• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNaaN HaBItat DaN sUMBEr Daya OLEH GaJaH sUMatEra

(

Elephas maximus sumatranus temminck, 1847)

DI HUtaN PrOv. NaD MENGGUNaKaN tEKNIK GIs

abdullah*

*Jurusan Biologi, FKIP, Unsyiah Banda Aceh

e-mail: doel_biologi@yahoo.com

aBstraCt

Mismanagement of habitat use of Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) in Sumatran �orest have increased human-elephant conflict and decreased elepahant population size. The aim of this research was to find strategies of resources and habitat use considering constraint factors. The research conducted in Aceh �orest especially in Ulu Masen Area (±750.000 ha). Feeding ecology and daily activity data collected using focal animal sampling and scan animal sampling. Suitability habitat analyzed using Geographic Information System (GIS) technique. Based on the dominance of feses distribution of each class of habitat factor,Geographic Information System (GIS) technique. Based on the dominance of feses distribution of each class of habitat factor,Based on the dominance of feses distribution of each class of habitat factor, we found the most preference level of each habitat factors were primary forest with very close coverage, food availability (>75��), no big herbivore and predator, slope slightly (0-20°), primary forest (0-5 m) and far to disturbance (>1.500 km). The animals spend more time in primary forest (feeding, social interaction, reproduction and parental care) than secondary forest and grassland (feeding and walking). The habitat suitability (corrected by time budget) resulted 143.678,60 ha (21,82��) for 16,56 elephants by carrying capacity 0,000115 elephant/ha. Strategies of hábitat used: elephants use specific habitat (permanently wet forest and high in accessibility in primary forest and use food resource (high in availability and easy handling) and maximize feeding time and avoid habitat constraint (temporal strategy).

Key words: sumatran elephant, resources and constraint, and habitat use.

PENGaNtar

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus TEMMINCK, 1847) merupakan sub�spesies gajah Asia yang endemik Sumatera. Spesies ini terdaftar dalam buku merah (red data book) Lembaga Internasional Pelestarian Alam (IUCN, International Union for Conservation

of Nature) dengan status terancam punah (endangered species). Sementara itu, Perjanjian Internasional Tentang

Perdagangan Spesies Flora dan Fauna Terancam Punah (CITES) mengkategorikan gajah Sumatera ke dalam kelompok spesies yang sangat dilarang untuk diperdagangkan (Appendix I) sejak tahun 1990. Hewan ini juga telah dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar No. 134 dan 226 tahun 1931 dan Surat Keputusan Mentan RI No. 327/1972 (Dephut RI, 2007). Estimasi populasi gajah Sumatera antara 2.800�4.800 ekor (44 kelompok) dengan persebaran di Pro�insi Riau (13 kelompok), Sumatera Selatan (delapan kelompok), Jambi (lima kelompok), Bengkulu (dua kelompok), Lampung (11 kelompok), Sumatera Barat (satu kelompok) dan Sumatera Utara bagian barat dan Aceh (empat kelompok) (Santiapillai dan Ramono, 1993). Namun jumlah ini diperkirakan terus menurun akibat penangkapan, perburuan liar dan konversi

hutan untuk berbagai kepentingan (Hedges dkk., 2002; Nyhus dan Tilson, 2004).).

Kelangsungan hidup populasi gajah Sumatera dapat dianggap tidak menentu karena tingginya tekanan dan gangguan, serta kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara hidup gajah di habitat aslinya yang dibutuhkan sebagai acuan pengelolaan populasi alami. Pengetahuan ekologis tentang bagaimana strategi gajah menggunakan habitat dan sumber daya masih sangat terbatas (Krebs, 1994; Elton, 1996; Hamilton dkk., 2005; Blake dkk., 2007). Pemilihan lokasi untuk beraktivitas, mencari makan, dan menentukan waktu makan yang tepat dipengaruhi oleh berbagai faktor pembatas dalam habitat (Soeriatmadja, 1982; Sukumar, 1989; Nyhus dan Tilson, 2004; AbdullahNyhus dan Tilson, 2004; AbdullahAbdullah dkk., 2005). Ketersediaan habitat dan sumber daya yang dipengaruhi oleh musim, aksesibilitas dan gangguan sangat menentukan bagaimana gajah menggunakan habitat dan sumber dayanya. Berbagai faktor habitat dan sumber daya yang beroperasi di alam, perlu diidentifikasi di lapangan sesuai dengan kebutuhan gajah, yang akan sangat diperlukan dalam penentuan kesesuaian habitat. Habitat yang sesuai bagi kehidupan gajah, yang menjamin aktivitas gajah secara normal (Stilling, 1992; Nyhus dan Tilson, 2004;Stilling, 1992; Nyhus dan Tilson, 2004; Shannon dkk., 2006), digunakan sebagai dasar untukdigunakan sebagai dasar untuk

(2)

penentuan luasan habitat yang efektif untuk menampung populasi yang berkelanjutan.

Jika habitat tidak lagi sesuai dengan kebutuhan gajah, maka hewan ini akan keluar dari habitat menuju kawasan di sekitarnya misalnya perkebunan, perladangan atau pemukiman penduduk sehingga menimbulkan konflik dengan manusia (Seidensticker, 1984). Gajah Sumatera membutuhkan jumlah konsumsi makanan yang banyak untuk mencukupi kebutuhan energi sesuai dengan ukuran tubuhnya yang besar (Seidensticker, 1984). Ketika kebutuhan makanan yang tinggi tidak lagi terpenuhi oleh habitat, sementara potensi pakan yang tinggi tersedia di sekitar habitat, mendorong gajah untuk keluar dari habitatnya untuk memanfaatkan sumber daya makanan yang tersedia di kawasan budidaya untuk memenuhi kekurangan makanan. Hal ini dapat memicu terjadinya peningkatan konflik dengan manusia. Masalah kelangsungan hidup populasi gajah Sumatera yang dianggap tidak menentu seperti diungkapkan di atas berusaha dijawab dalam penelitian ini. Bagaimana strategi gajah menggunakan habitat yang memiliki faktor pembatas, sumber daya yang fluktuatif, dan gangguan yang terus menerus secara meruang dan mewaktu untuk menjamin kelangsungan hidup populasi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji penggunaanengkaji penggunaan sumber daya dan faktor habitat; 2) mengkaji kesesuaianengkaji kesesuaian habitat berdasarkan luas lokasi makan (feeding patch) dan 3) mempekirakan luasan habitat yang sesuai dan ukuran populasi yang tertampung

BaHaN DaN Cara KErJa Lokasi penelitian

Lokasi sampling dilakukaan di Hutan Aceh Bagian Utara atau dikenal sebagai Kawasan Hutan Ulu Masen Pro�insi Aceh. Hutan ini terletak antara 95°48’E�95°80’E

dan 05°44’N�05°80’N, dengan luas kawasan lebih dari 7.500.000 ha. Secara adminitratif terletak di Kabupaten Aceh Pidie, Aceh Jaya, Aceh Besar dan Aceh Barat. Dalam kawasan hutan ini juga terdapat Hutan Cagar Alam Jantho dan Hutan Lindung. Kawasan hutan ini terdiri dari hutan dataran rendah (lowland forest), hutan pengunungan (montaint rainforest) dan padang rumput (grasslands). Dalam lokasi penelitian diletakan 12 plot berbentuk transek garis (line transect) secara proporsional mengikuti daerah jelajah gajah. Peletakan plot diletakkan dengan mempertimbangkan tipe hutan yang digunakan oleh gajah (Gambar.1)

Pengumpulan Data

Data penggunaan habitat gajah ditentukan dengan menandai lokasi yang digunakan gajah dengan GPS (Global

Positioning System). Penendaan dilakukan berdasarkan

kotoran (feses) gajah yang ditemukan di habitatnya dan dicatat �ariasi faktor habitatnya. Faktor habitat yang diamati adalah ketinggian (mdpl), kemiringan (derajat), penutupan tajuk (%), ketersediaan tumbuhan pakan gajah, kehadiran predator, herbivor, ketersedian kulit pohon, jarak ke hutan primer, jarak ke sumber air dan jarak ke sumber gangguan. Pengumpulan data dengan mengikuti garis transek yang ditentukan berdasarkan lintasan gajah dengan luas 2000 mx 5m.

analisis

Analisis kesesuain habitat (suitability habitat) dilakukan dengan menggunakan teknik GIS (Geographic Information

System). Pengelompokkan kualitas habitat dibagi tiga kelas

yaitu baik, sedang dan buruk. HasIL

Penggunaan habitat dan sumber daya

Penelitian diawali dengan mengidentifikasi dan mengelompokkan kelas sumber daya dan faktor habitat untuk digunakan dalam analisis lanjutan. Penggunaan sumber daya merupakan adanya bahan�bahan yang dikonsumsi atau digunakan oleh gajah dalam habitat untuk kebutuhan makan dan pemeliharaan tubuh. Sumber daya meliputi ketersediaan makanan, air, pohon menggesekkan badan dan kulit pohon. Selain sumber daya, faktor habitat yang sering digunakan atau yang bersifat membatasi gajah dalam mendapatkan sumber daya dan ruang ditentukan hubungannya dengan distribusi feses dalam habitat.

Berdasarkan distribusi feses dalam setiap kelas sumber daya dan faktor habitat diperoleh sembilan variabel habitat yang berhubungan dengan penggunaan habitat gajah

(3)

Sumatera dengan kondisi kelas yang sering digunakan masing�masing (Tabel 1), sedangkan dua �ariabel habitat yang tidak memiliki korelasi kuat antara variabel habitat dengan penggunaannya oleh gajah tidak diperhitungkan dalam analisis selanjutnya adalah jarak sumber air dan ketinggian lahan. Gajah Sumatera tidak mempertimbangkan jarak ke air dalam hutan primer disebabkan dalam hutan topis Sumatera di Pro�insi Nanggroe Aceh Darussalam sangat dapat dengan mudah menemukan sumber air. Ketinggian lahan juga tidak berperan dalam penggunaan habitat karena gajah membutuhkan daerah yang cendrung datar.

Variabel habitat yang sangat menentukan dalam pemilihan habitat gajah Sumatera adalah jarak ke hutan primer dan kemiringan lahan. Jarak hutan primer dibutuhkan gajah karena gajah banyak melakukan aktivitasnya di hutan primer seperti interaksi sosial, menghindari dari musuh, reprodukasi dan akti�itas makan. Keberadaan hutan primer penting bagi gajah Sumatera karena menyediakan sumber daya dan ruang yang sesuai (Hedges dkk., 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Seidenticker (1984) juga juga menyebutkan bahwa gajah Sumatera membutuhkan hutanajah Sumatera membutuhkan hutan primer sebagai tempat untuk bernaung dan beristirahat.

Gajah kurang mempertim�bangkan ketersediaan air dan makanan sebagai faktor habitat utama dalam memilih habitat di hutan tropis karena ketersediaan air dan pakan dalam hutan tropis dapat ditemukan dengan mudah dalam semua tipe habitat. Berbeda dengan megaherbi�or yang terdapat di habitat hutan Afrika, yang sangat mempertimbangkan faktor ketersediaan sumber pakan dalam memilih habitatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Mwangi dan �estern

(1998) di Taman Nasional Nakuru, Kenya menyebutkan bahwa megaherbi�or Afrika, termasuk gajah sangat mempertimbangkan lokasi habitat yang terdapat distribusi sumber makanan. Penentuan faktor habitat sangat penting bagi gajah dalam memilih habitat. Hal ini juga telah dilakukan di Hutan Xishuangbanna, Cina untuk menentukan kualitas habitat gajah dengan menggunakan parameter fisik habitat yang menyebutkan bahwa faktor �egetasi sangat diperhitungkan oleh gajah dalam memilih habitat (Zhixi dkk., 1995).

Keberadaan hutan primer sangat penting dalam memilih habitat oleh gajah di hutan tropis, karena gajah Sumatera tidak bertahan lama di terik matahari (Mukhtar, 1989). analisis penggunaan sumber daya dan faktor habitat musiman

Berdasarkan uji statistik distribusi feses dalam habitat selama musim hujan dan musim kemarau menunjukkan bahwa distribusi feses selama musim hujan dan musim kemarau tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali untuk variabel habitat ketersediaan tumbuhan pakan dan kehadiran herbi�or. Tidak adanya perbedaan distribusi feses dalam �ariabel habitat disebabkan bahwa secara umum kondisi ekologis hutan hujan tropis memiliki kesetimbangan ekologis sepanjang tahun (evergreen) (Stiling, 1992), sehingga kondisi faktor habitat ketersediaan sumber daya relatif stabil. Distribusi feses dalam habitat dengan variabel ketersediaan tumbuhan pakan berbeda dalam habitat karena ketersediaan tumbuhan pakan yang mudah dijumpai dan merata pada musim hujan. Keadaan ini memudahkan bagi gajah untuk mendapatkan lokasi makan yang didominasi oleh tumbuhan pakan. Pada musim hujan, kehadiran jenis semak dan rumput dan tumbuhan cepat tumbuh (muda) banyak dalam habitat hutan sekunder dan padang rumput (HallHall dkk., 1993). Distribusi feses dalam habitat dengan faktor habitat kehadiran herbivor juga berbeda nyata disebabkan oleh kehadiran kerbau yang dilepaskan oleh pengembala kerbau sekitar hutan setelah musim tanam padi.

analisis kesesuaian habitat

Analisis kesesuaian habitat dilakukan dengan menggunakan konsep evaluasi habitat dengan analisisnalisis kesesuaian habitat dilakukan dengan menggunakan Teknik Sistem Informasi Geografis yang telah lama dikembangkanyang telah lama dikembangkan (Riqqi, 2000). Dalam analisis kesesuaian habitat ini digunakan berbagai indikasi penggunaan dan ketersediaan faktor lingkungan sebagai persyaratan habitat bagi gajah Sumatera yang diperoleh dari data lapangan dan analisis

tabel 1. Urutan dan kondisi habitat yang sering digunakan gajah

variabel habitat Nilai f P sering digunakanKondisi yang Jarak ke hutan primer 39,044 0,001 Dekat (0–5 m) Kemiringan lahan 18,808 0,001 Landai (0–20°) Ketersediaan pohon

gesek badan

11,211 0,001 Banyak(>5 pohon/� plot)

Kehadiran herbivor 8,097 0,001 Tidak ada Jarak gangguan 7,884 0,001 Sangat jauh

(>1500 m) Ketersediaan kulit

pohon

6,079 0,006 Banyak(>3 pohon/� plot)

Penutupan tajuk 5,624 0,002 Sangat rapat (88–100%) Kehadiran predator 5,264 0,010 Tidak ada Ketersediaan

tumbuhan pakan

4,143 0,025 Sangat banyak (>75%)

(4)

peta (Tabel 2). Data ketersediaan sumber daya dan faktor lingkungan disajikan dalam bentuk peta tematik, selanjutnya ditumpang�susunkan untuk mendapatkan luas unit habitat yang sesuai bagi gajah Sumatera.

Nilai penting atau bobot variabel habitat diperoleh dari nilai analisis variansi feses tiap varibel habitat dan nilai kelas berdasarkan proporsi feses tiap kelas. Kualitas habitat diperoleh berdasarkan indeks kesesuaian habitat. Indeks kesesuaian habitat merupakan jumlah dari hasil perkalian semua bobot nilai penting dengan nilai proporsi feses tiap kelas �ariabel habitat. Indeks ini selanjutnya dibagi menjadi tiga kelas kualitas habitat (Tabel 2).

Pembobotan variabel habitat untuk menentukan kelayakan habitat telah dilakukan gajah Asia di Xishungbanna, Cina (Zhixi dkk., 1995) dan penentuan preferensi habitat di Hutan Alpin Swiss (Graf dkk., 2005).

Adapun tahapan yang dilakukan dalam analisis kesesuaian habitat adalah sebagai berikut:

(1) Pembobotan (scoring): pada tahap ini setiap parameter dan kelas penggunaan sumber daya dan faktor habitat diberikan nilai (scoring) berdasarkan urutan kepentingan atau pengaruhnya terhadap penggunaan sumber daya dan faktor habitat oleh gajah Sumatera.

(2) Pembuatan peta tematik (thematic map): setiap parameter penggunaan sumber daya dan faktor habitat dan kelasnya masing�masing dibangun dalam peta tematik. Peta ini memberikan informasi pembagian kelas dengan nilainya masing�masing. Setiap kelas mendapatkan nilai secara proporsional. Pembagian kelas dilakukan berdasarkan korelasi distribusi feses dengan setiap parameter penggunaan sumber daya dan faktor habitat.

(3) Penumpang-tindihan (overlay) peta tematik: penumpang�tindihan (overlay) dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS 9,0 for Windows terhadap semua peta tematik yang telah diberikan bobot

secara proporsional untuk setiap variabel/kelas dari masing�masing parameter tersebut untuk mendapatkanuntuk mendapatkan peta hasil kesesuaian habitat.

Hasil analisis kesesuaian habitat disajikan dalam Tabel 3.

tabel 3. Pengelompokan kualitas habitat Kualitas habitat Kesesuaian

habitat

Luas area (ha)

Presentase Buruk Tidak sesuai 167.236,65 25,40 Sedang Tidak sesuai 347.594,28 52,79

Baik Sesuai 143.678,60 21,82

Total 658.509,53 100%

Aktivitas harian dan ekologi makan

Aktivitas harian gajah diamati secara langsung dengan teknik scan sampling terhadap gajah soliter dan kelompok yang ditemukan dalam habitat. Pengamatan dilakukan terhadap kelompok gajah yang terdiri dari 3�4 ekor gajah selama enam hari di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, diperoleh bahwa gajah lebih banyak melakukan akti�itasnya di hutan primer untuk istirahat (94,87%), interaksi atau reproduksi (100%), menggosokkan badan dan merawat anak (parental care) (85,71%) dan makan (29,11%). Gajah menggunakan sebagian besar waktunya untuk makan (80,56%), berjalan (5,73%), istirahat (6,77%), menggesekkan badan dan merawat anak (parental care) (1,22%).

Berdasarkan waktu dan lokasi melakukan akti�itas (time budget) ini menjelaskan bahwa gajah Sumatera sangat membutuhkan tipe hutan primer yang digunakan untuk melakukan sebagian besar akti�itas hariannya (Mukhtar, 1989; Hedges dkk., 2002). Penelitian yang dilakukan Bulte dkk., (2006) di Taman Nasional Amboseli, Kenya, menyebutkan bahwa gajah membutuhkan lokasi naungan untuk beristirahat& reproduksi dan berinteraksi sosial.

tabel 2. Pembobotan variabel habitat Bobot/� Nilai kls JP M PGB KH JG KKP PTP KP KTP TP IKH KH 39.04 18.81 11.21 8.10 7.88 6.08 5.62 5.26 4.14 3.58 N1 6.73 6.61 2.84 1.79 3.38 2.66 2.57 1.59 1.39 1.69 355–528 Baik N2 2.47 5.70 1.53 1.13 2.23 1.80 1.51 1.01 1.30 1.36 177–354 Sedang N3 1.00 1.00 1.00 1.00 1.23 1.00 1.43 1.00 1.00 1.22 0–176 Buruk N4 1.00 1.00 1.00

Keterangan: N1, N2, N3 dan N4 = Nilai kelas berdasarkan proporsi feses tiap kelas, JP = Jarak Primer, M = Kemiringan, PGB = Pohon Gesek Badan, KH = Ketersediaan Herbivor, JG = Jarak ke Sumber Gangguan, KKP = Ketersediaan Kulit Pohon, PT = Penutupan Tajuk Pohon, Kehadiran Predator, KTP = Ketersediaan Tumbuhan Pohon, TP = Tipe Hutan, IKH = Indeks Kesesuaian Habitat dan KH = Kualitas Habitat

(5)

Sisa waktunya dihabiskan di hutan sekunder dan padang rumput untuk makan dan berjalan. Gajah menggunakan semua tipe hutan dalam melakukan aktivitas harian, namun kebutuhan hutan primer dapat menjadi faktor koreksi kebutuhan habitat gajah. Secara umum, gajah Asia lebih sering berada di hutan primer untuk berakti�itas (Eisenberg dkk., 1990; Chen dkk., 2006).

Gajah termasuk hewan yang sedikit sekali menggunakan waktunya untuk beristirahat. Gajah beristirahat dua kali sehari, yaitu pada tengah malam dan siang hari. Pada malam hari, gajah sering tidur dengan merebahkan diri ke samping tubuhnya di hutan primer. Sementara itu, pada siang hari gajah istrahat sambil berdiri di bawah pohon yang rindang. Perbedaan perilaku ini diduga berkaitan dengan adanya ancaman. Pada siang hari, apabila kondisi lingkungan kurang aman, maka gajah akan memilih tidur sambil berdiri yang berfungsi sebagai perilaku siaga terhadap munculnya gangguan. �aktu istirahat biasanya dimanfaatkan oleh gajah untuk berkubang dan menggesekkan badan ke pohon. Pada saat musim kawin, gajah jantan akan memanfaatkan waktu istirahatnya untuk menarik perhatian gajah betina (Sukumar, 1989; Eisenberg dkk., 1990). Rerata jumlah konsumsi harian gajah Sumatera di Kawasan Ulu Masen

adalah 308,22±8,92 kg berat basah tumbuhan pakan. Jumlah konsumsi harian ini lebih besar dari jumlah konsumsi harian di peroleh oleh beberapa peneliti sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis vegetasi yang dikomsumsi di satu tempat dengan tempat lain dan adanya perbedaan waktu menggunakan tipe habitat. Gajah membutuhkan makanan dalam jumlah yang banyak sehingga selain menggunakan hutan primer, gajah juga menggunakan hutan terbuka (hutan sekunder, padang rumput) untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Penelitian yang dilakukan oleh Santiapillai (1984) menyebutkan jumlah konsumsi harian gajah Asia sebesar 150 kg berat basah. Menurut Lekagul dan McNeely (1975) jumlah konsumsi harian gajah Asia di alam 250 kg, sedangkan penelitian yang dilakukan Zulkarnain (1993) di Aceh menyebutkan jumlah konsumsi harian sebesar 300 kg. Jumlah konsumsi harian gajah berbeda untuk setiap daerah hutan yang sangat di pengaruhi oleh �egetasi penyusun habitat dan topografi kawasan yang menjadi habitat gajah. Jumlah konsumsi harian ini yang besar mengharuskan gajah melakukan aktivitas makan aktif, namun keberadaan gajah dalam kondisi habitat yang terfragmentasi menyebabkan gajah sulit memenuhi kebutuhan makan hariannya. Di hutan Sumatera khususnya di Kawasan Ulu Masen Pro�insi Nanggroe Aceh, habitat gajah semakin sempit, sehingga gajah kesulitan untuk mencukupi kebutuhan makan hariannya yang menyebabkan gajah sering keluar dari habitatnya.

PEMBaHasaN

Penggunaan habitat yang sesuai

Gajah terutama menggunakan habitat spesifik yaitu hutan tertutup basah permanen dengan aksesibilitas tinggi. Gajah lebih sering menggunakan habitat dengan ciri berjarak dekat ke hutan, kemiringan landai, terdapat pohon gesek badan, dan tidak dijumpai herbi�or besar lainnya. Sebagian besar aktivitas gajah dilakukan di hutan primer (berlindung, istirahat, interaksi sosial dan reproduksi) namun lebih banyak menghabiskan waktu untuk makan di hutan sekunder. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Nyhus dan Tilson (2004) di Taman Nasional �ay Kambas juga menyebutkan bahwa menggunakan habitat hutan primer sedangkan padang rumput hanya digunakan untuk menuju ke unit habitat lain.

Hasil analisis kesesuaian habitat diperoleh luas unit habitat yang sesuai (suitable) dengan kategori baik yaitu unit habitat yang telah menggabungkan semua variabel habitat (sumber daya dan faktor pembatas) sebesar 143.678,60 ha atau 21.82% dan kategori sedang yaitu

(6)

tersedia makan dan dapat diakses, namun tidak terdapat lokasi reproduksi/istirahat sebesar 347.594,28 ha (52,79%) (Tabel 3). Setelah dikoreksi dengan lokasi dan waktu melakukan akti�itas (time budget) yang mana gajah hanya melakukan aktivitas reproduksi dan istirahat di habitat dengan kualitas baik yang berada di hutan primer, maka diperoleh habitat gajah Sumatera yang sesuai (suitable) hanya dalam habitat dengan kualitas baik. Dalam habitat ini gajah dapat hidup secara layak tersedia ruang dan sumber daya cukup untuk melakukan semua aktivitas untuk dapat bertahan hidup dalam habitatnya. Unit habitat yang sesuai (suitable) digunakan oleh gajah untuk melakukan akti�itas hariannya. Jika habitat yang sesuai terpisah jauh dengan lokasi sesuai yang lain menyebabkan terbentuk daerah habitat yang tidak sesuai. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh di daerah lain seperti di Hutan Tesonilo Pro�insi Riau (Abdullah dkk., 2005); Ghat Barat di India (Sukumar, 1990; Vidya dkk., 2005) menyebutkan hanya gajah menggunakan habitat yang sesuai. Hanya beberapa gajah saja yang melewati daerah habitat yang tidak sesuai. Daerah yang tidak sesuai dapat berfungsi sebagai hambatan (barrier) bagi bagi dalam melintasi suatu kawasan habitat. Bahkan gajah betina dan gajah kelompok memilih menetap di dalam daerah jelajah (home range), sedangkan gajah jantan kadang dapat melintasi daerah penghubung yang tidak sesuai (Sukumar, 1989).

Hanya sebagian kecil (21.82% setara dengan 143.678 ha ) Kawasan Ulu Masen yang sesuai untuk habitat gajah Sumatera yang diperkirakan berjumlah 16�17 ekor, sehingga perkiraan daya tampung habitat adalah 0,11 indi�idu/km2.

Ukuran populasi minimum yang dapat bertahan (minimum

viable populasi size) dalam habitat bagi hewan besar adalah

50 ekor (Akcaya, 2000). Kondisi habitat dan ukuran populasi yang tertampung sangat kecil sehingga dapat menyebabkan berkurangnya populasi bahkan menuju kepunahan. Estimasi luas habitat untuk populasi yang viabel

Estimasi populasi gajah yang lebih ideal dilakukan dengan mempertimbangkan luas lokasi makan (feeding

patch) karena cara ini telah mempertimbangkan kebutuhan

ruang lokasi mencari makan dan strategi penggunaan habitat. Luas lokasi makan harian diukur dengan merekam luas lokasi makan selama satu hari. Berdasarkan luas harian ditentukan luas lokasi makan selama satu musim. Selanjutnya indeks luas lokasi makan ditentukan denganditentukan dengan cara membandingkan luas lokasi mencari makan selama satu musim dengan jumlah gajah yang menggunakan lokasi tersebut. Selanjutnya untuk mendapatkan estimasi populasi dalam habitat yang sesuai ditentukan dengan

cara mengalikan daya dukung musiman (indeks luas lokasi mencari makan) dengan luas habitat yang sesuai diperoleh daya dukung musiman berdasarkan luas lokasi mencari makan diperoleh 0,000115 ind/ha. Estimasi populasi gajah dalam habitat diperoleh ukuran populasi sebesar 16,56 ekor gajah yang terdapat dalam Kawasan Ulu Masen dengan kondisi habitat yang sesuai (suitable).

Beberapa asumsi yang digunakan dalam estimasi ini adalah:

(1) Gajah berpindah dari satu lokasi makan ke lokasi makan yang baru dalam waktu kira�kira enam hari (waktu yang sering digunakan di suatu lokasi makan)

(2) Lokasi makan gajah dalam habitat yang heterogen dan luas lokasi makan dalam sama (musim bulan basah dan bulan kering);

(3) Gajah dapat kembali ke lokasi makan awal dalam selang waktu musiman (waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi pertumbuhan tumbuhan pakan);

(4) Untuk menjaga dan meningkat populasi gajah yang dapat bertahan dengan ukuran populasi (≥ 50 ekor gajah) diperlukan penambahan luas habitat yang memiliki kriteria habitat baik.

Daya dukung habitat gajah Sumatera di Kawasan Ulu Masen diperoleh sebesar 0,000115 ind/ha, estimasi dilakukan berdasarkan luas lokasi makan musiman dan analisis kesesuaian habitat. Ternyata diperoleh hasil yang lebih kecil dibandingkan dengan estimasi yang dilakukan oleh Santiapillai dan Suprahman (1984) di Malaysia yangSantiapillai dan Suprahman (1984) di Malaysia yang di Malaysia yang mendapatkan daya dukung habitat di hutan sekunder (0,27 ekor/km2) lebih dan hutan primer (0,12 ekor/km2)

yang melakukan estimasi daya dukung pakan yang terdapat dalam habitat, namun belum mempertimbangkan kebutuhan ruang dan faktor pembatas dalam habitat, selanjutnya Hedges dkk., (2002) melakukan estimasi ukuran populasi di Hutan Taman Nasional �ay Kambas Pro�insi Lampung (0,575 ekor/km2) dan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan (0,241 ekor/km2). Estimasi populasi

ini dilakukan dengan mengunakan metode laju defekasi, belum memperhitungkan kebutuhan ruang, adanya faktor pembatas dalam penggunaan habitat dan perilaku gajah dalam menggunakan habitat secara ekologis.

Estimasi Daya dukung habitat yang dilakukan di Kawasan Ulu Masen berusaha mendapat estimasi yang lebih kritis dengan mempertimbangkan kebutuhan ekologis gajah Sumatera (ruang melakukan akti�itas, lokasi mencari makanan, menghindar dari musuh, lokasi beristirahat dan reproduksi) dan waktu dan lokasi melakukan akti�itas harian berdasarkan strategi menggunakan habitat dan sumber daya.

(7)

Variabel habitat yang diperkirakan berhubungan dengan penggunaan habitat gajah meliputi kebutuhan sumber daya (ketersediaan makanan, ketersediaan kulit pohon, pohon menggesekkan badan) dan konstrain atau pembatas (kemiringan, ketinggian, jarak gangguan, jarak sumber air, jarak hutan primer, kehadiran herbivor besar dan predator). Penggunaan habitat dan sumber daya merupakan hasil dari perilaku harian yang secara utuh yang telah mempertimbangkan resiko dan hasil yang diperoleh dalam memenuhi kebutuhan hariannya (Krebs dan Da�ies, 1978; Eisenberg dkk., 1990; Stilling, 1992; Chen dkk., 2006).

Estimasi populasi dalam Kawasan Ulu Masen diperoleh 16,56 ekor gajah dalam habitat yang sesuai seluas 143.678,6 ha (21,82%) dari total luas kawasan 658.509,53 ha. Ukuran populasi yang tertampung dalam habitat sangat kecil, kondisi ini menggambarkan bahwa secara keseluruhan telah mengalami penurunan kualitas habitat sehingga tidak mampu menampung jumlah populasi yang dapat berlangsung hidup dalam waktu lama. Hal ini karena kualitas habitat yang tidak sesuai lebih luas yaitu kondisi habitat yang terdiri dari hutan sekunder dan padang rumput atau ilalang yang hanya digunakan gajah untuk melintas ke kawasan lain.

Untuk menjamin keberlangsungan hidup gajah dalam ukuran populasi minimum (minimum viable population

size) yang diasumsikan lebih dari 50 ekor (Akcaya, 2000)

maka untuk memenuhi kebutuhan habitat gajah, diperlukan Kawasan Perlindungan gajah sekurangnya mencapai luas 500.000 ha untuk dapat disebut sebagai daerah perlindungan gajah (elephant sanctuary).

UCaPaN tErIMa KasIH

Penulis secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada DP2M�DIKTI yang telah membantu dana penelitian, Prof. Dr. Djoko T. Iskandar, Dr. A.Sjarmidi, Dr. De�i N. Choesin, Kepala Laboratorium BiologiKepala Laboratorium Biologi FKIP Uni�ersitas Syiah Kuala, Drs. Andi Basrul (Kepala Balai Besar Konser�asi Sumber Daya Alam Departemen Kehutanan Pro�insi NAD, Dinas Kehutanan Pro�insi NAD, Direktur Fauna and International�Aceh Programme dan Direktur Yayasan Gajah Sumatera (YAGASU), Ente Rood dan Marten (Uni�ersitas Amsterdam).

KEPUstaKaaN

Abdullah, De�i N. Choesin dan A. Sjarmidi, 2005. Estimation of Habitat Carrying Capacity of Sumatran elephant (Elephas

maximus sumatranus TEMMINCK, 1847) in Tessonilo

Forest, Riau Pro�ince, Jurnal Ekologi dan Biodiversitas, ITB Bandung. 4(2), 37–41.

Akcaya, H.R, 2000. Population Viability Analyses with Demographically and Spatially Structured Models.

Ecological Bulletin. 48,23–38.

Blake, S.,Strindberg, S., Boudjand P., dan Makombo C, 2007. Forest Elephant Crisis in The Congo Basin. Journal Plos

Biologi, 5(4), 945–953.

Bulte, E.H., Boone, R.B., dan Thornton, P.K, 2006. �ild Life Conser�ation in Amboseli, Kenya: Paying for Nonuse Values, Report of Agricultural and Development Economics

Division (ESA) Food and Agriculture Organization of The United Nation, 1–32. Download: 20 September 2008.

Chen, J., Deng, X., Zhang, L dan Bai, Z, 2006. Diet Composition and Foraging Ecology of Asian Elephants in Shangyong, Xishuangbanna, China, Acta Ecologica Sinica, 26 (2), 309–316.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konser�asi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007–2008, 1–6.

Elton, C, 1996. Animal Ecology. Methuen & Co. Ltd and Science Paperback.

Eisenberg, J.F., McKay, G.M., dan Seidensticker, J, 1990. Asian Elephants. National Zoological Park�Smithsomian Institut. �ashington. D.C. 23–25.

Graf, R. F., Bollmann, K., Suter, �., dan Bugmann, H, 2005. The Importance of Spatial Scale in Habitat Models: Capercaillie in the Swiss Alps, Landscape Ecology, 20: 703–717. Hall, D.O., J.M.O. Scurlock, H.R. Bolhar�Nordenkampf, R.C.,

Leegood dan S.P Long, 1993. Photosynthesis and Production in A Changing En�ironment. Chapman & Hall, 1–17. Hamilton, D., Krink, T., dan Vollrath, F, 2005. Mo�ements and

Corridors of African Elephant in Relation to Protected Areas. Naturwissenchaften, 92: 158–163.

Hedges, S., Tyson, M.J., Sitompul, A.F., Kinnaird, M.F., Gunaryadi, D., & Aslan, 2005. Distribution, status, and conser�ation needs of Asian elephants (Elephas maximus) in Lampung Pro�ince, Sumatra, Indonesia. Biological Conservation, 1, 35–48.

Hedges, S., Tyson, M., Sitompul, A., Gunaryadi, D., Aslan, Kinnaird, M, 2002. Sumatran Elephant Population Sur�ey in Lampung Pro�ince, Sumatra, Indonesia, A report to the

National Geographic Society (grant number: 7060-01),

�CS Sumatran Elephant Project, 20 December 2002. Krebs, J.C, 1994. Ecology “The Experimental Analysis of

Distribution and Abundance”. Fourth Edition. Harper & Raw Publisher. Inc. New York. 56–60.

Lekagul, B. dan McNeely, 1975. Mammals of Thailand. Sahakarhabhat. Bangkok. 17–20.

Mukhtar, A.S. and Sumama, Y, 1994. Feeding and Mo�ement Pattern of Sumatran Elephants in Kawasan Pelestarian Alam �ay Kambas, Propinsi Lampung. Buletin Penelitian

Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

12–15.

Mwangi, E.M. dan �estern, D, 1998. Habitat Selection by Herbivores in Nakuru National Park, Kenya, Biodiversity

(8)

Nyhus, P., dan Tilson, R, 2004. Agroforestry, Elephant and Tiger: Balancing Conservation Theory and Practice in Human Dominated Landscape of Southeast Asia, Agricultural

Ecosystem and Environment, 104, 87–97.

Riqqi, A, 2000. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Kawasan Tambak. Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, 43–50.

Santiapillai, C., dan Ramono, �., S, 1993. Reconciling Elephant Conser�ation with Economic De�elopment in Sumatera, Asian Elephant Population and Habitat Viability Analysis.11–18.

Seidensticker, J, 1984. Managing elephant depredation in agricultural and forestry projects, �orld Bank Technical Paper. ISSN 0153�7494. �ashington, D.C., The �orld Bank. http://www.fao.org/docrep/s1930e/s1930e08. htm 20 November 2008. download pada 20 No�ember

2008.

Shannon, G., Page, B.R., Duffy, K.J., dan Slotow R, 2006. The Role of Foraging Beha�iour in Segregation of the African Elephant, Oecologia, 150: 344–354.

Stiling, P.D, 199. Ecology: Theories and Applications. PrenticeEcology: Theories and Applications. Prentice Hall International, Inc. New Jersey.

Sukumar, R, 1989. The Asian Elephant: Ecology and Management. Cambridge Uni�ersity Press. New York, 21–40.

Sukumar, R, 1990. Ecology of The Asian Elephant in Southern India. II. Feeding Habits and Crop Raiding Pattern, Journal

of Tropical Ecology. 6, 33–53.

Soeriaatmadja, R.E dan Hardjasasmita, H.S, 1982. Gajah Sumatera1982. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Kantor Menteri NegaraKantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 3–4. Vidya, T.N.C. dan Sukumar, R, 2005. Social and Reproducti�e

Behae�our in Elephnats, Current Science, 89(7), 1200–1207.

Zhixi, L., Hongga, L., dan Feng, L, 1995. E�aluation of Asian Elephant Habitat: Forest and Vegetation Mapping. Zulkarnain, 1993. Kajian Tentang Akti�itas Gajah Sumatera

(Elephas maximus sumatranus Temminck) dalam Pengembaraannya di Kabupaten Aceh Utara. SekolahSekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Teungku Chik Pante Kulu. Banda Aceh. 47–50.

Gambar

Gambar 1.  Lokasi penelitian di Hutan Provinsi NAD
tabel 1.  Urutan dan kondisi habitat yang sering digunakan  gajah
tabel 3.  Pengelompokan kualitas habitat Kualitas habitat Kesesuaian
Gambar 2.  Peta hasil analisis kesesuaian habitat

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan demikian, mengingat urgensi dari budaya daerah jatilan, maka para pemuda yang masih tergolong remaja dan menjadi subjek untuk mempertahankan dan

Justo un mes antes de cumplir los 19 años, Gauss se decantará definitivamente por las matemáticas y hará su primera anotación en su diario de notas, un pequeño cuaderno de 19

Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sesuai format asuhan kebidanan pada ibu selama masa kehamilan, persalinan, nifas, BBL daan KB yang berisi

Asuhan yang sudah diberikan sudah cukup baik, hendaknya lebih meningkatkan mutu pelayanan agar dapat memberikan asuhan yang lebih baik sesuai dengan standar

5) Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS. 6) Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering berganti pasangan. 7) Penyakit radang panggul

Mengukur TTV dan memberikan pesan kesehatan tentang tanda bahaya masa nifas yaitu: uterus lembek/tidak berkontraksi, perdarahan pervaginam >500 cc, sakit kepala

Ia adalah si “Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran disinya sendiri, self-conssciousness , mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui,dilihat dan