• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1 Morfologi tanaman (a) dan rimpang temulawak (b)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 1 Morfologi tanaman (a) dan rimpang temulawak (b)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

kualitas metabolit sekunder yang baik terlihat dari potensinya sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Hasil penelitian terhadap potensi rimpang temulawak dan kunyit Sukabumi sebagai antioksidan, antiinflamasi serta kandungan kurkuminoid diharapkan mampu menjadikan daerah Sukabumi menjadi daerah pembudidayaan temulawak dan kunyit dengan kualitas metabolit sekunder yang baik. Kandungan metabolit sekunder yang baik tentunya meningkatkan potensi bioaktivitas dan efek farmakologis dari temulawak dan kunyit.

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu (Gambar 1). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman yang berasal dari daerah Jawa, Bali, dan Maluku. Curcuma berasal dari bahasa arab kurkum yang berarti kuning, sedangkan xanthorriza berasal dari bahasa Yunani xantos yang berarti kuning dan rhiza yang berarti akar. Sesuai dengan klasifikasi botani, temulawak termasuk dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospemae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma dan nama spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Rukmana 2006).

Tumbuhan temulawak adalah tumbuhan tahunan yang berbatang tegak dengan tinggi kurang lebih 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Pada Gambar 1a terlihat bahwa pada tanaman temulawak, tiap batangnya mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap (Sidik et al. 1995). Sebagai tanaman monokotil,

temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar yang dimiliki adalah rimpang. Akar rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang kuat. (Afifah 2003). Rimpang temulawak sering disebut umbi temulawak. Umbi batang temulawak berbentuk bulat telur sebesar telur ayam namun terkadang ada yang lebih besar (Gambar 1b). Umbi batang ini dinamakan rimpang yang penampang pinggirnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian dalamnya berwarna kuning tua, aromanya tajam dan rasanya pahit (Darwis 1991).

Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan baku obat dapat dibedakan atas beberapa senyawa, yaitu pati, kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik et al. 1995). Kadar seluruh fraksi kandungan bioaktif pada temulawak tersebut bervariasi diantaranya pati (48 - 59.64%), kurkuminoid (1.6 - 2.2%), dan minyak atsiri (1.48 - 1.63%) (Sidik et al. 1995). Rimpang temulawak telah digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia untuk makanan, tujuan pengobatan, dan sebagai penambah energi

Tanaman temulawak merupakan satu dari beberapa jenis Curcuma yang dikenal dan banyak dikonsumsi masyarakat. Tanaman temulawak memiliki kandungan flavonoid dan minyak atsiri yang berpotensi sebagai antioksidan (Rachman et al. 2008). Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang dari temulawak untuk dibuat jamu godog. Rimpang temulawak dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta antiinflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antikolesterol, antiinflamasi, anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikroba (Rukmana 2008).

Gambar 1 Morfologi tanaman (a) dan rimpang temulawak (b)

(2)

3

Kunyit

Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman rempah dan obat. Habitat asli tanaman kunyit meliputi wilayah Asia khususnya Asia Tenggara. Tumbuhan kunyit tergolong dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, suku Zingiberaceae, genus Curcuma dan spesies Curcuma xanthorrhiza Val. Tanaman kunyit dapat hidup dengan baik pada suhu yang berkisar antara 20-300C dengan curah hujan 1500-2000 mm/tahun (Rukmana 2008). Tanaman kunyit memiliki daun besar berbentuk lonjong dengan ujung yang meruncing dan berwarna hijau (Gambar 2a). Tanaman kunyit tumbuh pada daerah dataran rendah hingga 2000 meter diatas permukaan laut dan memiliki tinggi kurang lebih 40-100 cm.

Sama halnya dengan tanaman temulawak, tanaman kunyit tidak memiliki akar tunggang karena merupakan tumbuhan monokotil. Tanaman kunyit memiliki akar berupa rimpang. Khasiat terbaik rimpang kunyit yang digunakan sebagai obat terdapat pada rimpang induk yang warna bagian dalamnya kemerahan dan masih segar (Gambar 2b). Rimpang kunyit banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bagian dari rempah-rempah untuk berbagai masakan, obat, dan bahan kecantikan. Rimpang kunyit juga mengandung tepung dan zat warna yang mengandung alkaloid kurkumin sehingga memiliki manfaat untuk bahan obat tradisional serta bahan baku industri jamu dan kosmetik, dan bahan bumbu masak. Selain itu rimpang tanaman kunyit juga bermanfaat sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikroba, antidiabetes, pencegah kanker, dan antitumor (Syukur 2010).

Rimpang kunyit mengandung senyawa bioaktif yang berkhasiat sebagai obat yakni, senyawa kurkuminoid yang terdiri atas tiga senyawa yaitu: kurkumin, demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin. Beberapa kandungan senyawa lainnya dari rimpang kunyit adalah resin, oleoresin, dan minyak atsiri yang terdiri atas senyawa monoterpen, dan sesquiterpen meliputi zingiberin, α-tumeron, β-α-tumeron, tumerol, α-atlanton, dan linalool (Oomah 2000). Menurut Rustam et al. (2007), kurkuminoid yang terkandung di dalam kunyit sebagai senyawa isolasi maupun kurkuminnya mempunyai aktivitas yang sangat luas, diantaranya sebagai antioksidan (Hudayani 2008).

Gambar 2 Morfologi tanaman (a) dan rimpang kunyit (b)

Kurkuminoid

Kurkuminoid merupakan senyawa golongan flavonoid. Peningkatan kadar kurkuminoid berhubungan dengan penurunan kadar protein. Kadar protein yang mengalami penurunan disebabkan karena protein diubah menjadi kurkuminoid pada rimpang yang akan digunakan untuk regenerasi. Pada umumnya metabolit sekunder akan meningkat apabila tanaman mengalami cekaman dari lingkungannya (Fatmawati 2008).

Kurkuminoid adalah komponen yang memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, dan berbentuk serbuk dengan rasa pahit. Kurkuminoid larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkuminoid tidak larut dalam air dan dietil eter. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan bersifat toksik (Sidik et al. 1995).

Senyawa kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri dari dua komponen senyawa kurkuminoid, yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin. Lain halnya, dengan rimpang kunyit mengandung kurkuminoid yang terdiri dari tiga komponen senyawa turunan kurkuminoid, yaitu senyawa kurkumin, demetoksikurkumin, serta bisdemetoksikurkumin. Sifat menarik dari bisdemetoksikurkumin ini adalah aktivitas kerjanya tehadap sekresi empedu antagonis

a

(3)
(4)

5

antioksidan maksimal yang diperbolehkan dalam campuran makanan adalah sebesar 200 ppm (Hernani & Rahardjo 2005).

Uji Antioksidan 2,2 Difenil-1-Pikril-Hidrazil

Metode pengujian aktivitas antioksidan diklasifikasikan berdasarkan transfer atom hidrogen dan transfer elektron. Metode transfer elektron pengukurannya didasarkan pada kapasitas antioksidan dalam mereduksi senyawa oksidan yang ditandai dengan perubahan warna ketika direduksi. Terdapat beberapa metode untuk menentukan aktivitas antioksidan, diantaranya DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil), Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC) dan Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP) (Apak et al. 2007).

Reagen atau senyawa DPPH yang digunakan dalam pengujian ini ditemukan pertama kali pada tahun 1922 oleh Goldschmidt dan Renn (Ionita 2003). Senyawa DPPH adalah komponen berwarna ungu yang tidak berdimerisasi dan berbentuk kristalin. Senyawa tersebut adalah radikal bebas yang stabil karena serapan delokalisasi elektron pada seluruh molekul. Delokalisasi yang terjadi pada senyawa radikal bebas terjadi karena adanya warna violet tua dengan panjang gelombang maksimum.

Senyawa atau reagen DPPH merupakan senyawa yang tidak larut dalam air atau disebut dengan senyawa hidrofobik. Senyawa DPPH ini dapat berubah dari senyawa hidrofobik ke hidrofilik dengan cara melekatkan gugus CO maupun SO2 pada DPPH. Berdasarkan karakteristiknya yang merupakan senyawa radikal bebas yang stabil maka reagen ini dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama tentunya pada kondisi penyimpanan yang baik seperti tempat kering (Ionita 2003).

Metode DPPH menggunakan reagen atau senyawa DPPH sebagai model radikal bebas. Selain sifat pengujiannya yang lebih sederhana, metode DPPH memiliki beberapa keunggulan lainnya, yaitu cepat, sensitif, dan hanya membutuhkan sedikit sampel (Apak et al. 2004). Penggunaan DPPH dalam pengujian antioksidan harus diperhatikan sifat DPPH terhadap pengaruh lingkungan penyimpanan. Pada penggunaan DPPH harus dilakukan secara hati-hati yang diinterpretasikan setelah direaksikan dengan senyawa antioksidan karena dapat didegradasi oleh cahaya, oksigen, pH, dan jenis pelarut. Metode DPPH dapat digunakan untuk screening berbagai

sampel dalam penentuan aktivitas antioksidannya (Molyneux 2004).

Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Prinsip metode uji antioksidan DPPH didasarkan pada reaksi penangkapan hidrogen oleh reagen atau senyawa DPPH (Gambar 4) dari senyawa antioksidan. Senyawa yang aktif sebagai antioksidan mereduksi radikal bebas DPPH menjadi senyawa difenil pikril hidrazin (Amic et al. 2003). Reaksi yang terjadi ialah DPPH akan diubah menjadi DPPH-H (bentuk tereduksi DPPH) oleh senyawa antioksidan. Reduksi DPPH menjadi DPPH-H menyebabkan perubahan warna pada reagen DPPH dari warna semula ungu menjadi kuning (Lupea et al. 2006).

Metode DPPH dapat memberikan informasi mengenai reaktifitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal yang stabil. Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan perubahan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil. DPPH hanya dapat mengukur senyawa antioksidan yang terlarut dalam pelarut organik. Pengukuran absorbansi DPPH dapat dilakukan pada kisaran panjang gelombang 515-520 nm (Molyneux 2004).

Gambar 4 Stuktur kimia DPPH (Kikuzaki et al. 2002)

Inflamasi

Inflamasi adalah respon protektif tubuh karena adanya cedera jaringan dan infeksi yang terjadi pada tubuh serta reaksi antara antigen dan antibodi. Antibodi merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap bakteri, virus, dan sel-sel asing lainnya yang dilakukan oleh sel darah putih. Sel antibodi akan menghadapi sel antibodi yang telah berubah menjadi antigen dan akan menyerang sendi serta organ eksternal lainnya, peristiwa tersebut dapat menyebabkan terjadinya inflamasi (Darlina & Wahyuni 2004).

Ciri-ciri terjadinya inflamsi adalah timbul kondisi merah (rubor), panas (kalor), bengkak

(5)

(tumor), nyeri (dolor), dan akhirnya menyebabkan gangguan fungsi (fungtio lasea) (Hakim 2005). Penyebab inflamasi atau cedera jaringan antara lain karena pengaruh bahan kimia, mekanis atau fisika, seperti trauma radiasi, panas, benda asing serta trauma biologis seperti bakteri, fungi atau parasit. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera serta mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Mitchell 2006).

Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin, dan sebagainya. Salah satu mediator inflamasi yaitu prostaglandin merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak prostanoat (C20). Asam arakidonat merupakan zat terpenting untuk mensintesis prostaglandin pada manusia (Kartasasmita 2002).

Prostaglandin adalah senyawa lipida yang dibangun oleh 20 atom karbon sebagai pembentuk rantai utamanya dengan mengandung gugus hidroksil (-OH) pada strukturnya. Prostaglandin dihasilkan oleh jaringan yang sedang terluka atau sakit yang disintesis dari asam lemak arakidonat. Prostaglandin berperan penting terhadap timbulnya nyeri, demam, dan reaksi-reaksi inflamasi lainnya maka obat antiinflamasi berbasis non steroid melalui penghambatan (inhibisi) aktivitas enzim siklooksigenase mampu menekan gejala-gejala tersebut. Obat antiinflamasi non steroid dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan (inhibisi) aktivitas enzim siklooksigenase (Dannhardt & Laufer 2000).

Saat ini dikenal dua isoenzim COX (Siklooksigenase), yaitu COX-1 dan COX-2. Enzim COX-1 berfungsi sebagai enzim constitutive yaitu mengubah PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. Enzim COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (makrofag dan lainnya), sel endotel pembuluh darah, dan fibroblas sinovial sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme sehingga akan mengubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam proses inflamasi, yaitu nyeri dan demam. Oleh karena itu, COX-2 dikenal sebagai enzim inducible. Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi (Lelo 2001).

Enzim COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin baik yang bertanggung jawab

untuk menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis (Dannhardt & Laufer 2000). Sebaliknya, enzim COX-2 tidak ditemukan di jaringan pada kondisi normal, tetapi diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin, sitokin, mitogen, dan dihubungkan dengan produksi prostaglandin selama proses inflamasi, nyeri, dan respon piretik (Zhang et al. 2004). Enzim COX-2 dapat diinduksi apabila terdapat stimuli radang, mitogenesis atau onkogenesis (Dannhardt & Laufer 2000). Menurut Danhardt & Laufer (2000), inflamasi tidak akan terlepas dari adanya senyawa prostaglandin. Mekanisme inflamasi yang terjadi di dalam tubuh bermula pada membran sel atau jaringan yang mengalami sakit atau terluka. Enzim fosfolipase dalam tubuh dari membran sel menghasilkan asam arakidonat yang nantinya akan melalui dua jalur tahapan yaitu siklooksigenase dan lipoksigenase. Pada jalur siklooksigenase, akan terbentuk endoperoksida sedangkan pada jalur lipoksigenase terbentuk asam hidroperoksida. Setelah proses stimulasi, dua enzim siklooksigenase mulai mensintesis pembentukan modulator peradangan seperti halnya enzim COX-2 mengkatalisis pembentukan prostaglandin jahat yang menyebabkan radang (Dannhardt & Laufer 2000).

High Performance Liquid Chromatography

Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan perbedaan pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk memisahkan komponen yang ada pada larutan sampel. Komponen-komponen tersebut dipisahkan berdasarkan perbedaan sifat fisiknya. Salah satu jenis kromatografi adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang merupakan teknik kromatografi dengan fase gerak berupa cairan (Harvey 2000). Kromatografi cair kinerja tinggi dikembangkan pada pertengahan tahun 1970-an.

HPLC terdiri dari beberapa bagian penting, yaitu: fase gerak, pompa, unit sistem penginjeksian sampel, kolom dan detektor. Cara kerja analisis sampel dari HPLC didasarkan pada bantuan pompa untuk fase gerak cair yang dialirkan melalui kolom ke detektor. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam aliran fase gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran dikarenakan perbedaan kekuatan interaksi antara larutan sampel terhadap fase diam.

Gambar

Gambar 2 Morfologi tanaman (a) dan                       rimpang kunyit (b)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tinjauan

Adapun ciri masyarakat dianggap modern atau maju diantaranya (1) masyarakat yang berkembang di bawah kontrol ilmu, teknologi, dan pola pikir rasional (2) pesatnya

Penelitian ini merupakan penelitian semi kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional yaitu sebuah studi yang digunakan untuk mengestimasi hubungan antara

Tujuan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya akuntansi bagi dan membekali keterampilan dalam pengelolaan keuangan atau

Menentukan selang konvergensi deret pangkatnya dalam mana identitas (a) berlaku... Dengan kata lain deret sin x konvergen untuk semua nilai x... Teknik-teknik untuk

Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati tahun 2014 juga menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada

Ada juga masyarakat yang ingin melakukan perjalanan wisata dan telah memiliki perencanaan perjalanannya tetapi takut pergi sendirian karena takut dengan masalah