaitu 2 telinga (2,0%).

5.1.7. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Sisi Telinga yang Terkena OMA

Distribusi frekuensi telinga penderita OMA pada anak berdasarkan sisi telinga

yang terkena OMA di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel

5.4 berikut.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Sisi Telinga yang Terkena OMA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi penderita OMA pada

anak berdasarkan sisi telinga yang terkena, unilateral adalah sebanyak 69 orang (81,2%),

dan bilateral adalah 16 orang (18,8%).

5.1.8. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Riwayat ISPA

Distribusi frekuensi penderita OMA pada anak berdasarkan riwayat ISPA di

RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut.

(48)

No. Riwayat ISPA Jumlah

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56 orang (65,9%) penderita

OMA pada anak mempunyai riwayat ISPA, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat

ISPA adalah 29 orang (34,1%).

5.2. Pembahasan

5.2.1. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Umur

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita tertinggi

dijumpai pada umur > 5-12 tahun, yaitu 28 orang (32,9%), dan proporsi terendah terdapat

pada umur > 2-5 tahun, yaitu 14 orang (16,5%).

Hasil penelitian Titissari (2005) di Poli THT sub-bagian Otologi THT RSCM dan

Poli THT RSAB Harapan Kita menunjukkan proporsi penderita OMA pada anak

tertinggi pada usia > 5-12 tahun, yaitu 32,6%, sedangkan proporsi usia terendah adalah

pada usia > 12-18 tahun, yaitu 4,7%. Hasil penelitian Zakzuok et al. (2002) di Saudi

Arabia menunjukkan proporsi tertinggi pada usia 4-8 tahun, yaitu 41%, sedangkan

proporsi terendah pada usia 8-12 tahun, yaitu 19%.

5.2.2. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin tertinggi pada

laki-laki, yaitu 47 orang (55,3%). Perempuan tercatat 38 orang (44,7%). Rasio laki-laki

(49)

Menurut Titissari (2005) di Poli THT sub-bagian Otologi THT RSCM dan Poli

THT RSAB Harapan Kita, proporsi untuk perempuan adalah lebih tinggi, yaitu 51,2%

dibandingkan dengan laki-laki 48,8%. Hasil penelitian Onion (1997) menunjukkan rasio

laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah 1,35. Hasil penelitian Zakzuok et al

(2002) di Saudi Arabia menunjukkan anak laki-laki lebih cenderung menderita OMA,

yaitu 57 orang, dibandingkan perempuan, 43 orang.

5.2.3. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Gejala Klinis

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa proporsi gejala klinis penderita OMA

pada anak terbanyak adalah keluar cairan, yaitu sebanyak 72 orang (84,7%), diikuti

demam 42 orang (49,4%), nyeri telinga 32 orang (37,6%), dan pendengaran menurun 5

orang (5,9%).

Penelitian yang dilakukan Titissari (2005) di Poli THT sub-bagian Otologi THT

RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita menjumpai penderita yang mempunyai gejala

klinis demam sebanyak 69,8% dan yang tidak demam adalah sebanyak 30,2%. Penderita

yang mempunyai gejala klinis nyeri telinga adalah sebanyak 83,7% . Penderita yang

mempunyai gejala klinis gangguan pendengaran adalah sebanyak 41,9%.

5.2.4. Distribusi Frekuensi Telinga yang Menderita OMA pada Anak Berdasarkan Stadium OMA

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi telinga penderita

OMA pada anak berdasarkan stadium OMA adalah stadium perforasi yaitu 67 telinga

(66,3%), dan yang terendah adalah stadium resolusi yaitu 2 telinga (2,0%).

Secara teoritis, pada stadium oklusi tuba tidak menunjukkan gejala klinis yang

khas dan tidak demam. Pada stadium hiperemis terjadi inflamasi, penderita OMA akan

mengeluhkan nyeri telinga/otalgia, rasa penuh dan demam. Pada stadium supurasi,

terbentuk sekret eksudat purulen, pasien akan nyeri telinga, demam, dan juga akan terjadi

pendengaran menurun akibat gangguan pendengaran konduktif. Pada stadium perforasi,

(50)

keluhan nyeri telinga akan berkurang dan pendengaran menjadi normal kembali (Djaafar,

2005).

5.2.5. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Sisi Telinga yang Terkena OMA

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi penderita OMA pada

anak berdasarkan sisi telinga yang terkena, unilateral adalah sebanyak 69 orang (81,2%),

sedangkan bilateral hanya 16 orang (18,8%).

Hasil ini sesuai dengan penelitian Titissari (2005) di Poli THT sub-bagian Otologi

THT RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita yang menunjukkan proporsi tertinggi

adalah unilateral, yaitu kiri atau kanan sebanyak 79,1%, sedangkan bilateral hanya

20,9%.

5.2.6. Distribusi Frekuensi Penderita OMA pada Anak Berdasarkan Riwayat ISPA

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56 orang (65,9%) penderita

OMA pada anak mempunyai riwayat ISPA, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat

ISPA adalah 29 orang (34,1%).

Hasil penelitian Titissari (2005) di Poli THT sub-bagian Otologi THT RSCM dan

Poli THT RSAB Harapan Kita menunjukkan pada pasien OMA anak yang mempunyai

riwayat ISPA, proporsi tertinggi adalah terdapat riwayat ISPA 0-7 hari, yaitu 62,8%,

diikuti >7-14 hari yaitu 27,9%, dan >14 hari adalah 9,3%. Penelitian Zakzouk et al. (2002)

di Saudi menunjukkan bahwa 62% anak-anak dibawah 12 tahun yang menderita OMA

mempunyai riwayat ISPA. Secara teoritis, patogenesis OMA pada sebagian besar

anak-anak adalah dimulai oleh ISPA, terjadi kongesti serta edema pada mukosa nasofaring dan

tuba Eustachius. Tuba Eustachius tersumbat sehingga terjadi tekanan negatif, lalu terjadi

aspirasi bakteri dan virus dari nasofaring ke telinga tengah. Ini berhubungan dengan

anatomi tuba Eustachius anak-anak yang relatif pendek, lebar dan letaknya lebih

horizontal. Kecenderungan anak-anak menderita OMA juga berhubungan dengan belum

(51)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Proporsi penderita OMA pada anak berdasarkan umur di RSUP H. Adam Malik

Medan yang tertinggi adalah pada golongan umur >5 – 12 tahun, yaitu 28 orang

(32,9%), sedangkan yang terendah adalah >2 – 5 tahun, yaitu 14 orang (16,5%).

6.1.2. Proporsi penderita OMA pada anak berdasarkan jenis kelamin di RSUP H. Adam

Malik Medan yang tertinggi adalah laki-laki yaitu 47 orang (55,3%), sedangkan

perempuan adalah 38 orang (44,7%).

6.1.3. Proporsi penderita OMA pada anak berdasarkan gejala klinis di RSUP H. Adam

Malik Medan yang tertinggi adalah keluar cairan, yaitu 72 orang (84,7%), diikuti

demam, yaitu 42 orang (49,4%), nyeri telinga mencatat 32 orang (37,6%),

sedangkan yang terendah adalah pendengaran menurun, yaitu 5 orang (5,9%).

6.1.4. Proporsi penderita OMA pada anak berdasarkan stadium OMA di RSUP H. Adam

Malik Medan yang tertinggi adalah stadium perforasi, yaitu 67 telinga (66,3%),

sedangkan yang terendah adalah stadium resolusi, yaitu 2 telinga (2,0%).

6.1.5. Proporsi penderita OMA pada anak berdasarkan sisi telinga yang terkena OMA di

RSUP H. Adam Malik Medan yang tertinggi adalah unilateral, yaitu 69 orang

Gambar

Gambar 2.1. Skema Pembagian Otitis Media
Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala
Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien OMA
Tabel 2.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

Aplikasi multimedia merupakan bentuk baru untuk penggambaran program komputer yang menggunakan dan menggabungkan lebih dari satu media, didalamnya terdapat elemen gambar, teks,

Pengembangan Bidang Kajian Pusat Studi Olahraga untuk Penelitian dan Pengabdian M asa

perencanaan awal. Pada tahap ini pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan berdasarkan langkah-langkah pembelajaran model kooperatif tipe jigsaw. 3)Tahap pengamatan

a. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau terpusat pada siswa. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau terpusat pada guru. Manfaat Metode Simulasi Dalam Meningkatkan

Deskripsi Mata Kuliah : Matakuliah ini membahas tentang: penerapan hasil penemuan IPA dalam teknologi; penerapan fisika, biologi, dan kimia, dalam kehidupan

Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi

Aplikasi portal e-commerce kain troso di Kabupaten Jepara ini mampu mengakomodasi pengusaha kain troso di kabupaten Jepara dalam hal mempromosikan produk mereka