• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN WALISONGO DALAM PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAM. Oleh : Tarwilah0F ABSTRAK. A. Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN WALISONGO DALAM PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAM. Oleh : Tarwilah0F ABSTRAK. A. Pendahuluan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN WALISONGO DALAM PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAM

Oleh : Tarwilah0F

! ABSTRAK

Dalam sejarah Indonesia, banyak terdapat para ulama yang berperan sebagai aktor sejarah. Di antara mereka ada yang berperan sebagai dai, penyebar agama Islam kepada bangsa Indonesia, sehingga menjadi agama mayoritas yang membawa era baru dalam sejarah. Selain itu ada pula yang berperan sebagai ulama tulen dengan berbagai aspek tugasnya di tengah-tengah masyarakat, sehingga berhasil membawa mereka kepada kondisi yang lebih baik dalam pengamalan ajaran agama. Di daerah Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan olah para ulama yang lebih dikenal dengan para wali. Riwayat hidup, pemikiran dan aktivitas para wali tersebut sudah banyak diteliti untuk diketahui masyarakat luas terutama guna diwarisi dan digunakan dalam pembangunan masyarakat. Tulisan ini mencoba mengetengahkan riwayat singkat para walisongo dan peranannya dalam pengembangan dakwah Islamiyah dalam berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, politik, dakwah, sosial, bidang seni dan budaya serta pemurnian akidah.

A. Pendahuluan

Sudah menjadi kesepakatan, bahwa para penyebar agama Islam di Tanah Jawa adalah para ulama yang disebut Walisongo. Kisah walisongo sebenarnya penuh kontroversi, tetapi kisah itu sendiri cukup menarik dan memikat hati. Bahkan banyak sekali hikmah yang didapat untuk berjuang menegakkan Islam dan strategi mereka dalam menjaring masyarakat Jawa, Sunda dan Madura untuk memeluk agama Islam benar-benar patut dibanggakan. Mereka bisa diterima di berbagai kalangan masyarakat, dari kelas bawah hingga kelas atas yaitu para bangsawan dan raja-raja.

Selama lebih kurang dua abad berdakwah menyebarkan agama, banyak terobosan dan pembaharuan di bidang keagamaan dan kemasyarakatan, terutama aspek akidah dan muamalah yang dilakukan oleh walisongo. Kini, walisongo dianggap sebagai sebuah nama besar yang dihormati oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Kuburan walisongo menjadi tempat ziarah paling terkenal dan paling ramai dikunjungi, tidak saja oleh masyarakat Jawa, tetapi juga masyarakat Indonesia para umumnya. Bahkan tidak jarang

!Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin

(2)

menjadi tempat atau tujuan nazar masyarakat bila terkabulnya sebuah hajat. Bagi para ulama dan ilmuwan, walisongo dianggap sebagai pelopor dan ulama besar yang telah memberikan keteladanan dalam berdakwah, baik bil lisan maupun bil hal.

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana peran walisongo dalam pengembangan dakwah Islam di Pulau Jawa, baik dalam bidang pendidikan, politik, dakwah, seni-budaya dan bidang sosial serta pemurnian akidah. Di samping itu akan dikemukakan juga sekilas tentang riwayat hidup para walisongo. Beranjak dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah yang berjudul “Peranan Walisongo dalam Pengembangan Dakwah Islam”.

B. Pengertian Walisongo

Di dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa walisongo (sembilan wali) adalah sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan Islam (islamisasi) di Pulau Jawa pada abad kelima belas (masa Kesultanan Demak). Kata “wali” (Arab) antara lain berarti pembela, teman dekat dan pemimpin. Dalam pemakaiannya, wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah (Waliyullah). Sedangkan kata “songo” (Jawa) berarti sembilan. Maka walisongo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia.1F

1

Walisongo artinya sembilan wali, sebenarnya jumlahnya bukan hanya sembilan. Jika ada seorang walisongo meninggal dunia atau kembali ke negeri seberang, maka akan digantikan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka keramat, angka yang dianggap paling tinggi. Dewan dakwah tersebut sengaja dinamakan walisongo untuk menarik simpati rakyat yang pada waktu masih belum mengerti apa sebenarnya agama Islam itu.2F

2

Menurut penemuan K.H.Bisyri Musthafa, sebagaimana diuraikan oleh Saifuddin Zuhri, jumlah para wali itu tidak hanya sembilan, tetapi lebih dari itu. Agaknya sembilan orang wali itu adalah mereka yang memegang jabatan dalam

1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jld. V, h.173

2 MB.Rahimsah, Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo, (Surabaya : Amanah, t.th), h.5

(3)

pemerintahan sebagai pendamping raja atau sesepuh kerajaan di samping peranan mereka sebagai mubalig dan guru. Oleh karena mereka memegang jabatan pemerintahan, mereka diberi gelar sunan, kependekan dari susuhunan atau

sinuhun, artinya orang yang dijunjung tinggi. Bahkan kadang-kadang disertai dengan sebutan Kanjeng, kependekan dari kang jumeneng, pangeran atau sebutan lain yang biasa dipakai oleh para raja atau penguasa pemerintahan di daerah Jawa.3F

3 Lebih lanjut dijelaskan oleh K.H.Bisyri Musthafa bahwa ketika Sunan

Ampel wafat, para wali yang berta’ziah sebanyak 16 orang.4F

4

Dalam penyiaran Islam di Jawa, walisongo dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar mubalig Islam yang mengadakan dakwah di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam. Mereka adalah : 1) Sunan Gresik, 2) Sunan Ampel, 3) Sunan Giri, 4) Sunan Bonang, 5) Sunan Drajat, 6)Sunan Gunung Jati, 7) Sunan Kudus, 8) Sunan Kalijaga dan 9) Sunan Muria. Namun masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang nama-nama mereka yang termasuk kelompok wali tersebut.

Departemen P dan K Gresik bahkan tidak mencantumkan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) sebagai anggota walisongo. Hal ini bukan berarti Sunan Gresik bukan anggota walisongo, melainkan data tersebut diambil sesuai dengan periode tertentu di mana Syekh Maulana Malik Ibrahim sudah meninggal dunia, sehingga wali tertua atau sesepuh walisongo pada waktu itu adalah Sunan Ampel, dan Raden Patah atau Sunan Kota masuk di dalam anggota walisongo5F

5.

3Badri Yatim (Ed.), Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1996), h.170

4Ibid, h.171 Mereka adalah : Raden Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Syahid (Sunan Kalijaga), Raden Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati), Raden Said (Sunan Muria), Amir Haji (Sunan Kudus), Sayyid Muhsin (Sunan Wilis Ceribon), Haji Usman (Sunan Manyuran Mandalika), Raden Fatah (Sunan Bintara Demak), Usman Haji (Sunan Ngudung), Raden Jakandar (Sunan Bangkalan), Khalifah Husein (Sunan Kertayasa Madura), Sayyid Ahmad (Sunan Malaka), Pangeran Santri (Sunan Ngadilangu), Raden Abdul Jalil (Sunan Siti Jenar Jepara) dan Raden Qasim (Sunan Drajat Sedayu).

(4)

C. Riwayat Singkat Walisongo

1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Maulana Malik Ibrahim dipanggil juga Syekh Magribi yang dalam

Babad Tanah Jawi disebut Makdum Brahim Asmara.6F

6 Maulana Malik Ibrahim

merupakan wali tertua di antara walisongo yang menyiarkan Islam di Jawa Timur, khususnya di Gresik.

Maulana Magribi datang ke Jawa tahun 1404 M. Beliau berasal dari Samarkandi di Asia Kecil. Dari Asia Kecil beliau bermukim dulu di Campa dan kemudian datang ke Jawa Timur. Kedatangan beliau jauh sesudah agama Islam masuk di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari batu nisan seorang wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 476 H. atau 1087M.

Menurut literatur yang ada, Malik Ibrahim seorang yang ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang yang sakit banyak disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu. Sifatnya lemah lembut, belas kasih dan ramah kepada semua orang, baik sesama muslim atau non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong untuk masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.

Malik Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan mesjid dan pesantren untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat sampai ia wafat. Maulana Malik Ibrahim wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 822 H/ 1419 M, dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik. Pada nisannya terdapat tulisan Arab yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang penyebar agama yang cakap dan gigih.7F

7

2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh walisongo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam

6 Babad Tanah Jawi, Edisi Meisma, USA Paris Publication, 1987, h.20

7 Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), h.24

(5)

se-Tanah Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya. Raden Rahmat diperkirakan lahir pada awal abad ke-15 di Campa, sebagai putera raja Campa. Tentang nama Campa ini, menurut Endiklopaedi Van Nederlandish Indie

adalah suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja (Indocina) yang kemudian dikuasai oleh bangsa Khmer dari Vietnam.8F

8 Sedangkan menurut Raffles yang

dimaksud adalah Jempa, suatu negeri di Aceh.

Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Di tempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang, Raden Kosim Syarifuddin yang dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa.9F

9 Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Kosim

Syarifuddin (Sunan Drajat) adalah putera Raden Rahmat.

Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana. Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya, raja Majapahit, menjadi murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan.

Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di nusantara.

Di samping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Mesjid Agung Demak pada tahun 1479 M. bersama wali-wali yang lain. Ketika mendirikan

8 Solichin Salam, Sekitar Walisongo, (Menara Kudus, 1960), h.28

(6)

masjid tersebut, para wali mengadakan pembagian tugas. Sunan Ampel diserahi tugas membuat salah satu dari saka guru (tiang kayu raksasa) yang kemudian dipasang di bagian tenggara.

Sunan Ampel juga yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini, beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang

huruf pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.

Hasil didikan Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau

tidak melakukan lima hal tercela, yaitu : 1. Moh Main atau tidak mau berjudi

2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arah atau bermabuk-mabukan. 3. Moh Maling atau tidak mau mencuri

4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain. 5. Moh Madon atau tidak mau berzina.10F

10

Pada awal islamisasi di Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat Jawa seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya Sunan Ampel mentoleransinya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Sunan Ampel setuju wakaupun ia tetap mengkhawatirkan adat dan upacara-upacara tersebut kelak menjadi bid’ah.11F

11

3. Raden Paku (Sunan Giri)

Sunan Giri lahir di Blambangan, pada tahun 1442 M. Nama aslinya Raden Paku, disebut juga Prabu Satmata dan kadang-kadang disebut Sultan Abdul Fakih. Ia adalah putera Maulana Ishak yang ditugaskan Sunan Ampel untuk mengembangkan agama Islam di Blambangan. Salah seorang saudaranya juga termasuk Walisongo, yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati), dan ia

10 Rahimsah, op.cit, h.44

(7)

mempunyai hubungan keluarga dengan Raden Fatah, karena isteri mereka bersaudara.12F

12

Karena ayahnya, Maulana Ishak, ketika melaksanakan tugas menyebarkan agama Islam di Blambangan, pergi memperdalam ilmu ke Pasai dan tidak kembali lagi ke Jawa, Raden Paku diangkat anak oleh seorang wanita kaya bernama Nyai Gede Maloka, yang dalam Babad Tanah Jawa disebut Nyai Ageng atau Nyai Ageng Tandes. Ketika usianya beranjak dewasa, Raden Paku belajar agama di Pondok Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel), dan di sana berteman baik dengan Raden Maulana Makdum Ibrahim, putera Sunan Ampel, yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang.

Dalam suatu perjalanan ibadah haji menuju ke Mekkah, kedua santri ini lebih dulu memperdalam pengetahuannya di Pasai, yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan, keimanan dan tasawuf. Di sini Raden Paku sampai pada atingkat ilmu “laduni” sehingga gurunya menganugerahinya gelar “Ain al-Yakin”. Karena itulah ia kadang-kadang dikenal masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yakin.

Sunan Giri memulai aktivitas dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren, yang santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa, yaitu Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Kegiatan-kegiatan ini menjadikan pesantren yang dipimpinnya menjadi terkenal di seluruh nusantara.

Dalam menentukan hukum agama, Sunan Giri sangat berhati-hati. Beliau sangat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi yang shahih. Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang justru bertentangan dengan agama Islam. Karena pintarnya Sunan Giri dalam ilmu fiqih, maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih.

Di bidang tauhid, beliau tak kenal kompromi dengan adat istiadat dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animisme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan agar tidak menyesatkan umat di belakang hari. Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama haruslah sesuai dengan ajaran aslinya. Karena sikapnya ini, maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam

12 Ibid, h.177

(8)

Putih.13F

13 Pimpinan kaum putihan adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan

Ampel dan Sunan Drajat.

Jasa Sunan Giri yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam, tidak hanya di tanah Jawa, bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang maupun melalui muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya.

Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliau yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, dan juga menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam seperti

Jelungan, Jamuran, Gendi Ferit, Jor, Gula Ganti, Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir dan sebagainya. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda Kesultanan Demak Bintoro (Kesultanan Demak), sebab setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.

4. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)

Sunan Bonang adalah putera Raden Rahmat dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati dan merupakan saudara sepupu Sunan Kalijaga. Ia terkenal dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim atau Raden Ibrahim (Makdhum adalah gelar yang biasa diberikan kepada seorang ulama besar di India, dan berarti orang yang dihormati). Dari perkawinannya dengan Dewi Hiroh, ia memperoleh seorang puteri bernama Dewi Rukhil yang kemudian diperisteri Sunan Kudus.14F

14

Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Disebutkan, sewaktu masih remaja Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri. Dan juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai, seperti ulama-ulama yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi.15F

15

13 Rahimsah, op.cit, h.77

14 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, h.176 15 Rahimsah, op.cit, h.89

(9)

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.16F

16 Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending pertama

dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gemelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan nafas Islam ke dalamnya. Syair lagi gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain

(usapan dua kalimat syahadat), gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang durma, sejenis macapat yang melukiskan usaha tegang, bengis dan penuh amarah.

Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di sekitar Jawa Timur, terutama daerah Tuban, dengan basis pesantren sebagai wadah mendidik kader. Dalam aktivitas dakwahnya, ia mengganti nama dewa-dewa dengan nama malaikat dalam Islam dengan maksud agar penganut Hindu dan Budha mudah diajak masuk agama Islam.

Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putera raja Majapahit Prabu Brawijaya V, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan

Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Isi buku tersebut berbentuk prosa ala Jawa Tengah, kalimatnya sangat banyak dipengaruhi bahasa Arab, dan sampai sekarang antara lain masih tersimpan di Universitas Leiden, Negeri Belanda.17F

17 Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 dan dimakamkan di kota

Tuban.

5. Raden Qosim (Sunan Drajat)

Nama aslinya adalah Raden Kosim atau Syarifuddin. Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Raden Qosim yang sudah mewarisi

16 Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak, maka timbullah suara yang merdu.

(10)

ilmu dari ayahnya kemudian diperintahkan untuk berdakwah di sebelah barat Gresik, yaitu daerah antara Tuban dan Gresik.18F

18

Bersama-sama Sunan Bonang, ia termasuk pendamping Raden Patah (Sultan Demak). Mengenai tahun kelahiran dan wafatnya sampai kini belum diketahui dengan pasti, tapi yang jelas, ia hidup pada masa jatuhnya Kerajaan Majapahit sekitar Saka 1400 (1478 M).19F

19

Menurut silsilah, Sunan Drajat adalah putera Sunan Ampel dari isteri kedua bernama Dewi Candrawati. Ia mempunyai enam saudara seayah seibu, di antaranya Siti Syareat (isteri Raden Usman Haji), Siti Mutha’innah (isteri Raden Muhsin), Siti Sofiah (isteri Raden Ahmad, Sunan Malaka), dan Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Di samping itu ia mempunyai dua orang saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (isteri Raden Fatah) dan Dewi Murtasimah (isteri Raden Paku /Sunan Giri). Isterinya sendiri, Dewi Sifiyah adalah puteri Sunan Gunung Jati.20F

20

Sunan Drajat turut serta dalam musyawarah para wali untuk memutuskan siapa yang menggantikan Sunan Ampel untuk memimpin pesantren Ampel Denta, dan ketika para wali memutuskan untuk mengadakan pendekatan kultural pada masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam, Sunan Drajat tidak ketinggalan untuk menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih digemari masyarakat, yaitu Gending Pangkung, semacam lagu rakyat di Jawa.21F

21 Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi pertolongan kepada masyarakat umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu aktivitas sosial yang dianjurkan agama Islam.

Usahanya itu memang tepat sekali, jika dikaitkan dengan suasana kritis dan prihatin yang ada pada waktu itu akibat pertentangan politik dan perang saudara. Periode itu termasuk yang paling buruk dalam kehidupan negara dan rakyat Majapahit.

18 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), h.225

19 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, h.179 20 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit 21 Ibid, h.226

(11)

Menurut Sunan Drajat, sumber kemelaratan itu adalah watak dan sikap para pembesar Majapahit yang selalu berlomba memperebutkan kekuasaan untuk memperoleh status sosial. Namun, setelah pangkat dan kedudukan telah diperoleh, ternyata mereka gunakan untuk kepentingan pribadi, hidup berfoya-foya dan bermewah-mewah di atas penderitaan rakyat yang hidup dalam kemelaratan.

Selain itu, Sunan Drajat selalu mengajar kepada para santrinya agar memelihara perutnya dari makanan dan minuman yang diharamkan oleh agama, dan agar mereka makan dan minum sekedar untuk keperluan bagi kesehatan tubuh dan rohani. Kepada para pembesar dan penguasa istana, Sunan Drajat menasihatkan agar meningkatkan kesejahteraan sosial yang lebih baik dan dapat dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari.

Selanjutnya, Sunan Drajat mengetuk hati orang-orang kaya agar mengeluarkan zakat dan dana-dana lain yang diperlukan untuk membantu penderitaan masyarakatnya. Oleh karena itu, Sunan Drajat mencoba mengorganisir cara memungut zakat dan infak, kemudian disalurkan secara tepat dalam rangka menanggulangi bahaya kemelaratan rohani dan jasmani.

6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati adalah salah seorang dari walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat dan juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten.22F

22

Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirnya dua putera dan satu puteri, masing-masing bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sengsara.

Setelah Nyai Subang Larang wafat, Raden Walangsungsang keluar dari keraton. Tidak lama setelah itu adik perempuannya menyusul. Keduanya belajar agama Islam kepada Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Ngamparan Jati. Setelah 3 tahun belajar, mereka diperintahkan gurunya untuk naik haji ke Mekkah. Di Mekkah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh, yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani Hasyim.

22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, h.182

(12)

Setelah menunaikan ibadah haji, Raden Walangsungsang kembali ke Jawa dan menjadi juru labuhan di Pasambangan, yang kemudian berkembang menjadi Cirebon. Sementara itu, Nyai Lara Santang melahirkan Syarif Hidayatullah. Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab. Dia kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan. Ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.23F

23

Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam itu. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Ia meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten pada tahun 1525/1526 M. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten inilah kemudian Kerajaan Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan pada tahun 1527. Penyerangan ini dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah (w. 1570), panglima perang Kerajaan Demak dan menantu Sunan Gunung Jati.

Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati, sebagai salah seorang walisongo mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti kerajaan Demak dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan ulama, ia diberi gelar Raja Pandita.24F

24

Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Cirebon mengalami pasang surut. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568 dan dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung Ceribon.

7. Raden Ja’far Sadiq (Sunan Kudus)

Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung. Kadang-kadang ia dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah haji ia bertindak sebagai pimpinan rombongan (amir).

23 Ibid, h.183

(13)

Sunan Kudus adalah putera Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilahnya, Sunan Kudus masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah selengkapnya adalah : Ja’far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayyid al-Husein bin Ali r.a.25F

25

Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, dan memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama ilmu fiqih, ushul fiqih, tauhid, hadis, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan sebagai wali al ‘ilmi (orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di nusantara.

Di samping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.

8. Raden Said (Sunan Kalijaga)

Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan jauh, berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa asli. Nama Kalijaga konon berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang berarti pelaksana dan membersihkan. Qadizaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan menjadi Kalijaga berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan atau kesucian.

Sunan Kalijaga bernama asli Raden Mas Syahid dan kadang-kadang dijuluki Syekh Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi bupati Tuban, sedang ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Sunan Kalijaga kawin dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq dan berputra 3 orang, Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah.26F

26

Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubalig ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena sistem dakwahnya

25 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, h. 180

(14)

intelek dan aktual, maka para bangsawan dan cendekiawan sangat simpati kepadanya, demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan penguasa.

Jasanya bagi Demak cukup banyak. Pada waktu pendirian mesjid Demak, ia salah seorang wali yang berkewajiban menyediakan salah satu dari 4 tiang pokok (saka guru) yang menurut legenda, ia buat dari tatal (serpihan-serpihan kayu sisa). Ia juga menjadi penasehat umum raja-raja Demak, sejak Raden Patah sampai Sultan Trenggana.27F

27

Dalam pemeritahan Demak, di samping sebagai ulama dan juru dakwah, Sunan Kalijaga juga penasihat Kesultanan Demak Bintoro. Ketika para wali memutuskan untuk mempergunakan pendekatan kultural terhadap masyarakat, termasuk di antaranya pemanfaatan wayang dan gamelan sebagai media dakwah, maka orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Sunan Kalijaga. Atas jasa-jasanya, Raden Fatah sebagai penguasa Kesultanan Demak Bintoro menghadiahkan sebidang tanah di sebelah tenggara Demak sebagai desa

perdikan (bebas pajak) yang diperuntukkan bagi ahli waris dan keturunan Sunan Kalijaga.28F

28

Sunan Kalijaga juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini. Ia mengarang aneka cerita wayang yang bernafaskan Islam, terutama mengenai etika. Kecintaan masyarakat terhadap wayang digunakannya sebagai sarana untuk menarik mereka untuk masuk Islam.

Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusastraan. Banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diberi motif burung. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila yang berarti “peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”, dan menjadi salah satu ajaran etik Sunan Kalijaga melalui corak batik.

Sebagai budayawan dan seniman, banyak karya Sunan Kalijaga yang menggambarkan pendiriannya. Diciptakannya dua perangkat gamelan yang semula bernama Nagawilaga dan Guntur Madu, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Sekati dan Kiai Sekati (lambang dua kalimat syahadat). Wayang yang pada zaman Majapahit dilukis di atas kertas yang lebar sehingga disebut wayang beber, oleh Sunan Kalijaga dijadikan satu-satu dan dibuat dari kulit kambing yang sekarang dikenal dengan nama wayang kulit. Ia juga menciptakan baju yang

27 Ibid

(15)

disebut baju takwo (artinya takwa). Dalam bidang seni suara, ia menciptakan lagu Dandanggula, salah satu jenis lagi macapat yang setiap baitnya terdiri dari 11 baris dengan guru lagu dan guru suara.29F

29 Agaknya karena ia wali yang asli

Jawa, pengaruhnya lebih merata di kalangan rakyat. Makamnya terletak di desa Kadilangu, sebelah timur laut kota Demak.

9. Raden Umar Said (Sunan Muria)

Sunan Muria adalah salah seorang wali songo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa. Ia adalah putra Sunan Kalijaga. Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said. Sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto, namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang).30F

30

Seperti wali-wali yang lain, hari kelahiran dan hari wafatnya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan ia lahir sekitar pertengahan abad ke-15 dan wafat pada awal abad ke-16. Menurut sumber-sumber yang ada, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dan ibunya bernama Dewi Saroh. Ia kawin dengan Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus

Sunan Muria termasuk wali-wali yang memutuskan untuk memindahkan pesantren Ampel Denta (sepeninggal Sunan Ampel) ke Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Ia sangat rajin berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan gunung-gunung. Sarana dakwah yang dipakainya adalah melalui gamelan dan wayang serta kesenian Jawa lainnya.31F

31

Ciri khas Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat operasinya. Ia lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat biasa. Ia mendidik rakyat di sekitar Gunung Muria. Cara yang ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa.

Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia Kesultanan Demak Bintoro dan berperan serta dalam mendirikan Mesjid Demak. Dalam rangka dakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti. Sinom umumnya untuk melukiskan suasana ramah tamah dan juga untuk

29 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit, h. 159

30 Ibid, h.694 31 Ibid

(16)

nasehat. Sedangkan kinanti bernadakan gembira atau kasih sayang dalam menyampaikan ajaran agama, nasehat dan filsafat hidup.

Makam Sunan Muria terletak di puncak gunung, banyak dikunjungi orang setiap hari sampai sekarang, terutama pada hari Jum’at Pahing.

D. Peranan Walisongo dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah

Tidak semua wali yang tergolong walisongo berasal dari negeri luar. Bahkan sebagian besar walisongo berasal dari Tanah Jawa sendiri. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putera Sunan Ampel yang sebelumnya telah bertempat tinggal di kampung Ampel Denta (Surabaya). Sunan Kalijaga yang disebut pula Jakasayid adalah putera seorang tumenggung Majapahit. Sunan Giri adalah putera seorang putri Blambangan dengan seorang muslim. Sunan Gunung Jati adalah putera Rara Santang putri Prabu Siliwangi. Para wali itu pada mulanya merupakan penerima ajaran Islam, tetapi kemudian menjadi penyebar agama Islam, terutama di kalangan masyarakat di pesisir Utara Jawa. Peranan mereka bukan hanya memberikan dakwah islamiyah saja, tetapi juga sebagai dewan penasehat, pendukung para raja yang memerintah. Bahkan di antara walisongo itu, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) tidak hanya pelopor dan penyebar Islam, tetapi juga raja, sehingga ia mendapat julukan Pandita Ratu.

Dari gambaran singkat tentang perjalanan hidup dan perjuangan walisongo dalam menyebarkan agama Islam di daerah Jawa, khususnya dan di wilayah nusantara pada umumnya, maka peran mereka dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Bidang Pendidikan

Peran walisongo di bidang pendidikan terlihat dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang.

Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta (dekat Surabaya) yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah, ia mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa.

(17)

Sedangkan Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Sunan Bonang memusatkan kegiatan pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren yang didirikan di daerah Tuban. Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putera raja Majapahit, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.

2. Bidang Politik

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, walisongo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka menjadi penasehat raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Isterinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan. Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.

3. Bidang Dakwah

Sudah jelas kiranya, peran walisongo yang sangat dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah bil lisan maupun bil hal. Sebagai mubalig, walisongo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil. Salah satu karya yang monumental dari walisongo adalah mendirikan mesjid Demak. Hampir semua walisongo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin oleh para walisongo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan nafas Islam ke dalamnya. Syair lagi gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.

(18)

4. Bidang Sosial

Perhatian yang sangat serius pada masalah-masalah sosial terlihat pada dakwah Sunan Drajat. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi pertolongan kepada masyarakat umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu aktivitas sosial yang dianjurkan oleh agama Islam.

5. Bidang Seni dan Budaya

Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang wali yang berkecimpung di bidang seni. Sebagai budayawan dan seniman, banyak karya Sunan Kalijaga yang menggambarkan pendiriannya. Di antaranya adalah gamelan, wayang kulit, dan baju takwo. Sunan Ampel menciptakan Huruf Pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Hingga sekarang huruf pegon masih dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren. Sunan Giri juga sangat berjasa dalam bidang kesenian, karena beliau menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang bernafaskan Islam. Sunan Drajat juga tidak ketinggalan untuk menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih digemari masyarakat, yaitu GendingPangkung, semacam lagu rakyat di Jawa.

Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gemelan.

6. Pemurnian Akidah

Di bidang tauhid, walisongo tak kenal kompromi dengan adat istiadat dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha, Animisme dan Dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama pada masyarakat Jawa, seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya, yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan agar tidak menyesatkan umat di belakang hari. Pelaksanaan syariat Islam haruslah sesuai dengan ajaran aslinya. Walisongo yang menekankan pentingnya pemurnian ajaran Islam ini adalah Sunan Giri, Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Akan tetapi para wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Mereka mengusulkan agar adat istiadat Jawa itu diberi warna Islam. Pendapat yang kedua ini didukung oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria. Walaupun

(19)

terdapat perbedaan di antara dua kelompok tersebut, akhirnya Sunan Ampel dan kawan-kawan menyetujui pendapat Sunan Kalijaga.

Selain itu, walisongo juga sangat waspada terhadap hal-hal yang membahayakan aqidah umat. Hal ini dilakukannya antara lain ketika menanggapi aliran/ajaran sesat yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar, yaitu salah seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan paham wihdatul wujud dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Adapun yang menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar ini adalah Sunan Giri. Atas persetujuan anggota walisongo yang lain, maka akhirnya Syekh Siti Jenar dihukum mati.

E. Simpulan / Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa walisongo mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Peranan tersebut antara lain terlihat :

1. Dalam bidang pendidikan, banyak pesantren yang didirikan oleh walisongo sebagai wadah mendidik kader yang Islami dan siap menyebarkan agama Islam.

2. Dalam bidang politik, terutama pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, walisongo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka menjadi penasehat raja, bahkan ada yang menjadi raja.

3. Dalam bidang dakwah, peran walisongo yang sangat dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah bil lisan maupun bil hal. Sebagai mubalig, walisongo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Adapun sarana dakwah yang digunakan melalui pesantren dan media seni-budaya.

4. Bidang Sosial.

Perhatian yang sangat serius pada masalah-masalah sosial terlihat pada dakwah Sunan Drajat. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. 5. Bidang Seni dan budaya. Walisongo yang memanfaatkan media seni dan

budaya dalam menyebarkan agama Islam, di antaranya yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Ampel. 6. Pemurnian Akidah.

(20)

Peranan-peranan tersebut ditempuh oleh walisongo melalui dua jalur : 1. Struktural, yaitu masuk ke dalam struktur pemerintahan (kerajaan),

sehingga Islam menjadi bagian penting dari Kerajaan dan keberadaan Islam menjadi semakin mantap.

2. Kultural, yaitu pembenahan di dalam kehidupan masyarakat dengan menciptakan budaya yang islami melalui sarana dakwah (pendidikan dan seni-budaya).

(21)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Babad Tanah Jawi, Edisi Meisma, USA Paris Publication, 1987

Badri Yatim (Ed.), Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1996

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994

MB.Rahimsah, Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo, Amanah, Surabaya, t.th.

Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Solichin Salam, Sekitar Walisongo, Menara Kudus, 1960

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992

(22)

Lampiran :

PENYEBAR AGAMA ISLAM DI JAWA (WALISONGO)

No Nama Gelar Tahun wafat Tempat makam

1. Maulana

Malik Ibrahim Sunan Gresik 12 Rabiul Awal 822/ 8 April 1419

Pekuburan Gapura Wetan, Gresik

2. Raden Rahmat Sunan Ampel 1481 Masjid Ampel

Surabaya

3. Raden Paku Sunan Giri Awal abad ke-16 Bukit Giri, Gresik 4. R. Maulana

Makdhum Ibrahim

Sunan Bonang 1525 Tuban

5. R. Kosim Syarifuddin

Sunan Drajat Pertengahan abad ke-16

Sedayu, Gresik 6. Syarif

Hidayatullah Sunan Gunung Jati 1570 Gunung Jati, Desa Astana, Cirebon

7. R. Ja’far Sadiq Sunan Kudus 1550 Kudus

8. R. Mas Syahid Sunan

Kalijaga Pertengahan abad ke-15 Kadilangu, Demak 9. R. Said

(R.Prawoto)

Sunan Muria Abad ke-16 Bukit Muria, Jepara

Sumber : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.175

Referensi

Dokumen terkait