Dilema Program
Keluarga Berencana:
Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Timur
Lafi Munira Subhansyah Setia Pranata
Penerbit
ii
Lafi Munira, dkk
Dilema Program Keluarga Berencana:
Etnik Aceh - Kabupaten Aceh TimurDiterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598
Email: [email protected] [email protected]
Bekerja sama dengan:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
xiii, 147 hal., Illus, 15.5 x 23
ISBN: 978-979-028-941-3
copyright © 2016, Unesa University Press
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
iii SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina : Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat : Mardiyah, SE. MM
iv
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna
v KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
vi
Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
vii
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Gambaran Umum Studi ... 1
1.1.1 Latar Belakang Studi ... 1
1.1.2 Tujuan Studi ... 12 1.1.3 Batasan Studi ... 12 1.1.4 Metode ... 13 1.1.5 Keterbatasan Studi ... 15 1.2 Kajian Terdahulu ... 15 1.3 Sistematika Buku ... 16
BAB 2 KONTEKS WILAYAH PENELITIAN ... 18
2.1 Sejarah ... 18
2.2 Geografis dan Kependudukan ... 22
2.3 Kondisi Tempat Tinggal Penduduk ... 23
2.4 Solidaritas Sosial ... 27
2.5 Mata Pencaharian dan Teknologi ... 32
2.6 Bahasa ... 34 2.7 Organisasi Sosial ... 36 2.8 Kekerabatan ... 38 2.9 Kesenian... 40 2.9.1 Do Da Idi ... 40 2.9.2 Rapa’i Dabo ... 43 2.10 Religi ... 46 2.10.1 Syariat Islam ... 46
viii
2.11 Pengetahuan Tentang Kesehatan ... 52
2.11.1 Sumber Pengetahuan Kesehatan ... 52
2.11.2 Sehat Sebagai Karunia Tuhan ... 53
2.11.3 Makna Kesehatan Jasmani ... 53
2.11.4 Kebersihan ... 57
2.12 Penutup ... 57
BAB 3 MENENUN BENANG-BENANG PERMASALAHAN KESEHATAN DI BAGIAN TIMUR TANAH RENCONG ... 59
3.1 Pengantar ... 59
3.2 Kepercayaan Pada Sesuatu Yang Mempunyai Daya Penyembuh ... 60
3.3 Kejadian Kesakitan ... 62
3.4 Pelayanan Kesehatan Medis Moderen ... 66
3.4.1 Aksesibilitas ... 68
3.4.2 Pandangan Masyarakat Tentang Pelayanan Kesehatan Baik Sarana Maupun Petugas Kesehatan ... 70
3.5 Pelayanan Kesehatan Gigi ... 71
3.6 Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat ... 72
3.6.1 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) ... 72
3.6.2 Puskesmas Keliling ... 72
3.6.3 Posyandu Balita ... 73
3.6.4 Senam Sehat Usila ... 75
3.7 Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behaviour) ... 76
3.8 Potret Kesehatan Ibu dan Anak ... 78
3.8.1 Masa Pra Hamil, Hamil, Melahirkan dan Nifas.. 78
3.8.2 Neonatus dan Bayi ... 78
3.8.3 Imunisasi Lengkap ... 80
3.9 Potret Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 85
3.9.1 Ketersediaan Jamban dan Perilaku Buang Air Besar ... 85 3.9.2 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
ix
di Fasilitas Kesehatan ... 87
3.9.3 Penimbangan Bayi dan Balita ... 88
3.10 Potret Penyakit Tidak Menular ... 95
3.10.1 Hipertensi ... 95
3.10.2 Diabetes Melitus ... 96
3.10.3 Gangguan Mental: Depresi dan Skizofrenia .. 96
3.10.4 Cedera: Studi Kasus di UGD 24 Jam Puskesmas Peudawa ... 100
3.11 Potret Penyakit Menular ... 104
BAB 4 ANEUK BAK ALLAH: DILEMA PROGRAM KELUARGA BERENCANA... 105
4.1 Pengantar ... 105
4.2 Hak-Hak Reproduksi ... 107
4.3 Kehamilan yang Tidak Diinginkan dan Aborsi ... 108
4.4 Status Sosial Perempuan ... 109
4.5 Kondisi Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Gender... 110
4.6 Unmet Need: Ketidakterpenuhinya Program KB: Studi Kasus di Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur ... 111
4.7 Perspesi Tentang Keluarga Besar: Studi Kasus Keluarga S ... 112
4.7.1. Aneuk Bak Allah (Anak itu Dari Allah) ... 112
4.7.2 Hidup-Mati Adalah Takdir ... 116
4.7.3 Setiap Anak Ada Rejekinya Masing-Masing .... 118
4.7.4 Kondisi Tempat Tinggal Keluarga S ... 119
4.7.5 Situasi Keseharian Keluarga S... 122
4.7.6 Kakak Membantu Mengasuh Adik ... 124
4.8 Penolakan Pada Program Keluarga Berencana (KB) .... 127
4.8.1 Alasan Menolak Program KB ... 127
4.9 Tentang Nilai Anak ... 129
4.9.1 Anak Sebagai Sumber Kebahagiaan ... 129 4.9.2 Anak itu Penerus Agama,
x
Untuk Memperbanyak Ummat ... 130
Penutup: Komunitas Versus Struktur ... 132
BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 135
5.1 Simpulan ... 135
5.2 Rekomendasi ... 138
DAFTAR PUSTAKA ... 140
INDEKS ... 143
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Demografi dan Jumlah PendudukKecamatan Peudawa,Kabupaten Aceh Timur, Propinsi Aceh
Tahun 2015 ... 22 Tabel 3.1. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan
Bulan Januari, 2015. ... 63 Tabel 3.2. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan
Bulan Februari, 2015. ... 63 Tabel 3.3. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan
Bulan Maret, 2015. ... 64 Tabel 3.4. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan April, 2015. ... 64 Tabel 3.5 Cakupan Imunisasi di Puskesmas Peudawa,
November, 2014. ... 84 Tabel 3.6. Cakupan Ketersediaan Jamban Per Desa,
Dalam Wilayah Kerja Puskesmas Peudawa, 2014. 85 Tabel 3.7. Rekapitulasi Kejadian Cedera
Akibat Kecelakaan Lalu Lintas,Januari-April 2015. 103 Tabel 4.1. Laporan KB Bulan Januari Tahun 2015 ... 106 Tabel 4.2. Jumlah Anak di atas 5 per KK ... 107
xiii DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Rumah Panggung ... 24
Gambar 2.2 Rumah di tepi sawah ... 24
Gambar 2.3 Suasana warung kopi malam hari ... 25
Gambar 2.4. Rumah, ternak, anak ... 27
Gambar 2.5. Sholat Jenazah... 31
Gambar 2.6. Seorang ibu di lading ... 32
Gambar 2.7. Remaja belajar mengaji ... 47
Gambar 3.1 Puskesmas Peudawa ... 67
Gambar 3.2. Imunisasi Pada Bayi Pada Saat Posyandu ... 82
Gambar 3.3. Situasi Posyandu Bulanan di Desa Paya Dua ... 89
Gambar 4.1. Keluarga Pak S ... 113
Gambar 4.2. Ayunan Putri di Panthe ... 121
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Umum Studi 1.1.1 Latar Belakang Studi
Dimensi budaya merupakan aspek amat penting dalam menentukan status kesehatan seseorang, masyarakat, dan bahkan suatu bangsa. Segala unsur dalam masyarakat termasuk perilaku kesehatan dipengaruhi oleh kebudayaan. Berbagai upaya dilakukan, namun masalah belum dapat diselesaikan dengan optimal karena masih ada faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan masyarakat belum disentuh.
Mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (al. kearifan lokal) akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Hal ini akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.
Suatu penelitian kesehatan dalam perspektif kebudayaan yaitu Riset Etnografi Kesehatan bertujuan menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Informasi ini menjadi penting agar kita tidak menjadi “tuna budaya” kesehatan bangsa kita sendiri.
Dengan mengetahui budaya setiap etnis diharapkan dapat membantu kelancaran dan keberlangsungan setiap program, karena sentuhan budaya sebagai katalisator atau pelumas intervensi atau perubahan. Semakin disadari budaya tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Karena itu riset tentang budaya kesehatan masyarakat dalam upaya peningkatan status
2
kesehatan sangatlah penting untuk dilakukan. Konsekuensi logis harus disadari bahwa beranekaragamnya budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang cermat untuk setiap daerah dengan etnis yang ada di wilayah tersebut. Pemahaman budaya secara spesifik, dengan menggali kearifan lokal akan dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara lokal spesifik.
Secara obyektif setiap kelompok masyarakat tertentu mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang di deritanya. Pencarian pengobatan dengan self treatment maupun upaya mencari tenaga kesehatan merupakan upaya manusia mengatasi permasalahannya.
Budaya masyarakat yang menjadi ciri khas pola kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi turun temurun, memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi kesehatan baik dari sisi negatif maupun positif. Memahami status kesehatan masyarakat berdasarkan budaya merupakan upaya salah satu upaya peningkatan status kesehatan itu sendiri.
Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya antara lain kepercayaan, pengetahuan, praktek atau perilaku mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali.
Survey Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 359/100.000 kelahiran hidup dan AKB 32/1.000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada
3
periode neonatus1. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goal/MDGs 2000) diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23/1000 kelahiran hidup.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan 95, 4% kelahiran mendapat pemeriksaan kehamilan atau Ante Natal Care (ANC). Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator K4. Cakupan K1 ideal secara nasional adalah 81,6%. Cakupan K4 secara nasional adalah 70,4%. Selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional terdapat 12% dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4)2.
Data Riskesdas menunjukkan prevalensi nasional gizi kurang pada balita (BB/U<-2 SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) meningkat lagi menjadi 19,6% (Tahun 2013). Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional 37,2% pada tahun 2013. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, terlihat dari kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25,5% (2007) menjadi 34,3% (2013). Gizi lebih teridentifikasi semenjak usia balita sebesar 11,9%. Menurut indikator IMT>25 terlihat prevalensi obesitas pada laki-laki 19,7% dan perempuan 32,9%3.
1
Badan Pusat Statistika. Survey Demografi Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas. 2012
2
Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014
3 Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010”. Jakarta: Badan
4
Data tentang penyakit menular menurut Riskesdas menunjukkan penurunan angka period prevalence diare dari 9,0% tahun 2007 menjadi 3,5% pada 2013. Terjadi kecenderungan yang meningkat untuk period prevalence pneumonia semua umur dari 2,1% (2007) menjadi 2,7% (2013). Prevalensi TB paru masih di posisi yang sama untuk tahun 2007 dan 2013 yaitu 0,4%. Terjadi peningkatan prevalensi hepatitis semua umur dari 0,6% (2007) menjadi 1,2% tahun 20134.
Data Riskesdas terkait penyakit tidak menular menunjukkan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah menunjukkan penurunan dari 31,7% tahun 2007 menjadi 25,8% tahun 2013. Prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (pernah didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) terjadi peningkatan dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5% tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke berdasarkan wawancara (pernah didiagnosis nakes dan gejala) juga meningkat dari 8,3/1.000 (2007) menjadi 12,1/1.000 (2013). Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 % (2007) menjadi 2,4% (2013)5.
Indikator PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan oleh tenaga kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih, dan memberantas jentik nyamuk). Data Riskesdas 2010 menunjukkan setahun sebelum survei, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Namun ada kesenjangan antara perdesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Namun hanya 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2%
4Ibid.
5 Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan
5
melahirkan di rumah. Persalinan di rumah sebanyak 51,9% ditolong bidan dan masih ada 40,2% yang ditolong dukun bersalin6.
Hasil temuan Riset Etnografi Kesehatan 2012 dan 2014 di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan terkait budaya kesehatan. Kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.
Disamping itu ibu hamil harus tetap bekerja ‘keras’ agar proses persalinannya lancar dan tidak bermasalah dan tidak bermasalah. Keharusan untuk tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Mereka beranggapan bahwa ibu yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan di rumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui keluarga. Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan.
Sembilu (betop) masih digunakan untuk potongtali pusat di beberapa daerah penelitian antara lain Kab. Sampang, Manggarai, Murungraya, Gayo lues, Bantul, Seram Bagian Timur, Toraja Utara, Mamasa dan Pengunungan Bintang (Kemenkes 2012)7.
6
Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014.
7 Kemenkes RI. “Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012”.
Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes. 2012.
6
Penggunaan ramuan yang berasal dari berbagai tumbuhan, baik yang diminum, dibalurkan ke badan maupun yang dimasukkan ke luang vagina, juga dipercaya dapat mempercepat kesembuhan dan mengeringkan vagina ibu setelah melahirkan. Selain itu kebiasaan pijat baik pada ibu paska melahirkan maupun pada bayi yang baru lahir dengan air dingin, di sungai, danau atau sumber air lain, akan menjadikan bayi lebih kuat baik fisik maupun mentalnya. Namun hal ini akan beresiko terhadap kesehatan bayi yaitu terjadinya hipotermi8.
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni ratusan suku bangsa dengan berbagai ragam budaya telah memberikan suatu kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat khususnya masyarakat tradisional tercermin dari perilaku mereka memanfaatkan kekayaan intelektual masyarakat lokal berupa pengetahuan tradisional mereka dan keanekaragaman hayati di lingkungannya. Praktek budaya terkait kesehatan tersebut sebagian diklaim oleh orang-orang dengan pengetahuan “modern” sebagai salah satu penyebab buruknya status kesehatan masyarakat setempat. Etnik Asmat menganggap penyakit kusta sebagai penyakit kulit biasa sehingga tidak berupaya melakukan pengobatan secara konvensional. Para penderita kusta hidup berbaur dengan masyarakat lain dan tidak ada pengucilan. Hal ini dapat menjadi sumber penularan kusta dalam masyarakat. Hal ini diperparah dengan kondisi sanitasi yang kurang baik9. Pencarian pengobatan pada dukun untuk penyakit-penyakit TB biasa dilakukan etnik Gorontalo di Kabupaten
8
Kemenkes RI. “Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012”. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes. 2012.
9 Tumaji, Arianto, N.T., Rizky, A., Soerachman, R., “Nomphoboas yang Mengganas di
Mumugu. Etnik Asmat, Kabupaten Asmat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014.
7
Boalemo10,sedangkan kepercayaan masyarakat tentang penyakit TB berpengaruh pada keterlambatan pengobatan TB pada etnik Sumba di Kabupaten Sumba Timur11.
Dukun bayi masih berperan dalam menolong persalinan pada etnik Aceh (Kab. Aceh Barat), Baduy Dalam (Kab. Lebak), Kaili Da’a (Kab. Mamuju Utara), dan Melayu Jambi (di Kab. Sarolangun)12. Anggapan darah persalinan perempuan membuat kotor dan membawa bala dipercaya oleh etnik Muyu di Kab. Boven Digul13. Pada etnik Jawa di Kab. Cirebon, terdapat tradisi oyog bagi ibu hamil yang menurut persepsi masyarakat setempat, tradisi ini bermanfaat untuk mengurangi berbagai keluhan pada kehamilan, memberikan keyakinan bahwa persalinan akan lancar, dan memberikan kenyamanan dan rasa tenang14.
Pada Etnis Laut di Kab. Indragiri Hilir kasus kematian bayi yang tinggi disebabkan oleh kepercayaan bahwa penyakit yang menyerang disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan tekene yang disebabkan
10 Ningsi, Ngeolima, R., Hamzah, S., Handayani, L. Rekam Jejak Terengi. Etnik
Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB.
2014.
11 Dwiningsih, S., Mulyani, S., Kawarakonda, S., Roosihermiatie, B. Belenggu Apung.
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta:
LPB. 2014.
12
Afreni M., Amaliani, T., Rizaldi, Rahanto,S. Kesembuhan Mulia Mamoh Ranub.
Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta:
LPB. 2014.
13
Laksono, A.D., Faizi, K., Raunsay, E., Soerachman, R. Perempuan Muyu dalam
Pengasingan. Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel. Buku Seri Etnografi Kesehatan
2014. Jakarta: LPB. 2014.
14 Yuhandini, D.S., Karlina, Suratmi, Subarniati, R,. Suharmiati. Goyangan Lembut
Jemari Dukun Bayi, Oyog. Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon. Buku Seri Etnografi
8
mahluk gaib. Pengobatan dilakukan oleh dukun atau pengobat tradisional dengan cara-cara tradisional yang beresiko menambah parahnya penyakit15.Dewa Sangiang dipercaya oleh etnik Dayak Ngaju di Kab. Kapuas sebagai penolong masyarakat yang terkena sakit atau masalah yang lain. Ritual untuk memanggil roh Dewa Sangiang bertujuan untuk menyembuhkan pasien dilakukan oleh pengobat tradisional (lasang), dukun (yang menjadi perantara antara sangiang dan pasien)16.
Hasil riset tersebut di atas menggambarkan bahwa banyak modal sosial yang dimiliki masyarakat dari berbagai suku yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesehatan. Menurut Bank Dunia (2011) dalam Rocco & Suhrcke (2012), modal sosial bukan hanya sejumlah gabungan dari institusi dalam masyarakat namun merupakan perekat yang mengikat keseluruhan tersebut yang dapat menghasilkan luaran sosial dan/atau ekonomi yang menguntungkan. Koordinasi akan muncul mengikuti keuntungan-keuntungan potensial yang ada, kemudian diikuti munculnya kepercayaan dalam interaksi sosial yang terwujud17.
Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapai derajat kesehatan masyakarat setinggi-setingginya.
15 Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. Tangis Budak dari Negeri
Seirbu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan
2014. Jakarta: LPB. 2014.
16
Kurniawan, S.A., Hartatik, F.S., Jeniva, I., Putro, G. Tetesan Danum Tawar di Dusun
Seribu Akar. Etnik Dayak Ngaju, Kabupaten Kapuas. Buku Seri Etnografi Kesehatan
2014. Jakarta: LPB. 2014.
17
Rocco L, Suhrcke M. Is social capital good for health? A European perspective. Copenhagen, WHO Regional Office for Europe. 2012.
9
Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalam termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya.
Strategi pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam rencana pengembangan jangka panjang bidang kesehatan tahun 2005 – 2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan perintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah potensi spesifik daerah termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial)18.
Masalah kesehatan terkait sosial budaya masyarakat menjadi permasalahan yang memerlukan suatu kajian lebih mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan etnis tertentu. Wujud budaya dapat berupa suatu ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya, yang sering diistilahkan sebagai adat istiadat. Wujud budaya yang lain berupa sistem sosial yaitu aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud budaya bisa pula berupa bentuk benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan di foto yaitu hasil fisik dari aktifitas, perbuatan dan karya seperti alat sunat, alat penumbuk jamu, dan lain sebagainya. Wujud budaya tersebut merefleksikan budaya dan identitas sosial dari masyarakatnya. Pengembangan atau inovasi dengan pelibatkan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
10
tersebut melalui suatu intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya.
Mempersiapkan generasi penerus yang tangguh demi kesejahteraan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama, dan harus diprioritaskan pemeliharaan kesehatan sejak dalam kandungan sampai remaja. Permasalahan kesehatan seringkali merupakan masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat yang perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga dapat segera dilakukan perbaikan atau diberdayakan bagi budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lokal bahkan bila memungkinkan secara nasional.
Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program-program kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami apa yang berlaku di masyarakat.
Masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga perlu dilakukan perbaikan atau diberdayakan bagi budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan dan dimanfaatkan secara lokal bahkan bila memungkinkan secara nasional. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan.
11
Permasalahan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Peudawa, Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur cukup kompleks. Permasalahan tersebut meliputi; ketidakberjalanannya program KB (Keluarga Berencana yang berhubungan nantinya dengan kejadian status gizi bayi yang kurang hingga balita, ketidaktersediaan jamban sehat dan perilaku buang air besar sembarangan, ketidaktercapaian imunisasi lengkap bagi bayi dibawah usia 1 tahun, pelonjakan kekambuhan dan kasus baru penderita skizofrenia, serta permasalahan lain yang tercakup dalam empat aspek; kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta perilaku hidup bersih dan sehat.
Tematik yang dipilih pada penelitian ini adalah ketidakberjalanannya program KB. Pemilihan tematik ini dikarenakan meratanya kasus PUS (Pasangan Usia Subur) yang tidak menjalankan program KB. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya jumlah anak diatas 5 anak yang merata di setiap desa19. Hal tersebut dikategorikan sebagai Pasangan Usia Subur yang beresiko tinggi atau PUS 4T (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, terlalu dekat). Hal tersebut beresiko berdampak pada status KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Hal ini dianggap penting untuk digali pada saat penelitian.
Mengapa tematik ini dipilih?, dari survey awal penelitian ditemukan permasalahan keengganan WUS (Wanita Usia Subur) yang telah menikah untuk menggunakan jenis KB di Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur. Sehingga saat ini telah terdapat kasus yaitu seorang ibu hamil 18 kali dengan status gizi yang dilahirkan dan balitanya berada di BGM (Bawah Garis Merah) yang kondisinya selalu dipantau oleh pihak Puskesmas.
Studi tematik ini akan menjadi fokus studi tanpa mengenyampingkan topik kesehatan lainnya. Studi tematik ini akan terus digali secara mendalam selama penelitian yang ditinjau dari
12
emik (perspektif subyek penelitian) dan etik (perspektif peneliti). Dengan adanya studi tematik ini diharanpkan dapat menjadi potret kesehatan yang dapat menjadi sorotan para pemangku kesehatan untuk nantinya diberikan intervensi kesehatan. Sehingga problematika kesehatan yang berasal dari kebudayaan ini dapat dicarikan solusi yang bermakna. Berdasarkan hal tersebut di atas maka Etnik Aceh Timur yang menetap di wilayah Kecamatan Peudawa dipilih menjadi lokasi penelitian.
Pertanyaan pada penelitian ini adalah 1) bagaimana konteks sosial budaya pada etnik Aceh Timur; 2) bagaimana konteks situasi kesehatan yang meliputi kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta perilaku bersih dan sehat; 3) bagaimana keterkaitan antara unsur budaya dengan permasalahan kesehatan yang ditemukan dan akan dijadikan tematik pada studi ini.
1.1.2 Tujuan Studi
Tujuan dari studi ini adalah untuk 1)memperoleh gambaran tentang konteks sosial budaya pada etnik Aceh Timur; 2) memperoleh gambaran konteks situasi kesehatan yang meliputi kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta perilaku bersih dan sehat; 3) memperoleh gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat yang mempunyai keterkaitan denganketidakberjalanannya program keluarga berencana (KB) di wilayah kerja Puskesmas Peudawa, Kab. Aceh Timur; 4) menyusun rekomendasi berdasar kearifan lokal untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan terkait program KB (Keluarga Berencana).
1.1.3 Batasan Studi
Studi yang dilaksanakan dalam waktu 35 hari (27 April – 31 Mei 2015) ini mengambil subyek penelitian Etnik Aceh Timur yang tinggal atau menetap di Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Banda Aceh.
13
Aceh Timur merupakan Kabupaten yang memiliki Indeks Pembangunan Kesehatan Masyakarat (IPKM) 2013 yang rendah yakni 42,15%, dengan ranking nasional 463/497 dan dalam ranking provinsi 23/2320.
Wilayah kajian dari studi ini, sebagai dijelaskan dalam ruang lingkup masalah studi, yakni Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM), dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Hanya saja, keempat item yang dimaksud, tidak dijelaskan secara keseluruhan dan mendetail dalam buku ini. Hal ini dilakukan karena studi ini dikhususkan membaca secara spesifik dan utuh bagian-bagian tertentu dari keempat wilayah kajian dimaksud.
1.1.4 Metode
Mengutip Koentjaraningrat dalam Bungin, istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi. Etnografi merupakan hasil-hasil catatan penjelajah Eropa tatkala mencari rempah-rempah di Indonesia. Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut21.
Barnard (2004) menyatakan bahwa rancangan penelitian etnografi memaparkan uraian terperinci dan mendalam tentang budaya sebuah komunitas atau masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Uraian tersebut berfungsi untuk meningkatkan pemahaman tentang budaya dan mendefinisikan esensi sifat manusia yang terpengaruh oleh keberadaan budaya22.
Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan dengan desain eksploratif menggunakan metode etnografi. Dalam metode etnografi, peneliti langsung terjun ke lapangan mencari data melalui
20
Kemenkes RI. “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”. Jakarta. Badan Litbang Kesehatan. 2014.
21 Bungin, B. “Analisis Data Penelitian Kualitatif” 22
Ahimsa Putra, S.H., “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya” dalam
14
informan. Etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas23.
Kerangka konsep disusun berdasar teori Blum tentang status kesehatan dan unsur-unsur budaya dari Koentjaraningrat. Kerangka konsep yang digunakan dalam mempelajari status kesehatan dipengaruhi oleh: perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya. Terkait dengan tujuan penelitian yang akan mengkaji budaya kesehatan, maka tujuh unsur budaya merupakan kajian pokok untuk menggali budaya setempat yaitu: 1) alam, kedudukan dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi ; 4) sistem pengetahuan; 5) sistem mata pencaharian; 6) sistem religi; dan 7) kesenian24.
Selain mengeksplorasi unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan kesehatan, akan dipelajari juga peran pelayanan kesehatan konvensional dalam mempengaruhi perilaku sehat untuk meningkatkan status kesehatan.
Jenis data ada 2 macam, yakni data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi dari wawancara mendalam dengan informan kunci yang dipercaya informasinya untuk memperkaya data primer. Kemudian data sekunder berupa laporan bulanan Puskesmas terkait empat aspek kesehatan yakni kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Sumber informasi yakni informan yang meliputi masyarakat masyarakat yang terlibat secara budaya dan berpengaruh, dan semua orang yang dapat memberikan informasi terkait dengan topik penelitian ini maupun petugas kesehatan.
23 Bungin, B. “Analisis Data Penelitian Kualitatif”
24 Laksono, A.D., Faizi, K., Raunsay, E., Soerachman, R. Perempuan Muyu dalam
Pengasingan. Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel. Buku Seri Etnografi Kesehatan
15
Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi partisipatoris), wawancara mendalam, dan dokumentasi serta penelusuran referensi dan data sekunder. Observasi partisipatoris akan dilakukan di lokasi yang telah ditentukan berdasar masukan dari informan utama. Selain itu ditetapkan keluarga yang akan menjadi sumber informasi lebih mendalam dan diharapkan peneliti bisa menumpang hidup di keluarga tersebut selama penelitian berlangsung.
Cara analisa data menggunakan metode deskripsi, interpretasi fungsi dan makna emik dan etik, melakukan analisis keterkaitan dari data yang ditemukan, komparasi data sekunder dan data primer serta triangulasi data dengan diskusi temuan internal tim.
1.1.5 Keterbatasan Studi
Pada penelitian ini tidak seluruh desa yang berada di Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur diteliti oleh peneliti. Peneliti hanya meneliti lokasi penelitian yang direkomendasikan oleh pihak Puskesmas. Kemudian peneliti pun mengalami keterbatasan waktu pengumpulan data, sehingga terdapat paparan yang tidak begitu mendalam ataupun paparan yang tidak komprehensif, sedangkan banyak sekali permasalahan kesehatan di Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur. Keterbatasan internal peneliti pun ada, karena penelitian ini merupakan pengalaman pertama peneliti, sehingga peneliti masih meraba-raba pola pencarian data di lapangan. Namun hal positifnya, peneliti menjadi memahami kekurangan sehingga dapat menemukan dan menganalisis pola pengumpulan data yang efektif di lapangan.
1.2 Kajian Terdahulu
Studi tentang Etnik Aceh telah dilakukan sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya :
16
Mufida Afreni25dengan judul Mamoh Ranub Kesembuhan Mulia Etnik Aceh Barat. Hasil penelitian yang diterbitkan oleh lembaga penerbitan Balitbangkes di tahun 2014 ini mengkaji tentang perilaku kesehatan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya dan bersalin di dukun bayi. Serta penggunaan daun sirih sebagai herbal untuk pengobatan tradisional di Etnik Aceh Barat.
Tesis pada Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011 oleh Putri Santy26dengan judul KDRT yang diterima oleh wanita dan kebutuhan pada layanan KB yang belum terpenuhi di Kota Banda Aceh. Tentang kondisi sosial yang mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi pada wanita. Terjadi diskriminasi gender dan stigma yang buruk dari masyarakat apabila seorang ibu ingin memberi jeda waktu kelahiran dari anak pertama, kedua, dan seterusnya. Terdapat temuan pada 35 wanita (25,36%) tidak mendapatkan kesempatan untuk memberi jeda kelahiran anak. Wanita tidak mendapatkan otonomi yang baik dalam urusan rumah tangga. Ketidakterpenuhinya program KB dikarenakan adanya tindak kekerasan pada wanita meliputi kekerasan psikologis, seksual, ekonomi, hingga fisik. Wanita mengaku tidak mempunyai kesempatan dalam pengambilan keputusan dalam penggunaan alat kontrasepsi, sehingga kehamilan yang tidak diinginkan pun terjadi.
1.3 Sistematika Buku
Selanjutnya, di bagian ini pula akan dideskripsikan mengenai struktur/isi buku. Buku ini terdiri atas enam bab dengan beragam topik di masing-masing babnya. Meskipun demikian, deskripsi dan analisis yang dilakukan tetap dalam ruang lingkup kajian dan tidak
25
Afreni M., Amaliani, T., Rizaldi, Rahanto,S. Kesembuhan Mulia Mamoh Ranub.
Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta:
LPB. 2014.
26
Santy, P. “KDRT yang diterima oleh wanita dan kebutuhan pada layanan KB yang
17
sama sekali keluar dari wilayah studi yang direncanakan. Keenam bab atau bagian tersebut dideskripsikan secara umum sebagai berikut:
Bab 1 menjelaskan tentang gambaran umum atas studi yang dilakukan, latar belakang, masalah dan tujuan studi, serta batasan-batasan studi. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan masalah desain studi, wilayah kajian, keterbatasan studi, kajian studi terdahulu serta sistematika buku.
Bab 2 menjelaskan tentang sejarah, asal-usul, serta perkembangan yang terjadi pada masyarakat Etnik Aceh Timur. Pada bagian ini akan dijelaskan perihal genealogi, asal-usul, suku bangsa, bahasa, serta prinsip hidup yang menonjol bagi orang Aceh Timur.
Bab 3 menjelaskan tentang potret dan dinamika budaya kesehatan yang berlaku pada masyarakat Etnik Aceh Timur. Pada bagian ini dijelaskan masalah konsep sehat-sakit Etnik Aceh Timur yang juga akan diperbandingkan dengan beberapa Etnik lain yang berada di wilayah Aceh. Selain dan itu dipaparkan juga tentang pengobatan tradisional serta modern, dan juga perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat Etnik Aceh Timur.
Bab 4 menjelaskan secara lebih mengenai tematik yang diangkat yakni problematika KB yang ditinjau dari segi budaya dan emik (perspektif informan) dan etik (perspektif peneliti). Pengambilan data tematik ini menggunakan desain life history ibu dengan 18 kali kehamilan. Ibu sebagai informan kunci, dilanjutkan dengan pandangan suami, masyarakat setempat maupun tokoh adat dan tenaga kesehatan.
Bab 5 menjelaskan tentang catatan peneliti terhadap keseluruhan isi buku yang dirangkum dalam beberapa kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut peneliti mencoba melemparkan rekomendasi yang disesuaikan dengan kondisi yang spesifik lokal untuk menjamin fisibilitas dari implementasi rekomendasi yang diajukan.
18
BAB 2
KONTEKS WILAYAH PENELITIAN 2.1 Sejarah
Ada tiga peristiwa yang hampir selalu diceritakan masyarakat desa-desa di kecamatan Peudawa ketika kita bertanya tentang sejarah mereka, yakni;1) Sejarah perang Aceh melawan Belanda, 2) sejarah konflik dengan NKRI, 3) dan peristiwa tsunami. Ketiga peristiwa itu seperti sudah menjadi ingatan bersama yang menyertai identitas mereka sebagai orang Aceh.
Banyak sejarawan sudah menulis tetang Perang Aceh, yakni perang antara Kesultanan Aceh melawan Belanda yang berlangsung pada tahun 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh digambarkan sebagai kekuatan yang didasari pada semangat jihad telah memberikan perlawanan yang sengit. Akan tetapi perang yang berlangsung sekitar 80 tahun itu kemudian dirasakan semakin merugikan kehidupan masyarakat, maka akhirnya Sultan Aceh secara resmi menyatakan menyerah kepada Belanda. Meski demikian, para tengku/ulama dari wilayah pantai timur Aceh (dengan demikian termasuk juga wilayah Peudawa) menolak untuk ikut menyerah, mereka melanjutkan perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya.
Sejarawan Belanda Zentgraaff (1938) mengisahkan bawa pihak kesultanan, melaui Panglima Polim dan kawan-kawan, sudah berusaha menyurati para tengku dan ulama agar ikut meletakkan senjata, dan mulai membangun kembali tatanan masyarakat berdasarkan syariat. Pihak Belanda sendiri, atas saran dari antropolog Snuock Hurgronje sudah mengubah srategi mereka dalam menguasai Aceh. Belanda tidak akan melarang syariat islam, akan tetapi berupaya mengubah orientasi syariat itu: semula sebagai dasar perjuangan/jihad, menjadi sekedar sebagai alat kontrol internal masyarakat Aceh sendiri.
Akan tetapi tetap saja ajakan menyerah itu ditolak, terutama oleh ulama-ulama di Tiro. Belanda kemudian memfokuskan
19
gempurannya pada gerakan rakyat ini, bukan lagi pada Kesultanan Aceh. Dengan begitu perlawanan terus berlanjut: laki-laki, perempuan, tua muda maju bersama ke medan laga. Wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda sepenuhnya, Situasi ini berlanjut sampai Belanda meninggalkan Nusantara seiring kedatangan penjajah baru yakni tentara Jepang.
“Gampong-gampong di sini sudah ada sejak jaman kesultanan Aceh, bahkan sudah sejak kerajaan Kerajaan Peureulak, lalu berkembang pada jaman Samudera Pasai”. Demikian disampaikan oleh pak Samanudin, seorang Tuha Peut gampong Payadua. Masih menurut pak Samanudin, pada zaman kesultanan, wilayah Peudawa secara resmi dikuasakan pada Ulèëbalangyaitu golongan bangsawan dalam masyarakat yang memimpin sebuah kenegrian atau nangroe (wilayah setingkat kabupatendalam struktur pemerintahan sekarang). Ulee balang digelari dengan gelar teuku untuk laki-laki atau cutuntuk perempuan. Uleebalang, ditetapkan oleh adat secara turun-temurun. Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan.
“Di kota Idi (7 km dari Peudawa) masih ada keturunan uleebalang, ada juga peninggalan berupa makam bangsawan. Beberapa tahun yang lalu di sana masih ada rumah besi yg berbentuk rumoh Aceh (rumah adat Aceh) yang besar, tapi sudah dibongkar waktu konflik awal tahun 2000.an”; terang pak Samanudin.
Pada masa kemerdekaan RI, akibat perlakuan pemerintah Ri yang dinilai tidak adil, maka perang rakyat Aceh melawan Belanda seolah bertranformasi menjadi semangat memisahkan diri dari NKRI. Pada tahun … Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah RI. Saat itu wilayah Peudawa dan Peurleuk adalah kawasan yang sangat rawan. Kedua kecamatan ini selalu diidentikan sebagai basis Gerakan Aceh Medeka (GAM), atau dalam bahasa Pemerintah Ordebaru: Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), sehingga mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pihak TNI. Kontak senjata sering terjadi di desa-desa di wilayah kecamatn
20
tersebut. Banyak orang yang tidak tahu apa-apa tetapi menjadi korban konflik. Seperti dituturkan oleh ibu Dariah berikut:
“Suami saya waktu itu pekerjaannya berjualan buah-buahan. Waktu dia pulang dari kota Idi, di jalan dia dicegat oleh TNI, lalu KTPnya diminta. Di KTP itu tertulis alamatnya dari Pedawa dia langsung dipukul oleh TNI. Beberapa hari kemudian meninggal. Tidak lama setelah itu TNI mendatangi gampong kami untuk mencari GAM. Saya dibilang sebagai istri GAM, rumah saya dibakar, saya lari ketakutan sampai terjatuh. Sapi saya juga ikut lari, waktu saya jatuh mata saya diinjak-injak sapi, sampai sekarang mata saya buta sebelah. Setelah selamat dari TNI saya ditolong orang gampong. Sesudah itu saya ikut merantau ke Malaysia, sampai keadaan damai saya baru berani pulang ke Aceh”.
Banyak juga pemuda dari wilayah kecamatan Peudawa yang kemudian begabung dengan GAM. Mutaha, seorang pemuda dari desa Payadua mengaku bahwa dirinya dan 25 orang pemuda lain dari desa itu juga terdorong untuk menjadi tentara GAM. Mereka dilatih secara militer selama 9 bulan di perbukitan. Setelah itu mereka ikut dalam pasukan menghadapi TNI. Kepada kami, Mutaha sempat memperihatkan bekas luka tembak yang dialaminya pada punggung atas bagian kanan. Dari 26 orang pemuda yang terlibat GAM itu, 10 orang tidak pernah kembali lagi hingga sekarang. “Itu belum termasuk pemuda-pemuda dari desa-desa lain, banyak yang mati di hutan-hutan”, kenangan Mutahar yang sekarang berusia 30 tahun, sudah beristri dan memiliki dua anak laki-laki.
Tanggal 26 Desember 2004 sebagian wilayah Aceh terkena gempa besar dan tsunami. Wilayah Peudawa tidak termasuk kawasan yang terampak serius, hanya beberapa rumah yg terletak di tepi pantai yang terimbas luapan air laut. Akan tetapi banyak moment pasca bencanan alam itu kemudian ikut mempengaruhi kehidupan warga desa-desa di Peudawa. Hal ini tergambar dari pernyataan pak Ilyas berikut:
21 “Waktu itu banyak bantuan yang masuk dari mana-mana, termasuk dari luar negeri. Warga desa sini juga ada yang ikut bekerja di LSM asing untuk program bantuan perumahan. Setiap hari ramai orang asing, apalagi wilayah Peudawa ini ada di lintasan jalan raya Medan-Banda Aceh”.
Peristiwa tsunami telah membuka era baru di Aceh. Banyak warga di desa percaya bahwa tsunami itu bersar hikmahnya bagi orang Aceh, seperti yang disampaikan oleh pak Rokib, seorang pemilik warung kopi di Paya Bili Dua:
“Bertahun-tahun Aceh ini konflik, baru setelah ada tsunami-lah bisa berdamai. Memang bencana alam itu makan banyak korban, tapi semua kehendak Allah pasti ada hikmahnya. Bantuan juga datang dari mana-mana, kita juga jadi ketemu dan kenal banyak orang baru dari mana-mana itu”.
Pasca tsunami banyak warga yang merasa semakin yakin akan masa depan Aceh yang lebih baik. Keyakinan mereka pada kebesaran Allah semakin kuat. Bahwa segala sesuatu adalah takdir, hidup dan mati, bencana dan kurnia, semua harus diterima dengan sabar dan syukur. Sikap yang menyesali atau meratapi nasip dianggap sebagai sikap yang tidak mensyukuri rahmat Allah. Benarlah bahwa pasca tsunami, Aceh memasuki era damai, yang diawali dengan perjanjian Helsinki (tahun 2005). Banyak orang yang semula mengungsi ke berbagai tempat, termasuk Malaysia, kembali ke gampong masing-masing. Mereka berusaha membangun kembali kehidupan mereka yang sempat porak-poranda akibat konflik. Desa-desa di Peudawa kembali ramai, meski tidak semua orang bisa benar-benar kembali pada kehidupan semula. Banyak warga yang sudah kehilangan rumah dan harta benda akibat rumahnya terbakar. Akan tetapi secara umum keadaan berangsur-angasur membaik.
22
2.2 Geografis dan Kependudukan
Wilayah kecamatan Peudawa pada sebelah timur berbatasan dengan Peureulak Barat, sebelah barat berbatasan dengan Idi Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Ranto Peureulak, dan sebelah utara berbatasan dengan Laut Selat malaka.Secara umum wilayah kecamatan Peudawa merupakan dataran rendah, perbukitan, sebagian berawa-rawa dan hutan mangrove, dengan ketinggian berada 0-308 m diatas permukaan laut.
Wilayah ini dibelah oleh sungai Peudawa yang bermuara di desa Kuala Peudawa. Pada musim hujan, sungai ini kadang-kadang meluap sehingga menyebabkan rumah-rumah di sekiratnya tergenang. Pada bulan desember tahun 2014 luapan sungai Peudawa sempat memakan korban, yakni seorang anak berusi 8 tahun warga Meunasah Krueng, hanyut terbawa arus.
Kecamatan Peudawa dilintasi jalan raya yang menghubungkan kota Banda Aceh dengan kota Medan. Beberapa desa yang berada di kiri-kanan jalan ini, seperti Gampong Kude dan Meunasah Krueng, terlihat lebih ramai, terdapat pasar ikan, perkantoran pemerintah, kantor polisi, dan markas Koramil. Di sisi jalan raya itu terdapat pula banyak warung kopi yang biasa menjadi tempat nongkrong kaum laki-laki.
Desabagiorang Aceh disebut gampong. Setiap gampongterdiri atas kelompok rumah yang letaknya saling berdekatan dan setiap desa mempunyai sekitar 100-200 buah rumah. Desa merupakan pusat kehidupan masyarakat, yang termasuk ke dalam masyarakat hukum territorial yang terkecil. Kecamatan Peudawa terdiri dari 17 gampong:
Tabel 2.1 Demografi dan Jumlah Penduduk
No Nama Gampong Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Gampong Keude 992 1029 2021
2. Snb. Puenteut 615 660 1275
23 4 Kuta Baro 176 168 344 5 Blang Buket 177 166 343 6 Snb. Teungoh 219 191 410 7 Asan Rampak 138 152 290 8 Kuala Peudawa 218 202 420 9 Alue Ie Itam 428 413 841 10 Matang Rayeuk 235 220 455 11 Sama Dua 219 226 445 12 Paya Dua 835 880 1715 13 Paya Bili Sa 104 99 203
14 Paya Bili Dua 185 167 352
15 Alue Batee 113 112 225
16 Blang Kuta 326 321 647
17 Buket Kuta 670 607 1277
Sumber: Profil Puskesmas Peudawa Tahun 2015 2.3. Kondisi Tempat Tinggal Penduduk
Sebagian besar rumah penduduk terbuat dari kayu atau papan. Ada yang beratap seng ada juga yang terbuat dari daun rumbia yang dianyam dan kebanyakan mempunyai daya tahan sampai 20 tahun. Rumah itu biasanya berbentuk bujur sangkar dan menghadap ke jalan desa. Tiang-tiang rumah terbuat dari kayu yang telah dijadikan balok-balok, sementara lantai terbuat dari semen.
Di tempat-tempat yang tidak jauh dari sungai atau pantai masih banyak dijumpai rumah panggung, yakni rumah yang didirikan di atas tiang kayu. Rumah panggung biasanya sudah terlihat tua tapi cukup artistik, sebagian besar adalah warisan dari keluarga terdahulu. Rumah panggung yang berlantaikan kayu itu dahulu tujuannya untuk menghindarkan diri dari gangguan binatang. Rumah-rumah yang berlokasi di pinggir jalan raya umunya sudah terbuat dari batu bata dan berdisain modern.
24
Gambar 2.1. Rumah Panggung Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015
Rumah-rumah didirikan berjejer, dan bagi orang yang memiliki hubungan kekerabatan rumahnya dibangun bersebelahan, dan kadang-kadang dibatasi pagar dari bambu. Setiap rumah mempunyai halaman yang ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan berguna yang bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tanaman yang umum tumbuh di halaman depan dan belakang adalah kelapa, pisang, nanas, dan sayur-sayuran.
Gambar 2.2.Rumah di tepi sawah Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015
Rumah-rumah di Peudawa kebanyakan hanya “ditempati” pada malam hari. Selama siang hari orang-orang lebih banyak berada di luar rumah. Pagi hari kaum laki-laki sebelum berkatifitas biasa nongkrong di warung kopi yang ada sekitar rumah mereka. Di sana
25
mereka menghabisakan waktu sekitar satu sampai dua jam untuk mengobrol dengan tetangga. Bagi warga yang sawahnya tidak jauh dari rumah, akan lebih sering menghabiskan watunya di warung kopi karena setelah satu-dua jam bekerja mereka akan beristirahat di warung itu untuk menghabiskan secangkir kopi dan beberapa batang rokok, setelah itu kembali berkatifitas, begitu seterusnya hingga sore atau malam hari.
Hampir semua laki-laki adalah perokok dan minum kopi. Dengan demikian warung kopi hampir tidak pernah sepi. Selain itu dapat dikatakan warung kopi itu adalah pusat informasi dan komunikasi warga desa. Di sana mereka bertukar pikiran atau sekedar ngobrol tentang banyak hal, mulai dari yang remeh-temeh hingga yang agak serius, misalnya tentang pekerjaan sehari-hari, tantang batu akik yang sedang nge-trend, hingga tentang ilmu agama dan gosip-gosip politik. Jika ada orang yang akan mengadakan pesta atau hajatan, seperti perkawinan dan sunat rosul (khitan), surat undangan cukup dititipkan di warung kopi, nanti orang yang datang akan memilih sendiri surat undangan yang sesuai nama dirinya.
Gambar2.3.Suasana warung kopi malam hari Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015
Sementara kaum ibu setelah menyelesaikan tugas rumah tangga biasanya akan kumpul-kumpul di panthe’, yakni semacam bale-bale bambu/kayu yang diberi atap (cakruk dalam bahasa jawa) yang biasa dibuat di depan rumah mereka. Anak-anak yang masih balita
26
juga bermain-main di sekitar tempat itu. Ibu-ibu yang memilik bayi biasa menyuapi makan anaknya di tempat itu. Tamu yang datang dari jauh pertama-taman juga akan diterima di panthe’. Umumnya tamu laki-laki akan diterima oleh laki-laki, tamu perempuan akan diterima oleh perempuan. Kadang-kadang tamu laki-laki akan diajak tuan rumah untuk ngopi di warung terdekat.
Sebagian besar rumah di Peudawa memiliki halaman yang cukup luas. Banyak halaman itu terlihat bersih dan terawat. Ini berbeda dengan kondisi sebagian rumah yang terlihat kurang diperhatikan kerapihan dan kebersihannya. Hal ini terjadi karena rumah jarang ditempati, sementara halaman itu adalah “ruang’ utama tempat bertemu tetangga atau tamu.
Bagian dalam rumah biasanya terdiri dari ruang depan, kamar tidur dan dapur. Akan tetapi tiap ruang tidak memiliki fungsi yang baku. Kadang-kadang orang bisa tidur di ruang depan sambil nonton televisi, sementra di kamar tidur banyak terdapat macam-macam barang atau peralatan yang campur baur dengan pakaian. Dapur selain sebagai tempat memasak, juga tempat menyimpan peralatan kerja seperti jala, pancing dan bubu, juga cangkul dan parang. Hampir setiap ruang memiliki jendela, kecuali dapur kadang-kadang tidak dilengkap jendela yang memadai.
Kecuali di desa Samadua, banyak rumah di kecamatan Peudawa yang belum memilki kamar mandi dan jamban permanan. Kamar mandi yang ada biasanya berdindingkan daun kelapa beserta pelepahnya yang disusun secara vertikal, dan tidak memiliki daun pintu dan atap. Di dalamnya terdapat sebuah sumur dan aneka perlengkapan mandi dan mencuci. Untuk keperluan buang air besar, warga yang belum memiliki jamban biasa melakukannya di kebun, sungai atau pantai yang terletak beberapa puluh meter di belakang rumah masing-masing.
Hampir semua warga memiliki hewan peliharaan berupa beberapa ekor ayam, itik, kambing atau sapi. Dengan alasan
27
jumlahnya tidak banyak, hewan-hewan itu seringkali tidak dikandangkan, melainkan dibiarkan berkeliaran di sekitar rumah atau jalan desa. Kadang-kadang ada kambing yang masuk ke kebun tetangga sehingga menimbulkan sedikit perselisihan. Akan tetapi masalah tersebut tidak pernah berlanjut menjadi konflik yang serius. Biasanya pemilik kambing akan lebih memperhatikan hewan piaraannya tersebut. Ada kalanya pada leher kambing itu dikalungkan kayu kecil berbentuk segi tiga dangan tujuan agar kambing itu tertahan ketika akan menerobos pagar kebun sayuran tetangga.
Gambar 2.4. Rumah, ternak, anak Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015 2.4 Solidaritas Sosial
Suatu hari rumah keluarga Mardi (53) terbakar. Peristiwa itu terjadi pada hari minggu 10 mei 2015, sekitar jam 13.00 siang. Waktu itu pak Mardi dan istrinya sedang menghadiri sebuah pesta pernikahan di gampong Paya Dua. Di rumah hanya ada 4 dari 10 anak pak Mardi. Anak-anak itu sedang bermain-main di halaman.
Warga yang kebetulan berada di tempat itu segera melakukan tindakan pemadaman api. Mereka mengambil air dari selokan yang
28
ada di depan rumah tersebut dengan ember lalu menyiramkan ke kobaran api. Akan tetapi hal itu sama-sekali idak bisa menolong.
Tidak diketahui apa penyebab kebakaran itu, yang pasti seluruh banguanan yang terbuat dari kayu itu ludes tanpa sisa dilahab api. Untunglah semua anggota keluarga pak Mardi baik-baik saja, meski tidak satupun barang-barang yang bisa diselamatkan.
Hari itu hampir semua orang di Paya Dua datang untuk melihat keadaan keluarga yang sedang ditimpa kemalangan itu. Mereka membawa beras, bahan lauk-pauk, makan instan dan juga uang, untuk disumbangkan kepada keluarga tersebut. Ibu-ibu segera membuat dapur darurat, lalu mereka memasak bersama. Malam harinya keluarga itu ditampung di rumah tetangga kiri-kanan.
Keesokan harinya orang-orang makin banyak berdatangan, bahkan dari gampong-gampong yang jauh juga berdatangan dengan membawa berbagai macam bentuk bantuan. Hari juga wagra membuat rumah darurat dari bahan anyaman bambu (gedhek) dan atap daun rumbia sebagai tempat tinggal sementara keluarga besar itu.
Mujahar (34) salah serang tokoh pemuda desa Paya Dua terlihat sangat aktif dalam mengusahakan bantuan. Dia segera menghubungi pihak kepolisian, pihak kecamatan hingga kabupaten. Hasilnya berturut-turut kapolres Peudawa, camat Puedawa dan bupati Aceh Timur datang ke lokasi dan memberikann bantuan langsung. Bantuan itu berupa bahan makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, selimut, juga perlengkapan sekolah. Diperkirakan bantuan tersebut mencukupii untuk hidup selama 6 bulan ke depan. Bahkan pihak kabupaten menjanjikan akan membangun kembali rumah untuk keluarga tersebut.
Dari kejadian di atas terasa sekali betapa tingginya solidaritas di antara warga gampung, bahkan hingga gampong tetangga. Pihak pemerintah pun hadir dengan cepat di tengah-tenangah warganya yang memerlukan perhatian. Solidaritas wagra juga bisa kita lihat
29
misalnya ketika ada warga yang dirawat di rumah sakit. Maka warga gamong akan datang beramai-ramai untuk menengok si sakit itu. Tidak jarang mereka datang dengan menumpang kendaraan bak terbuka (pick-up), termasuk kaum ibu-ibu. Mereka juga membawa berbagai bentuk sumbangan, baik berupa barang maupun uang. Setelah si pasien itu pulang ke rumah, maka para tetangga akan “merayakannya’ dengan mengadakan kenduri (peusejeuk).
Kembali pada kisah kebakaran, seorang tetangga pak Mardi mengatakan kepada kami:
“Pak Mardi itu orang yang sederhana, tidak ada pekerjaan yang tetap, anaknya banyak, tapi dia itu sholeh, tidak pernah ada masalah atau menyusahkan orang lain. Dia orang yang pasrah, tawakal. Kebakaran itu ada hikmahnya, sekarang banyak bantuan, rumah pun akan dibangun oleh pemerintah, itu malah lebih bagus dari sebelum terbakar, Allah menggantinya dengan yang lebih baik”.
Demikianlah, tabiaat pak Mardi yang tidak pernah bermasalah dengan orang di gampong itu dinilai telah mendatangkan solidaritas yang besar dari warga. Dan tentu saja mendatangkan hikmah dan berkah dari Allah.
Memahami solidaritas sosial di gampong juga bisa dilihat dari cara mereka menyikapi kematian. Pada saat orang yang sakit dengan mata terbuka telah melihat ke atas dan sudah menarik nafas satu demi satu, maka orang itu disebut sedang menghadapi maut atau sukreuet. Beberapa orang yang berkumpul di sekitar orang itu biasanya membantu orang itu untuk mengucapkan kalimah "Lailahaillallah"secara berulang-ulang, dengan maksud supaya orang yang sakit itu mati secara khusnul khatimah. Jika hal itu berhasil, maka dikatakan, bahwa orang itu telah selamat iman. Keselamatan iman seseorang sepertinya juga menjadi tangungjawab komunitas. Jika orang itu terlanjur mati sebelum sempat mengucapkan "Lailahaillallah" maka orang-orang yang hadir itu akan merasa
30
bersalah karena gagal mengatarkan rekannya menuju sisi Allah dengan sempurna.
Orang Aceh, seperti umumnya umat islam lain, percaya bahwa orang yang meninggal itu nanti akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir didalam kuburnya. Pertanyaan itu antara lain: siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, apa Agamamu, siapa Imammu, manakah Qiblatmu dan siapa ikhwanmu. Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan dalam bahasa Arab, dan dijawab dengan bahasa Arab pula. Orang Aceh yakin akan bisa berbahasa Arab sesudah ia hidup di akhirat, meskipun bahasa ini tidak diketahuinya semasa ia hidup didunia.
Penyelenggaraan jenazah sesegera mungkin dilakukan menurut aturan agama islam, seperti: memandikan, mengafankan, mensholatkan, dan menguburkan. Sebelum kewajiban-kewajiban agama seperti diatas di kerjakan, mayat ditutupi dengan kain yang bagus, sambil menunggu dimandikan. Kalau meninggal pada malam hari, soal penguburan ditangguhkan sampai pagi hari. Orang-orang menjaga mayat itu dan menyalakan lampu serta meletakkan sebuah pisau kecil di bawah bantal untuk penangkal mahluk halus.
Selalu banyak orang yang datang untuk melayat. Para pelayat itu bisa berasal dari desa-desa tetangga yang jaraknya cukup jauh. Mereka ada yang datang sendiri-sendiri, ada pula yang berkelompok, misalnya dengan menumpang kedaraan bak terbuka. Para pelayat akan memenuhi halaman rumah duka. Mereka akan memberikan sumbangan uang antara 5000 – 20.000 rupiah yang dimasukan ke tempat yang disediakan, biasanya berupa baskom yang ditutupi kain.
Pelayat perempuan biasanya akan mengambil tempat di belakang rumah atau di samping rumah, pelayat laki-laki akan bekumpul di halaman depan. Jenazah yang akan disholatkan itu biasanya diletakkan di sebuah tenda yang dibangun di halaman depan rumah. Sholat jenazah diimami oleh seorang Tengku dan diikuti oleh sebagian dari kaum laki-laki. Sebagian dari kaum laki-laki yang tidak ikut sholat memilih duduk-duduk di tempat yang agak jauh dari
31
jenazah, sementata kaum perempuan berdiri menyaksikan dari bekakang dengan jarak beberapa meter dari shof orang yang sholat. Setelah selesai sholat, tengku berdoa dan memberikan ceramah singkat terkait hikmah kematian. Setelah itu barulah jenazah diangkut dengan keranda menuju pemakaman.
Gambar 2.5.Sholat Jenazah Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015
Acara tahlil untuk mendoakan si mati biasanya berlangsung selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu rumah duka akan terus-menerus dikunjungi banyak orang. Demikianlah, solidaritas sosial ternyata bukan hanya urusan dunia, melainkan juga urusan akhirat.
-32
-2.5 Mata Pencaharian Dan Teknologi
Sebagian besar penduduk desa-desa di Peudawa adalah pentani dan nelayan. Ada juga yang menjadi buruh, pedagang dan pegawai negeri.Berdasarkan karakteristiknya rata-rata penduduk wilayah kerja Puskesmas Peudawa sebagai petani, nelayan dan wiraswasta dengan mata pecarian hasil panen ladang, tambak, melaut dan dagang. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam. Tingkat pendidikan penduduk rata-rata adalah lulusan SD sederajat dan SMP sederajat. Masyarakat sudah mendapat sarana informasi dan komunikasi melalui TV, radio, surat kabar, telpon selular, maupun internet.Dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan matapencaharian penduduk wilayah kerja Puskesmas Peudawa memiliki status kemiskinan menengah kebawah yang masih tinggi27.
Gambar 2.6.Seorang ibu di ladang
Sistem pengairan di sawah-sawah belum teratur seperti di Jawa, karena belum ada irigasi. Sawah-sawah itu masih tergantung pada curah hujan. Dengan demikian penanaman padi dilakukan hanya
33
sekali dalam setahun dengan pengolahan yang masih sederhana. Dahulu, sebelum tahun 1980-an, masyarakat biasa membuka ladang (huma) di tepi-tepi hutan dengan sistem rotasi. Setelah ditanami selama beberapa tahun, mereka akan berpindah pada lahan lain, begitu seterusnya hingga lahan yang awal itu kembali menjadi hutan. Lalu lahan awal yang sudah menjadi hutan itu dibuka lagi dengan cara dibakar untuk ditanami kembali. Biasanya pohon-pohon yang besar tidak ikut ditebangi.
Sejak akhir tahun 80-an, orang mulai jarang mempraktikkan paladangan berotasi. Hal ini terjadi karena banyak lahan yang kemudian dikuasai oleh orang luar Peudawa yang memiliki modal besar. Mereka menggunakan gergaji mesin (chain saw) untuk membabat pohon besar untuk dijadikan kebun kelapa sawit atau lainnya. Dengan adanya perkebunan besar tersebut, mulai ada warga Peudawa yang bekerja sebagai buruh.
Nelayan Peudawa melaut setiap hari, kecuali pada musim barat. Mereka berangkat sore atau malam hari saat air mulai naik. Peralatan yang mereka gunakan seperti umumnya nalayan tradisional: perahu, jaring dan pancing. Mereka melaut secara berkelompok, ketika pulang mereka akan berkumpul di sebuah warung untuk membagi hasil tangkapan mereka. Pembeli ikan juga akan datang ke warung itu untuk, pembeli itu bisa tengkulak yang akan menjual kembali hasil laut itu, bisa juga warga sekitar untuk konsumsi sendiri.
Pada beberapa desa, seperti Paya Dua dan Payabili Dua, sebagian warga juga bekerja di tambak bandeng atau udang. Akan tetapi sebagian dari tambak tersebut dimiliki oleh orang luar desa. Dengan demikian warga desa sebagian menjadi buruh di tambak tersebut.Selain bertani dan melaut, ada juga warga yang berdagang, terutama hasil bumi, hasil perkebunan dan hasil ikan laut. Mereka biasa menggunakan sepeda motor atau mobil pick-up untuk mengangkut dagangan tersebut. Penggunaan telepon selular termasuk smart phone juga sudah umum dilakukan untuk kepentingan