• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA TANGGUNG JAWAB DAN PERAN DEFENDER DALAM BULLYING PADA SISWA SD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA TANGGUNG JAWAB DAN PERAN DEFENDER DALAM BULLYING PADA SISWA SD"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TANGGUNG JAWAB DAN PERAN DEFENDER

DALAM BULLYING PADA SISWA SD

Irgahayu Madhina dan Eva Septiana Barlianto

Program Studi Sarjana Reguler Universitas Indonesia Email: irgahayu@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara tanggung jawab dan peran defender (pembela korban) dalam bullying pada siswa SD. Pengukuran tanggung jawab menggunakan alat ukur yang dikonstruksi oleh Sukiat (1993) dan pengukuran peran defender menggunakan alat ukur peran defender yang dikonstruksi oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian mengenai reaksi bystander oleh Rigby (2008), hasil penelitian mengenai alasan menjadi defender oleh Beane (2008), dan kriteria defender yang dikemukakan oleh Beane (2008). Partisipan berjumlah 135 siswa yang berasal dari dua sekolah dasar di kota Cilegon, dengan karakterisitik usia 10-12 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara tanggung jawab dan peran defender dalam bullying pada siswa SD sebesar 0,532 yang signifikan pada l.o.s. 0,01 (nilai p = 0,000). Artinya, semakin tinggi tanggung jawab yang dimiliki siswa, maka semakin tinggi tingkat peran defender yang dimiliki.

The Correlation between Responsibility and the Role of Defender in Bullying among Elementary School Student

Abstract

This study was conducted to examine the relationship between responsibility and the role of defender in bullying incidence among elementary school students. The measurement of responsibility was conducted using measuring instruments constructed by Sukiat (1993). The measurement of the role of defender was conducted using measuring instrument constructed by the researcher based on bystander reaction study result by Rigby (2008); reasons being defender study result by Beane (2008); and defender criteria set out by Beane (2008). Total participants of this study was 135 students from two elementary schools in Cilegon with age characteristic of 10-12 years. The results of this study indicate that there is a significant positive relations between responsibility and the role of defender in bullying incidence among elementary school students with 0.532 which is significant at l.o.s. 0.01 (p value = 0.000). It means that the higher the responsibility held by the students, the higher their level of defending roles.

Keywords: Responsibility, Defender, Bullying, Elementary School.

Pendahuluan

Bullying bukanlah fenomena baru di lingkungan sekolah. Penelitian telah banyak mengungkap angka kejadian bullying sejak lama. Autumn dalam Olweus (1983) melaporkan bahwa sekitar 15% siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (kelas 1-9, usia sekitar 7 hingga 16 tahun) di Norwegia terlibat masalah bullying baik sebagai pelaku maupun korban. Penelitian retrospektif Schafer dkk. dalam Chapell dkk. (2006) pada 884 orang

(2)

dewasa berkebangsaan Spanyol, Inggris, dan Jerman, menemukan bahwa 248 orang subjek mereka pernah di-bully ketika di sekolah menengah pertama, dan 71 orang di antaranya juga mengalami bullying ketika di sekolah dasar. Selanjutnya, hasil penelitian Heinrichs (dalam Huneck, 2007), secara konsisten memperlihatkan sekitar 10% hingga 20% siswa di Amerika Serikat menjadi korban bullying oleh peer-nya, dan 75% siswa sekolah dasar dilaporkan pernah menjadi korban bullying minimal sekali selama masa sekolah. The National School Safety Center (NSSC) dalam Beale (2001) menyebut bullying sebagai masalah yang paling kronis dan juga paling diremehkan di sekolah-sekolah Amerika Serikat (Smokowski & Kopazs, 2005). Di Indonesia, hasil penelitian Ayuningtyas (2005) mengungkapkan bahwa telah terjadi perilaku bullying secara fisik maupun non-fisik di sekolah dasar. Persentasi murid yang pernah mengalami perilaku bullying secara fisik sebesar 40,18% dan murid yang pernah mengalami perilaku bullying secara non-fisik sebesar 48,18 (Ayuningtyas, 2005). Huneck (2007) mengungkapkan bahwa 59% siswa di Indonesia dilaporkan mendengar ejekan yang menyakitkan setiap harinya di sekolah mereka. Selanjutnya, Smokowski & Kopazs (2005) mengungkapkan bahwa bullying dapat dipertimbangkan sebagai bentuk yang paling umum dari kekerasan pada anak dan mungkin akan meluas menjadi bentuk perilaku anti sosial yang lebih ekstrim.

Bullying memiliki dampak yang serius terhadap pelaku, korban, dan bahkan bystander yang menyaksikannya. Terhadap pelakunya, bullying memberikan efek perilaku jahat (Rigby & Cox dalam Correia & Dalbert, 2008) dan tingkat kebahagiaan yang rendah (Rigby & Slee dalam Correia & Dalbert, 2008). Sedangkan, efek pada korban meliputi self esteem yang rendah, depresi, dan kegagalan di sekolah (Hawker & Boulton dalam Correia & Dalbert, 2008). Penelitian Smokowski & Kopazs (2005) mengindikasikan bahwa efek jangka panjang bagi korban bullying berupa adanya gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, pemakaian narkoba, dan gangguan lainnya ketika dewasa. Para peneliti juga memaparkan bahwa bystander yang menyaksikan tindakan bullying pun dapat mengalami peningkatan level ketakutan, kecemasan, depresi, dan keputusasaan (Beane, 2008). Olweus (dalam Smokowski & Kopazs, 2005) menegaskan bahwa bullying adalah ancaman serius untuk kesehatan perkembangan anak dan juga merupakan penyebab kekerasan yang potensial di sekolah.

Anak usia sekolah (middle childhood) merupakan saat-saat yang rawan bullying, walaupun ragam pola perilaku bullying dan victimization bisa muncul lebih awal (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Senada dengan Papalia, Olds, & Feldman, 2008, Beane (2008) mengatakan bahwa bullying sering dimulai di tahun-tahun prasekolah (sekitar usia tiga tahun),

(3)

lalu frekuensinya meningkat dan menjadi lebih bersifat fisik menjelang akhir tahun sekolah dasar. Penelitian Nansel dkk. & Smith dkk. (dalam Chapell dkk., 2006), menemukan bahwa bullying dan victimization biasa terjadi di sekolah dasar lalu menjadi berkurang hingga berakhirnya sekolah menengah atas. Padahal, pengalaman bullying yang didapat anak pada masa ini, bisa menentukan risiko apa yang ia dapatkan di masa datang. Penelitian Sourander dkk. (dalam Chapell dkk., 2006) menemukan bahwa menjadi pelaku bullying di usia 8 tahun berhubungan dengan perilaku mem-bully di usia 16 tahun, dan anak-anak yang menjadi korban bullying di usia 8 tahun berkemungkinan untuk kembali menjadi korban bullying di usia 16 tahun. Lebih jauh lagi, penelitian Smith, Singer, Hoel, dan Cooper (dalam Chapell dkk., 2006) mencatat bahwa subjek penelitiannya yang pernah di-bully ketika sekolah, kembali menjadi korban bullying di tempat kerjanya, dan terdapat hubungan yang positif antara keduanya.

Peran para siswa di sekolah dapat mempengaruhi situasi bullying. Olweus (1993) mengidentifikasi peran siswa di dalam bullying sebagai pelaku (bully), korban (victim), dan pengikut pelaku (follower of bully) (yang tidak memulai peristiwa bullying tapi ikut berpartisipasi di dalamnya). Lebih detil lagi Salmivalli, Lagerspetz, Bjorkqvist, Osterman,& Kaukiainen (1996 dalam Duffy, 2004), menemukan bahwa siswa yang terlibat dalam perilaku bullying memiliki peran-peran tertentu, yaitu sebagai pelaku utama (bully), asisten pelaku (assistant to the bully), pendukung pelaku (reinforcer to the bully), pembela korban (defender of the victim), outsider, dan korban (victim). Klasifikasi ini sejalan dengan Olweus (dalam Correia & Dalbert, 2008) yang kemudian menunjuk pengikut pelaku bullying sebagai asisten pelaku (assistant to the bully), dan mengidentifikasi 3 peran tambahan, yaitu: pendukung pelaku (reinforcer to the bully), yang tidak secara aktif menyerang tapi secara positif memberi dukungan, misalnya dengan tertawa; outsider, yang tidak melibatkan diri dan berpura-pura tidak melihat peristiwa bullying; pembela korban (defender), yang membantu korban dan mencoba menghentikan pelaku bullying. Huneck (2007) mengungkapkan jika saja sejumlah besar siswa membela korban dan tidak membiarkan perilaku bullying berlanjut, iklim sekolah yang positif dan sehat akan terwujud. Sejumlah besar siswa berperan sebagai bystander di dalam bullying. Beane (2008) menjelaskan bahwa jika seorang anak bukan merupakan korban, pelaku, maupun pengikut dalam bullying, anak tersebut merupakan bystander. Beane (2008) mengidentifikasi lima tipe bystander, yang terdiri dari victim bystander, avoidant bystander, ambivalent bystander, empowered bystander, dan bully bystander (follower). Oleh karena itu, berdasarkan klasifikasi peran bullying yang disampaikan oleh Olweus (1993), Olweus (dalam Correia & Dalbert, 2008), Salmivalli dkk

(4)

(dalam Duffy, 2004) dan Beane (2008), maka dalam penelitian ini peran bystander digolongkan menjadi tiga, antara lain: pendukung pelaku (reinforcer to the bully), pembela korban (defender of the victim), dan outsider. Bully bystander (follower) dan victim bystander digolongkan menjadi pendukung pelaku, avoidant bystander dan ambivalent bystander menjadi outsider, dan empowered bystander digolongkan sebagai pembela korban (defender).

Mempromosikan perilaku positif pada bystander dapat membantu mengurangi fenomena bullying di sekolah (Rigby, 2008). Beane (2008) mengatakan bahwa setiap bystander memiliki pilihan untuk menjadi bagian dari solusi atau menjadi bagian dari permasalahan bullying, dan ketika para bystander memilih untuk tidak terlibat di dalam situasi bullying, itu berarti mereka telah bergabung dengan mayoritas pasif yang mengizinkan bullying tetap berlangsung. Peran defender adalah subperan dari bystander yang ideal dalam mengurangi angka kejadian bullying di sekolah. Rigby (2008) menemukan 4 macam reaksi bystander dalam kejadian bullying, 2 di antaranya merupakan reaksi yang dapat membantu korban bullying (merupakan reaksi dari defender). Kedua reaksi tersebut antara lain menolong korban secara langsung dan melaporkan kejadian bullying ke guru. Sedangkan 2 reaksi lainnya merupakan reaksi dari peran outsider dan pendukung pelaku, yaitu mengabaikan peristiwa bullying di sekitarnya dan memberi dukungan kepada korban. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang memilih untuk menjadi defender. Rigby (2008) memaparkan faktor-faktor tersebut meliputi jenjang kelas yang lebih tinggi dari pelaku, empati terhadap korban, pengalaman menjadi defender sebelumnya, dan riwayat tidak pernah terlibat menjadi pelaku maupun korban bullying. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi anak memilih untuk menolong korban bullying, antara lain: memiliki pendirian moral yang kuat, pandangan mengenai identitas dirinya terkait moral, empati terhadap korban, mengidentifikasi persamaan dirinya dengan korban, mencari manfaat timbal balik, menjalankan kewajiban sebagai seorang teman, dan mencari status “pahlawan” (Rigby, 2008). Selanjutnya, Gini dalam Correia & Dalbert (2008) mengungkapkan bahwa para defender adalah anak-anak yang memiliki kemampuan memahami kognisi dan emosi orang lain.

Di dalam jurnal penelitian mengenai perilaku menolong, Hoffman dalam Michael dkk., (1987) menyatakan bahwa empati, simpati, dan perasaan bersalah telah dinilai sebagai reaksi emosional yang berpotensi mengarahkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengurangi kesulitan orang lain. Selanjutnya Michael dkk., (1987) mengungkapkan bahwa diantara berbagai atribusi, perasaan bersalah (guilty) adalah yang paling kuat dan konsisten

(5)

terkait dengan perilaku menolong. Atribusi dari perasaan bersalah ini dianggap mencerminkan salah satu rasa dari tanggung jawab pada orang yang membutuhkan pertolongan. Pada hasil penelitiannya ini, Michael dkk., (1987) menyimpulkan bahwa bukan hanya gairah emosional yang dihasilkan dari mengamati kesusahan orang lain yang mengarahkan seseorang untuk membantu orang lain, melainkan juga rasa tanggung jawab individu terhadap orang yang membutuhkan pertolongan. Lickona (1991) yang menyebut nilai penghargaan dan tanggung jawab sebagai satu dari dua moralitas umum, menjelaskan bahwa ketika nilai penghargaan menyuruh untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain, tanggung jawab menyuruh untuk melakukan sesuatu untuk orang lain.

Tanggung jawab memiliki peranan penting dalam perilaku menolong. Dalam konteks bullying, perilaku menolong tercermin pada peran defender. Sehingga atas sejumlah rujukan teori dan hasil penelitian di atas, peneliti ingin menguji hubungan antara peran defender di dalam bullying dan tanggung jawab pada siswa sekolah dasar.

Tinjauan Teoritis Tanggung Jawab

Secara leksikal, responsibility (tanggung jawab) berarti “ability to respond (kemampuan untuk merespon)”, yang maknanya adalah berorientasi pada orang lain (jamak), memberikan perhatian kepada mereka, secara aktif merespon kebutuhan-kebutuhan mereka (Lickona, 1991).

“Responsibility literally means “ability to respond” it means orienting toward others, paying attention to them, actively responding to their needs.”(Lickona, 1991).

Tanggung jawab merupakan satu dari dua moralitas umum, selain respek, yang berguna untuk membangun pribadi yang sehat, peduli pada hubungan interpersonal, komunitas demokratis dan humanis, serta untuk menciptakan kedamaian dunia (Lickona, 1991). Selain itu, tanggung jawab merupakan perluasan dari respek. Rasa respek menunjukkan hal yang tidak seharusnya dilakukan, sedangkan tanggung jawab menunjukkan hal yang harus dilakukan terhadap seseorang. Rasa tanggung jawab juga akan mengarahkan seseorang pada tingkah laku positif dengan memperhatikan kesejahteraan orang lain (Lickona, 1991). Selanjutnya, Lickona (1991) menjelaskan tanggung jawab juga berarti melaksanakan pekerjaan atau kewajiban di rumah (keluarga), di sekolah, serta di tempat kerja dengan sepenuh kemampuan.”

“Responsibility means carrying out any job or duty-in the family, at school, in the workplace- to the best of our ability.”(Lickona, 1991).

(6)

Tanggung jawab merupakan akar dari nilai-nilai lain, yaitu sikap mudah menolong, kepedulian dan kerjasama (Lickona, 1991). Seseorang yang bertanggung jawab mempunyai sikap mudah menolong, karena ia menemukan kebahagiaan dengan menolong kebutuhan orang lain dan mempunyai kepedulian terhadap orang lain. Dengan demikian orang yang bertanggung jawab juga mampu mengembangkan kemandirian karena ia tidak mau menyusahkan orang lain dengan hal-hal yang dapat ia tangani atau lakukan sendiri. Tanggung jawab juga mendasari kerjasama, karena kerjasama menuntut kesadaran seseorang bahwa ia tidak hidup sendiri, melainkan hidup bersama-sama dengan orang lain dalam hubungan saling mempengaruhi.

Sukiat (1991) mendefinisikan tanggung jawab dalam konteks “kepada” dan “untuk”. Tanggung jawab dalam konteks “kepada” artinya individu mempertanggung jawabkan semua tingkah laku dan keputusan untuk menerima tugas kewajiban, merencanakan, serta bertindak dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban kepada sesuatu di dalam dan di luar dirinya. Kemudian tanggung jawab dalam konteks “untuk” artinya individu memiliki kebebasan menentukan sikap dan pilihannya serta untuk menanggung konsekuensi dari penentuan sikap dan pilihannya itu. Sebagai contoh ketika seseorang siswa memutuskan untuk bergabung dengan suatu klub olahraga, maka siswa tersebut memiliki kesadaran untuk mempertanggunjawabkan keputusannya dengan mengikuti peraturan klub, seperti mengikuti latihan secara rutin.

Dalam penelitian ini, definisi tanggung jawab yang digunakan adalah definisi menurut Sukiat (1991), yaitu tanggung jawab adalah keputusan untuk menerima tugas kewajiban, “kepada” sesuatu diluar dirinya ataupun kepada dirinya sendiri dan memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan pilihannya serta “untuk” menanggung konsekuensi dari penentuan sikap dan pilihannya itu. Definisi tanggung jawab dari Sukiat (1991) dipilih untuk digunakan karena memberikan penjelasan paling lengkap dan dapat melingkupi definisi tanggung jawab lainnya dan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat hubungan antara tanggung jawab dan peran defender di dalam bullying pada siswa sekolah dasar.

Hasil penelitian Sukiat (1993) mengenai tanggung jawab dengan melibatkan mahasiswa Universitas Indonesia sebagai partisipan penelitiannya, mengemukakan bahwa terdapat enam dimensi yang dikandung dalam tanggung jawab, yaitu: a) hasil kerja yang bermutu, b) kesediaan menanggung risiko, c) pengikatan diri pada tugas, d) memiliki prinsip hidup e) kemandirian, dan f) keterikatan social. Keenam dimensi tersebut merupakan suatu totalitas, dimana tingkah laku tanggung jawab merupakan keseluruhan dari keenam faktor

(7)

tersebut (Sukiat, 1993). Bila salah satu dimensi tidak ada maka tidak dapat disebut sebagai tingkah laku tanggung jawab. Di dalam disertasinya, Sukiat (1993) menambahkan bahwa individu bisa bertingkah laku kurang bertanggung jawab, bukan berarti ia tidak memiliki salah satu dari keenam dimensi di atas, melainkan kadar dari salah satu dimensi atau lebih yang rendah.

Peran Defender

Peran pembela korban bullying di dalam beberapa literatur diklasifikan dan disebut dengan cara yang berbeda. Duffy (2008) mengklasifikasikan peran pembela korban (defender of the victim) sebagai salah satu peran di dalam bullying selain pelaku utama (bully), korban, asisten pelaku (asisstant to the bully), pendukung pelaku (reinforcer to the bully), outsiders dan korban. Defender of the victim didefinisikan sebagai sebagai seseorang yang bersikap mendukung korban dan berusaha menghentikan bullying. Sedangkan Beane (2008) memasukkan peran pembela korban sebagai salah satu tipe bystander. Jika seorang anak bukan merupakan korban, pelaku, maupun pengikut dalam bullying, anak tersebut merupakan bystander (Beane, 2008). Menurut Beane (2008) terdapat lima tipe bystander, antara lain victim bystander, avoidant bystander, ambivalent bystander, bully bystander (follower), dan empowered bystander. Victim bystander mengidentifikasi diri mereka dengan korban. Mereka juga merasa takut bahwa mereka akan menjadi korban bullying berikutnya sehingga tidak melakukan apapun, bahkan ikut serta menjadi pengikut dalam kejadian bullying. Avoidant bystander adalah siswa yang menyaksikan kejadian bullying dan tidak melakukan sesuatu karena merasa tidak dapat melakukan apapun dan tidak tahu apa yang dapat dilakukan. Ambivalent bystander merasa bingung terhadap pelaku dan kejadian bullying. Bully bystander (follower) akan memberikan dukungan terhadap peristiwa bullying dan ikut berpartisipasi dalam peristiwa tersebut. Terakhir, empowered bystander adalah siswa yang menghalangi perbuatan bullying dan mencoba memberi dukungan atau menolong korban.

Dalam penelitian ini, defender of the victim dan empowered bystander selanjutnya akan disebut sebagai defender, mengikuti istilah yang digunakan oleh Correia & Dalbert (2008) yang meneliti mengenai belief in a personal just world (BJW) pada bullies, victims, dan defenders. Sehingga diperoleh definisi peran defender yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seseorang yang bersikap menolong dan mendukung korban, serta berusaha menghentikan bullying.

Pengukuran peran defender dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Alat ukur disusun oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian mengenai reaksi bystander oleh Rigby

(8)

(2008), hasil penelitian mengenai alasan menjadi defender oleh Beane (2008), dan kriteria defender yang dikemukakan oleh Beane (2008). Peneliti mengklasifikasikan perilaku-perilaku tersebut ke dalam 4 dimensi kriteria defender, yang meliputi menolong korban bullying secara langsung, melaporkan kejadian bullying kepada guru dan atau orang dewasa lainnya, menentang perilaku pelaku bullying, dan memberi dukungan kepada korban.

Metode Penelitian Partisipan

Populasi partisipan adalah siswa sekolah dasar. Partisipan penelitian adalah anak laki-laki dan perempuan berusia 10-12 tahun. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa pada usia tersebut seorang anak mulai mempertimbangkan dampak dari situasi-situasi khusus. Ditinjau dari perkembangan kognitifnya, anak usia 10-12 tahun sudah dapat berpikir lebih abstrak dan menyerupai cara penalaran orang dewasa (Brooks, 2008). Sementara ditinjau dari perekembangan moralnya, anak pada rentang usia ini sudah mulai memiliki fleksibilitas dan sedikit demi sedikit bertindak dengan kemandirian berdasarkan rasa saling menghargai dan bekerjasama, juga keinginan untuk menjadi “anak baik” (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Berdasarkan semua alasan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak pada rentang usia 10-12 tahun sangat mungkin untuk memahami nilai moral, menginginkan terwujudnya nilai moral tersebut, dan menerapkannya dalam tindakan. Oleh sebab itu, partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia 10-12 tahun (kelas 4 dan 5 sekolah dasar). Partisipan berasal dari dua jenis sekolah, yaitu sekolah negeri dan swasta di Cilegon.

Pengukuran

Pengukuran peran tanggung jawab dan peran defender dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Alat ukur tanggung jawab yang digunakan merupakan modifikasi dari alat ukur tanggung jawab yang disusun oleh Darwita (2012). Alat ukur ini mengukur tanggung jawab yang dimiliki siswa SMA berdasarkan dimensi tanggung jawab yang dikemukakan Sukiat (1993), meliputi hasil yang bermutu, kesediaan diri menanggung risiko, keterikatan di dalam tugas, memiliki prinsip hidup, kemandirian, dan keterikatan sosial. Beberapa item dalam alat ukur ini dimodifikasi agar sesuai dengan tujuan penelitian mengingat partisipan adalah siswa SD berusia 10 hingga 12 tahun. Setelah melalu proses uji coba dan revisi pada alat ukur ini, diperoleh nilai koefisien alpha sebesar 0,779 dan nilai corrected item-total correlation antara 0,499 hingga 0,702. Sementara itu, nilai koefisien alpha berkisar antara 0,743 sampai dengan 0,824. Alat ukur ini terdiri dari 17 item di mana

(9)

terdapat 3 item yang menunjukkan dimensi hasil yang bermutu, 3 item yang menunjukkan kesediaan menanggung risiko, 3 item yang menunjukkan pengikatan diri dalam tugas, 2 item yang menunjukkan dimensi memiliki prinsip hidup, 3 item menunjukkan dimensi kemandirian, dan 3 item menunjukkan dimensi keterikatan sosial.

Selanjutnya, Alat ukur peran defender disusun berdasarkan definisi defender yang dirangkum dari berbagai literatur, hasil penelitian reaksi bystander Rigby (2008) dan tips menjadi bystander yang baik Beane (2008). Dari sumber-sumber tersebut didapatkan dimensi-dimensi yang menyusun peran defender antara lain menolong korban secara langsung, melaporkan kejadian bullying, menentang perilaku pelaku bullying, dan memberi dukungan terhadap korban.

Setelah melalu uji coba dan revisi pada alat ukur ini, diperoleh nilai koefisien Alpha sebesar 0,862 dan nilai corrected item-total correlation berkisar antara 0,219 hingga 0,766. Nilai reliabilitas antara 0,842 sampai dengan 0,870 jika item dihapus. Hasil pengujian alat ukur menunjukkan bahwa alat ukur ini valid dan reliabel sehingga siap digunakan untuk pengambilan data.

Tipe Penelitian

Kumar (2005) mengklasifikasikan tipe penelitian berdasarkan tiga aspek, yaitu berdasarkan aplikasi, tujuan, dan tipe pencarian informasi. Berdasarkan aplikasinya, penelitian ini digolongkan sebagai applied research. Sehingga penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan intervensi bagi lingkungan pendidikan dalam menciptakan kondisi belajar yang kondusif dan sehat. Sementara itu, jika ditinjau dari tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian korelasional. Menurut Kumar (1999), penelitian korelasional adalah penelitian yang berusaha mencari tahu hubungan antara dua fenomena. Selanjutnya, jika ditinjau dari tipe pencarian informasi, penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif .

Desain Penelitian

Mengenai desain penelitian, Kumar (2005) menggolongkan desain penelitian berdasarkan jumlah kontak (number of contacts), periode referensi (reference period), dan sifat penelitian (nature of investigation). Jumlah kontak mengacu pada berapa kali peneliti mengambil data dari partisipan (Kumar, 2005). Periode Referensi mengacu pada kerangka waktu terjadinya fenomena, situasi, peristiwa atau masalah yang diteliti (Kumar, 2005). Selanjutnya, Sifat penelitian yang terdiri dari eksperimental, non-eksperimental, dan kuasi (semi eksperimental).

(10)

penelitian ini mempelajari dinamika hubungan atau korelasi antara variabel-variabel pada saat yang sama dan satu kali pada setiap subjek. Berdasarkan periode referensi, penelitian ini tergolong retrospective study. Artinya, penelitian mempelajari fenomena, situasi, masalah atau isu yang telah terjadi (di masa lalu). Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini tergolong sebagi penelitian non-eksperimental, dimana tidak dilakukan manipulasi terhadap variabel, tidak terjadi dalam situasi yang terkontrol ketat, dan tidak melalui proses randomisasi (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2006).

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability atau non-random sampling dengan teknik accidental sampling, maksudnya pemilihan partisipan didasarkan pada ketersediaan atau kemudahan mengakses populasi partisipan (Guilford & Frutcher dalam Kumar, 1996). Kelebihan teknik accidental sampling (Kumar, 1996) adalah merupakan cara termudah dalam penyeleksian partisipan dan menjamin diperolehnya karakterisitik partisipan yang dibutuhkan. Sedangkan kelemahan dari teknik accidental sampling adalah hasil yang diperoleh tidak dapat digeneralisasi pada populasi secara kesuluruhan, dan adanya kemungkinan bahwa orang yang paling mudah dijangkau tidak benar-benar representatif untuk populasi (Kumar, 1996).

Hasil Penelitian Hasil Analisis Utama

Untuk melihat pengaruh tanggung jawab terhadap peran defender digunakan metode pearson product moment. Dari hasil pengolahan data didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Korelasi antara Tanggung jawab dengan Peran Defender

Koefisien Korelasi Nilai Signifikansi

0,532 0,000*

*Signifikan pada l.o.s. 0,01 (2-ujung)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa korelasi antara tanggung jawab dengan peran defender sebesar 0,532 yang signifikan pada l.o.s. 0,01 (nilai p = 0,000). Nilai p lebih kecil daripada l.o.s. 0,001 (p < 0,001). Oleh karena itu, dapat dikatakan terdapat korelasi positif

yang signifikan antara tanggung jawab dengan peran defender. Artinya, semakin tinggi skor tanggung jawab seseorang, maka semakin tinggi skor peran defender yang diperoleh. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor tanggung jawab seseorang,

(11)

maka semakin rendah skor peran defender yang diperoleh. Dengan demikian hipotesis

null yang menyatakan bahwa “tidak ada hubungan positif yang signifikan antara

tanggung jawab dengan peran defender” ditolak.

Hasil Analisis Tambahan

Analisis Perbedaan Tanggung jawab dan Jenis Kelamin Partisipan

Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan metode independent t-test diperoleh nilai p sebesar 0,472 (p = 0,472) untuk uji Levene’s test. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p lebih besar daripada l.o.s. 0,005 (p > 0,05) sehingga asumsi kedua varians sama besar (equal variances assumed) terpenuhi. Oleh karena itu, digunakan hasil uji t-test dengan asumsi kedua varian sama. Dari hasil uji ini didapatkan nilai sebesar 0,107 (p = 0,107). Nilai p lebih besar daripada l.o.s. 0,05 (p < 0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan pada mean tanggung jawab antara partisipan laki-laki dengan perempuan.

Tabel 2. Perbedaan Tanggung jawab dan Jenis Kelamin Partisipan

Penggolonga n Jenis Kelamin Frekuensi Mean Tanggung jawab Jenis Kelamin Laki-Laki 56 72,43 Perempuan 63 74,83

Asal Sekolah Swasta 43 76,16

Negeri 76 72,30

Analisis Perbedaan Tanggung Jawab dan Asal Sekolah Partisipan

Untuk mengetahui perbedaan tanggung jawab antara partisipan yang berasal dari sekolah negeri dan swasta juga digunakan metode independent t-test. Pada pengujian Levene’s test didapatkan nilai p sebesar 0,017 (p = 0,017). Hal ini menunjukkan bahwa nilai p lebih kecil daripada l.o.s. 0,005 (p < 0,05) sehingga asumsi kedua varians sama besar (equal variances assumed) tidak terpenuhi. Oleh karena itu, digunakan hasil uji t-test dengan asumsi kedua varian tidak sama. Dari hasil uji ini didapatkan nilai sebesar 0,22 (p = 0,22). Nilai p lebih besar daripada l.o.s. 0,05 (p < 0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan pada mean tanggung jawab antara partisipan dari sekolah negeri dengan swasta.

(12)

Analisis Perbedaan Peran Defender dan Jenis Kelamin Partisipan

Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa nilai p untuk uji Levene’s test

adalah 0,837 (p = 0,837) yang menunjukkan bahwa nilai p lebih besar daripada l.o.s. 0,05 (p > 0,05). Oleh karena itu, dapat dikatakan asumsi kedua varians sama besar (equal variances assumed) terpenuhi sehingga yang digunakan adalah hasil uji t-test dengan asumsi kedua varian sama. Dari hasil uji ini diperoleh nilai p sebesar 0,229 (p = 0,229), nilai p lebih besar daripada l.o.s. 0,05 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan pada mean peran defender antara partisipan laki-laki dengan perempuan.

Tabel 3. Perbedaan Mean Peran Defender berdasarkan Jenis Kelamin dan Asal Sekolah Partisipan

Penggolonga n

Jenis Kelamin

Frekuensi Mean Peran Defender

Jenis Kelamin

Laki-Laki 56 76,61

Perempuan 63 79,03

Asal Sekolah Swasta 43 80,67

Negeri 76 76,32

Analisis Perbedaan Peran Defender dan Asal Sekolah Partisipan

Dari uji Levene’s test diperoleh nilai p sebesar 0,077 (p = 0,077) yang menunjukkan

nilai p lebih besar daripada l.o.s. 0,05 (p > 0,05) sehingga asumsi kedua varians sama besar (equal variances assumed) terpenuhi. Hal ini menyebabkan hasil uji t-test yang digunakan adalah asumsi kedua varian sama dan diperoleh nilai p sebesar 0,036 (p = 0,036), nilai p lebih kecil daripada l.o.s. 0,05 (p < 0,05). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan pada mean peran defender antara partisipan dari sekolah negeri dengan swasta. Di mana mean peran defender pada partisipan yang berasal dari sekolah swasta lebih besar daripada partisipan yang berasal dari sekolah negeri.

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tanggung jawab dan peran defender dalam bullying. Hal ini mendukung hasil penelitian Michael dkk., (1987) yang menjelaskan bahwa rasa tanggung jawab individu terhadap orang yang membutuhkan pertolongan, mengarahkan seseorang untuk membantu orang lain. Selain itu Lickona (1991) juga menyatakan bahwa tanggung jawab mengarahkan individu untuk

(13)

melakukan sesuatu untuk orang lain. Tanggung jawab merupakan akar dari nilai-nilai lain, yaitu sikap mudah menolong, kepedulian dan kerjasama (Lickona, 1991).

Selanjutnya, hasil analisis tambahan mengenai tanggung jawab dan asal sekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mean tanggung jawab antara partisipan dari sekolah swasta maupun negeri. Hal ini dikarenakan sekolah swasta yang menjadi sampel penelitian tidak memiliki kriteria kurikulum yang berbeda secara berarti dengan sekolah negeri. Perbedaannya dengan sekolah negeri, terdapat homogenitas pekerjaan orang tua, terutama ayah dari siswa-siswa di sekolah swasta ini, yaitu karyawan di sebuah perusahaan yang mendirikan sekolah tersebut. Sedangkan pada sekolah negeri, pekerjaan orang tua beragam. Sehingga tingkat sosial ekonomi keluarga dari siswa SD Negeri lebih beragam.

Berikutnya akan dibahas analisa tambahan mengenai peran defender dan asal sekolah. Dari pengolahan data didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada mean peran defender antara partisipan dari sekolah swasta dengan negeri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Godwin dkk (2001) yang menunjukkan bahwa sekolah swasta melakukan usaha yang sedikit lebih baik untuk mendorong persahabatan antar suku bangsa dan mengembangkan dukungan untuk norma-norma demokrasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sekolah swasta mempunyai iklim sekolah yang berbeda dengan sekolah negeri. Iklim sosial yang dimiliki sekolah dapat berupa kehangatan dan penerimaan bagi seluruh siswa serta adanya penerapan sanksi yang efektif. Selanjutnya, Gini dalam Correia & Dalbert (2008) mengungkapkan bahwa para defender adalah anak-anak yang memiliki kemampuan memahami kognisi dan emosi orang lain. Selain itu, Elliot, Cornell, Gregory, & Fan (dalam Klein dkk, 2012) menemukan bahwa pada sekolah yang dipersepsi menerima dukungan guru yang lebih besar, siswa mempunyai keinginan yang besar untuk mencari pertolongan. Hal ini juga berlaku dalam situasi bullying, siswa yang mempersepsi bahwa guru memberikan dukungan yang besar, maka lebih besar kecenderungan siswa untuk mencari pertolongan kepada guru (guna membantu korban) apabila ia berhadapan dengan situasi bullying. Unnever & Cornell (dalam Gregory dkk, 2010) menambahkan bahwa siswa yang merasa bahwa guru mereka perhatian, akan lebih sering mencari bantuan.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sekolah swasta memiliki iklim sekolah yang berbeda dengan sekolah negeri. Oleh karena itu, iklim sekolah di sekolah swasta dan negeri mempunyai pengaruh yang berbeda pula terhadap perilaku bullying, termasuk terhadap peran defender di dalam bullying.

(14)

Selanjutnya, akan dibahas analisis mengenai hubungan peran defender dan jenis kelamin. Dari pengolahan data didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan mean peran defender yang signifikan antara partisipan laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak sesuai sesuai dengan Salmivalli, dkk. (dalam Duffy, 2004) yang melakukan penelitian mengenai perbedaan gender pada sejumlah siswa yang memiliki masing-masing peran dalam bullying. Penelitian itu menemukan bahwa laki-laki lebih besar kemungkinannya daripada perempuan untuk menjadi pelaku utama (10,5% hingga 5,9%), asisten pelaku (12,2% hingga 1,4%), dan pendukung pelaku (37,3% hingga 1,7%). Sementara itu, perempuan lebih besar kemungkinannya daripada laki-laki untuk menjadi pembela korban (30,1% hingga 4,5%) dan outsider (40,2% hingga 7,3%).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tanggung jawab dan peran defender. Artinya, semakin tinggi skor tanggung jawab seseorang, maka semakin tinggi skor peran defender yang diperoleh. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor tanggung jawab seseorang, maka semakin rendah skor peran defender yang diperoleh.

Berdasarkan hasil analisis tambahan mengenai tanggung jawab dan data diri partisipan, yaitu jenis kelamin dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mean tanggung jawab antara partisipan laki-laki dan perempuan. Begitupun hasil analisis tambahan mengenai tanggung jawab dan data asal sekolah, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mean tanggung jawab antara partisipan dari sekolah swasta dan negeri.

Selanjutnya, dari hasil analisis tambahan mengenai peran defender dan data diri partisipan, yaitu jenis kelamin dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mean peran defender antara partisipan laki-laki dengan perempuan. Sementara itu, berdasarkan analisis tambahan antara peran defender dengan data asal sekolah, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan mean peran defender yang signifikan antara peran partisipan yang berasal dari sekolah swasta dan negeri.

Saran Metodologis

1) Pada penelitian selanjutnya pengambilan data dapat dilakukan pada sekolah-sekolah di beberapa kota di Indonesia. Dengan demikian, hasil penelitian dapat menggambarkan populasi secara keseluruhan.

(15)

2) Selain menggunakan kuesioner, data penelitian mengenai tanggung jawab dan peran defender juga bisa didapatkan dengan metode observasi dan wawancara. Hal ini digunakan untuk memperkaya data dan melakukan konfirmasi terhadap data yang diperoleh dari kuesioner.

3) Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan metode random atau non-probability sampling dengan desain judgmental atau purposive sampling. Metode dan desain ini biasa digunakan dalam penelitian yang bertujuan menggambarkan suatu fenomena di mana hanya sedikit informasi yang tersedia (Kumar, 1990). Hal ini sesuai untuk meneliti fenomena bullying, khususnya peran defender di mana hanya sedikit informasi yang tersedia. Di samping itu, pada penelitian selanjutnya sebaiknya sampel adalah siswa dari sekolah-sekolah yang diketahui memiliki angka kejadian bullying yang tinggi dan yang rendah. Serta ragam kriteria keadaan sekolah secara fisik dan sosial juga perlu diperkaya untuk mendapatkan informasi-informasi tambahan dari kergaman tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu asessment atau “kajian” mengenai sekolah-sekolah ini sebelum dilakukan penelitian.

4) Keterbatasan sumber literatur mengenai teori peran defender pada penelitian ini menyebabkan kendala dalam penyusunan alat ukur. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan pengumpulan informasi melalui wawancara dan metode Focus Group Discussion (FGD) sehingga informasi tentang peran defender yang didapatkan lebih lengkap dan kualitas alat ukur menjadi lebih baik.

5) Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dalam proses penyusunan alat ukur peran defender dibuat item-item untuk mendapatkan informasi tentang bentuk-bentuk bullying sehingga dapat juga diketahui tingkat peran defender berdasarkan bentuk-bentuk bullying.

Saran Praktis

1) Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tanggung jawab mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap peran defender dalam perilaku bullying. Oleh karena itu, sekolah perlu memasukkan program pengembangan karakter tanggung jawab dalam usaha menciptakan iklim sekolah yang kondusif dengan mengurangi perilaku bullying. Begitupun dengan orang tua di rumah, perlu meneladankan dan melatih tanggung jawab pada anak-anaknya.

2) Mempromosikan perilaku positif pada bystander dapat membantu mengurangi fenomena bullying di sekolah (Rigby, 2008). Untuk mengurangi perilaku bullying yang terjadi di

(16)

sekolah dapat dilakukan dengan cara melakukan intervensi kepada siswa yang berperan sebagai bystander, agar selanjutnya mampu mengambil peran defender di dalam bullying.

DAFTAR REFERENSI

Ayuningtyas, A. (2005). Analisis Deskriptif Perilaku Bullying di Lingkungan Sekolah Dasar. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi.

Beane, A.L. (2008). Protect Your Child from Bullying. San Fransisco: Jossey Bass. Chapell, M., Casey, D., De la Cruz, C., dkk. (2004). Bullying in College by Student and

Teachers. Adolescence, Vol.39, No.153, pp.53-64.

Chapell, M.S., Hasselman, S.L., Kitchin, T., Lomon, S.N., Maclver, K.W., & Sarullo, P.L. (2006). Bullying in Elementary School, High School, and Collage. Adolescence, Vol.41 No.164, pp 633-648

Correia & Dalbert. (2008). School Bullying: Belief in a Personal Just World of Bullies, Victims, and Defenders. European Psychologist. Vol.13, No.4, pp.248-254.

Darwita, F. (2012). Hubungan antara Kohesivitas Kelompok pada Kelompok Peserta Mentoring Agama Islam dengan Tanggung Jawab Siswa SMA. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi.

Duffy, A.L. (2004). Bullying in School: A Social Psychology Perspective. Queensland: Griffith University.

Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1987). Fundamental Statistics in Psychology and Education. Singapura: McGraw-Hill International Book Co.

Huneck, A. (2007). Bullying: A Cross-Cultural Comparison of One American and One Indonesian Elementary School. Michigan: Ann Arbor.

Kumar, R. (1999). Research Methodology A Step-By-Step Guide for Beginners. London: SAGE Publications Ltd.

Lickona, T. (1992). Educating for Character. New York: Bantam Book.

Olweus, D. (1997). Bully/Victim Problem in School: Facts and Intervation. European Journal of Psychology of Education. Vol.12, No.4, pp. 495-510.

Papalia, D.E., Olds, W.S., Feldmam, R.D. (2008). Human Development (10th Ed.). New York: McGraw Hill.

Rigby, K. (2008). Children and Bullying. Malden: Blackwell Publishing Ltd.

Smokowski, P.R., Kopasz, K.H. (2005). Bullying in School: An Overview of Types, Effect, Family Characteristics, and Intervention Strategies. Children & Schools, Vol.27, No.2, pp.101-110.

(17)

Sukiat. (1992). Tanggung jawab dan pengukurannya: Penelitian mengenai berbagai dimensi tanggung jawab dan pengukurannya pada mahasiswa Universitas Indonesia. (Disertasi tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok.

Gambar

Tabel 1. Korelasi antara Tanggung jawab dengan Peran Defender
Tabel 2. Perbedaan Tanggung jawab dan Jenis Kelamin Partisipan
Tabel 3. Perbedaan Mean Peran Defender berdasarkan Jenis Kelamin dan Asal Sekolah Partisipan

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima, artinya terdapat hubungan antara sikap tanggung jawab anggota koperasi dalam pengembangan

H-2: Terdapat hubungan positif dan signifikan antara Corporate Governance dengan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial pada perusahaan sub-sektor pertambangan batu

Dalam penelitian ini rumusan masalahnya yaitu Apakah terdapat hubungan antara tanggung jawab belajar siswa dengan hasil belajar siswa kelas V SDN 17/1 Rantau

Temuan tersebut menunjukkan bahwa jika pelanggan merasakan upaya tanggung jawab sosial perusahaan dari perusahaan tinggi, maka dampak positif pada ekuitas merek

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pemaafan dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa korban bullying artinya semakin

yang signifikan pada skor tanggung jawab siswa dalam mengerjakan PR antara sebelum dan sesudah penggunaan konseling kelompok realita pada kelompok yaitu dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan dari size (TK) terhadap indeks pengungkapan tanggung jawab sosial, terdapat pengaruh positif dan

Akibat hukum dari Peran Dan Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Pembuangan Limbah Industri Berdasarkan Hukum Positif bahwa apabila terjadinya sengketa atas pencemaran lingkungan yang