BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif, dapat mengenai semua umur yang ditandai dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik yang tebal berwarna putih keperakan dan berbatas tegas. Umumnya lesi psoriasis berdistribusi secara simetris dengan predileksi terutama di daerah siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia (Schon dkk. 2005; Simmon 2007; Gudjonsson dkk. 2012).
Prevalensi psoriasis sangat bervarisi di beberapa negara, diprakirakan prevalensi di dunia berkisar antara 1% sampai dengan 3% jumlah penduduk. Insiden di Amerika Serikat sebesar 2-2,6%, di Eropa Tengah sekitar 1,5% (Gudjonsson dan Elder, 2008). Selama periode 2000 sampai 2002 ditemukan 338 penderita psoriasis (2,39%) di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta (Wiryadi, 2004). Dari total penderita psoriasis tersebut ditemukan 28% derajat berat, 14% derajat sedang, dan 58% derajat ringan. Psoriasis vulgaris atau tipe plak merupakan tipe yang paling sering dijumpai, meliputi 80% dari total kasus (Wiryadi, 2004).Penyakit ini biasanya dimulai pada usia 10–30 tahun dan risiko yang sama untuk laki-laki dan wanita. Jika awalnya timbul pada usia kurang dari 15 tahun, biasanya terdapat riwayat psoriasis dalam keluarga. Penyakit ini mengenai seluruh tubuh relatif lebih berat, namun memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Berdasarkan data kunjungan pasien di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Denpasar pada Januari sampai Desember 2009 tercatat 156 kasus baru psoriasis dari 10.856 kunjungan (1,4%) dan belum dilakukan penelitian(Wiryadi 2004; Michael et al 2005; Schon et al 2005; Simmon 2007; Gudjonsson dkk., 2012).
Psoriasis dikatakan sebagai penyakit multifaktorial dan multi sistem, karena melibatkan banyak sistem dan organ, semua faktor tersebut saling terkait. Pada kulit normal, sel basal di stratum basalis membelah diri, bergerak keatas secara teratur sampai menjadi stratum korneum sekitar 28 hari, kemudian lapisan keratin dipermukaan kulit dilepaskan serta digantikan yang baru. Namunpada psoriasis, proses tersebut hanya berlangsung beberapa hari sehingga terbentuk skuama tebal, berlapis-lapis serta berwarna keperakan. Penyebab yang pasti psoriasis belum diketahui dengan pasti, namun, banyak faktor predisposisi yang memegang peran penting seperti predisposisi genetik dan kelainan imunologis. Walaupun etiopatogenesis psoriasis tidak diketahui dengan pasti, namun banyak faktor yang diduga sebagai pemicu timbulnya psoriasis seperti: infeksi bakterial, trauma fisik, stress psikologis dan gangguan metabolisme. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa psoriasis merupakan tanda adanya sindroma metabolik banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara psoriasis dengan sindroma metabolik (Mallbris et al 2006; Nestle et al 2009; Sanchez 2010).
Secara patologis, psoriasis terjadinya diferensiasis dan proliferasi keratinosit yang disertai proses inflamasi pada epidermis maupun epidermis. Peranan faktor imunologi dalam patogenesis psoriasis ditunjukkan dengan adanya peningkatan aktifitas sel presentasi antigen (antigene presenting cell/APC), yang disertai peningkatan aktivitas sel Limfosit T helper 1 dengan mensistesis sitokin
proinflamasi seperti; IL-1, IL-6, IL-10, Interferon-gamma dan tumor necrosis factor. Sitokin proinflamasi ini akan mediasi aktivitas faktor-faktor pertumbuhan seperti; epidermal growth factor, nerve growth faktor, endothelian vascular growth factor, ICAM dan VCAM, yang pada akhirnya akan terjadi proliferasi keratinosit disertai proses peradangan(Joshi 2004; Chanet dkk. 2006; Ghoreschi dkk. 2007; Brezinski dkk.,2013)
Peran sistem imun dalam patogenesis psoriasis telah banyak penelitian yang dipublikasikan. Dua dekade terakhir ini peneliti menyatakan bahwa keterlibatan gangguan metabolisme lipid terhadap kejadian psoriasis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa psoriasis sangat berhubungan dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak yang mengakibatkan adanya perubahan pada profil lipid misalnya Low Density Lipoprotein (LDL) , High Density Lipoprotein (HDL) dan trigliserida (Zaidi dkk. 2007; Gupta dkk. 2011). Penelitian Cohenet dkk.(2008) di Israel menunjukkan peningkatan total kolesterol, trigliserida dan penurunan HDL pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga Penelitian Tekin dkk.(2007) menunjukkan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL dan penurunan kadar HDL pada pasien psoriasis yang berusia 40 tahun dibandingkan dengan kontrol. Namun beberapa hasil penelitian yang masih kontroversi, seperti hasil yang ditemukan oleh Bath 2012, Javidi 2007 dan Akhyani 2007, ternyata kedua profil lipid tersebut tidak ada perbedaan yang bermakna antara pasien psoriasis dan subjek normal.
Hal ini dijelaskan bahwa dislipidemia terjadi pada psoriasis karena terjadinya perubahan metabolisme dan mekanisme imun yang melibatkan IL-6,
TNF α dan C reaktif protein. Menurut Zari dkk. (2007) disimpulkan bahwa LDL dan trigliserida meningkat secara bermakna pada pasien psoriasis sehingga psoriasis dikatakan sebagai parameter adanya gangguan metabolisme lemak dan berhubungan dengan penyakit obstruksi vaskuler. Gupta dkk. (2011) mendapatkan total kolesterol, trigliserida, VLDL, dan LDL meningkat secara bermakna pada psoriasis, sedangkan HDL lebih rendah secara bermakna pada psoriasis. Jyothi dkk. (2011) menemukan trigliserida meningkat secara bermakna pada psoriasis, sedangkan HDL lebih rendah secara bermakna (Bajaj dkk., 2009; Brauchii dkk., 2008).
Dari uraian di atas tampak bahwa peranan lipid sangat besar dalam patogenesis psoriasis, dalam hal ini keseimbangan antara trigliserida dan HDL. HDL selain sebagai mediator antiinflamasi juga sebagai antioksidan, sangat berperan dalam menekan sintesis IL-6, IL-8, TNF, dan IFN-gamma. Sitokin proinflamasi ini akan meningkatkan peran epidermal growth factos, nerve growth factors, ICAM-1 dan VCAM yang pada akhirnya akan meningkatkan diferensisi dan proliferasi keratinosit. Secara umum kebanyakan pasien psoriasis dengan kadar HDL yang rendah. Trigliserida merupakan lipoprotein yang bersifat proinflamasi, hal ini menyatakan bahwa salah satu faktor risiko kejadian psoriasis adalah gangguan profil lipid terutama tingginya trigliserida dan rendahnya HDL sebagai salah satu faktor risiko, walaupun masih ada beberapa peneliti yang menemukan hal yang berbeda peran trigliserida dan HDL pada psoriasis vulgaris.
Kedua lipid tersebut berperan dalam patogenesis psoriasis secara tidak langsung, melalui stimulasi sel T helper dengan meningkatkan produksi sitokin
inflamasi seperti IL-1, IL-17, IL-6, TNF-α dan IFN-gamma. Semua sitokin di atas memegang peran yang dominan dalam proliferasi sel keratinosit dan peradangan kronis, sebagai gambaran klinis tampak sebagai psoriasis, melalui stimulasi epidermal growth factor, nerve growth factor dan endothelial growth factor. Namun peran ke dua lipid tersebut masih kontroversi karena ada yang mengatakan bermakna dan ada pula yang mengatakan tidak ada perbedaan yang bermakna. Dari perbedaan hasil itulah peneliti ingin membuktikan bahwa kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi sebagai salah satu faktor risiko psoriasis vulgaris.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah kadar HDL yang rendah merupakan faktor risiko pada psoriasis vulgaris?
1.2.2 Apakah kadar trigliserida yang tinggi merupakan faktor risiko pada psoriasis vulgaris?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum:
Untuk mengetahui peran HDL dan Trigliserida sebagai faktor risiko terjadinya psoriasis vulgaris.
1.3.2 Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui kadar Trigliserida yang tinggi sebagai faktor risiko psoriasis vulgaris.
b. Untuk mengtahui kadar HDL yang rendah sebagai faktor risiko psoriasis vulgaris.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis:
Untuk menambah wawasan pengetahuan tentang peran HDL dan trigliserida sebagai faktor risiko psoriasis vulgaris.
1.4.2 Manfaat Klinis:
Dengan terbuktinya kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi sebagai faktor risiko psoriasis vulgaris, maka dalam penanganan pasien psoriasis perlu mengendalikan kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit golongan eritroskuamosa dengan lesi kulit yang khas berbentuk plakat eritroskuamosa, sirkumskripta dan ditutupi oleh skuama putih perak. Psoriasis menyebabkan morbiditas fisik dan psikologis serta menjadi beban ekonomi karena biaya pengobatan dan frekuensi kunjungan ke dokter.
2.1.1 Definisi
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan berwarna putih keperakan terutama pada siku, lutut, scalp, punggung, umbilikus dan lumbal (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis dijumpai di seluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda dipengaruhi oleh ras, geografis, dan lingkungan. Di Amerika Serikat terjadi pada 2% dari populasi atau sekitar 150.000 kasus baru per tahun. Insiden tertinggi di Denmark (2,9%) sedangkan rerata di Eropa Utara sekitar 2% (Gudjonsson dan Elder, 2012). Insiden psoriasis pada laki- laki dan perempuan hampir sama, namun Shbeeb dkk. (2000) melaporkan insiden lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki dan meningkat sesuai usia. Distribusi usia pasien psoriasis menunjukkan peningkatan sesuai dengan kronisitas penyakit, namun terjadi
penurunan setelah usia 75 tahun seiring berkurangnya usia harapan hidup pada pasien psoriasis akibat hubungan psoriasis dengan diabetes atau aterosklerosis.
2.1.3 Gambaran Klinis
Keluhan utama pasien psoriasis adalah lesi yang terlihat, rendahnya kepercayaan diri, gatal dan nyeri terutama jika mengenai telapak tangan, telapak kaki dan daerah intertriginosa. Selain itu psoriasis dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bukan hanya oleh karena keterlibatan kulit, tetapi juga menimbulkan arthritis psoriasis. Gambaran klinis psoriasis adalah plak eritematosa sirkumskrip dengan skuama putih keperakan diatasnya dan tanda Auspitz. Warna plak dapat bervariasi dari kemerahan dengan skuama minimal, plak putih dengan skuama tebal hingga putih keabuan tergantung pada ketebalan skuama. Pada umumnya lesi psoriasis adalah simetris (Gudjonsson dan Elder, 2012). Beberapa pola dan lokasi Psoriasis antara lain:
2.1.3.1 Psoriasis Vulgaris
Merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan sering ditemukan (80%). Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk sirkumskrip. Jumlah lesi pada psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu hingga beberapa dengan ukuran mulai 0,5 cm hingga 30 cm atau lebih. Lokasi psoriasis vulgaris yang paling sering dijumpai adalah ekstensor siku, lutut, sakrum dan scalp. Selain lokasi tersebut diatas, psoriasis ini dapat juga timbul di lokasi lain.
2.1.3.2 Psoriasis Gutata
Tampak sebagai papul eritematosa multipel yang sering ditemukan terutama pada badan dan kemudian meluas hingga ekstremitas, wajah dan scalp.
Lesi psoriasis ini menetap selama 2-3 bulan dan akhirnya akan mengalami resolusi spontan. Pada umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja yang seringkali diawali dengan radang tenggorokan.
2.1.3.3 Psoriasis Pustulosa Generalisata (Von Zumbusch)
Psoriasis jenis ini tampak sebagai erupsi generalisata dengan eritema dan pustul. Pada umumnya diawali oleh psoriasis tipe lainnya dan dicetuskan oleh penghentian steroid sistemik, hipokalsemia, infeksi dan iritasi lokal.
2.1.3.4 Psoriasis Pustulosa Lokalisata
Kadang disebut juga dengan pustulosis palmoplantar persisten. Psoriasis ini ditandai dengan eritema, skuama dan pustul pada telapak tangan dan kaki biasanya berbentuk simetris bilateral.
(a) (b) (c)
Gambar 2.1 Gambaran klinis Psoriasis vulgaris : (a) Tipe Plak ,(b) Tipe Gutatta dan (c) Tipe Eritrodermi
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan histopatologi. Apabila ditemukan fenomena bercak lilin, fenomena Auzpitz dan fenomena Koebner dapat memberikan diagnosis yang tepat (Schon dan Boehncke, 2005; Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.5 Gambaran Histopatologis Psoriasis
Menurut Gudjonsson dan Elder (2012) beberapa perubahan patologis pada psoriasis yang dapat terjadi pada epidermis maupun dermis adalah sebagai berikut:
1. Hiperkeratosis adalah penebalan lapisan korneum.
2. Parakeratosis adalah terdapatnya inti stratum korneum sampai hilangnya stratum granulosum.
3. Akanthosis adalah penebalan lapisan stratum spinosum dengan elongasi rete ridge epidermis.
4. Granulosit neutrofilik bermigrasi melewati epidermis membentuk mikro abses munro di bawah stratum korneum.
5. Peningkatan mitosis pada stratum basalis.
6. Edema pada dermis disertai infiltrasi sel-sel polimorfonuklear, limfosit, monosit dan neutrofil.
Gambar 2.2 Gambaran Histopatologi Psoriasis vulgaris hiperkeratosis, akantosis serta peradangan di daerah dermis.( Gudjonsson dan Elder,2012)
2.1.6 Derajat Keparahan Psoriasis
Banyak cara yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan psoriasis, namun yang sering digunakan adalah metode Fredriksson T, Pettersson U (1987)
yang telah banyak dimodifikasi oleh peneliti lain. Psoriasis Area and Severity
Index (PASI) adalah metode yang digunakan untuk mengukur intensitas kuantitatif penderita berdasarkan gambaran klinis dan luas area yang terkena, cara ini digunakan ntuk mengevaluasi perbaikan klinis setelah pengobatan (Gudjonsson dan Elder, 2012). PASI merupakan baku emas pengukuran tingkat keparahan psoriasis. Beberapa elemen yang diukur oleh PASI adalah eritema, skuama dan ketebalan lesi dari setiap lokasi di permukaan tubuh seperti kepala, badan, lengan dan tungkai. Bagian permukaan tubuh dibagi menjadi 4 bagian antara lain: kepala (10%), abdomen, dada dan punggung (20%), lengan (30%) dan tungkai termasuk bokong (40%). Luasnya area yang tampak pada masing-masing
area tersebut diberi skor 0 sampai dengan 6, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini:
Karakteritis klinis yang dinilai adalah; eritema (E), skuama (S), dan ketebalan lesi/indurasi (T). Karakteristik klinis tersebut diberi skor sebagai berikut; tidak ada lesi =0, ringan=1, sedang=2, berat=3 dan sangat berat=4. Nilai derajat keparahan diatas dikalikan dengan weighting factor sesuai dengan area permukaan tubuh; kepala = 0,1, tangan/lengan = 0,2, badan = 0,3, tungkai/kaki = 0,4. Total nilai PASI diperoleh dengan cara menjumlahkan keempat nilai yang diperoleh dari keempat bagian tubuh. Total nilai PASI kurang dari 10 dikatakan sebagai psoriasis ringan, nilai PASI antara 10-30 dikatakan sebagai psoriasis sedang, dan nilai PASI lebih dari 30 dikatakan sebagai psoriasis berat (De Rie dkk, 2004; Feldman dan Krueger, 2005).
Tabel 2.1 Lembar Psoriasis and severity index (PASI)
Karakteristik Plak Score
Bagian Tubuh dan Nilainya Kepala Ekstremitas Atas Badan Ekstremita s Bawah Eritema (E) Tidak Ada = 0 Tebal lesi (T) Minimal = 1 Sedang =2 Skuama (S) Parah = 3 Sangat Parah = 4 Totals Nilainya x 0.1 x 0.2 x 0.3 x 0.4
A.Total Permukaan Area Tidak Ada = 0 Persentasi Daerah
Tubuh yang Terkena (Nilai antara 0 sampai 6) <10% = 1 10-29% = 2 30-49% = 3 50-69% = 4 70-89% = 5 90-100% = 6 B.Total Permukaan Area x %
Daerah yang Terkena
Nilai Total (total A + total B) = Nilai PASI
2.1.7 Penatalaksanaan
Psoriasis sebagai penyakit yang multifaktorial dengan penyebab belum diketahui dengan pasti, sehingga penanganannya juga sangat bervariasi dan setiap pusat pendidikan mempunyai acuan yang berbeda. Ashcroft dkk., 2000 mengemukakan bahwa terdapat berbagai variasi terapi psoriasis, mulai dari topikal untuk psoriasis ringan hingga fototerapi dan terapi sistemik untuk psoriasis berat.Edukasi kepada pasien tentang faktor-faktor pencetusnya perlu disampaikan
kepada pasien maupun keluarganya (Dvorakova dkk, 2013). Beberapa regimen terapi yang sering digunakan topikal maupun sistemik sebagai berikut:
A. Topikal Preparat Tar
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat tar, yang efeknya adalah anti radang. Preparat tar berguna pada keadaan-keadaan: Bila psoriasis telah resisten terhadap steroid topikal sejak awal atau pemakaian pada lesi luas. Lesi yang melibatkan area yang luas sehingga pemakaian steroid topikal kurang tepat. Bila obat-obat oral merupakan kontra indikasi oleh karena terdapat penyakit sistemik. Menurut asalnya preparat tar dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari : Fosil, misalnya iktiol. Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski dan Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens. Cara kerja obat ini sebagai antiinflamasi ringan.
Kortikosteroid
Kerja steroid topikal pada psoriasis diketahui melalui beberapa cara , yaitu: 1. Vasokonstriksi untuk mengurangi eritema.
2. Sebagai antimitotik sehingga dapat memperlambat proliferasi seluler.
3. Efek anti inflamasi, diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis akibat aktivasi sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan potensi kuat seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal efektif untuk kebanyakan kasus psoriasis pada anak. Preparat hidrokortison 1%-2,5% digunakan bila lesi sudah menipis.
Ditranol (antralin)
Hampir sama dengan tar memiliki efek antiinflamasi ringan, sebab dapat mengikat asam nukleat, menghambat sintesis DNA dan menggabungkan uridin ke dalam RNA nukleus.
Vitamin D analog (Calcipotriol)
Calcipotriol ialah sintetik vit D yang bekerja dengan menghambat proliferasi sel dan diferensiasi keratinosit, meningkatkan diferensiasi terminal keratinosit. Preparatnya berupa salep atau krim 50 mg/g, efek sampingnya berupa iritasi, seperti rasa terbakar dan menyengat.
Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dankrim dengan konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan eritema pada 30 % kasus, juga bersifat fotosensitif.
Humektan dan Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi kulit sehingga kulit tidak terlalu kering. Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis.
Fototerapi
Narrowband UVB untuk saat ini merupakan pilihan untuk psoriasis yang rekalsitran dan eritroderma. Sinar ultraviolet masih menjadi pilihan di beberapa klinik. Sinar ultraviolet B (UVA) mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara alamiah, tetapi tidak dapat diukur dan jika berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan sinar ulraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman. PUVA efektif pada 85 % kasus, ketika psoriasis tidak berespon terhadap terapi yang lain.
B. Sistemik Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang bentuk eritrodermi, psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe Zumbusch. Dimulai dengan prednison dosis rendah 30-60 mg (1-2 mg/kgBB/hari), atau steroid lain dengan dosis ekivalen. Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi Psoriasis Pustulosa Generalisata.
Sitostatik
Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi dapat sitostatik yang biasa digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering digunakan
Psoriasis Artritis dengan lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar terkontrol. Bila lesi membaik dosis diturunkan secara perlahan. Kerja metotreksat adalah menghambat sintesis DNA dengan cara menghambat dihidrofolat reduktase dan juga hepatotoksik maka perlu dimonitor fungsi hatinya. Karena bersifat menekan mitosis secara umum, hati-hati juga terhadap efek supresi terhadap sumsum tulang.
Etretinat (tegison, tigason)
Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Etretinat efektif untuk Psoriasis Pustular dan dapat pula digunakan untuk psoriasis eritroderma. Kerja retinoid yaitu mengatur pertumbuhan dan diferensiasi terminal keratinosit yang pada akhirnya dapat menetralkan stadium hiperproliferasi.
Efek samping dapat terjadi kulit menipis dan kering, selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, nyeri tulang dan persendian, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hepar (peningkatan enzim hati).
Siklosporin A
Digunakan bila tidak berespon dengan pengobatan konvensional. Efeknya ialah imunosupresif. Dosisnya 1-4mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik, gastrointestinal, flu like symptoms, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,serta hipertensi. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan. (Gudjonsson and Elder,2012)
TNF-antagonis
Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha merupakan sitokin proinflamasi yang memegang peran penting dalam patogenesis psoriasis. Saat ini sedang dikembangkan sebagai terapi yang memberi haparan baru. Sediaannya antara lain Adalimumab, Infliximab, etanercept, alefacept dan efalizumab.
2.2 Etiologi dan Faktor Pencetus
Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah dilakukan penelitian dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, sistem imunitas, dan lingkungan. Sedangkan tiga komponen patogenesis dari psoriasis adalah infiltrasi sel-sel radang pada dermis, hiperplasia epidermis, dan diferensiasi keratinosit yang abnormal (Schon dan Boehncke, 2005).
2.2.1 Faktor Genetik
Sekitar 1/3 orang yang terkena psoriasis melaporkan riwayat penyakit keluarga yang juga menderita psoriasis. Pada kembar monozigot resiko menderita psoriasis adalah sebesar 70% bila salah seorang menderita psoriasis. Bila orangtua tidak menderita psoriasis maka risiko mendapat psoriasis sebesar 12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasis maka risiko terkena psoriasis meningkat menjadi 34-39%. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe yaitu: a. Psoriasis tipe I dengan awitan dini dan bersifat familial.
b. Psoriasis tipe II dengan awitan lambat dan bersifat nonfamilial.
Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57 dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2, sedangkan psoriasis
pustulosa berkaitan dengan HLA-B27 (Nickoloff & Nestle, 2004). Pada analisa Human Leukocyte Antigen (HLA) yang spesifik dalam suatu populasi, didapatkan bahwa suseptibilitas terhadap psoriasis berhubungan dengan Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan II pada atau dekat dengan kromosom 6 dan lainnya berada di kromosom 17. Lokus Psoriasis Susceptibilitas 1 (PSORS1) dianggap lokus yang terpenting untuk suseptibilitas psoriasis. Hal ini disebabkan PSORS1 berkaitan lebih dari 50% kasus psoriasis. Lokus suseptibilitas lainnya berada pada kromosom 17q25 (PSORS2), 4q43 (PSORS3), 1q (PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6) dan 1p (PSORS7). Pada onset awal yang merupakan psoriasis tipe I diperoleh hubungan dengan HLA-Cw6, HLA-B57, dan HLA-DR7. Sedangkan pada onset lanjutan yang merupakan tipe 2 didapatkan gambaran HLA-Cw2 menonjol. Individu yang memiliki HLA-B17 dan HLA-B13 memiliki kemungkinan untuk menderita psoriasis 5 kali lebih banyak dari individu normal ( Barker, 2001; Schon dan Boehncke, 2005).
2.2.2 Faktor Imunologik
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari ketiga jenis sel yaitu limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau keratinosit. Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis umumnya ditemukan limfosit T di dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit limfositik dalam epidermis. Sedangkan pada lesi baru pada umumnya lebih didominasis oleh sel limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya bertambah. Sel Langerhans juga berperan dalam imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan
adanya pergerakan antigen baik endogen maupun eksogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari. (Gaspari; 2006)
Nickoloff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan penyakit autoimun. Lebih 90% dapat mengalami remisi setelah diobati dengan imunosupresif. Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebutkan dalam kepustakaan diantaranya adalah stress psikis, infeksi fokal, trauma (Fenomenan Kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stress psikis merupakan faktor pencetus utama. Infeksi fokal mempunyai hubungan yang erat dengan salah satu jenis psoriasis yaitu psoriasis gutata, sedangkan hubungannya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. Pernah dilaporkan kesembuhan psoriasis gutata setelah dilakukan tonsilektomi. Umumnya infeksi disebabkan oleh Streptococcus. Faktor endokrin umumnya berpengaruh pada perjalanan penyakit. Insiden psoriasis terutama pada masa pubertas dan menopause. Pada waktu kehamilan umumnya membaik sedangkan pada masa postpartum umumnya memburuk. Gangguan metabolisme seperti dialisis dan hipokalsemia dilaporkan menjadi salah satu faktor pencetus. Obat yang umumnya dapat menyebabkan residif ialah beta adrenergik blocking agents, litium, anti malaria dan penghentian mendadak steroid sistemik.
2.2.3 Faktor Pencetus
Penyebab dan patogenesis psoriasis vulgaris belum diketahui dengan pasti, secara patologis terjadi proliferasi yang berlebihan pada keratinosit dan peradangan kronis, sehingga penyakit ini bersifat kronik-residif. Banyak teori
tentang patogenesis yang berhubungan dengan psoriasis, seperti sebagai kelainan autoimun, trauma mekanik, infeksi staphylococcus, stress psikologis, radiasi sinar ultraviolet, infeksi HIV, peran obat, alkohol, perubahan hormonal dan profil lipid dalam darah. Semua di atas dikatakan merupakan faktor pencetus dari psoriasis. Faktor pencetus ini dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor lokal dan sistemik (William dkk., 2006; Gudjonsson dan Elder, 2012).
Faktor pencetus lokal terjadinya psoriasis antara lain trauma, paparan sinar ultraviolet, dan lokasi atau posisi anatomis. Berbagai trauma baik fisik, kimiawi, bedah, infeksi dan peradangan dapat memperberat atau mencetuskan lesi psoriasis. Lesi psoriasis yang berbentuk plakat dan terjadi pada tempat trauma disebut dengan Fenomena Koebner. Fenomena Koebner adalah paparan sinar matahari juga mengakibatkan eksaserbasi melalui reaksi Koebner. Beberapa penelitian menyatakan terjadinya peningkatan keparahan penyakit seiring dengan meningkatnya paparan sinar matahari (De Rie dkk, 2004; Schon dan Boehncke, 2005; Gudjonsson dan Elder, 2012).
Sedangkan faktor pencetus sistemik antara lain: infeksi, obat, konsumsi alkohol, stres, endokrin, dan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan terjadinya psoriasis vulgaris. Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi sebagai superantigen yang dikemudian hari akan meningkatkan aktivasi sel limfosit T, makrofag, sel Langerhans, dan keratinosis. Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh spesies Streptococcus β-hemoliticus juga sering dikaitkan dengan eksaserbasi psoriasis. Beberapa obat yang dapat mencetuskan perkembangan lesi psoriasis
antara lain: NSAID, lithium, ACE inhibitor, gemfribosil, dan β-blocker (Ashcroft dkk, 2000). Mekanisme eksaserbasi psoriasis akibat obat-obatan lainnya belum diketahui. Konsumsi alkohol juga dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis walaupun mekanismenya belum diketahui. Hubungan antara stres dan eksaserbasi psoriasis belum terlalu jelas namun diduga karena mekanisme neuroimunologis. Psoriasis dilaporkan akan bertambah buruk dengan timbulnya stres yaitu pada 30-40% kasus. Pada saat periode premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh. Angka kejadian psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan diduga peranan dari faktor endokrin. Psoriasis pada penderita HIV lebih berat karena terjadi defisiensi sistem imun (Gudjonsson dan Thorarinsson, 2003).
Faktor pencetus yang belum banyak diungkapkan dan masih kontroversial adalah profil lipid terutama trigliserida dan HDL, hal ini banyak dihubungkan dengan gangguan metabolisme lipid, dislipidemia, sindroma metabolik, diabetes melitus dan penyakit jantung koroner. Mengenai gangguan metabolisme lipid terutama trigliserida dan HDL akan dibicarakan lebih dalam dalam uraian berikutnya.
2.3 Imunopatogenesis Psoriasis
Seperti telah diketahui bahwa penyebab dan patogenesis psoriasis belum diketahui dengan pasti, banyak sistem dalam tubuh berperan dalam patogenesis psoriasis, banyak komponen, elemen mediator yang terlibat terhadap terjadinya atau kekambuhan psoriasis (Joshi, 2004; Nestle dkk 2009 ). Namun ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti, diantaranya gangguan diferensiasi
keratinosit, hiperproliferasi keratinosit dan imunologis. Hal tersebut menjadi dasar patologis terjadinya psoriasis yang multifaktor tersebut, namun ketiganya tidak bekerja sendiri-sendiri namun saling berkaitan.
2.3.1 Gangguan Diferensiasi Keratinosit
Secara patologis, psoriasis ditandai dengan adanya hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal dari keratinosit epidermis, infiltrasi limfosit yang terutama terdiri dari limfosit T dan berbagai perubahan vaskular endotel di lapisan dermis, seperti angiogenesis dan dilatasi pembuluh darah. Lapisan epidermis berdiferensiasi berlebihan yang berbeda dengan sel normal, keratinosit pada psoriasis membentuk amplop cornified (CE) yang mudah terjadi pengelupasan, pembentukan lapisan korneum yang berlebihan mengakibatkan epidermis menebal. Pada fase akhir, kapilarisasi dermal yang luas menyebabkan infiltrasi sel radang pada ikatan dermal-epidermal yang tampak sebagai papilomatosis, merupakan gambaran khas pada psoriasis. Beberapa mediator sebagai penanda diferensiasi keratinosit yang abnormal pada psoriasis; transglutaminase I (TGase K), skin-derived antileukoproteinase (SKALP), migration inhibitory factor-related protein-8 (MRP-8), Involucrin, Filaggrin.
TGase K yang mengawali mengkatalisis untuk terbentuknya CE, yang penting pada lesi psoriasis. SKALP yang hanya ditemukan pada lesi psoriasis, mediator ini merupakan polipeptida inhibitor elastase dominan, yang disekresikan oleh keratinosit epidermal. Elastase adalah lysosomal serin proteinase yang spesifik untuk degradasi elastin, protein yang ditemukan dalam jaringan yang membutuhkan elastisitas kulit. MRP-8, merupakan Ca2+-binding protein,
walaupun fungsi biokimia tidak sepenuhnya dipahami, namun ditemukan pada psoriasis dan penyakit inflamasi lainnya, tidak pada kulit normal. Peran MRP-8 dalam reorganisasi sitoskeleton selama patogenesis psoriasis. Involucrin, merupakan prekursor protein yang membantu untuk menstabilisasikan CE. Pada kulit normal, protein ini merupakan konstituen utama dari CE pada tahap awal pembentukan epidermis, involucrin tetap konstituen utama dari CE selama proses maturasi. Filaggrin yang biasanya ditemukan pada stratum granular epidermis, tidak ada dalam lesi psoriasis. Hilangnya stratum granular kulit stratum korneum dalam psoriasis kemungkinan besar petanda ketidakhadiran filaggrin tersebut (Grove dkk, 2001; Sanchez, 2010).
2.3.2 Hiperproliferasi Keratinosit
Hiperproliferasi keratinosit adalah kategori kedua gejala psoriasis vulgaris. Beberapa penyebab biokimiawi yang mungkin menyebabkan produksi keratinosit berlebihan telah ditemukan pada lesi psoriasis: Epidermal Growth Factor (EGF), Bone Morphogenetic Protein-6 (BMP-6), Transforming Growth Factor-alpha (TGF-α), Activating Protein (AP-1) dan Mitogen-activated protein kinase (MAPK).
Epidermal Growth Factor yang menstimuli pertumbuhan dan diferensiasi lapisan epidermis, merupakan mediasi respon seluler dengan mengikat reseptor spesifik. Ikatan EFG terhadap sel imun dua kali lipat pada lapisan atas epidermis. Peningkatan kekuatan mengikat dapat menyebabkan stimuli yang berlebihan pertumbuhan keratinosit sehingga menyebabkan hiperproliferasi (Bernard, 2012). BMP-6 merupakan faktor pertumbuhan ini sudah dapat dijumpai pada bayi baru
lahir, tapi biasanya menghilang setelah dewasa, kecuali pada pasien psoriasis, hal ini menyebabkan ditemukan TGF-α dibagian atas lesi psoriasis, tetapi tidak dalam kulit normal. Vasoactive Intestinal Polipeptide (VIP), merupakan neuropeptida dengan berat molekul besar, menginduksi produksi TGF-α in vivo, sebelumnya diduga bahwa efek hiperproliferasi dari VIP dimediasi oleh peningkatan level dari cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang disebabkan oleh aktivitas activated adenylate cyclase, namun penelitian lain menunjukkan bahwa VIP menstimuli pertumbuhan keratinosit melalui TGF-α bukan.Activating protein (AP-1), sebuah kompleks dari oncoproteins, menstimulasi ekspresi banyak gen yang penting dalam proliferasi sel dan inflamasi. Faktor-faktor ini terbukti memiliki pola ekspresi yang bereda-beda pada lesi psoriasis sehingga mediator tersebut terlibat dalam patogenesis psoriasis. Mediator terakhir, MAPK, membantu mengatur proliferasi sel. Banyak growth factor dan sitokin memodulasi aktivitas MAPK, yang lebih banyak pada fibroblas psoriasis. (Grove dkk, 2001; Sanchez, 2010; Bernard, 2012).
2.3.3 Imunologis dan Inflamasi
Mengawali peran imunitas pada psoriasis melalui antigen precenting cell (APC) akan memproses dan mempresentasikan antigen pada sel T. Antigen precenting cell ini mengekspresikan MHC klas I dan II pada permukaannya. Lapisan epidermis pada penderita psoriasis akan terjadi peningkatan jumlah denritic cell (DC) walaupun tidak spesifik untuk penyakit ini. DC di dermis menjadi tipe APC yang berperan pada psoriasis dan terletak pada papilla dermis. Pada pasien psoriasis, jumlah DC plasmasitoid meningkat baik pada bagian kulit
yang terlibat atau tidak, tetapi hanya aktif pada kulit yang terlibat. Proses antigen diakhiri dengan timbulnya peptida antigen di permukaan APC oleh MHC. Komplek peptide-protein ini akan dikenali secara spesifik oleh reseptor sel T (TCR). APC yang telah aktif akan berjalan menuju limfonoid untuk mengaktifkan sel T. Interaksi sel T dan APC di limfonoid akan menstimulasi sel T. Proses ini terdiri dari dua sinyal. Sinyal pertama dihasilkan oleh komplek antigen yaitu MHC dan TCR sedangkan sinyal yang kedua berperan sebagai konstimulasi. Konstimulasi ini diperankan oleh reseptor dengan ligand pada sel T. Kemudian sinyal 1 dan 2 akan mengaktivasi sel T (Krueger et al, 2005;Verghese,2011, Perez,2013).
Salah satu sel dendritik yang berpengaruh dalam patogenesis psoriasis adalah sel Sel Langerhans yang mengenali dan menangkap antigen, bermigrasi ke kelenjar getah bening lokal, dan mempresentasikannya ke sel T. Aktivasi limfosit T akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α yang menyebabkan proliferasi keratinosit. Hiperproliferasi ini menyebabkan menurunnya waktu transit epidermis (perkiraan waktu yang diperlukan oleh sel kulit untuk maturasi secara normal) dari 28 hari menjadi 2-4 hari dan memproduksi sisik kemerahan yang tipikal pada psoriasis. IFN-γ juga menghambat apoptosis keratinosit dengan menstimulasi protein anti-apoptosis, demikian juga IL-6 lebih tinggi secara bermakna antara psoriasis (61,26+57,40) dengan kontrol (2,38 +1,94) (Verghese,2011).
Gambar 2.3Skema singkat hubungan antara Psoriasis dan penyakit autoimun terkait. Sitokin memiliki peran penting dalam patogenesis Psoriasis (Ps), psoriasis arthritis (PSA), rheumatoid arthritis (RA) dan penyakit Crohn..Skema tersebut menggambarkan interaksi antara APC, sel T dan sel lain seperti fibroblast. Interaksi ini difasilitasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel-sel imu lainnya. Sitokin yang menstimuli () dan menghambat (--I). Tumor necrosis factor (TNF)-α, Interleukin (IL-6),Interleukin (IL)-22,dan Interferon (IFN)-γ merupakan adalah mediator yang berperanan dalam target akhir untuk diferensiasi, proliferasi dan inflamasi pada psoriasis. (Perez, 2013)
Awalnya terjadi hiperproliferasi keratinosit akibat adanya aktivasi oleh faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor, nerve growth factor, endothelial growth factor dengan target sel dendritik imatur di epidermis menstimulasi sel T dari kelenjar getah bening sebagai respons terhadap stimulasi unidentified antigen. Aktivasi sel T, TNF-α, dan sel-sel dendritik adalah faktor patogenik yang distimulasi dalam respon terhadap faktor pencetus, seperti trauma fisik, inflamasi bakteri, virus, atau withdrawal kortikosteroid. Infiltrat limfosit pada psoriasis kebanyakan adalah sel T CD4 dan CD8. Setelah sel T menerima stimulasi pertamanya dan teraktivasi, menyebabkan terjadinya sintesis IL-6. Peningkatan
IL-6 dari sel T yang teraktivasi dan IL-12 dari sel Langerhans menstimulasi IFN-γ, TNF-α, dan IL-6, yang bertanggung jawab dalam diferensiasi, maturasi, dan proliferasi sel T menjadi sel memori efektor. Kemudain sel T bermigrasi ke kulit, dimana mereka berkumpul di sekitar pembuluh darah dermis. Ini merupakan perubahan imunologik pertama yang menyebabkan diferensiasi dan proliferasi keratinosit pada psoriasis akut (El-Dorouti, 2010).
Perez (2013). telah mendemonstrasikan defisiensi aktivitas sel T regulator (T reg) pada pembuluh darah perifer dan di kulit pasien dengan psoriasis. Meskipun jumlah absolut sel T reg yang bersirkulasi pada pasien psoriasis adalah normal dibandingkan pasien yang sehat, ternyata terdapat defisiensi relatif dalam kemampuan mereka untuk menekan proliferasi sel T CD4. Angiogenesis bukan kejadian awal dari patogenesis psoriasis, namun memahami mekanisme yang menyebabkan angio-proliferasi dapat membantu menemukan obat anti-psoriasis yang tepat. Angiogenesis dan hiperpermeabilitas vaskular disebabkan oleh meningkatnya produksi vascular endothelial growth factor (VEGF) oleh keratonosit yang telah terstimulasi oleh TGF-α yang dihasilkan oleh sel T dan keratinosit. TNF-α juga meningkatkan angiogenesis. Pizzorno dan Murray berpendapat “unidentified antigen” yang disebutkan di atas merupakan hasil dari pencernaan protein yang tidak sempurna, meningkatnya permeabilitas usus, dan alergi makanan; toksemia usus; gangguan detoksifikasi hati; defisiensi garam empedu; konsumsi alkohol; defisiensi nutrisi (vitamin A dan E, seng, selenium); dan stress psikologis.
Data terbaru menyatakan bahwa selain TNF-α, IL-20 dan IL-17 juga sangat berperan di dalam patogenesis psoriasis. IL-17 yang disekresikan oleh sel Th17 juga dapat mengaktifasi inflamasi di berbagai sistem organ. Seperti misalnya, IL-17 juga meningkat pada serum pasien dengan penyakit arteri koroner (Piskin dkk., 2003; Mallbris dkk., 2006).
Sel T yang teraktivasi ini akan memasuki sistem sirkulasi menuju jaringan perifer. Sel T akan berikatan dengan endotel dimana leucocyte function-associated antigen-1 (LFA-1) pada sel T dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) pada sel endotel akan berinteraksi. Setelah interaksi tersebut, diapedesis akan terjadi. Diapedesis adalah migrasi dari sel T melalui dinding pembuluh darah yang akan menuju ke dermis dan epidermis. Setelah sel T mencapai kulit, maka terjadi aktivasi kembali sel T. Sel T yang teraktivasi tersebut akan memproduksi sitokin yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Baik CD4+ dan CD8+ sama-sama memproduksi sitokinin Th1. Ekspresi yang berlebihan dari sitokin tipe-1 seperti IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IFNγ dan TNFα menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel netrofil. Sinyal utama dari Th1 adalah IL-12 yang merangsang produksi IFNγ intraseluler. Pada psoriasis, sel Th langsung mengatur sel B untuk menghasilkan autoantibodi, dan yang menjadi target antigen adalah sel-sel kulit itu sendiri. Sedangkan pada psoriasis arthritis, targetnya adalah sel-sel pada sendi. Apabila produksi sitokin terlalu berlebihan akan menimbulkan kerusakan pada kulit yang berlebihan juga. Dari penelitian terbaru menyimpulkan bahwa mayoritas sel T CD4+ pada lesi kulit psoriasis adalah sel T yang memproduksi IL-22 dan IL-17. Sumber utama IL-22 pada lesi
psoriasis adalah sel Th17 dan Th1. Adanya single-nucleotide polymorphisms (SNP) pada gen reseptor IL-23 yang berhubungan dengan psoriasis akan mendukung peran sel Th17 didalam imunopatogenesis psoriasis (Krueger dan Ellis, 2005; Gaspari, 2006; Huerta dkk, 2007).
IL-15 adalah faktor pencetus keterlibatan sel-sel inflamasi, angiogenesis dan menghasilkan IFN-γ, TNF-α, dan IL-17 yang semuanya mengatur plak psoriasis. IL-2 berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel T sedangkan IFN-γ dapat menghambat apoptosis keratinosit yaitu dengan cara menstimulasi ekspresi protein anti apoptosis B cell lymphoma-x (Bcl-x) yang memungkinkan terjadinya hiperploriferasi keratinosit. Target spesifik untuk terapi adalah dengan melibatkan TNF-α, ikatan leucocyte function-associated antigen-1 (LFA-1)/interceluler adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan ikatan LFA-3/CD2. IFNγ dan TNFα menginduksi keratinosit untuk memproduksi IL-7, IL-8, IL-12, IL-15, dan TNFα. IL-17 dan IL-15 berperan dalam poliferasi dan keseimbangan homeostatik sel CD8+. IL-17 dan IFNγ meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan kemokin oleh keratinosit. TNF-α. menginduksi ICAM-1 pada permukaan keratinosit yang menyebabkan sel T akan terikat langsung pada keratinosit melalui molekul LFA-1. Selain itu, TNFα juga meningkatkan molekul adhesi sel endotel pembuluh darah (Schon dan Boehncke, 2005; Chan dkk, 2006).
Keratinosit dapat diaktivasi terutama oleh sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-22). Namun setelah beberapa waktu tertentu peran tersebut akan digantikan oleh sitokin Th17 (IL-6, IL-17, dan IL-22), dan akhirnya dimainkan oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan sel dendritik (TNF-α, 6, 18, 19, dan
IL-20) dan sitokin yang diproduksi sendiri oleh keratinosit seperti TGF-α, IL-19 dan IL-20. Akan tetapi, sampai saat ini belum dapat ditentukan sitokin mana yang bertanggung jawab dalam peningkatan poliferasi keratinosit (Numerof dan Asadullah, 2006).
Imunosit dan keratinosit pada lesi psoriasis memproduksi faktor angiogenik, yaitu VEG-F, yang meningkatkan proses angiogenesis dan aktivasi sel endotel. Nilai VEG-F meningkat dalam keadaan hiperinsulinemik seperti sindrom metabolik dimana adiposit adalah sumber primernya (Cargil dkk., 2007)
Faktor genetik juga berperan penting dalam suseptibilitas psoriasis dan gangguan metabolik, termasuk dislipidemia. Lebih dari 20 lokus genetik yang mengandung berbagai macam jumlah gen telah dikaitkan dengan suseptibilitas psoriasis. Dari gen-gen ini, beberapa juga dihubungkan dengan gangguan metabolik. Lokus suseptibilitas psoriasis PSORS2, PSORS3, dan PSORS 4 juga terhubung dengan lokus suseptibilitas untuk gangguan metabolik, diabetes tipe 2, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular (Azfar dan Gelfan, 2008).
2.4 Jenis Kolesterol dalam Tubuh
Kolesterol diproduksi oleh hati dalam bentuk partikel lembut menyerupai lapisan lilin yang beredar di dalam darah. Fungsi kolesterol sebenarnya adalah sebagai unsur utama membran sel, membantu pencernaan lemak di dalam empedu, pembentukan vitamin D dan hormon steroid. Hati sebenarnya sudah menghasilkan sebagian besar kolesterol yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi karena adanya asupan makanan yang mengandung lemak maka jumlah kolesterol akhirnya menjadi berlebihan dan ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya
berbagai penyakit yang berhubungan dengan metabolisme lemak (kolesterol). Peranan gangguan metabolisme lipid berhubungan dengan penyakit sindroma metabolik seperti diabetes melitus, penyakit kardiovaskuler, hipertensi, obesitas dan sebagainya telah banyak diteliti. Namun penelitian peran metabolisme lipid pada psoriasis belum banyak dilakukan, walaupun beberapa penelitian yang berhubungan dengan psoriasis, namun hasilnya masih berbeda-beda. Ada banyak jenis lipid, namun yang berhubungan dengan psoriasis adalah jenis trigliserida dan kolesterol high density lipoprotein (HDL)
Semua sel menggunakan lemak, kolesterol sebagai blok bangunan untuk membuat membran ganda yang digunakan sel untuk kedua kadar air pengendalian internal, elemen air internal larut dan untuk mengatur struktur internal dan sistem protein enzimatik. Partikel-partikel lipoprotein memiliki kelompok hidrofilik fosfolipid, kolesterol dan apoproteindiarahkan ke luar. Karakteristik seperti membuat mereka larut dalam air garam berbasis darah. Trigliserida-lemak dan ester kolesterol dilakukan secara internal, terlindung dari air dengan monolayer fosfolipid dan apoprotein.Interaksi protein membentuk permukaan partikel dengan (a) enzim dalam darah, (b) dengan satu sama lain dan (c) dengan protein spesifik pada permukaan sel menentukan apakah trigliserida dan kolesterol akan ditambahkan atau dikeluarkan dari transportasi partikel lipoprotein tersebut. Mengenai pengembangan ateroma dan kemajuan sebagai lawan regresi, masalah utama selalu pola transportasi kolesterol, bukan konsentrasi kolesterol itu sendiri.
Didalam tubuh manusia, sumber energi yang diperlukan berasal dari oksidasi karbohidrat dan lipid. Lipid yang tersimpan di dalam sel pada seluruh tubuh disebut dengan jaringan adiposa atau depot lipid. Sel-sel jaringan adiposa
mengandung trigliserida yang mengisi hampir 90% dari volume sel. Sedangkan lipid pada darah harus berikatan dengan protein agar dapat larut dalam air dan ikatan ini disebut lipoprotein. (Javidi dkk,2007). Di dalam peredaran darah, lipoprotein merupakan suatu komplek yang biasa disebut lipoprotein partikel yang terdiri dari 2 bagian yaitu bagian dalam (inti) yang tidak larut terdiri dari trigliserida dan ester kolesterol, dan bagian luar yang larut terdiri dari kolesterol bebas, fosfolipid dan apoprotein (Jellinger, 2000; Khovidhunkit dkk., 2004). Ada beberapa tipe dari lipoprotein dalam darah antara lain:Kilomikron, dibentuk di dinding usus dari trigliserida dan kolesterol berasal dari makanan. Trigliserida (TG) mengalami hidrolisa oleh lipoprotein lipase dan sisanya diekskresi oleh hati. Kilomikron ini memiliki nilai perbandingan lemak dan protein yang tertinggi (lebih banyak lemaknya daripada protein), dan tugasnya adalah membawa energi dalam bentuk lemak ke otot. Very Low Density Lipoprotein (VLDL), molekul VLDL diproduksi di hepar dan mengandung trigliserol dan kolesterol yang tidak diperlukan oleh hepar dalam sintesis asam empedu. VLDL merupakan karier utama dari trigliserida. VLDL akan mengalami degradasi menjadi LDL (Jellinger, 2000; Khovidhunkit dkk., 2004). Low Density Lipoprotein (LDL), adalah karier utama kolesterol dalam darah dan masing-masing molekul mengandung sekitar 1.500 molekul kolesterol ester. Bila jumlah kolesterol dalam darah berlebih, reseptor LDL akan dihambat sehingga molekul LDL tidak akan diambil. Sebaliknya, reseptor LDL akan lebih banyak dihasilkan bila di dalam sel kekurangan kolesterol. Bila regulasi sistem ini terganggu, banyak molekul LDL muncul di darah tanpa reseptor sehingga akan teroksidasi dan ditangkap oleh
makrofag membentuk foam cell. Sel-sel ini terperangkap dalam dinding pembuluh darah yang akan membentuk plak atherosklerotik. (Uyanik dkk., 2002; Tekin dkk., 2007; Jellinger, 2000; Khovidhunkitet dkk, 2004). High Density Lipoprotein (HDL), molekul HDL akan menghantarkan kolesterol kembali ke hepar untuk diekskresikan atau dihantarkan ke jaringan lainnya untuk sintesis hormon yang disebut dengan proses reverse cholesterol trigliseride (RCT). Kadar molekul HDL yang tinggi berhubungan dengan status kesehatan yang lebih baik. HDL menunjukkan kondisi sistem metabolik yang sehat dari individu. Nilai normal HDL 35-85 mg/dL (Jellinger, 2000; Khovidhunkit dkk., 2004).Trigliserida (TG), adalah komponen utama dari VLDL dan kilomikron. TG merupakan komponen lemak yang tidak larut dalam air dan tersimpan pada jaringan lemak. Kadar normal TG adalah kurang dari 150 mg/dL. Borderline bila 150-199 mg/dL, 200-499 mg/dL dikatakan tinggi, dan lebih dari 500 mg/dL adalah sangat tinggi, dikatakan bahwa TG yang tinggi berhubungan dengan penyakit-penyakit lain seperti aterosklerosis, diabetes melitus, lupus eritematosus dan psoriasis (Jellinger, 2000; Khovidhunkitet al, 2004).
Dari banyak lipid dalam tubuh, keseimbangan antara HDL dan trigliserida memegang peran penting dalam beberapa penyakit metabolisme, termasuk pada psoriasis. Peran lipid ini saat ini mulai banyak diteliti tentang hubungannya dengan sistem imunitas tubuh. Bahkan banyak peneliti menyatakan bahwa psoriasis merupakan petanda penyakit sistemik serta sangat erat dengan patogenesis terjadinya plak pada aterosklerosis (Kaji 2003; Khovidhunkit 2004; Kourosh 2008).
2.5 Peranan Trigliserida dan HDL dalam Imunopatogenesis Psoriasis
Etiologi terjadinya peningkatan lipid darah pada psoriasis masih kontroversial, meskipun beberapa studi sudah dilakukan untuk membuktikannya. Beberapa pendapat mengatakan adanya predisposisi genetik untuk perkembangan psoriasis dan beberapa kondisi yang mencetuskan peningkatan aktivitas penyakit seperti misalnya infeksi, trauma kulit, sinar matahari, agen oksidan, dan stres (Takeda dkk., 2001;Rocha, 2001; Tekin dkk., 2007). Seringkali psoriasis dihubungkan dengan beberapa penyakit yaitu kardiovaskular, diabetes mellitus, dan rematoid arthritis. Peran dari keadaan patologis tersebut adalah etiologi psoriasis yang masih belum jelas (Gelfan dkk, 2007; Azfar dan Gelfan, 2008).
Psoriasis adalah penyakit inflamasi Th1 yang ditandai dengan ekspansi dan aktivasi sel Th1, APC, dan sitokin Th1. Inflamasi Th1 yang kronis sangat berperan dalam patofisiologi, sindrom metabolik, diabetes, atherosklerosis dan infark miokardium. Sebagai contoh, sitokin Th1, molekul adhesi (ICAM-1, E-selectin), dan faktor angiogenik (VEGF) meningkat pada psoriasis, dan penyakit arteri koroner. Mediator-mediator inflamasi ini memiliki efek pleiotropik pada beberapa proses, seperti misalnya angiogenesis, insulin signaling, adipogenesis, dan metabolisme lipid, trafficking sel imun, dan proliferasi epidermis (Creamer, 2002). Pada tabel 2.2 di bawah ini adalah tabel beberapa peneliti peran trigliserida dan HDL yang berhubungan dengan psoriasis.
Inflamasi kronis dapat menyebabkan disfungsi pada beberapa sistem organ. Sitokin Th1 seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) meningkat pada kulit dan
darah pasien psoriasis dan merekrut lebih banyak sel T ke kulit dan persendian, meningkatkan proses angiogenesis dan hiperproliferasi epidermal (Goiris dkk, 2006). Selain itu TNF-α juga disekresikan pada jaringan adiposa dan merupakan gambaran yang penting dalam obesitas kronik. TNF-α dapat menyebabkan resistensi insulin melalui berbagai jalan seperti misalnya mengganggu insulin signaling dengan menghambat aktivitas tirosine kinase dari reseptor insulin melalui aktivasi peroxisome proliferator–activated reseptor (PPAR)δ yang meningkatkan proliferase epidermal, modulasi adipogenesis dan metabolisme glukosa, dan melalui supresi adiponectin yang merupakan molekul anti inflamasi yang penting dalam regulasi sensitivitas insulin (Reynoso dkk, 2003). Selain itu, inflamasi kronis psoriasis akan meningkatkan insulin-like growth factor-II (IGF-II) di kulit dan darah pasien psoriasis, dimana IGF-II dapat meningkatkan proliferasi epidermis, modulasi massa lemak tubuh dan metabolisme lemak. Hal ini berkaitan dengan hiperlipidemia atau ketidakseimbangan kadar HDL dan trigliserida baik pada hewan coba maupun pada manusia (Cohen dkk., 2007; Zuliani,2007; Kaji H, 2013).
Tabel 2.2 Hasil beberapa peneliti tentang hubungan kadar Trigliserida dan HDL dengan Psoriasis
Peneliti Metode Mean+ SD
Dsouza dkk, 2013 Case-control, Population TG Case Control 116+37 99 +2,4 P>0.05 NS HDL Case Control 47,2+8,0 47,11+11,1 NS Bhat dkk , 2012 Case-control TG Case Control 94,55+40,87 174,1+81,54 P<0,001 HDL Case Control 42.65+10,54 42,55+14,16 NS Bajaj dkk, 2009 Case-control TG Case Control 175,91+46,55 147,12+9,72 P<0,001
HDL Case Control 37,81+10,78 41,41+9,72 P<0,001 Dreiher dkk, 2008 Case-control TG Case Control >200 (15,9 %) <200 (13,5 %) OR=1,21 P<0,001 HDL Case Control >40 (24,9 %) <40 (21 %) OR=1,18 P<0,001 Akhyani dkk, 2007 Cross-sectional TG Case Control 140,30+55,24 115,84+47,28 P<0.001 HDL Case Cantrol 39,64+7,91 41,32+7,73 NS Javidi, 2007 Cross-sectional TG Case Control 265,7+114,3 174,5+81,2 P<0,05 HDL Case Control 38,3+3,6 44,4+6,4 NS Carneiro dkk, 2006 Cross-sectional TG Case Control >150 (36,2 %) <150 (13,8 %) P<0,001 HDL Case Low (61,0 %) Normal (19,2 %) P<0,001 NS – Non significant
Dari berbagai penelitian tersebut diatas, masih banyak perbedaan hasil dengan metode yang berbeda-beda.
Banyak peran HDL sebagai antiinflamasi sebagai berikut; menghambat sitokin yang menstimuli ekspresi molekul adesi terhadap sel endotel seperti : Vascular cell adhesion molecule-1, Intercellular adhesion molecule-1 dan E-selectin.Menghambat sitokin TNF-α yang mensintesis IL-6, sitokin ini sebagai sitokin proinflamasi (Zuliani,2007; Das dkk.;2012; Kaji; 2013).
Pada gambar 2.4 dibawah ini tampak jelas peran antiinflamasi dari HDL, terutama terhadap ICAM-1 dan VCAM-1.
Gambar 2.4Efek Antiinflamasi dari HDL. High density lipoprotein (HDL) memiliki efek anti-inflamasi, terutama terhadap efek pada pada sel endotel telah banyak buktinya. Penelitian In vitro telah menunjukkan bahwa HDL lipoprotein dari manusia dengan komponen utamanya adalah apolipoprotein AI (apoA-I), dapat menghambat ekspresi VCAM 1 dan ICAM-1 pada sel endotel dan mengurangi pengikatan monosit ke permukaan endotel, hal ini menyebabkan terhambatnya migrasi sel-sel radang dari pembuluh darah (Barter, 2004)
Perubahan vaskuler terjadi pada lapisan dermis lesi psoriasis yaitu berupa dilatasi kapiler dan angiogenesis. Peningkatan dari vaskuler endothelial growth factor (VEGF/VPF) oleh keratinosit yang distimulasi oleh TGF-α (yang diproduksi sel T dan keratinosit) akan menyebabkan angiogenesis dan hipermeabilitas vaskuler. TNFα juga merupakan promotor terjadinya angiogenesis dan peradangan pada endotel dermis, hal ini yang menyebabkan lesi psoriasis yang eritematous (De Rie dkk, 2004; Schon dan Boehncke, 2005; Gudjonsson dan Elder, 2008).
Peningkatan kadar trigliserida dapat memprovokasi akumulasi lipid pada dinding arteri, memicu respon inflamasi awal di endotel vaskularyang mengekspresikan molekul adhesi. Lipoprotein lipase (LPL) memainkan peran penting dalam metabolisme lipid dengan hidrolisis trigliserida hal ini terjadi
stimulasi endothelial vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM1) melalui sintesis synthetic peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR), demikian juga halnya dengan ICAM-1 yang ke duanya dapat memobilisasi sitokin proinflamasi seperti IL-6, IFN-gamma dan TNF-alpha. Sebagai hasil akhir terjadinya diferensiasi dan proliferasi dari keratinosit (Ziouzenkova,2003; Wang, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Svenungsson dkk, 2003 menunjukkan bahwa tingginya kadar trigliserida dan rendahnya kadar HDL merupakan petanda aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik melalui peningkatan regulasi dari TNF-alpha dan TNF-Receptor system.Kesimpulan ini mendukung konsep bahwa setiap perubahan dalam plasmalipoprotein berhubungan dengan kadar plasma trigliserida berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit inflamasi seperti kardiovaskuler, psoriasis, lupus eritematosus (Savoju dkk., 2008; Feinggold dkk., 2012).
Banyak fakta mengatakan bahwa, selain gangguan keratinosit, psoriasis juga terjadi disfungsi endotel pada dermis psoriasis, demikian juga hal yang sama terjadi pada penyakit kardiovaskuler. Kelainan endotel dimediasi oleh trigliserida melalui faktor-faktor pertumbuhan lainnya (Norata dkk., 2006; Mallbris dkk., 2008; Simone dkk., 2011; Brezinki dkk., 2013)
2.6 Metabolisme lipid dan Psoriasis
Banyak fakta menunjukkan bahwa antara plak psoriasis dengan plak aterosklerosis memiliki hubungan patogenesis yang mirip, dengan kata lain gangguan metabolisme lipid yang dikenal sebagai metabolik sindrom dalam hal ini kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi memegang peran
penting. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dasar patologis psoriasis adalah proliferasi keratinosit juga akibat gangguan imunologis. Peran trigliserida dan HDL memegang peran sentral dalam proses patologi psoriasis (Ghasibadeh dkk 2010; Padhi dkk 2013).
Gambar 2.5 Skema singkat proses perkembangan proses radang yang terjadi antara psoriasis dan aterosklerosis. Dalam kelenjar getah bening, sel penyaji antigen (APC) mengaktifkan naif sel T untuk meningkatkan ekspresi leukocyte-function-associated antigen-1 (LFA-1). Sel T yang aktif akan bermigrasi (ekstravasasi) ke pembuluh darah dan terikat pada endotel. Selain itu intercellular adhesion molecule-1(ICAM-1) akan berinteraksi dengan sel dendritik, makrofag dan keratinosit pada lesi Pada akhirnya makrofag mensekresi kemokin dan sitokin yang berperan dalam proses inflamasi, sehingga terjadi pembentukan plak psoriasis atau plak aterosklerosis(Ghasibadeh dkk 2010).
Dari uraian di atas tampak bahwa peranan lipid sangat besar dalam patogenesis psoriasis, dalam hal ini keseimbangan antara trigliserida dan HDL. HDL selain sebagai mediator antiinflamasi juga sebagai antioksidan, sangat berperan dalam menekan sintesis IL-6, IL-8, TNF, dan IFN-gamma. Sitokin proinflamasi ini akan meningkatkan peran epidermal growth factos, nerve growth factors, ICAM-1 dan VCAM yang pada akhirnya akan meningkatkan diferensiasi dan proliferasi keratinosit. Trigliserida merupakan lipoprotein yang bersifat proinflamasi menyatakan bahwa salah satu faktor risiko kejadian psoriasis adalah gangguan profil lipid terutama kadar trigliserida yang tinggi dan kadar HDL yang rendah sebagai salah satu faktor risiko, walaupun masih ada beberapa peneliti yang menemukan hal yang berbeda peran HDL dan trigliserida pada psoriasis. Kedua lipid tersebut berperan dalam patogenesis psoriasis secara tidak langsung, tetapi melalui stimulasi sel T helper dengan meningkatkan produksi sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6, IFN-gamma dan sitokin proinflamasi lainnya. IL-6 memegang peran yang dominan dalam proliferasi sel keratinosit dan peradangan kronis, sebagai gambaran klinis tampak sebagai psoriasis, melalui stimulasi epidermal growth factor, nerve growth factor dan endothelial growth factor, yang pada akhirnya menyebabkan proliferasi keratinosit dan peradangan pada lesi psoriasis. Namun peran kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi pada psoriasis belum ada kesepakatan, selain itu apakah ke dua profil lipid tersebut dapat sebagai faktor risiko terjadinya psoriasis, kiranya perlu dilakukan penelitian case-control untuk mengetahui rasio Odds dari profil lipid tersebut.
BAB III
KERANGKA PIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pikir
Dari uraian di atas tampak bahwa keseimbangan antara trigliserida dan HDL berperan dalam patogenesis psoriasis. HDL selain sebagai mediator antiinflamasi juga sebagai antioksidan, sangat berperan dalam menekan sintesis IL-6, IL-8, TNF-alpha dan IFN-gamma. Sitokin proinflamasi ini akan meningkatkan peran epidermal growth factos, nerve growth factors, ICAM-1 dan VCAM yang pada akhirnya akan meningkatkan diferensiasi dan proliferasi keratinosit. Trigliserida sebagai kolesterol proinflamasi yang dapat menstimuli Th1 dan sel penyaji antigen untuk memproduksi sitokin-sitokin proinflamasi. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi pada psoriasis bermakna dibandingkan subjek yang tidak menderita psoriasis, namun hasil ini masih kontroversi dan di Indonesia belum banyak penelitian yang menilai tingginya trigliserida dan rendahnya HDL sebagai faktor risiko terhadap psoriasis. Oleh karena itu kiranya perlu dilakukan penelitian case-control untuk mengetahui rasio Odds dari profil lipid tersebut.
3.2 Kerangka Konsep
Keterangan : Diteliti T Tidak diteliti
3.3 Hipotesis Penelitian:
3.3.1 Kadar HDL yang rendah merupakan faktor risiko pada psoriasis vulgaris. 3.3.2 Kadar trigliserida yang tinggi merupakan faktor risiko pada psoriasis
vulgaris.
Psoriasis
Trigliserida dan
HDL
Proliferasi keratinosit Peradangan kronis IL-6 IL-17 IFN-gamma TNF-alpha Pola diet Faktor Genetik Kortikosteroid sistemik Infeksi Streptococcus Stress psikologisBAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Untuk mengetahui kadar HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi terhadap kejadian psoriasis vulgaris maka dilakukan penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan case-control study.
KASUS (PSORIASIS) HDL Trigliserida HDL N Trigliserida N KONTROL NON PSORIASIS HDL Trigliserida HDL N Trigliserida N Tidak berpasangan (unmatching) 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2012- Januari 2013
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi target adalah pasien psoriasis vulgaris, orang Indonesia yang didiagnosis secara klinis dan histopatologi.
2. Populasi terjangkau adalah pasien psoriasis vulgaris, orang Indonesia yang berobat di RSUP Sanglah, Denpasar periode Nopember 2012 – Januari 2013
4.3.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien dengan diagnosis Psoriasis Vulgaris dan berusia 15 tahun–60 tahun sebagai kasus.
2. Pasien dengan non Psoriasis Vulgaris dan berusia 15 tahun - 60 tahun sebagai kontrol.
3. Bersedia mengikuti prosedur penelitian dengan menandatangani surat persetujuan penelitian setelah diberi penjelasan ( informed consent ) 4. Riwayat dislipidemia
4.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Mendapatkan terapi sistemik kortikosteroid dalam 1 bulan terakhir atau siklosporin
2. Obesitas ( Indeks massa tubuh > 30) 3. Hipertensi ( tensi darah > 140/90)
4. Diabetes Melitus dan riwayat penggunaan obat anti diabetik.
4.4 Besa03r Sampel Penelitian
Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus Lwanga dan Lemeshow (1991): n 1= n2 = Zα √p.q + Zβ √{ p1q1 + p0q0} ²
( p1 – p0 )²
n = 28,68 dibulatkan menjadi 30
Pada penelitian ini digunakan 30 case dan 30 kontrol. Keterangan :
n = Besar sampel
Zα = Kesalahan tipe I (ditetapkan, 1.96) p = ½ p1+p0
p 1 = proporsi case p 0 = proporsi kontrol q = 1-p
Zβ = Kesalahan tipe II (ditetapkan , 0.84) q 0 = 1-p0
q 1 = 1- p1
4.5 Cara Pemilihan Sampel
Dengan menggunakan consecutive sampling random dari pasien pengunjung poli kulit dan kelamin RSUP Sanglah, Denpasar yang memenuhi kriteria sampel. Setiap pasien yang didiagnosis sebagai Psoriasis Vulgaris dipakai sebagai case. Setiap case akan dipilihkan satu pasien non Psoriasis sebagai control secara random pada hari yang sama.
4.6 Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : HDL dan Trigliserida 2. Variabel Tergantung : Psoriasis vulgaris
3. Variabel Perancu : Diabetes melitus, Obesitas,Stres Psikologi,Infeksi.
4.7 Definisi Operasional
1. Usia ditentukan berdasarkan tanggal lahir dan dinyatakan dalam satuan tahun 2. Psoriasis Vulgaris, diagnosis berdasarkan Gudjonsson, in Fitzpatrick ’s
Dermatology 2012.
3. HDL kolesterol dan Trigliserida akan ditentukan dengan metode CHOD PAP (Flier 2008) dikategorikan menjadi:
HDL-kolesterol < 35mg/ dl. Trigliserida darah > 150mg/dl.
4. Derajat keparahan Psoriasis berdasarkan Feldman dan Krueger,2005 bila: Nilai PASI < 10 disebut Psoriasis derajat ringan.
Nilai PASI 10 – 30 disebut Psoriasis derajat sedang. Nilai PASI > 30 disebut Psoriasis derajat berat.
4.8 Prosedur Penelitian 4.8.1 Tahap Seleksi Pasien
Pemilihan Subyek Penelitian dilakukan secara klinis untuk mendapatkan pasien psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Peneliti kemudian memberikan keterangan mengenai penyakit, tujuan dan cara penelitian kepada calon Subyek Penelitian. Bila calon Subyek Penelitian setuju untuk mengikuti penelitian ini maka calon Subyek Penelitian harus mengisi dan menandatangani formulir persetujuan
(informed consent). Langkah penelitian selanjutnya akan dijalankan setelah pasien memberikan persetujuan tertulis.
4.8.2 Pencatatan Data Dasar
Pencatatan meliputi identitas Subyek Penelitian, anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran tekanan darah, berat badan dan tinggi badan.
4.8.3 Pemeriksaan kadar HDL dan Trigliserida
Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Klinik RSUP Sanglah, Jl.Kesehatan, Denpasar. Sebelum dilakukan pemeriksaan, SP harus puasa selama 12 jam.
Langkah pemeriksaan:
1. Pengambilan darah Subyek Penelitian sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuit 3 cc lalu dipindahkan ke dalam tabung yang mengandung EDTA dan disimpan pada suhu 2-8⁰ C.
2. Darah disentrifugasi 3.000 rpm selama 15 menit, kemudian serum diambil secukupnya dan dimasukan ke dalam tabung.
3. Tabung diletakan pada rak sampel pengukuran konsentrasi kadar HDLdan kadar Trigliserida.