• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TAHUNAN

PENELITIAN HIBAH BERSAING

MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI

MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

Tahun ke-1 (pertama) dari rencana 2 (dua) tahun

TIM PENGUSUL:

Sunardi, S.S., M.Pd. / NIDN: 0612016601

Raden Arief Nugroho, S.S., M.Hum. / NIDN: 0617068402 Budi Harjo, S.Kom., M.Kom. / NIDN: 0606027101

UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

NOVEMBER 2014

(2)
(3)

3 RINGKASAN

Penyandang tunanetra, dalam kegiatan pembelajarannya, selama ini ditempatkan secara eksklusif di sekolah khusus penyandang tunanetra yang membuat mereka semakin terisolasi dari kegiatan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Ketika penyandang tunanetra terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas biasa, mereka harus mengikuti proses pembelajaran yang sebenarnya diperuntukkan bagi bukan penyandang ketunaan. Karena keterbatasan penglihatannya, mereka tentu saja tidak dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang dapat berakibat pada kegagalan dalam pembelajaran. Permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui praktek pendidikan secara inklusif dengan memberikan alat bantu khusus sesuai dengan ketunaannya, memodifikasi lingkungan belajar, dan menggunakan teknik alternatif yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan pembelajaran.

Penelitian tahun pertama ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bagi mahasiswa penyandang tunanetra yang belajar di perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah bahasa Inggris. Target penelitian ini meliputi: (1) terdeskripsikannya masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris dimana mahasiswa penyandang tunanetra belajar bersama dalam kelas mahasiswa biasa; (2) tersusunnya model strategi dan media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; dan (3) tersusunnya rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan metode riset dan pengembangan, dengan tahapan penelitian: (1) melakukan identifikasi masalah dan kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris dimana mahasiswa penyandang tunanetra belajar bersama dalam kelas mahasiswa biasa, melalui metode kajian pustaka, observasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah (FGD); (2) menyusun model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang meliputi strategi dan media pembelajaran; (3) menyusun rencana pembelajaran inklusif; dan (4) mengkonsultasikan model dan rencana pembelajaran inklusif tersebut dengan ahli pembelajaran inklusif (expert judgement).

Hasil yang telah dicapai dalam penelitian ini meliputi dua temuan, yaitu: 1) permasalahan yang dihadapi mahasiswa tunanetra dalam proses perkuliahan, khususnya di mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris; dan 2) terciptanya sebuah media pembelajaran yang dapat mengakomodir kebutuhan dan mengatasi permasalahan pembelajaran mahasiswa tunanetra di mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris. Dari hasil diskusi kelompok terarah (FGD), permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa tunanetra dalam proses perkuliahan Sintaksis bahasa Inggris, meliputi: a) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk mendapatkan materi perkuliahan Sintaksis bahasa Inggris yang kompatibel dengan pembaca layar JAWS; b) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk beradaptasi dengan situasi pembelajaran; dan c) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk membentuk diagram pohon yang sesuai dengan kaidah segmentasi struktur sintaksis bahasa Inggris. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, penelitian ini juga menghasilkan sebuah model pembelajaran berbasis web yang telah disesuaikan dengan: a) media pembelajaran Sintaksis bahasa Inggris; b) prinsip khusus peserta didik tunanetra; dan c) prinsip segmentasi struktur sintaksis bahasa Inggris. Walau temuan hasil telah berhasil diidentifikasi, penelitian ini masih memerlukan pengembangan lebih dalam, salah satunya untuk memperluas fungsi media pembelajaran Sintaksis bahasa Inggris untuk mencakup analisis yang lebih kompleks, misalnya segmentasi kalimat majemuk setara atau bertingkat.

(4)

4

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkah dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Penelitian Hibah Bersaing dengan judul “MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI”

Berkat bantuan dari berbagai pihak baik pada saat persiapan, masa penelitian, pembahasan maupun pada saat penyusunan Laporan Kemajuan Penelitian ini, maka akhirnya kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Penelitian ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Ditlitabmas), Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdikbud, atas dukungan dana dalam penelitian hibah bersaing ini; 2. Rektor Universitas Dian Nuswantoro yang telah memberikan kesempatan seluas-luasnya

kepada Tim Peneliti untuk mengembangkan diri dalam kegiatan penelitian untuk memenuhi unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi;

3. Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan dorongan kepada kami selaku dosen untuk selalu meningkatkan produktivitas penelitian;

4. DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jawa Tengah yang telah berkenan memberikan masukan dan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini;

5. Kepala Pusat Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Dian Nuswantoro beserta staffnya yang telah memberikan banyak dukungan teknis, fasilitas, administrasi guna kelancaran penelitian ini;

6. Teman-teman dosen, khususnya dari Fakultas Ilmu Budaya dan guru pembelajaran bagi siswa dab mahasiswa tunanetra yang telah memberikan ide dan informasi dalam Focused-Group Discussion (FGD) dalam penelitian ini; dan

7. Serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan, arahan serta dorongan kepada kami dalam menyelesaikan penelitian ini.

Akhirnya kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna perbaikan pelaksanaan penelitian ini.

Semarang, November 2014 Tim Peneliti

(5)

5 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... 1 HALAMAN PENGESAHAN ... 2 RINGKASAN ... 4 PRAKATA ... 3 DAFTAR ISI ... 3 BAB 1. PENDAHULUAN ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 14

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 19

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 36

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

Lampiran 1. Istrumen Penelitian ... 41

Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti ... 43

(6)

6 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama ini orang berkebutuhan khusus (difable) atau orang yang menyandang ketunaan (impairment) cenderung dipandang masyarakat sebagai “objek” perlindungan, perlakuan, dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak (Tarsidi, 2011: 1). Pandangan seperti ini mengakibatkan para penyandang ketunaan dipisahkan dari masyarakat umum dan disediakan tempat dan fasilitas tersendiri. Hal ini dilakukan atas asumsi bahwa mereka tidak mampu menghadapi tantangan hidup di masyarakat luas.

Dalam bidang pendidikan, pemikiran seperti ini melahirkan praktek pendidikan segregasi yang memisahkan penyandang ketunaan dari orang pada umumnya. Mereka ditempatkan di sekolah-sekolah khusus yang dikenal dengan istilah sekolah luar biasa (SLB) dan tidak diperbolehkan belajar di sekolah biasa/reguler. Akibatnya, mereka cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang ketunaan yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Isolasi mereka dari kegiatan masyarakat pada umumnya justru membuat mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat umumnya dan semakin tergantung kepada orang lain. Praktek pendidikan seperti ini menimbulkan diskriminasi terhadap para penyandang ketunaan (Tarsidi, 2012: 3). Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 Ayat 1: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa,” dan Pasal 5 Ayat 1: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Model pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh para penyandang ketunaan sebagai akibat dari model pendidikan segregasi. Penyelenggaraan model pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan/ketunaan untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dengan demikian, para penyandang ketunaan memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk

(7)

7

memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik (Permendiknas No. 70/2009: Pasal 1 & 2).

1.2 Permasalahan

Penyandang tunanetra, sebagai salah satu dari para penyandang ketunaan, selama ini memiliki akses pendidikan yang berbeda dengan orang pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat bahwa penyandang tunanetra memiliki suatu kondisi di mana orang yang mengalaminya tidak bisa melihat, atau tidak bisa menggunakan penglihatannya secara baik dalam aktifitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010: 1), sehingga mereka ditempatkan secara eksklusif di sekolah khusus penyandang tunanetra yang membuat mereka terisolasi dari kegiatan sehari-hari masyarakat pada umumnya.

Ketika penyandang tunanetra terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas biasa, mereka harus mengikuti proses pembelajaran yang sebenarnya diperuntukkan bagi bukan penyandang ketunaan. Karena keterbatasan penglihatannya, mereka tentu saja tidak dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang dapat berakibat pada kegagalan dalam pembelajaran. Permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui praktek pendidikan secara inklusif dengan memberikan alat bantu khusus sesuai dengan ketunaannya, memodifikasi lingkungan belajar, dan menggunakan teknik alternatif yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan pembelajaran.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini telah ada beberapa teknik alternatif berbasis teknologi komputer, seperti speech technology dan refreshable Braille display, yang memungkinkan para penyandang tunanetra dapat mengakses informasi di “dunia awas” layaknya orang normal (Tarsidi, 2007:1). Namun, sebagian besar software teknologi alternatif bagi penyandang tunanetra yang ada di pasaran saat ini disusun dengan menggunakan platform bahasa Inggris. Komunikasi antara komputer (software) dengan pengguna (user) dilakukan dengan menggunakan bahasa Inggris. Keberadaan bahasa Inggris dalam software tersebut dapat menjadi kendala utama penggunaannya bagi penyandang tunanetra yang tidak memiliki keterampilan bahasa Inggris yang cukup. Di sisi lain, bagi penyandang tunanetra, software tersebut merupakan pintu masuk untuk mengakses semua informasi yang ada di “dunia awas.” Selain itu, informasi di “dunia awas” terutama yang berkenaan dengan materi pembelajaran bahasa Inggris, sebagian besar disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris. Dalam konteks pembelajaran, keterampilan menggunakan

(8)

8

speech technology tersebut juga membantu penyandang tunanetra dalam mempelajari materi pembelajaran secara baik.

Berbeda dengan tingkat pendidikan dasar dan menengah yang memiliki sekolah khusus (luar biasa) bagi penyandang ketunaan, tingkat pendidikan tinggi tidak memiliki sekolah seperti ini. Penyandang tunanetra yang melanjutkan kuliah ke jenjang pendidikan tinggi harus mengikuti kegiatan pembelajarannya di kelas reguler bersamaan dengan mahasiswa lain yang bukan penyandang tunanetra. Kenyataan ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inklusif tidak dapat dihindarkan dalam kegiatan perkuliahan di perguruan tinggi atau program studi yang menerima mahasiswa penyandang ketunaan, termasuk di dalamnya tunanetra. Dan sebagai mahasiswa, penyandang tunanetra memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan mahasiswa biasa lainnya untuk berhasil dalam studinya.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut:

1. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh mahasiswa tunanetra dalam pembelajaran mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris?

2. Bagaimanakah model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra?

3. Bagaimanakah model media pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra?

(9)

9 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembelajaran Inklusif bagi Penyandang Ketunaan

Saat ini terdapat perubahan paradigma tentang penyelenggarakan pendidikan bagi para penyandang ketunaan (orang berkebutuhan khusus): dari medical model of disability ke social model of disability (Tarsidi, 2012: 1-2). Medical model of disability adalah sebuah model di mana orang berkebutuhan khusus dipandang sebagai akibat dari kondisi kelainan fisik semata-mata, yang merupakan hakikat dari kondisi individu penyandangnya - yang merupakan bagian intrinsik dari diri individu yang bersangkutan. Dalam bidang pendidikan, model ini memunculkan pendekatan berbasis belas kasihan (charity-based approach to disability) dimana orang berkebutuhan khusus cenderung dipandang sebagai “objek” perlindungan, perlakuan dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak. Sebagai akibat dari pendekatan ini, pembelajaran bagi para penyandang ketunaan dijalankan secara segregatif/eksklusif dimana mereka dipisahkan dari siswa umum dan disediakan sekolah khusus bagi mereka (sekolah luar biasa). Akibatnya, para penyandang ketunaan cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang ketunaan yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Lebih jauh pendekatan ini memunculkan diskriminasi terhadap para penyandang ketunaan.

Seiring dengan tuntutan akan kesamaan hak bagi para penyandang ketunaan dalam kehidupan sehari-hari, paradigma pendidikan bagi mereka mulai berubah ke model sosial (social model of disability). Model sosial bagi penyandang ketunaan mengemukakan bahwa hambatan sistemik, sikap negatif dan eksklusi oleh masyarakat (secara sengaja atau tidak sengaja) merupakan faktor-faktor utama yang mendefinisikan siapa yang menyandang ketunaan dan siapa yang tidak di dalam masyarakat tertentu. Model ini mengakui bahwa sementara orang-orang tertentu mempunyai variasi fisik, sensori, intelektual, atau psikologis, yang kadang-kadang dapat mengakibatkan keterbatasan fungsi atau ketunaan pada individu, ini tidak harus mengakibatkan ketunaan, kalau masyarakat dapat menghargai dan menginklusikan semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan individu. Dalam

(10)

10

bidang pendidikan, pemikiran seperti ini melahirkan model pendidikan inklusif. Di Indonesia, pelaksanaan model pendidikan inklusif didasarkan pada Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Pasal 1 dan 2 dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan ini bertujuan untuk (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; dan (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah:

a. Pendidikan untuk semua: setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.

b. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi: setiap anak berhak mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.

c. Integrasi pada lingkungan: setiap anak berhak menyatu dengan limgkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.

d. Penerimaan terhadap perbedaan: setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan.

Model pembelajaran inklusif memiliki keuntungan tidak hanya bagi anak berkebutuhan khusus tetapi juga bagi anak tanpa kebutuhan khusus, guru, dan keluarga. Keuntungan pembelajaran inklusif meliputi:

1. Bagi anak berkebutuhan khusus:

a. Terhindar dari label negatif: anak memiliki rasa percaya diri.

b. Memiliki kesempatan menyesuaikan diri: anak memiliki kesiapan menghadapi kehidupan nyata.

(11)

11

a. Belajar mengenai keterbatasan tertentu: mengetahui keterbatasan/keunikan temannya, dan peduli terhadap keterbatasan temannya.

b. Dapat mengembangkan keterampilan sosial: berempati terhadap permasalahan temannya dan membantu temannya yang menghadapi kesulitan.

3. Bagi guru/dosen

a. Meningkatkan wawasan guru/dosen terhadap karakteristik siswa: guru/dosen mengenali peta kekuatan dan kelemahan siswa/mahasiswanya.

b. Menambah kompetensi guru/dosen: guru lebih kretaif dan terampil dalam mengajar dan mendidik.

4. Bagi keluarga

a. Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, merasa senang bila anaknya dapat bersosialisasi dengan baik tanpa ada diskriminasi.

b. Orangtua yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus, merasa senang bila anaknya memiliki keterampilan sosial yang baik.

Secara umum ada perbedaan perasaan yang dialami peserta didik ketika mengikuti model pembelajaran inklusif dan model pembelajaran eksklusif. Perbedaan tersebut adalah:

Pembelajaran Inklusif Pembelajaran Eksklusif/Segregatif

Dihargai Harga diri rendah, terkucil

Bangga Kecewa

Senang Marah

Diperhatikan Merasa direndahkan

Optimis Frustasi, pesimis

Merasa berguna Merasa tidak berguna

Percaya diri Tidak percaya diri

Aktif Pasif

2.2 Kegiatan Pembelajaran Inklusif

Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007: 5-6), kegiatan pembelajaran merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum. Mutu pendidikan dan atau mutu lulusan banyak dipengaruhi oleh mutu kegiatan pembelajaran. Jika mutu kegiatan pembelajarannya bagus, dapat diprediksi bahwa mutu lulusan bagus; atau sebaliknya, jika mutu kegiatan pembelajarannya tidak bagus, maka mutu lulusannya juga tidak bagus. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik, disesuaikan dengan

(12)

12

kemampuan dan kebutuhan setiap individu siswa dan didukung oleh kompetensi guru, media, sumber dan strategi pembelajaran yang memadai, sesuai dengan standar pelayanan minimal.

Seiring dengan kemajuan jaman, sudah banyak pembaharuan sistem strategi dan kelembagaan yang melayani peserta didik berkebutuhan khusus. Pada masa-masa sebelumnya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus masih banyak yang bersifat segregasi (eksklusi) yang terpisah dari masyarakat. Tetapi memasuki akhir milenium dua, visi dan misi kelembagaan sudah cenderung lebih humanis dan terintegrasi (inklusi) dengan masyarakat.

Pendidikan inklusif adalah suatu bentuk sistem pendidikan di mana peserta didik berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan oleh karena itu strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karekteristik individu peserta didik.

Fakta menunjukkan bahwa di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif para siswa memiliki kemampuan yang heterogen, karena peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus ini memiliki keragaman kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis.

Pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang kemampuan siswanya sangat heterogen, berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan homogen. Para guru umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar siswa yang mengalami kelainan atau berkebutuhan khusus, sehingga sering kali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.

Pada prinsipnya, urutan kegiatan pembelajaran model inklusif sama dengan kegiatan pembelajaran model segregatif/eksklusif. Perbedaannya terletak pada adanya dua jenis mahasiswa dalam kelas, yaitu mahasiswa berkebutuhan khusus dan mahasiswa tanpa kebutuhan khusus. Perbedaan mendasar tentang karakteristik peserta didik inilah yang membuat kegiatan pembelajaran inklusif sedikit berbeda, khususnya dalam hal metode, media, dan evaluasi pembelajarannya. Secara umum, kegiatan pembelajaran inklusif meliputi tiga aktivitas utama, yaitu menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran.

(13)

13

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif antara lain seperti di bawah ini.

1. Menyusun Rencana Pembelajaran a. Menetapkan tujuan;

b. Merencanakan pengelolaan kelas: termasuk mengatur lingkungan fisik dan sosial c. Menetapkan dan pengorganisasian bahan/materi: topik apa yang ingin diajarkan

kepada peserta didik;

d. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan pembelajaran: bagaimana bentuk kegiatannya, apakah peserta didik mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran;

e. Merencanakan prosedur kegiatan pembelajaran: bagaimana bentuk dan urutan kegiatannya, apakah kegiatan itu sesuai untuk semua peserta didik, dan bagaimana peserta didik mencatat, mendokumentasikan, dan menampilkan hasil belajarnya;

f. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar: sumber belajar mana yang akan digunakan, media apa yang sesuai dan tidak membahayakan peserta didik; g. Merencanakan penilaian: bagaimana cara peserta didik telah menyelesaikan

tugasnya dalam suatu proses pembelajaran, dan apa bentuk tindak lanjut yang diinginkan.

2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran a. Melaksanakan apersepsi;

b. Menyajikan materi/bahan pelajaran;

c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan kompetensi pembelajaran;

d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif;

e. Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan;

f. Mengelola pembelajaran kelompok yang kooperatif;

g. Membina hubungan antarpribadi, bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa, menampilkan kegairahan dan kesungguhan, dan mengelola interaksi antarpribadi.

(14)

14

a. Melakukan penilaian selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan setelah kegiatan pembelajaran selesai, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui pengamatan;

b. Bagi peserta didik yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, penilaian dilakukan dengan membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan prestasi sebelumnya;

c. Mengadakan tindak lanjut dalam bentuk remidi atau pengayaan.

2.3 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Inklusif bagi Peserta Didik Tunanetra

Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007:9), prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.

1. Prinsip Umum a. Prinsip motivasi

Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

b. Prinsip latar/konteks

Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi peserta didik.

c. Prinsip keterarahan

Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat

(15)

15

Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, interaksi dengan lingkungan, serta interaksi banyak arah.

e. Prinsip belajar sambil bekerja

Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, serta menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.

f. Prinsip individulisasi

Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap peserta didik secara mendalam, baik tingkat kemampuan dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan dalam belajar, serta perilaku penting lainnya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing peserta didik mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.

g. Prinsip menemukan

Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mendorong anak untuk terlibat secara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan atau emosional.

h. Prinsip pemecahan masalah

Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan peserta didik terlatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannnya.

2. Prinsip Khusus untuk Peserta Didik Tunanetra a. Prinsip kekonkritan

Peserta didik Tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda– benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan. Melalui observasi perabaan benda–benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat–sifat permukaan, kelenturan, suhu dan sebagainya.

(16)

16

Dengan menyadari kondisi seperti ini, dalam proses pembelajaran guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda–benda konkrit sebagai alat bantu atau media dan sumber pencapaian tujuan pembelajaran.

b. Prinsip pengalaman yang menyatu

Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang peserta didik normal yang masuk ke toko, tidak saja melihat rak–rak dan benda–benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat hubungan antara rak–rak dengan benda–benda di ruangan. peserta didik Tunanetra tidak mengerti hubungan– hubungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar peserta didik untuk ”mengalami” suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan – hubungan tersebut.

c. Prinsip belajar sambil melakukan

Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil bekerja. Perbedaannya adalah bagi peserta didik Tunanetra melakukan sesuatu adalah pengalaman nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam menangkap informasi. Peserta didik normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat gambar atau foto. Peserta didik Tunanetra menuntut penjelasan dan pengalaman secara langsung di lingkungan nyata.

Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses pembelajaran tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin peserta didik diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan karakter bahan yang diajarkannya.

(17)

17 BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini direncanakan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bagi mahasiswa penyandang tunanetra yang belajar di perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: Tahun Pertama:

1. Mengindentifikasi masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam melaksanakan pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra;

2. Menyusun model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra;

3. Menyusun model media pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra;

4. Menyusun rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra;

3.2 Manfaat Penelitian

Pemberian kesempatan pendidikan tinggi bagi para penyandang tunanetra di Indonesia telah dimulai sekurang-kurangnya sejak tahun 1960-an tetapi pemberian kesempatan tersebut hampir tanpa dukungan sistem. Keberhasilan sejumlah kecil penyandang tunanetra dalam menyelesaikan pendidikan tinggi pada masa itu lebih dipengaruhi oleh kegigihan usaha individu penyandang tunanetra dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya (Tarsidi, 2012: 6). Pendidikan inklusif sebagai salah satu usaha untuk memberi kesempatan yang sama dalam belajar bagi para penyandang ketunaan mulai dikenal luas dalam praktek pendidikan sejak dikeluarkannya Permendiknas No. 70 Tahun 2009. Namun, model pendidikan inklusif lebih banyak dipraktekkan pada tingkat pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas, seperti yang dinyatakan pada Permendiknas No. 70/2009, Pasal 4. Akibatnya, penelitian tentang pelaksanaan pendidikan inklusif lebih banyak dilakukan di sekolah-sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas (Sunanto, 2009; Hastuti, 2010; Rudiyati, 2010). Kajian pendidikan inklusif di tingkat pendidikan tinggi belum banyak dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pembelajaran inklusif belum banyak

(18)

18

dilakukan di perguruan tinggi. Kalaupun ada mahasiswa tunanetra yang mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi, mereka diperlakukan seperti mahasiswa normal tanpa dukungan tambahan sesuai dengan jenis ketunaannya.

Bagi mahasiswa tunanetra, bahasa Inggris memiliki peranan yang sangat penting. Pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris yang mereka miliki akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menggunakan perangkat teknik alternatif pembelajaran dan dalam mengakses informasi yang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris. Sayangnya, saat ini masih sedikit model pembelajaran inklusif yang sudah terbukti efektif secara empirik, baik strategi pembelajaran maupun media pembelajarannya, dalam mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi penyandang tunanetra di perguruan tinggi. Adapun pemilihan mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris didasari atas alasan bahwa dengan memiliki pengetahuan yang memadai akan unsur-unsur pembentuk kalimat, mahasiswa akan lebih mudah menguasai bahasa Inggris secara tepat dan benar. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan dengan harapan mampu menghasilkan sebuah model pembelajaran inklusif yang dapat dipakai sebagai model untuk melaksanakan pembelajaran secara inklusif bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi, khususnya dalam mempelajari materi Sintaksis bahasa Inggris.

(19)

19 BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Secara umum penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk pendidikan dan menginformasikan proses pengambilan keputusan selama pengembangan produk dalam rangka meningkatkan produk itu dan kemampuan pengembang dalam menciptakan produk sejenis di masa mendatang (Van der Akker, 1999: 75). Dalam penelitian ini produk yang akan dikembangkan adalah (1) model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, dan (2) model media penbelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra. Secara khusus, penelitian yang akan dilakukan pada tahun pertama berjenis penelitian kualitatif-deskriptif, dengan menggunakan metode penelitian pengembangan.

4.2 Prosedur dan Tahapan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu penyusunan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi, dan kemudian mengoptimalkan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode riset dan pengembangan (research & development). Sejalan dengan metode ini, pada tahun pertama akan dilakukan kajian terhadap praktek-praktek pembelajaran inklusif yang ada saat ini, khususnya untuk mata kuliah bahasa Inggris di perguruan tinggi, dan selanjutnya berdasarkan hasil kajian tersebut dirumuskan suatu model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi. Kemudian pada tahun berikutnya dilakukan implementasi untuk menerapkan model yang dihasilkan pada tahun pertama, untuk mengetahui efektivitas model tersebut dalam konteks pembelajaran inklusif yang nyata, dan untuk melakukan revisi terhadap model tersebut berdasarkan hasil implementasi, sehingga dihasilkan model yang terakhir.

Secara keseluruhan, penelitian ini akan dilaksanakan dalam dua tahun dengan prosedur dan tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan

Tujuan tahap ini adalah mengetahui masalah yang timbul dalam pembelajaran bahasa Inggris dimana mahasiswa tunanetra belajar bersama dengan mahasiswa biasa dalam kelas yang sama, serta hal-hal yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi:

(20)

20

a. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra secara inklusif. Data dikumpulkan melalui kajian pustaka terhadap praktek pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini dilaksanakan untuk mahasiswa tunanetra bersama dengan mahasiswa biasa, melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran tersebut, dan melakukan wawancara tentang masalah dan kebutuhan pembelajaran dengan dosen dan mahasiswa peserta perkuliahan, khususnya mahasiswa tunanetra. b. Melakukan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) tentang hasil

identifikasi masalah dan kebutuhan pembelajaran inklusif bahasa Inggris dengan beberapa dosen dan mahasiswa tunanetra bernama Eka Taufanti Pratiwi dan Ari Triono, yang selanjutnya akan digunakan untuk menyusun model pembelajaran inklusif.

2. Tahap Penyusunan Model Pembelajaran Inklusif

Tahap ini bertujuan untuk menyusun model dan rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang pelaksanaan perkuliahannya bersama dengan mahasiswa biasa. Adapun kegiatan yang akan dilakukan meliputi:

a. Menyusun model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, yang meliputi model strategi pembelajaran dan model media pembelajarannya. b. Menyusun rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa

tunanetra berdasarkan pada model strategi pembelajaran dan model media pembelajaran yang telah disusun.

c. Mengkonsultasikan model dan rencana pembelajaran yang telah disusun dengan beberapa ahli (experts) yang menguasai permasalahan pembelajaran inklusif atau pembelajaran luar biasa bagi penyandang tunanetra. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan masukan atau evaluasi terhadap model dan rencana pembelajaran yang telah disusun, untuk menjaga validitas model pembelajaran tersebut. Ahli yang akan mengevaluasi model dan rencana pembelajaran yang telah disusun berasal dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Negeri Malang, karena kedua perguruan tinggi tersebut telah berpengalaman dalam mengelola pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusif bagi orang berkebutuhan khusus.

d. Menganalisis dan merevisi model dan rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra berdasarkan hasil evaluasi dari para ahli.

(21)

21

Kegiatan ini akan menghasilkan model pembelajaran dan rencaba pembelajaran yang telah divalidasi oleh ahli pembelajaran inklusif. Model dan rencana pembelajaran inilah yang selanjutnya akan diimplementasikan dan diujicoba pada tahun selanjutnya (tahun kedua).

(22)

22 BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bagian ini, capaian hasil yang dibahas akan berhubungan dengan tujuan penelitian tahun pertama. Terdapat empat tujuan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Mengindentifikasi masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam melaksanakan pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; 2) Menyusun model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; 3) Menyusun model media pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; dan 4) Menyusun rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra. Lebih lanjut, masing-masing tujuan penelitian dan deskripsi temuan penelitian akan dijabarkan dalam paparan di bawah ini.

5.1 Identifikasi Permasalahan Mahasiswa Tunanetra

Dalam konteks permasalahan yang dihadapi mahasiswa tunanetra dalam pembelajaran mata kuliah sintaksis bahasa Inggris, para peneliti mengadakan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) dengan dua mahasiswa tunanetra bernama Ari Triono (AT) dan Eka Pratiwi Taufanti (EPT). Dari hasil diskusi, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, yaitu: a) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk mendapatkan materi perkuliahan Sintaksis bahasa Inggris yang kompatibel dengan pembaca layar JAWS; b) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk beradaptasi dengan situasi pembelajaran; dan c) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk membentuk diagram pohon yang sesuai dengan kaidah segmentasi struktur sintaksis bahasa Inggris.

5.1.1 Kesulitan Mendapatkan Materi

Dalam proses belajar-mengajar, materi perkuliahan memegang peranan yang penting. Materi perkuliahan berfungsi sebagai acuan mahasiswa agar mampu memperdalam penguasaan materi yang sedang dipelajarinya. Tanpa memanfaatkan materi perkuliahan secara efektif, mahasiswa dapat dipastikan akan mengalami ketertinggalan informasi dan terjebak pada sudut pandang pengetahuan yang sempit. Materi perkuliahan mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris yang digunakan dalam proses belajar mahasiswa tunanetra berbentuk buku cetak yang ditulis oleh Arts dan Arts (1997). Penggunaan materi perkuliahan berbentuk buku cetak ini sebenarnya dinilai cukup merepotkan mahasiswa tunanetra karena ketidakmampuan tunanetra dalam membaca buku cetak (non-braille). Pandangan tersebut

(23)

23

dipertegas oleh pernyataan AT tentang kesulitaannya mendapatkan materi perkuliahan, berikut ini:

Saya mengalami kesulitan dalam mendapatkan materi perkuliahan sintaksis bahasa Inggris, karena bentuk materinya yang berbentuk buku cetak. Hal tersebut sungguh merepotkan saya karena saya harus memindai buku tersebut dan menata ulang dari halam per halaman. Belum lagi kalau hasil scan tidak bisa terbaca.

Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa materi perkuliahan dengan menggunakan buku cetak sangat tidak efektif bagi mahasiswa tunanetra. Penggunaan buku cetak sebagai materi perkuliahan tersebut cukup mengagetkan mengingat dewasa ini materi perkuliahaan dapat dimodifikasi dalam bentuk yang dapat dibaca oleh pembaca layar, misalnya dalam bentuk soft copy (pdf.,doc.,docx.). Pembaca layar adalah ”sebuah perangkat lunak yang berfungsi untuk membacakan setiap teks yang muncul di layar. Kemudian teks tersebut akan diterjemahkan dalam bentuk audio...” (Nababan et al, 2011).

Dari deskripsi tersebut, pembaca layar merupakan alat bantu utama bagi mahasiswa tunanetra agar dapat melakukan aktivitas pembelajarannya. Namun, pembaca layar juga memiliki beberapa kelemahan, seperti ketidakmampuannya untuk mengakses tampilan-tampilan yang berupa gambar atau beberapa format soft copy tertentu. Dewasa ini, terdapat beberapa pilihan pembaca layar bagi tunanetra, di antaranya: Supernova, Windows Eyes, dan JAWS for Windows (biasanya hanya disebut JAWS). Dalam konteks ini, tunanetra (termasuk mahasiswa tunanetra) di Indonesia menggunakan JAWS karena pembaca layar tersebut ”lebih bersahabat dari segi kemampuan, aksesibilitas, serta fitur-fitur yang terdapat dalam aplikasi tersebut” (ibid.).

Upaya untuk menggunakan soft copy berbentuk pdf. telah dilakukan oleh dosen pengampu, akan tetapi tidak semua bentuk pdf. mampu dibaca pembaca layar yang digunakan oleh mahasiswa tunanetra. Hal tersebut dinyatakan oleh EPT dalam kutipan berikut ini:

Tidak semua pdf. dapat dibaca oleh JAWS. Seringkali JAWS berhenti secara mendadak ketika membaca file pdf. materi perkuliahan. Di samping itu, beban kerja

JAWS untuk membaca pdf. juga sangat berat.

Seringkali, JAWS juga sering tidak konsisten dalam membaca satu kalimat ke kalimat lainnya.Akan lebih baik apabila materi perkuliahan menggunakan format doc. atau docx.

(24)

24

Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa tunanetra membutuhkan materi perkuliahan dalam bentuk doc. atau docx. agar mampu dibaca oleh pembaca layar JAWS. Oleh karena itu, dalam model pembelajaran inklusif, para peneliti akan mengubah format materi perkuliahan yang berbentuk buku cetak dan pdf. ke dalam bentuk doc. atau docx. agar materi perkuliahan tersebut dapat diakses oleh mahasiswa tunanetra.

Lebih lanjut, para peneliti juga berencana untuk melakukan modifikasi terhadap materi perkuliahan yang berbentuk diagram agar dapat terbaca oleh pembaca layar JAWS. Hal tersebut dilandasi dari kutipan pernyataan AT berikut ini:

Salah satu hal yang memusingkan saya dalam

mempelajari Sintaksis bahasa Inggris adalah

penggunaan berbagai macam diagram yang terdapat

dalam materi perkuliahan. Alangkah lebih baik

apabila materi perkuliahan yang akan bapak susun

dapat mengatasi kelemahan JAWS dalam membaca

diagram.

Sejauh ini, para peneliti belum dapat menemukan sebuah cara yang tepat agar mahasiswa tunanetra dapat mengakses diagram, khususnya diagram sintaksis bahasa Inggris. Akan tetapi, para peneliti berkeyakinan bahwa masih banyak cara yang belum dicoba, misalnya menggunakan bahasa pemrograman, untuk mengatasi permasalahan tersebut.

5.1.2 Situasi Pembelajaran

Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah (focus group discussion), para peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam pola belajar-mengajar di mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris. Permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya tercipta dari ketidaktahuan dosen pengampu mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris untuk menerapkan prinsip-prinsip khusus peserta didik tunanetra dalam proses perkuliahan. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah: a) prinsip kekonkritan; b) prinsip pengalaman yang menyatu; dan c) prinsip belajar sambil melakukan.

Para mahasiswa tunanetra berujar bahwa dalam proses pembelajaran mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris, dosen pengampu masih menganggap bahwa dirinya adalah pusat perhatian atau centre of attention. Dosen pengampu merupakan satu-satunya sumber informasi di dalam kelas dan dosen pengampu lebih mengandalkan metode ceramah untuk menyampaikan materi perkuliahan. Berikut adalah kutipan pernyataan mahasiswa tunanetra;

Saya menganggap bahwa dosen terlalu banyak

menerangkan di depan kelas tanpa memperhatikan kesulitan yang saya miliki. Saya seringkali merasa

(25)

25

pengampu, karena terlalu banyak materi yang harus saya hafalkan [AT]

Saya sependapat dengan AT, pak. Dosen pengampu seakan-akan tidak memahami kesulitan yang kami hadapi. Terlalu banyak materi yang disampaikan di kelas dan dalam jangka waktu yang lama dan kami merasa kurang diberi waktu untuk berdiskusi. Atau mungkin karena sifat mata kuliahnya yang berupa teori, ya pak. [EPT]

Dari hasil diskusi tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa dosen pengampu menggunakan sebuah pendekatan Teacher Centered Learning (TCL) dalam pengajarannya. Penggunaan Teacher Centered Learning dalam pembelajaran inklusif dianggap tidak tepat karena menyalahi prinsip kekonkritan, pengalaman yang menyatu, dan belajar sambil melakukan. Penggunaan pendekatan pengajaran tersebut dapat berpotensi untuk membuat siswa mengalami kebosanan dan kebingungan. Oleh sebab itu, para peneliti berencana untuk menerapkan sebuah model pembelajaran inklusif yang terdiri dari: a) pendekatan Student Centered Learning (SCL); b) strategi Group Discovery Learning (GDL); c) metode Cooperative Learning (CL); dan d) media pembelajaran Syntactic Analyzer.

Pendekatan SCL memungkinkan mahasiswa untuk aktif dan dosen pengampu berperan sebagai pembimbing di dalam kelas yang hanya menjadi fasilitator pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat. Lebih lanjut, pendekatan SCL dapat mengakomodir: a) prinsip kekonkritan, karena mahasiswa tunanetra mengalami contoh langsung; b) prinsip pengalaman yang menyatu, karena dosen pengampu menjadi fasilitator pembelajaran; dan c) prinsip belajar sambil melakukan, karena mahasiswa tunanetra langsung mengalami pengalaman pembelajaran Sintaksis dengan penggunaan media pembelajaran yang tepat.

Penggunaan strategi GDL dan metode CL di dalam perkuliahan didasari atas kutipan dari EPT yang menganggap bahwa rekan-rekannya di kelas tidak memahami cara belajar bersama mahasiswa difabel, yang pada akhirnya menimbulkan kecanggungan dari mahasiswa awas untuk belajar dengan mahasiswa tunanetra. Berikut adalah kutipan pernyataan EPT:

Saya mengganggap bahwa rekan-rekan saya mengalami kebingungan untuk belajar bersama saya. Teman-teman saya seakan-akan tidak tahu untuk berbuat apa kepada saya dan AT. Selain itu, teman-teman juga terkesan

individualistis. Lebih lanjut, dosen tidak

(26)

26

Dari pernyataan tersebut, para peneliti menganggap bahwa kondisi belajar yang dialami oleh mahasiswa tunanetra melanggar prinsip khusus: a) kekonkritan, karena dosen tidak menggunakan media konkrit untuk mencapai tujuan pembelajaran; b) pengalaman yang menyatu, karena dosen tidak memberikan kesempatan kepada mahasiswa tunanetra untuk bekerja sama dengan rekan-rekan di lingkungannya; serta c) belajar sambil melakukan, karena guru hanya berusaha untuk menerangkan materi tanpa mengetahui kesulitan mahasiswa tunanetra dan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran Sintaksis bahasa Inggris. Dari permasalahan tersebut, penggunaan strategi GDL dan metode CL akan meningkatkan kesempatan bagi mahasiswa awas dan tunanetra untuk saling bekerja sama dan membantu secara positif, karena pada hakikatnya pembelajaran tidak hanya menumbuhkan penguasaan ilmu tetapi juga keterampilan sosial. Oleh karena itu, penerapan strategi GDL dan metode CL secara efektif di perkuliahan akan mendorong terjadinya pembelajaran inklusif yang melibatkan mahasiswa awas, tunanetra, dan dosen pengampu.

Untuk mendukung tercapainya prinsip-prinsip khusus bagi peserta didik tunanetra di situasi perkuliahan, para peneliti menganggap bahwa pembelajaran inklusif memerlukan sebuah media pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman bagi mahasiswa tunanetra untuk menjalani sebuah pembelajaran konkrit yang menimbulkan rasa untuk saling bekerja sama secara positif antara mahasiswa awas dan tunanetra, merasakan sebuah pengalaman yang menyatu antara teori dengan praktik, menjalankan sebuah pembelajaran secara mandiri dan komprehensif. Rasa untuk saling bekerja sama secara positif antara mahasiswa awas dan tunanetra diwujudkan melalui sebuah interaksi di dalam kelas dengan menggunakan media pembelajaran, misalnya dalam bentuk kolaborasi latihan berkelompok untuk menjawab soal-soal analisis sintaksis. Pengalaman yang menyatu antara teori dengan praktik diwujudkan dalam bentuk transfer ilmu pengetahuan, khususnya Sintaksis, yang seimbang antara ceramah, diskusi kelompok, dan latihan soal. Menjalani sebuah pembelajaran mandiri dan komprehensif diwujudkan dengan penggunaan media pembelajaran yang memberikan fasilitas materi perkuliahan dan soal-soal latihan yang dapat dikerjakan oleh mahasiswa tunanetra secara mandiri. Detail dan visualisasi media pembelajaran ini dibahas lebih lanjut di bab 4.2.

Untuk memperjelas deskripsi di atas, para peneliti menggambarkan penggunaan sebuah model pembelajaran inklusif yang terdiri dari pendekatan Student Centered Learning (SCL); b) strategi Group Discovery Learning (GDL); c) metode Cooperative Learning (CL); dan d) media pembelajaran Syntactic Analyzer melalui sebuah diagram berikut ini:

(27)

27

Diagram 4.1 Model Pembelajaran Inklusif Bahasa Inggris 5.1.3 Pembentukan Diagram Pohon

Kesulitan terakhir yang dialami oleh mahasiswa tunanetra dalam perkuliahan Sintaksis bahasa Inggris terkait dengan pembentukan diagram pohon yang sesuai dengan kaidah mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris. Berikut adalah contoh gambar diagram pohon yang sesuai dengan kaidah mata kuliah Sintaksis bahasa Inggris:

Gambar 4.1 Diagram Pohon

Bagi mahasiswa tunanetra, untuk membuat sebuah diagram pohon seperti di atas adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah media pembelajaran khusus yang akan ‘menerjemahkan’ segmentasi struktur sintaksis bahasa Inggris ke dalam sebuah gambar diagram pohon. Berdasarkan hasil eksplorasi awal terhadap media pembelajaran Sintaksis (Syntactic Analyzer) yang dikembangkan dalam penelitian ini, penerjemahan segmentasi sintaksis bahasa Inggris ke dalam gambar diagram pohon telah berhasil diwujudkan.

5.2 Media Pembelajaran 5.2.1 Kebutuhan Perangkat Lunak

(28)

28

Perangkat lunak yang dibutuhkan untuk membangun media pembelajaran ini adalah : a. Sistem Operasi Windows 7

b. Wampserver2.5-x64

c. PSPad Editor Program 4.5.2 d. Macromedia Dreamweaver e. Google Chrome Browser f. JAWS 15

Perangkat lunak yang dibutuhkan untuk menjalankan media pembelajaran ini adalah : a. Sistem Operasi Windows 7

b. Wampserver2.5-x64 c. Google Chrome Browser d. JAWS 15

5.2.2 Kebutuhan Perangkat Keras

Spesifikasi komputer yang dibutuhkan untuk membangun media pembelajaran ini adalah :

a. Processor Intel Core I7 b. RAM 8 GB

c. Hardisk 750 GB

d. Nvidia Geforce' GT 635. 2GB e. Speaker standard

f. Mouse standard

Spesifikasi komputer minimal yang akan dibutuhkan untuk menjalankan aplikasi ini adalah :

a. Processor Dua core b. RAM 2 GB c. Hardisk 250 GB d. Display standard e. Speaker standard f. Mouse standard 5.2.3 Desain Database a. Tabel User

(29)

29

Tabel 1 : Tabel User

Field Type Size

userid Char 50

Password Varchar 50

level Int 2

b. Tabel Main Level

Tabel 1 : Tabel Main Level

Field Type Size

Syntatic Text 256

Type Varchar 20

c. Tabel Level

Tabel 1 : Tabel Main Level

Field Type Size

Word1 Text 256 Function1 Varchar 20 Category1 varchar 20 Word2 Text 256 Function2 Varchar 20 Category2 varchar 20 Word3 Text 256 Function3 Varchar 20 Category3 varchar 20 Word4 Text 256 Function4 Varchar 20 Category4 varchar 20 Word5 Text 256 Function5 Varchar 20 Category5 varchar 20 Word6 Text 256 Function6 Varchar 20

(30)

30 Category6 varchar 20 Word7 Text 256 Function7 Varchar 20 Category7 varchar 20 Word8 Text 256 Function8 Varchar 20 Category8 varchar 20 Word9 Text 256 Function1 Varchar 20 Category9 varchar 20 Word10 Text 256 Function10 Varchar 20 Category10 varchar 20

(31)

5.2.4 Desain Input Output 5.2.4.1 Desain Input

a. Desain Input User Validation (mahasiswa melakukan login)

Gambar 4.2 Desain Input User Validation

b. Desain Input Menu

(32)

32

c. Desain Input Main Level (mahasiswa menginput unit sintaksis)

Gambar 4.4 Desain Input Main Level

d. Desain Input Level 1 (mahasiswa melakukan segmentasi)

(33)

33

e. Desain Input Level 1.1 (mahasiswa melakukan segmentasi)

Gambar 4.6 Desain Input Level 1.1

e. Desain Input Level 1.1.1 (mahasiswa melakukan segmentasi)

(34)

34

f. Desain Input Level 1.1.1.1 (mahasiswa melakukan segmentasi)

Gambar 4.8 Desain Input Level 1.1.1.1

g. Desain Input Guide for Use (petunjuk penggunaan)

(35)

35 5.2.4.2 Desain Output

a. Desain Output Tree Diagram (penerjemahan segmentasi menjadi gambar)

(36)

36 BAB 6

RENCANA PENELITIAN TAHAPAN BERIKUTNYA

6.1 Tujuan Penelitian

Penelitian tahun kedua akan dilakukan untuk:

a. Membuktikan melalui ujicoba bahwa model pembelajaran inklusif yang telah disusun pada penelitian tahun pertama tersebut memungkinkan mahasiswa penyandang tunanetra mencapai tujuan pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris seperti mahasiswa normal lainnya; dan

b. Menyusun model final pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi penyandang tunanetra di perguruan tinggi berdasarkan hasil ujicoba model.

6.2 Prosedur dan Tahapan Penelitian

Penelitian tahun kedua akan dilakukan dengan prosedur dan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Implementasi dan Ujicoba Model dan Rencana Pembelajaran Inklusif

Pada tahap ini akan dilakukan penelitian eksperimen untuk menguji efektivitas model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya (tahun 1) terhadap peningkatan hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris. Ujicoba akan dilakukan pada mata kuliah Sintaksis Bahasa Inggris yang diikuti oleh mahasiswa tunanetra pada semester genap tahun akademik 2014/2015. Dua variabel bebasnya adalah model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris dan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris oleh mahasiswa tunanetra. Variabel hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris mahasiswa tunanetra akan diukur lewat test yang akan diberikan kepada mahasiswa tunanetra peserta eksperimen di awal dan akhir tindakan (pre-test dan post-test).

Penelitian eksperimen ini akan dilakukan dengan menggunakan model Pretest-Posttest Control Group Design dengan satu macam perlakuan (Arikunto, 2003), yang dilakukan pada satu kelompok eksperimen dan satu kelompok pembanding.

Model eksperimen dilakukan seperti yang digambarkan pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1. Pretest-Postest Control Group Design E : O1 x1 O2

(37)

37 Keterangan : E = Kelompok Eksperimen P = Kelompok Pembanding O1 = Pre-test O2 = Post-test

x1 = Perlakuan dengan model inklusif x2 = Perlakuan dengan model eksklusif

Eksperimen ini untuk menjawab 3 (tiga) hipotesis penelitian:

1. Ho : Penggunaan model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris.

2. Ho : Penggunaan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris.

3. Ho : Penggunaan model strategi pembelajaran inklusif dan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris.

2. Tahap Penyempurnaan Model Pembelajaran Inklusif

Tahap terakhir ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, yang sudah disempurnakan setelah melalui ujicoba dan revisi. Kegiatan yang akan dilakukan dalam tahap ini meliputi:

a. Melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan dosen pengampu mata kuliah bahasa Inggris tentang hasil uji coba model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra.

b. Merevisi model berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus (FGD).

c. Mengkonsultasikan hasil revisi model pembelajaran inklusif dengan ahli pembelajaran inklusif dan media pembelajaran difabel. Strategi pembelajaran inklusif akan dikonsultasikan dengan ahli dari Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Sedangkan media pembelajaran untuk mahasiswa tunanetra akan dikonsultasikan dengan ahli media pembelajaran difabel dari Pusat Layanan Difabel, Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta.

d. Menyempurnakan (finalisiasi) model berdasarkan hasil expert judgement dengan ahli strategi pembelajaran inklusif dan media pembelajaran difabel sehingga dihasilkan

(38)

38

model pembelajaran inklusif bahasa Inggris yang lebih baik bagi mahasiswa tunanetra untuk dijadikan model bagi pelaksanaan pembelajaran inklusif mata kuliah lainnya. Secara ringkas, prosedur dan tahapan penelitian ini dapat disajikan pada Gambar berikut.

Tahap1 Ujicoba model pembelajaran inklusif • Ujicoba model dengan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol • Analisis data ujicoba • Kesimpulan hasil

ujicoba

Tahap 2 Penyempurnaan model

pembelajaran inklusif

• FGD model dengan dosen • Revisi model berdasarkan hasil

FGD

• Expert judgement dengan ahli pembelajaran inklusif dan media pembelajaran difabel

• Finalisasi model pembelajaran inklusif bahasa Inggris

Luaran Penelitian:

• Model akhir pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra

• Media pembelajaran syntactic

analyser

• Artikel ilmiah untuk jurnal dan seminar ilmiah

(39)

39 BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa tunanetra dalam proses perkuliahan Sintaksis bahasa Inggris, meliputi: a) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk mendapatkan materi perkuliahan Sintaksis bahasa Inggris yang kompatibel dengan pembaca layar JAWS; b) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk beradaptasi dengan situasi pembelajaran; dan c) kesulitan mahasiswa tunanetra untuk membentuk diagram pohon yang sesuai dengan kaidah segmentasi struktur sintaksis bahasa Inggris.

2. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, penelitian ini juga menghasilkan sebuah model pembelajaran berbasis web yang telah disesuaikan dengan: a) media pembelajaran Sintaksis bahasa Inggris; b) prinsip khusus peserta didik tunanetra; dan c) prinsip segmentasi struktur sintaksis bahasa Inggris.

7.2 Saran

Walau temuan hasil telah berhasil diidentifikasi, penelitian ini masih memerlukan pengembangan lebih dalam, salah satunya untuk memperluas fungsi media pembelajaran Sintaksis bahasa Inggris untuk mencakup analisis yang lebih kompleks, misalnya segmentasi kalimat majemuk setara atau bertingkat.

(40)

40

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang

Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) UNESCO (1994). Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Kegiatan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Media Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Hastuti, Endah Dwi. 2010. “Meningkatkan Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris dengan Model Make a Match pada Siswa Tunarungu Wicara dan Tunagrahita Kelas VII SMPLB”. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 9 No. 1 Juni 2010. Hal. 20-26.

Nababan, M.R., Nugroho, R.A., Sunardi. 2011. “Strategi Penerjemahan oleh Penerjemah Tunanetra”. Working Paper at International Conference on Language and Culture at Works, 5 – 7 November 2011. Sebelas Maret University.

Nawawi, Ahmad. 2010. Pendidikan Inklusi bagi Anak Low Vision. Bandung: Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI Bandung.

Rudiyati, Sari. 2010. “Pembelajaran Membaca dan Menulis Braille Permulaan pada Anak Tunanetra di SLB Tunanetra”. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 9 No. 1 Juni 2010. Hal. 10-15.

Sri Mulatsih, Sunardi, Muhammad Rifqi. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran “Writing” Berbasis Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.

Sunanto, Juang. 2009. ‘Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar’. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 8 No. 2 Desember 2009. Hal. 111-120.

Tarsidi, Didi. 2007. Komputer dan Ketunanetraan. Diakses 12 Februari 2013 dari http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/07/komputerdanketunanetraan.html.

Tarsidi, Didi. 2009. Dampak Ketunaan pada Pembelajar Bahasa. Diakses 12 Februari 2013 dari http://d-tarsidi.blogspot.com/2009/03/dampak-ketunanetraan-terhadap.html. Tarsidi, Didi. 2012. “Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Perguruan Tinggi”. Makalah

pada International Workshop on Inclusive Education, Universitas Brawijaya Malang, 10 – 11 November 2012.

Van der Akker, J. 1999. “Principles and Methods of Development Research” in Jan Van der Akker, Robert M. Bearch, Kent Gutafson, Nienke Nieveen, and Tjeerd Polmps (Eds.). Design Approaches and Tools in Action and Training. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

(41)

41 Lampiran 1. Instrumen Penelitian

Hasil Expert Judgement Model dengan ahli pembelajaran bahasa Inggris

(Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana, Program S3 Linguistik, Universitas Sebelas Maret Surakarta)

(42)

42

Hasil Expert Judgement Model dengan ahli pembelajaran inklusif/disabilitas

(Ro’fah, M.A., Ph.D, Pusat Layanan Disabilitas, Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta)

(43)

43

Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti dan Kualifikasinya

No Nama / NIDN Jabatan Instansi Asal Bidang Ilmu

1 Sunardi, S.S., M.Pd. / 0612016601

Ketua Peneliti Prodi Sastra Inggris, Universitas Dian Nuswantoro Linguistik Bahasa Inggris 2 Raden Arief Nugroho, S.S., M.Hum. / 0617068402 Anggota Peneliti

Prodi Sastra Inggris, Universitas Dian Nuswantoro

Linguistik Penerjemahan Tunanetra 3 Budi Harjo, S.Kom.,

M.Kom. / 0606027101

Anggota Peneliti

Prodi Teknik Informatika D3, Universitas Dian Nuswantoro

Teknik informatika

(44)

44 Lampiran 3. Publikasi Hasil Penelitian

1. Publikasi dalam Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Terapan (SEMANTIK), akan disajikan pada 16 Nopember 2014, di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Gambar

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Diagram 4.1 Model Pembelajaran Inklusif Bahasa Inggris  5.1.3 Pembentukan Diagram Pohon
Tabel 1  : Tabel Main Level
Gambar 4.2 Desain Input  User Validation
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesalahan konsep terbanyak terjadi karena siswa gagal atau salah dalam mengidentifikasi bangun dalam soal, sehingga siswa tidak mampu menentukan rumus atau

Nasabah yang telah ditetapkan Mandiri. Dalam melaksanakan instruksi dari Nasabah, Mandiri bertindak selaku kuasa dari Nasabah dan karenanya Nasabah terikat pada tindakan-tindakan

Salam...sesungguhnya perbedaan pendapat itu adalah rahmat bagi alam,kita sebaga pendokong dan pewaris ilmu BBM sememangnya perlu memahami antara satu dan yg lain

Hasil dari penelitian pertumbuhan dan perkembangan kacang tanah yang telah kami teliti dapat dilihat dalam tabel berikut.

Laporkan kepada pengawasruang ujian apabila terdapat lembar soal, nomor soal yang tidak lengkap atau tidak urut, serta LJUSBN yang rusak atau robek untuk mendapat

 1 (satu) buah plastic bening yang bertuliskan TIKI yang didalamnya berisikan 1 buah amplop coklat yang bertuliskan TIKI yang didalamnya terdapat 1 buah buku

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan impulse control dan optimism merupakan kemampuan yang perlu menjadi fokus untuk dikembangkan

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa profil resilience pada ibu yang memiliki anak autis dan mampu menerima anaknya berada pada kategori tinggi untuk kemampuan impulse