• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIK ARTEFAK BUDAYA DALAM ADAT MOMU O NGANGO DI BULANGO (TAPA) ARTIKEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA SIMBOLIK ARTEFAK BUDAYA DALAM ADAT MOMU O NGANGO DI BULANGO (TAPA) ARTIKEL"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

MAKNA SIMBOLIK ARTEFAK BUDAYA DALAM ADAT

MOMU’O NGANGO DI BULANGO (TAPA)

ARTIKEL

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti Ujian guna memperoleh gelar sarjana pendidikan pada

Program studi S1 Pendidikan Teknik Kriya

Oleh NITA IBRAHIM

NIM: 544409016

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK KRIYA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK KRIYA 2014

(2)
(3)

3

MAKNA SIMBOLIK ARTEFAK BUDAYA ADAT MOMU’O NGANGO DI BULANGO (TAPA)

NITA IBRAHIM¹ MURSIDAWATY² NOVAL S. TALANI³

Jurusan Teknik Kriya – Universitas Negeri Gorontalo Abstrak

Penelitian ini mengkaji makna simbolik artefak pada adat Momu’o Ngango (dutu), yang bertujuan untuk mengetahui benda-benda (artefak) budaya pada adat

momu’o ngango serta mampu memahami dan mendeskripsikan makna simbolik

artefak adat Momu’o Ngango (dutu). Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, pemilihan metode ini karena data yang diperoleh adalah data deskriptif atau deskripsi verbal dari informan. Adapun hasil penelitian ini, penulis terindikasi bahwa setiap artefak pada adat Momu’o Ngango (dutu) memiliki makna simboliknya. Momu’o Ngango atau yang biasa disebut (dutu) adalah pengresmian / pengukuhan secara umum dengan disaksikan oleh pemerintah setempat, bahwa pesta pernikahan akan berlangsung dalam waktu dekat. Adapun benda-benda artefak yang terdiri dari (1) kola-kola sebagai kendaraan hiasan yang membawa hantaran. (2) Genderang adalah peralatan sejenis bedugGenderang yang dibunyikan untuk mengiringi kola-kola. (3) tonggu (4) kati (5) mahar merupakan pembayaran adat kepada keluarga perempuan yang kemudian akan di bagi-bagikan kepada saudara-saudara dan adik-adik. (6) Tapahula sebagai wadah, di mana isinya berupa pinang, sirih, tembakau (tab’a), dan gambir. (7) payung adat (toyunga bilalanga) adalah payung kebesaran, maknanya sebagai kemuliayaan. Kegunaannya terdiri dari tiga macam yaitu memayungi pada saat pembawaan hu’o lo ngango, memayungi pada saat pengantin ketika turun dari mobil, memayungi pada saat tilolo. (8) Madipungu merupakan busana calon pengantin perempuan saat prosesi adat momu’o ngango. (9) pakaian adat utusan pihak laki-laki dan utusan perempuan disebut bo’o takowa kiki. Hal ini perlu dikaji mengingat kurangnya masyarakat dalam mengetahui dan memahami tentang artefak budaya dan makna simbolik pada artefak adat Momu’o Ngango khususnya generasi muda.

(4)

4

PENDAHULUAN

Adat Gorontalo pada umumnya dijabarkan pada tatanan adat istiadat yang telah menjadi tradisi turun temurun masyarakatnya dengan berlandaskan pada semboyan “adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuruani. Artinya adala adat berazaskan sara’, dan sara’ berazaskan Al Qur’an.” (Dangkua, 2000:13). Dari semboyan tersebut tergambar jelas bahwa adat istiadat Gorontalo sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dimana Al Qur’an menjadi azasnya. Menurut Daulima (2006: 1) sistem peradatan yang telah turun temurun dari dulu sampai sekarang masih tetap diberlakukan, sebagaimana ungkapan adat “malo

kakali, lonto butu asali, tohulia wali-wali” yang artinya “sudah tetap, dari awal

mula, dan sampai kini tetap berlaku.” Pernyataan ini menyiratkan keberlangsungan adat istiadat Gorontalo yang dilakukan secara turun temurun termasuk adat perkawinan. Dalam adat perkawinan terdapat beberapa tahapan-tahapan adat yang harus dilalui sebelum hari pelaksanaan perkawinan, tahap tersebut meliputi adat mongilalo, adat mohabari, adat momatata u pilo’otawa,

motolobalango, adat monga’ata dalalo, adat molenilo, adat modepita maharu, modepita dilonggata, adat moponika, dan adat momu’o ngango atau yang lebih

dikenal dengan modutu (Daulima, 2006:199). Tahapan-tahapan tersebut menjadi satukesatuan dalam rangkaian adat perkawinan yang harus dilalui.

Dalam adat momu’o ngango terdapat berbagai macam benda (artefak) terdiri dari kola-kola, genderang hantalo, tonggu, kati, maharu, pakaian pengantin wanita, pakaian luntu dulungo layi’o dan luntu dulungo walato, kopiah, sarung, payung, dan sebagai perlengkapanya yaitu pinang, sirih, tembakau, gambir, disertai buah-buahan seperti jeruk bali, nenas, tebu, nangka, dan tunas kelapa. Adat momu’o ngango atau modutu adalah acara pengresmian atau pengukuhan secara umum dengan disaksikan oleh pemerintah setempat bahwa pesta pernikahan akan dilaksanakan dalam waktu dekat (Daulima, 2006: 87). Berdasarkan hasil observasi terindikasi bahwa berbagai benda (artefak) yang digunakan dalam adat momu’o ngango memiliki makna simbolik dan sebagian besar masyarakat belum mengetahui alih-alih memahami makna tersebut

(5)

5 khususnya generasi muda. Dari fakta di atas maka penelitian mengenai makna simbolik artefak budaya dalam adat momu’o ngango relevan dilakukan karena sebelumnya belum ada penelitian sejenis dilakukan oleh orang lain. Kajian dan telaah mendalam terhadap artefak-artefak dalam adat momu’o ngango penting dilakukan agar mendapatkan pemahaman komprehensif atas fenomena adat yang belaku dimasyarakat Gorontalo.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, pemilihan tersebut karena data yang akan diperoleh adalah data deskriptif atau deskripsi verbal dari informan. Adapun lokasi lokasi penelitian berada di daerah Bulango (Tapa) Kabupaten Bone Bolango, latar belakang pemilihan lokasi disebabkan Bulango (Tapa) merupakan salah satu sub etnis di Gorontalo yang masih taat menggunakan adat dalam berbagai kegiatan termasuk adat momu’o

ngango. Sedangkan lokasi para informan penelitian menyebar dibeberapa wilayah

Kabupaten Bone Bolango seperti di Desa Lomaya dan Desa Bandungan Kecamatan Bulango Utara, Desa Dunggala Kecamatan Tapa, Desa Bongohulawa Kecamatan Tilong Kabila, dan Desa Duwano Kecamatan Suwawa. Subjek penelitian adalah artefak dalam adat momu’o ngango dengan objek adalah makna simbolik dari benda-benda artefak yang digunakan dalam adat momu’o ngango.

HASIL PEMBAHASAN

Artefak adat momu’o ngango (dutu)

Adat momu’o ngango (dutu) adalah pengresmian/pengukuhan secara umum dengan disaksikan oleh pemerintah setempat, bahwa pesta pernikahan akan berlangsung dalam waktu dekiat (Daulima, 2006:87). Adat ini merupakan acara sebagai persyaratan dari perkawinan. Adapun yang termasuk artefak (benda-benda) pada adat momu’o ngango yaitu; Kola-kola, Genderang, Tonggu (tapahula kecil), Kati (tapahula kecil), Maharu (tapahula besar), Payung adat, pakaian pengantin wanita, pakaian adat utusan pria dan wanita.

(6)

6

Makna Simbolik Artefak Adat Momu’o Ngango

Pada bagian ini peneliti mendeskripsikan sembilan artefak wajib dalam adat

momu’o ngango dan makna simbolik berdasarkan pemaknaanya dari para

informan yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Kola-kola

Secara khusus dari beberapa informan (Karmin dan Hamid Delatu) mengatakan bahwa kola-kola tidak memiliki makna apapun kecuali fungsinya sebagai pembawa hantaran. Pemaknaan ini lebih didasarkan pada visual kola-kola yang berbentuk perahu dan membawa artefak-artefak sebagai hantaran. Menurut Karman Saman1:

Kola-kola adalah sebuah kenderaan yang menyerupai perahu. Perahu

yang terbuat dari bambu kuning (talilo hulawa) yang dihiasi dengan janur (lale). Kola-kola yang berbentuk perahu ini yang nantinya membawa hantaran adat momu’o ngango (dutu) yang nantinya sebagai kenderaan yang mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam sejarahnya Gorontalo pada saat Sultan Amai menikahi putri sang raja Palasa di Tomini, yaitu putri Owutango, maka Sultan Amai memuat semua hantaran adat itu dengan perahu yang diberi janur, serta payung kebesaran. Dari sinilah yang dijadikan setiap acara momu’o ngango (dutu) dibuatkan kola-kola.

Gambar 1. Artefak Kola-Kola Pada Kendaraan (Foto dok.penulis, Juni 2013)

2. Genderang Hantalo

Genderang adalah peralatan sejenis bedug yang dibunyikan untuk mengiringi kola-kola. Genderang akan diperagakan atau dibunyikan oleh petugas

1

(7)

7 adat ini diberi gelar Te Tamburu. Dari wawancara, semua informan (Karmin Delatu, Hamid Delatu, Karman Saman, Hasim Supu, dan Ardia Tanggue) mengungkapkan bahwa genderang tidak memiliki makna simbolik. Mereka lebih menjelaskan fungsi, bentuk, dan bahan pembuat genderang yang mengiringi

kola-kola.

3. 4. 5. 6.

Gambar 2. Artefak Genderang Hantalo (Foto dok.penulis, Juni 2013) 3. Tonggu

Menurut Karmin Delatu2 makna tonggu adalah “tiga utas pemerintah adat yakni tokoh agama (buatulo sara’a ), pemangku adat (buatulo adati), dan pemerintah (buatulo bubato). Dasar pemaknaannya terletak pada bentuk segitiga penutup tonggu.

Penutup tonggu

Tapahula kecil

Gambar 3. Artefak Tonggu (Foto dok.penulis, Juni 2013)

2

(8)

8

4. Kati

Kati menurut Karmin Delatu3 adalah:

berasal dari kata pongati-ngatilio yang berarti dibagi-bagikan. Di dalam

kati terdapat tapahula kecil, nilainya kati ini berjumlah Rp. 2.500 dan

disesuaikan dengan status orang yang dinikahi. Misalnya untuk rakyat biasa dua kati yang nilainya Rp. 5000, untuk wali-wali mowali tiga kati yang bernilai Rp. 7.500, untuk olongia (Raja) empat kati yang nilainya Rp.10.000. Kati ini merupakan pembayaran adat kepada keluarga perempuan yang kemudian akan dibagi-bagikan kepada saudara-saudara dan adik-adik. Diletakan di atas baki yang mempunyai penutup dan ditutupi dengan tudung yang berbalut segi tiga bermakna tiga utas perintah adat dalam kerajaan, seperti tokoh agama, pemangku adat, pemerintah.

Penutup Kati

Tapahula kecil

Gambar 4. Artefak Kati(Foto dok.penulis, Juni 2013) 5. Maharu

Kata maharu merujuk pada bahasa Arab mahar yang dalam bahasa adat disebut tonelo. Karmin Delatu4 menjelaskan bahwa:

Mahar ini berasal dari bahasa arab, dalam bahasa adat yaitu tonelo.

Tonelo pembayaran adat yang menjadi milik perempuan. Tonelo ini

terdiri dari uang, emas, seperangkat alat sholat. Tetapi yang ada pada

tapahula kecil yang penutupnya mahar segi empat ini isinya uang. Uang

pada tonelo ini berbeda-beda nilainya. Di lihat dari golongan raja Rp. 100.000, untuk bangsawan Rp. 7.500, untuk kepala kampung Rp. 50.000,

3 Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara) 4 Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara)

(9)

9 dan untuk rakyat biasa Rp. 25.000. nilai mahar ini di lihat dari segi status orang yang di nikahi. Mahar (tonelo) ini tidak boleh disamakan dengan nilai uang (ongkos) perkawinan. Karena ongkos perkawinan hanya merupakan hadiah untuk perempuan dari pihak laki-laki. Mahar ini berbentuk segi empat maknanya menandakan bahwa keinginan orang tua kepada kedua mempelai untuk membentuk rumah tangga yang baru. Segi empat melambangkan empat kimalaha (orang baik) yang menjadi pembantu.

Penutup maharu

Tapahula kecil

Gambar 5. Artefak Maharu (Foto dok.penulis, Juni 2013) 6. Tapahula

Tapahula dijelaskan oleh para informan sebagai wadah. Di mana isinya berupa pinang, sirih, tembakau (tab’a), dan gambir.5 Semua informan juga menyatakan bahwa tapahula tidak memiliki makna simbolik. Misalnya ungkapan Karman Saman6 bahwa “tapahula tidak memiliki lambang dan makna” atau ungkapan Hasim Supu7 “tapahula ini berbentuk bulat dan dibagian atas diukir, ukiran ini tidak mempunyai lambang dan makna, akan tetapi hanya sebagai hiasan sematsa.” Bentuk tapahula dapat dilihat pada gambar 4, 5, atau 6.

5 Wawancara bersama Karmin Delatu, Hamid R. Delatu, Karman Saman, Hasim Supu, dan

Ardia Tanggue.

6 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa) 7

(10)

10

7. Payung Adat (Toyungo Bilalanga)

Payung secara fungsional digunakan sebagai alat pelindung dari sinar matahari. Sedangkan dalam adat Gorontalo disebut payung adat atau payung kebesaran. Seperti ungkapan Hasim Supu8 bahwa “payung adat (toyunga

bilalanga) adalah payung kebesaran, maknanya sebagai kemuliayaan. Kegunaan

payung ini ada tiga macam yaitu memayungi pada saat pembawaan hu’o lo

ngango, memayungi pada saat pengantin ketika turun dari mobil, memayungi

pada saat tilolo.” Karman Saman9 mengungkapkan “payung adat (toyungo

bilalanga) adalah payung kebesaran, yang maknanya sebagai kemuliaan.”

Sedangkan Hamid10 dan Karmin Delatu11 menyebutkan bahwa “payung adat (payung kebesaran bermakna sebagai kemuliaan adat. Payung ini terletak di atas baki yang beralas. Payung adat ini tidak memiliki lambang dan makna, hanya sebagai payung kebesaran saja. Kegunaan dari payung ini ada 3, yakni memayungi adat tilolo (suguhan adat), memayungi pada saat pembawaan hu’o lo

ngango, dan untuk memayungi pengantin ketika turun dari mobil.”

Penjelasan para informan memberi pemahaman bahwa payung adat bukan saja berfungsi sebagai alat pelindung seperti payung pada umumnya, tetapi juga memiliki makna simbolik kemuliaan bahkan Ardia Tanggue12 memaknai sebagai kemuliaan adat. Payung adat seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 6. Artefak Payung Adat (Toyungo Bilalanga) (Foto dok.penulis, Juni 2013)

8 Ibid.

9 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa) 10

Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa)

11

Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara)

12

(11)

11

8. Madipungu (busana adat calon mempelai perempuan)

Madipungu merupakan busana yang dipakai calon pengantin perempuan

saat prosesi adat momu’o ngango. Menurut Ardia Tanggue:13

Pakaian pengantin perempuan yaitu pakaian madipungu , pengantin ini berada di kamar adat (tohuali lo humbia), pengantin ini berdiri di depan ranjang yang berselimut kain adat, ranjangnya ini dihiasi dengan kulambu adat. di atas kepalanya terdapat tujuh buah sundhi, di dadanya terdapat hiasan pembalut dada. Tujuh buah sundi ini maknanya tujuh nafsu yang menentukan martabat manusia. Adapun yang ada pada pergelangan tangan disebut dengan gelang (pateda).

Gambar 7. Artefak Pakaian Adat Madipungu (Foto dok.penulis, Juni 2013) Makna simbolik dari pakaian adat madipungu terletak pada aksesorisnya, yaitu tujuh nafsu yang menentukan martabat manusia. Disini makna yang dibangun tertuju pada moralitas manusia yang dimanifestasikan pada sunti. Penjelasan Hamid R. Delatu14 sama dengan penjelasan Karman Saman.

13 Ibid

(12)

12 Sedangkan pandangan Karmin Delatu15 mengenai pakaian adat madipungu sebangun dengan ungkapan Ardia Tanggue.

9. Pakaian Utusan (Luntu Dulungo Layi’o dan Luntu Dulungo Walato) Selain pakaian ada madipungu, artefak penting dalam adat momu’o ngango adalah pakaian adat utusan dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Kedua utusan ini mereka memakai songkok dan sarung yang terlingkar dipinggang, dari kedua sarung ini berbeda. Sarung yang terlingkar dipinggang utusan pihak laki-laki berbentuk huruf A yang artinya wujudnya Allah ada, dan dari utusan pihak perempuan berbentuk H yang artinya Allah.”

Gambar. 8 Atefak Busana Adat Luntu Dulungo Layi’o (model huruf A dan H) ( Foto dok Penulis , Juni 2013 )

(13)

13

KESIMPULAN Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan makna simbolik artefak adat momu’o ngango pada hantaran pernikahan,sebagai berikut:

a) Momu’o Ngango atau yang biasa disebut (dutu) adalah pengresmian/ pengukuhansecara umum dengan disaksikan oleh pemerintah setempat, bahwa pesta pernikahan akan berlangsung dalam waktu dekat.

b) Hantaran yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan seperti:

- Tonggu adalah Pemberian atau pembayaran adat kepada orang tua perempuan.

- Kati berasal dari kata pongati-ngatilio yang artinya dibagi-bagikan. - Mahar (Tonelo) pembayaran adat yang menjadi milik perempuan.

- Pinang melambangkan tapu (dagng) maksudnya daging yang terdapat pada tubuh manusia. Maknanya sebagai penyempurnaan.

- Sirih (tembe) melambangkan urat (lindidu) maksudnya urat yang terdapat pada diri manusia. Maknanya sebagai kekerabatan dalam rumah tangga - Gambir (gambele) melambangkan darah (duhu) maksudnya darah yang

mengalir pada tubuh manusia. Maknanya semangat dalam membentuk keluarga sakinah mawadah warahma

(14)

14 - Tembankau (taba’a) melambangkan bulu roma (hapato) maksudnya bulu roma pada

tubuh manusia. Maknanya perasaan keiklasan

- Jeruk bali (limu bongo) melambangkan otak (wuto’o) yang terdapat pada manusia. Maknanya keramahan

- Nanas (nanati) melambangkan betis (butioto) maksudnya calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki pertama kali ketemuan bulu romanya berdiri (titihela

hapato).

- Nangka (langge) melambangkan paha (bungolopa) maknanya kebahagiaan.

- Tebu (patodu) melambangkan tulang manusia. maknanya sebagai sumber kehidupan, maksudnya walaupun tidak akan menjadi kaya tetapi berkecukupan.

- Tunas kelapa (tumula) sebagai rumah tangga yang akan dibangun oleh kedua mempelai akan bermanfaat bagi semua orang, sebagaimana pohon kelapa itu sendiri yang bisa berguna dari akar sampai daunnya dan semuanya itu pasti akan abadi.

c) Adapun yang termasuk artefak (benda-benda) pada adat momu’o ngango yaitu kola-kola, genderang hantalo, tonggu, kati, maharu, tapahula, payung adat (toyungo bilalanga),

madipungu (busana adat calon mempelai perempuan), dan pakaian utusan (luntu dulungo layi’o dan luntu dulungo walato)

d) Kesembilan artefak tersebut memiliki makna simbolik, yaitu:

- Kola-kola memiliki makna denotatif dari kola-kola sebagai kendaraan hiasan yang membawa hantaran. Pemaknaan ini lebih didasarkan pada visual kola-kola yang berbentuk perahu dan membawa artefak-artefak sebagai hantaran.

(15)

15 - Tonggu bermakna Tiga utas pemerintah adat yakni tokoh agama (buatulo sara’a ), pemangku adat (buatulo adati), dan pemerintah (buatulo bubato). Dasar pemaknaannya terletak pada bentuk segitiga penutup tonggu.

- Kati. Ada dua makna kati, yaitu tiga utas perintah adat dalam kerajaan, seperti tokoh agama, pemangku adat, pemerintah dan tiga aspek yang terdapat pada diri manusia yakni lahir, batin, qadim. Dasar pemaknaan mereka lebih melihat pada bentuk kati yang itu piramida

- Maharu bermakna unsur terjadinya manusia yakni tanah, air, api, dan angin dan empat

kimalaha (orang baik) yang menjadi pembantu. Makna tersebut dilekatkan pada artefak maharu yang berbentuk segi empat bukan pada nilai uang di dalamnya.

- Tapahula tidak memiliki makna simbolik

- Payung adat (toyungo bilalanga) bermakna kemuliaan atau kemuliaan adat.

- Madipungu (busana adat calon mempelai perempuan). Makna simbolik dari pakaian adat

madipungu terletak pada aksesorisnya, yaitu tujuh nafsu yang menentukan martabat

manusia. Disini makna yang dibangun tertuju pada moralitas manusia yang dimanifestasikan pada sunti.

- pakaian utusan (luntu dulungo layi’o dan luntu dulungo walato) bermakna Wujud Allah (model lipatan sarung A) dan Allah (model lipatan sarung H)

DAFTAR PUSTAKA

Daulima,Farha. 2006. Tata cara adat perkawinan (pada masyarakat adat suku

Gorontalo). Galeri Budaya Daerah MBU’I BUNGALE

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

K. Dani. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dilengkapi Dengan EYD. Untuk SD, SMP, SMU, Mahasiswa & Umum. Surabaya: Putra Harsa.

(16)

16 Prasetya, Joko. 2009. Ilmu Budaya Dasar. RINEKA CIPTA JAKARTA.

Gambar

Gambar 1. Artefak Kola-Kola Pada Kendaraan (Foto dok.penulis, Juni 2013)  2.  Genderang Hantalo
Gambar 3. Artefak Tonggu (Foto dok.penulis, Juni 2013)
Gambar 4. Artefak Kati(Foto dok.penulis, Juni 2013)  5. Maharu
Gambar 5. Artefak Maharu (Foto dok.penulis, Juni 2013)       6. Tapahula
+3

Referensi

Dokumen terkait