• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melatih Perempuan Menjadi Ulama: Pengalaman Ma had Aly di Jawa Indonesia* Nor Ismah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Melatih Perempuan Menjadi Ulama: Pengalaman Ma had Aly di Jawa Indonesia* Nor Ismah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Melatih Perempuan Menjadi Ulama: Pengalaman Ma’had Aly di Jawa Indonesia*

Nor Ismah Prolog

Istilah ulama berasal dari bahasa Arab ’alima-ya’lamu yang berarti mengetahui. Meskipun secara tata bahasa kata ulama merupakan bentuk plural dari kata ‘alim yang berarti orang yang mengetahui atau orang yang berpengetahuan, dalam penggunaan sehari-hari di masyarakat Indonesia, kata ini merujuk pada satu orang saja (Ismah, 2016). Azyumardi Azra (2002, p. xxix) mendefinisikan ulama sebagai seseorang yang memenuhi tiga kriteria. Pertama, mumpuni dalam pengetahuan fikih dan pengetahuan Islam klasik yang bersumber dari Al-Qur‘an, hadits, dan kitab kuning—yaitu sumber pengetahuan Islam klasik mencakup berbagai disiplin keilmuan Islam yang dikaji di pesantren. Kedua, memiliki perilaku yang mencerminkan karakter dan integritasnya sebagai Muslim panutan. Ketiga, karena ia biasanya memimpin sekelompok masyarakat di lingkungan tempatnya tinggal.

Di Indonesia salah satu lembaga pendidikan yang dipandang ideal sebagai tempat kaderisasi ulama adalah pesantren. Yaitu, tempat untuk mempelajari pengetahuan Islam dengan berbagai disiplin keilmuannya dan mempraktikkan ajaran Islam dalam perilaku sehari-hari di bawah bimbingan para guru. Murid-murid yang belajar di pesantren disebut santri, terdiri atas laki-laki dan perempuan, dan bertempat tinggal di asrama yang terpisah sesuai jenis kelamin. Selain mengikuti pendidikan keagamaan di dalam pesantren, para santri biasanya juga mengikuti pendidikan formal mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Dalam tulisan ini, saya ingin bercerita tentang Ma‘had Aly, yaitu pendidikan tinggi keislaman yang ada di pesantren, khususnya dalam memberikan bekal keulamaan kepada perempuan. Tulisan saya coba menjawab pertanyaan tentang bagaimana Ma‘had Aly melatih mahasantri perempuan dan apakah ada pembedaan dari mahasantri laki-laki? Lalu, apa tantangan yang dihadapi mahasantri puteri dan institusi dalam mengembangkan pengetahuan mahasantri perempuan? Dan bagaimana program pendidikan ini efektif untuk meregenerasi ulama perempuan di Indonesia?

Ma’had Aly dalam Sistem Pendidikan Tinggi Agama Islam di Indonesia

Istilah ma’had aly berasal dari bahasa Arab yang berarti ‗institusi tinggi‘, yaitu sebuah institusi dan sistem pendidikan keilmuan Islam tingkat lanjut di dalam pesantren. Di Indonesia, perguruan tinggi keagamaan Islam yang berbentuk universitas atau institute dan

(2)

sekolah tinggi setidaknya berjumlah 756 institusi, serta 13 institusi berbentuk Ma‘had Aly (Republika, 2016). Pada tanggal 25 November 2015 Menteri Agama RI menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 71 tentang Ma‘had Aly yang memberikan dampak positif bagi kelembagaan dan pengembangan Ma‘had Aly. Jika sebelumnya mahasantri membutuhkan penyetaraan ijazah ke universitas atau institute agama Islam formal, misalnya, sekarang kelembagaan Ma‘had Aly tidak hanya diakui tetapi juga diposisikan sejajar dengan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) (Lakpesdam, 2016).

Dibandingkan dengan institusi pendidikan tinggi Islam lainnya, seperti Universitas Islam atau Institute Agama Islam Negeri, Ma‘had Aly memiliki keunikan. Pertama, Ma‘had Aly merupakan bagian dari pengembangan pendidikan Islam tingkat lanjut di pesantren, atau disebut dengan pendidikan pasca madrasah Aliyah (setara dengan SMA), dan oleh karenanya mahasiswa yang belajar di Ma‘had Aly disebut mahasantri. Kedua, setiap Ma‘had Aly memiliki satu spesifikasi kajian keilmuan (tafannin), misalnya, kajian fikih ushul fikih, kajian hadits, kajian tasawuf, atau kajian-kajian keilmuan Islam lainnya. Ketiga, Ma‘had Aly memiliki standar

penerimaan mahasantri yang cukup tinggi sehingga tidak semua santri yang sudah

menyelesaikan pengajian diniyah (kajian keagamaan) di pesantren bisa melanjutkan ke Ma‘had Aly.

Dua Ma‘had Aly yang saya observasi adalah Ma'had Aly Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, selanjutnya saya akan menyebutnya MA Sukorejo, dan Ma'had Aly Pesantren Maslakhul Huda, di Kajen, Pati, Jawa Tengah, selanjutnya saya akan sebut dengan MA Kajen. MA Sukorejo didirikan pada tahun 1989 oleh K.H. As‗ad dengan spesifikasi kajian pada fiqih dan ushul fiqh (Ghazali dan Imam Malik, 2009), sementara MA Kajen merupakan kelanjutan dari pendidikan takhashshus fi ushul al-fiqh (spesifikasi dalam ushul al-fiqh) yang sudah dirintis sejak tahun 2011 dan berubah menjadi MA pada tahun 2015 dengan fokus kajian pada fiqih dan ushul fiqh. Untuk jenjang Strata 1, pendidikan ditempuh selama 4 tahun, dan untuk S2 di MA Sukorejo selama dua tahun dengan satu tahun tambahan untuk pengabdian ke pesantren. MA Kajen sudah menerima mahasantri puteri sejak awal perintisan madrasah takhashshus, sementara MA Sukorejo baru dimulai tahun 2005. Model Pembelajaran di Ma’had Aly Sukorejo dan Ma’had Aly Kajen

Para calon mahasantri putera dan puteri, baik di MA Sukorejo maupun di MA Kajen, mengikuti seleksi penerimaan mahasantri baru saat tahun ajaran baru dimulai pada bulan Syawal. Tidak ada pembedaan standar test yang diberlakukan antara mahasantri putera dan puteri di kedua MA tersebut. Namun demikian, MA Sukorejo pernah menurunkan standar

(3)

nilai kelulusan test calon mahasantri puteri lebih rendah satu digit dari putera. Misalnya, calon mahasantri putera dinyatakan lulus jika nilai Nahwu Shorof (ilmu tata bahasa Arab) dan fiqihnya mencapai 70, sementara calon mahasantri puteri sudah bisa diterima dengan nilai 65.

Pembedaan ini dilakukan karena pertimbangan sosiologis, yaitu memberi kesempatan lebih luas kepada mahasantri puteri untuk diterima. Namun sekarang sudah tidak ada perbedaan, itu pun berhasil menerima mahasantri putri berjumlah 19, sedangkan putera sampai 30 atau 29 mahasantri.

Di MA Kajen, para mahasantri belajar di kelas yang sama antara putera dan puteri. Sementara di MA Sukorejo, meskipun pada prinsipnya kelas putera dan puteri dipisah, pada waktu tertentu, misalnya karena keterbatasan waktu, mereka mengikuti pembelajaran dalam satu kelas. Berkaitan dengan subjek dan sumber referensi tidak ada pembedaan antara mahasantri putera dan puteri baik di MA Kajen maupun di MA Sukorejo. Materi pelajaran mencakup keilmuan Islam dengan spesifikasi pada fiqih dan ushul fiqih menggunakan referensi kitab klasik seperti Ihkamul Ahkam Syarh Umdatul Ahkam dan Thoriqatul Hushul yang dipakai di MA Kajen, di samping kitab modern seperti yang diterapkan di MA Sukorejo. Selain itu, mahasantri juga belajar fiqih, hadits, tasawuf, dan aqidah serta mata pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Pancasila, dan Metodologi Penelitian yang merupakan mata pelajaran wajib bagi MA setelah diberlakukannya PMA.

Sistem pembelajarannya menggunakan satuan kitab, yaitu mempelajari satu kitab yang dipakai referensi secara keseluruhan selama masa tahun pembelajaran. Silabus disusun berdasarkan seluruh pembahasan-pembahasan yang ada di dalam kitab tersebut. Sehingga dengan sistem ini mahasantri diharapkan menguasai keilmuan yang dimaksud secara utuh. Sebagai contoh untuk kajian fiqih di MA Sukorejo, untuk M1 atau Marhalah Ula (S1) standar kitabnya adalah Fathul Mu’in, sementara untuk M2 atau Marhalah Tsaniyah (S2) menggunakan Fathul Wahab. Selain kegiatan belajar di kelas, para mahasantri juga mengikuti kegiatan di asrama yang biasanya berupa kegiatan klasikal yang diisi oleh guru pembimbing sesuai jadwal yang ditentukan, dan aktivitas para mahasantri seperti musyawarah rutin setiap malam membahas kitab atau latihan membahas masalah-masalah untuk dicari pendapat hukumnya (fatwa).

Mahasantri Puteri: Persoalan dan Tantangan

Ketika saya bertanya tentang perbedaan kemampuan antara mahasantri puteri dan putera, para pengajar baik di MA Sukorejo maupun MA Kajen menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok di antara keduanya. ―Relatif ya. Disini kan ada dua kelas. Yang kelas

(4)

satu itu malah yang lebih hidup mahasantri perempuan. Perempuan ada yang juga menonjol,‖ jelas Wakhrodli, yang juga mudir atau rektor MA Kajen. Malah kecenderungannya mahasantri puteri lebih rajin dan tekun, misalnya dalam mengerjakan tugas dan mempersiapkan diri ketika diminta membaca kitab di depan kelas. Muhyidin Khotib, dosen MA Sukorejo menambahkan, ―Itu kadang-kadang, saya pakai kuliah pararel putera-puteri. Saya mesti suruh baca, puteri lebih siap karena putera itu tampil di depan orang banyak walaupun salah kan mentalnya kuat.‖

Persoalannya, secara psikologis mahasantri puteri lebih sering merasa minder untuk tampil berhadapan dengan mahasantri putera. Misalnya, ketika bertanya, mereka takut

pertanyaannya salah, dan disanggah oleh mahasantri putera, sebagaimana diceritakan oleh Nila, mahasantri MA Kajen. Annisa, salah seorang mahasantri MA Sukorejo mengatakan bahwa ia merasa deg-degan dan gugup untuk berpendapat di kelas bersama putera, dan menurutnya bisa jadi karena belum terbiasa. Selain itu, ia merasa sayang dengan terbatasnya akses perpustakaan yang terletak di kompleks putera. ―Putera itu kan perpustakannya ada di sana juga, jadi ketika ada apa-apa mudah untuk mencari referensi. Kita masih kesulitan walaupun ada Maktabah Syamilah,‖ lanjutnya.

Sebenarnya tidak hanya mahasantri puteri yang merasakan tantangan mengikuti

pendidikan Keislaman tingkat lanjut di MA, mahasantri putera juga mengalami hal yang sama. Muhammad Hanif, salah satu mahasantri putera dari MA Kajen mengatakan, ―Mungkin sulitnya adalah pelajaran yang ada disini belum pernah saya pelajari sebelumnya. Menurut saya masih tinggi banget untuk bidang kajian kitabnya. Tapi karena di Matholek [Madrasah

Matholi‘ul Falah] sudah dibekali bebeapa kegiatan atau materi untuk menunjang di mahad ali jadi cukup membantu.‖ Meresponse persoalan ini, MA Kajen mengadakan matrikulasi untuk mahasantri baru untuk menyegarkan kembali pengetahuan yang didapat di Matholek, juga audiensi dengan mahasantri untuk merangkum kebutuhan kursus atau pelatihan tambahan, sebagaimana MA Sukorejo mengadakan pelatihan ushul fiqih untuk para mahasantri.

Namun, persoalan lain yang juga masih dijumpai adalah adanya pandangan yang bias gender, terutama di kalangan orang tua, terkait peran dan pendidikan perempuan. Misalnya, bahwa menempuh pendidikan di pesantren menjadi solusi agar anak perempuan terhindar dari pergaulan yang tidak baik. Akibatnya, pencapaian prestasinya diukur hanya pada batas ia tidak membuat masalah dan bisa diterima di pesantren. ―Kita banyak menemukan wali santri yang memasukkan anaknya ke pesentren motivasinya bukan untuk mendidik , tapi yang penting selamat,‖ tutur Abdul Ghofar Rozin, pengasuh pesantren Maslakhul Huda Kajen. Selain itu, Muhyidin Khotib menambahkan, ―Ada yang ngaji mondok bukan untuk belajar, tapi hanya nunggu panggilan tunangan, sehingga tidak mempunyai target untuk lulus sampai perguruan

(5)

tinggi.‖ Hal ini juga menjadi sebab putusnya beberapa mahasantri puteri dari perjalanan studi MA yang ditempuhnya di Sukorejo, sementara kasus yang sama tidak dijumpai pada

mahasantri putera.

Harapan untuk Kaderisasi Ulama Perempuan di Indonesia

Terlepas dari bermacam persoalan dan tantangan yang dihadapi Ma‘had Aly dan mahasantri perempuan, saya berargumen bahwa Ma‘had Aly bisa menjadi harapan bagi munculnya kader-kader ulama perempuan di Indonesia. Pertama, secara kelembagaan Ma‘had Aly sudah mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama RI dan ia mendapatkan keistimewaan untuk melakukan pengembangan tanpa intervensi untuk tugas penjagaan atas Islam khas Indonesia dengan menggabungkan penggalian tradisi keislaman klasik dan modern (Republika, 2016). Kedua, sistem pembelajaran intensif di Ma‘had Aly dengan model kitabi, mengkaji secara menyeluruh kitab-kitab kuning rujukan yang dipilih sesuai dengan spesifikasi dari masing-masing Ma‘had Aly merupakan upaya untuk membekali mahasantri puteri dengan pengetahuan keagamaan yang bisa membawanya pada level keualamaan. Selain itu, mahasantri juga mendapat kesempatan untuk mentransformasikan pengetahuan keagamaan itu ke dalam perilaku sehari-hari di pesantren.

Ketiga, Ma‘had Aly mengembangkan pemikiran progresif tentang keislaman yang berbeda dari mainstream pemikiran terutama terkait dengan perempuan. Spefisikasi MA Kajen pada fiqih dan ushul fiqih dengan melakukan model-model fiqih sosial yang sudah pernah dilakukan oleh Kiai Sahal Mahfudh, dalam praktiknya membutuhkan pembacaan yang bagus atas teks sekaligus pemahaman konteks lingkungan yang juga kuat. ―Makanya kita bekali ada mata kuliah sosiologi hukum Islam, antropologi hukum Islam, filsafat sosial untuk mendukung supaya istinbatnya (pengambilan hukumnya) tidak hanya pada tataran teks, tapi juga konteks yang kemudian hasilnya tidak pada persoalan halal dan haram semata,‖ jelas Warokhdli.

MA Sukorejo juga mengembangkan progresivitas pemikiran yang tak jauh berbeda. Fiqih tidak dipandang sebagai konten yang mati, melainkan juga sebuah metodologi yang terus berkembang. ―Jika dulu fiqih dibagi empat mencakup ibadat (peribadatan), mu‘amalah (relasi sosial), munakahat (pernikahan), dan jinayah (pidana), kita di sini menganut Imam Ghazali, misalnya, mu‘amalah menyangkut persoalan ekonomi, ada persoalan zakat mencakup

golongan sosial. Sementara kalau dikaji lewat ibadah tampaknya hanya ritualitas padahal itu berakaitan dengan soal keadilan ekonomi,‖ papar Muhyidin Khotib. Terkait issue

(6)

kewajiban laki-laki dan perempuan dalam konsep Uqudullujain (kitab kuning yang membahas tentang relasi suami dan istri).

Keempat, karena memiliki pemikiran yang progresif, mahasantri puteri bagi para guru dan pembimbing dipandang sebagai kader ulama perempuan yang potensial untuk melakukan transformasi pengetahuan Islam kepada masyarakat. Mereka memberikan dukungan dan keberpihakan kepada mahasantri puteri ketika, misalnya, muncul persoalan di tengah-tengah studi mereka di Ma‘had Aly. Muhyidin Khotib menuturkan pengalamannya ketika menghadapi dua mahasantri puteri yang dijemput keluarganya untuk menikah. ―Suaminya suruh nyari kontrakan di sini, supaya bisa nerusin sampai selesai. Saya membayangkan kalau Fitri itu lulus sampai M2, ia bisa jadi kekuatan di daerah ibu,‖ jelasnya kepada orang tua santri, namun tetap ditolak. ―Ini kan hegemoni nantinya, ini kan laki-laki yang perlu disadarkan,‖ lanjutnya.

Jadi, meskipun secara kelembagaan dan model pembelajaran Ma‘had Aly merupakan institusi yang ideal untuk kaderisasi ulama, namun kemunculan potensi-potensi baru ini tidak mungkin terjadi tanpa pemberian kesempatan kepada anak perempuan untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya dan berkiprah seluas-luasnya di dalam masyarakat.

Referensi

Azra, Azyumardi. (2002). Biografi sosial-intelektual ulama perempuan: Pemberdayaan historiografi. In Jajat Burhanuddin (Ed.), Ulama perempuan Indonesia (pp. xxi–xxxviii). Jakarta: PPIM.

Ghazali, Hatim dan Abdul Malik. (2009). ―Pesantren and the Fredom of Thinking: Study of Ma‘had Aly Pesantren Sukorejo Situbondo East Java Indonesia‖, Al-Jami‘ah, Vol. 47, No. 2, 1430 H

Ismah,Nor. (2016). ―Destabilising Male Domination: Building Community-Based Authority among Indonesian Female Ulama‖, Asian Studies Review, 40:4, 491-509

Lakpesdam, ―Kelembagaan Ma‘had Aly Harus Ditata‖, diambil dari

http://lakpesdam.or.id/2016/03/kelembagaan-mahad-aly-harus-tertata/ Republika, ―Ma‘had Aly sebagai Pengembangan Islam-Indonesia‖, diambil dari

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam- nusantara/16/10/06/oelspr396-mahad-aly-sebagai-lembaga-pengembangan-islamindonesia

*Dimuat dalam Jamhari Makruf, Badrus Sholeh, Yanuardi Syukur, dan Syahmedi Dean (ed.), Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kedubes Australia, 2017

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi Produk : Kursi belajar yang sesuai dengan struktur dan anatomi tubuh anak usia 4–5 tahun mempunyai beberapa fungsi untuk menunjang proses belajar

Selain mempunyai karakteristik adat Jawa, tari Gambyong mempunyai keunikan yang dimulai dari koreografi yang sebagian besar berpusat pada penggunaan

2. Buatlah rencana kegiatan pasca bencana kebakaran rumah di suatu permukiman 4.. Pengayaan adalah kegiatan pembelajaran yang diberikan pada peserta didik dengan capaian

Penelitian ini dilatar belakangi dengan munculnya wabah covid-19 yang mengakibatkan pembelajaran di sekolah ditiadakan untuk sementara dan dirubah

Bagi santri mukim yang memang tinggal tidak jauh dari tempat pelaksanaan kegiatan ini di mushola PAF Indramayu, kegiatan di jam pertama ini dapat dikatakan

Secara kelembagaan, posisi Mahad Aly Mahasantri Ma’had Aly MUDI Mesra Samalanga adalah jenjang pendidikan tinggi keagamaan pada jalur pendidikan diniyah formal, kehadiran

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penambahan kapur gamping terhadap nilai CBR pada tanah merah, dengan adanya stabilisasi kimiawi, maka