• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN

LINGKUNGAN

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional

Disusun Oleh :

Oktagape Lukas B2A004179 Yoseph Hiskia B2A004266 Bayu Herdianto B2A605289

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2008

DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN

LINGKUNGAN

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional

Disusun Oleh :

Oktagape Lukas B2A004179 Yoseph Hiskia B2A004266 Bayu Herdianto B2A605289

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2008

DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN

LINGKUNGAN

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional

Disusun Oleh :

Oktagape Lukas B2A004179 Yoseph Hiskia B2A004266 Bayu Herdianto B2A605289

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2008

(2)

DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

BAGIAN I KILASAN ARTIKEL

Tulisan karya Prof.DR. FX.Adji Samekto SH, MHum berjudul

“DOMINASI NEGARA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN” ini berbicara

mengenai fenomena modernisasi model dunia ketiga yang mempunyai hubungan erat dengan kerusakan lingkungan. Untuk keperluan analisis tulisan ini maka akan diuraikan dalam beberapa bagian.

Apa Yang Dimaksud Modernisasi.

Penggunaan istilah modernisasi sering dikaitkan dengan istilah pembangunan, karena dianggap memiliki kesamaan arti dengan pembangunan. Sesuai analogi tersebut maka secara teori, modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan teori perubahan sosial.

Dalam perspektif ilmuwan barat, pengertian modernisasi menunjuk kepada satu tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri Inggris (1760-1830) dan revolusi politik Perancis (1789-1794). Jadi modernisasi merupakan satu tipe perubahan sosial yang merujuk pada revolusi industri dan politik dalam masyarakat barat.

Dalam konteks modernisasi, penggunaan cara-cara budaya Barat maupun pemasukan barang-barang materi Barat merupakan bagian dari modernisasi. Oleh karena itu, proses modernisasi disebut sebagai westernisasi, dengan komponen-komponennya yang terdiri atas industrialisasi, demokrasi dan ekonomi pasar.

Latar Belakang Munculnya Modernisasi.

Kesulitan ekonomi yang terjadi di Amerika dan negara-negara Eropa Barat akibat perang dunia II menghasilkan konsolidasi antara Amerika dan Eropa Barat dalam rangka memulihkan perekonomian mereka, lalu terjadilah perubahan dalam hubungan antar negara di bidang sosial, politik dan ekonomi.

Dominasi kapitalisme diwujudkan dalam penjajahan non fisik, karena sudah tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik. Teori modernisasi lahir dan diaplikasikan ke negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Teori ini dibuat untuk menarik dan dapat diterapkan di negara-negara dunia ketiga namun tetap menjaga eksistensi kapitalisme itu sendiri.

Penerapan Modernisasi di Negara-Negara Barat.

Sesuai paham kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat, maka negara hanya berperan sebagai fasilitator untuk menjamin kelancaran berjalannya mekanisme pasar bebas. Mereka yang melakukan kegiatan dalam rangka modernisasi adalah pengusaha, industri yang didukung petani dan buruh. Masing-masing saling melakukan interaksi dalam mekanisme pasar bebas yang sehat dan kompetitif.

(3)

Kelas pekerja yang terampil dan kelas menengah yang energik, mandiri, dan menentukan, mendorong timbulnya kekuatan-kekuatan politik sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya pada masyarakat.

Penerapan Modernisasi di Negara-Negara Dunia Ketiga.

Penerapan teori modernisasi di negara-negara dunia ketiga menghasilkan dominasi peran negara. Menurut Gerschenkron yang dikutip Agus Subagyo (2002) dinyatakan bahwa makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya negara harus terlibat dalam pembangunan ekonomi.

Keterlibatan negara inilah yang mendorong negara untuk terjun dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan.

Perbedaan Model Modernisasi di Negara Barat dan Negara-Negara Dunia Ketiga.

a. Perbedaan perkembangan nilai-nilai demokrasi negara-negara Barat dengan negara-negara dunia ketiga. Modernisasi diukur berdasarkan sejauh mana pola-pola dan nilai-nilai demokrasi barat tertanam dan berkembang dalam masyarakat. Modernisasi negara-negara dunia ketiga lalu dilihat dari kemampuan negara yang bersangkutan dalam mengembangkan pola-pola kehidupan politik sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasionalitas dan obyektivitas dalam ukuran negara-negara Barat, pencetus kapitalisme (Vedi R.Hadiz 1999).

b. Perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di negara Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha dan masyarakat tanpa campur tangan negara, sedangkan modernisasi di negara-negara dunia ketiga membutuhkan modal besar karena ketinggalan negara-negara Barat dalam bidang teknologi dan sumber daya manusia.

c. Modernisasi di negara-negara Barat meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakatnya, sedangkan modernisasi dalam negara-negara dunia ketiga justru menciptakan dominasi negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakatnya. Hal ini terjadi karena dilatar belakangi perbedaan-perbedaan yang dijelaskan di sub bab a dan b diatas.

Dominasi Negara Menyebabkan Kerusakan Lingkungan

Dominasi negara menciptakan kolaborasi-kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dan penguasa atau negara. Kekuatan kapitalisme global berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan

(4)

bahan baku maupun hasil produksi yang harus terus menerus diperbesar demi akumulasi keuntungan. Penguasa berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi sesaat yang dapat diperoleh karena kewenangannya, karena itu muncul kerusakan lingkungan.

Negara Indonesia adalah salah satu negara dunia ketiga dan dalam kaitannya dengan penerapan modernisasi, terdapat banyak kasus lingkungan hidup yang tidak direspon dengan sungguh-sungguh oleh negara. Hal ini disebabkan karena pembuatan peraturan di bidang lingkungan banyak yang tidak melibatkan masyarakat, tidak efektifnya penegakan hukum, serta terbentuknya pola pikir yang salah tentang lingkungan di masyarakat.

Berbagai modus terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia antara lain adalah pembabatan hutan, penebangan liar, pembangunan areal pemukiman secara sembarangan. Dalam konteks dominasi negara modusnya antara lain pembiaran pengambilan keaneka ragaman hayati oleh perusahaan-perusahaan asing, ataupun pemberian izin pembuangan limbah dari negara asing ke Indonesia.

BAGIAN II ANALISA

Teori Modernisasi dan Proses Westernisasi di Negara-Negara Dunia Ketiga

Sebelum memahami dan menganalisa artikel ini lebih jauh, selayaknya kita mengkaji dahulu apa yang dimaksud dengan Teori Modernisasi, dan apa hubungannya dengan Westernisasi.

Teori Modenisasi pada dasarnya merupakan teori perubahan sosial yang dikembangkan di Eropa Barat. Teori ini berusaha mengkaji faktor-faktor yang dianggap penting dalam proses perkembangan masyarakat dan transformasi sosial yang turut menyertainya. Teori ini pada awalnya dianggap sebagai suatu “Grand Theory” yang berlaku universal1.

Namun dalam kenyataannya teori ini sendiri tidak lepas dari kritik. Karena landasannya didasarkan atas pengalaman dan perubahan sosial masyarakat Eropa, seringkali teori ini mengalami bias budaya. Teori modernisasi seakan melakukan generalisasi bahwa setiap budaya dan masyarakat memiliki faktor-faktor sosial dan kebutuhan yang sama seperti masyarakat Barat. Hingga akhirnya ketiga teori ini diterapkan di Negara Dunia Ketiga di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang memiliki kebutuhan dan faktor sosial yang berbeda, teori ini dapat dianggap gagal dan sulit atau bahkan tidak dapat diterapkan2.

Kritik lain menyebutkan bahwa Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari Westernisasi. Hal ini dikarenakan bahwa untuk tercapainya proses Modernisasi, maka harus dilakukan suatu rekayasa sosial dan pembentukan faktor-faktor yang identik dengan situasi dan kondisi sosial

1Wikipedia, the free encyclopedia, Modernization, 2Wikipedia, the free encyclopedia, Modernization Theory

(5)

masyarakat Eropa. Buruknya jika hal ini dilakukan, maka secara otomatis budaya dan nilai masyarakat lokal harus digeser dan digantikan dengan nilai dan budaya Eropa. Akibatnya mau tidak mau masyarakat yang sebelumnya bukan Barat harus bertransformasi dan berubah menjadi

“Barat.”3

Hal-hal seperti inilah yang seringkali terjadi pada Negara Dunia Ketiga. Hingga proses modernisasi seringkali gagal dan bahkan memakan biaya yang sangat besar. Bahkan Negara-Negara Asia yang dianggap “Macan Ekonomi Asia” pun, sepert Jepang, Korea Selatan, dan Singapura seringkali mengalami transformasi sosial besar hingga muncul ungkapan bahwa mereka lebih tepat dikategorikan sebagai “Barat” daripada Asia.

Kekuatan Kapital Asing Sebagai Agen Dari Modenisasi di Negara-Negara Dunia Ketiga

Era Globalisasi memunculkan pemain baru dalam kancah politik Internasional. Mereka adalah perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional, dengan mayoritas berasal dari negara Barat, hadir sebagai wakil utama dari kekuatan Kapital Asing. Mereka sangat kaya dan kuat. Sebagai perbandingan perusahaan mobil Amerika General Motors memiliki penerimaan sebesar 191,4 Miliar Dollar Amerika pada tahun 2004. Jumlah ini lebih besar dari PDB 148 Negara. Pada tahun 2005, perusahaan ritel Amerika Wal-Marts memperoleh penghasilan 285,2 Miliar Dollar. Jumlah ini lebih besar dibanding PDB apabila seluruh negara di kawasan Sub-Sahara Afrika dijadikan satu4.

Perusahaan multinasional dengan kekuatan modalnya yang sangat besar seringkali hadir di negara-negara dunia ketiga. Lewat berbagai bentuk investasi dan metode outsourcing serta eksploitasi sumber daya alam di negara bersangkutan. Perusahaan multinasional tidak hanya menjadikan negara dunia ketiga sebagai tempat untuk memperoleh bahan baku dan sumber daya alam serta menghasilkan barang dengan harga murah, namun juga menciptakan pasar yang potensial. Dalam proses penciptaan pasar ini, maka harus pula diciptakan tuntutan akan barang dan mekanisme dalam pemenuhan terhadap tuntutan itu.

Disinilah kemudian perusahaan multinasional muncul sebagai agen utama dari modernisasi dan westernisasi. Perusahaan multinasional menjadi jembatan antara negara Barat yang maju dengan negara dunia ketiga yang berkembang, baik dalam proses transfer teknologi maupun kebudayaan antara keduanya. Bagi negara maju, perusahaan multinasional berjasa memproduksi dan membawa barang-barang murah berkualitas dari negara dunia ketiga. Perusahaan multinasional juga menjadi penyalur utama bagi sumber daya alam dari negara-negara dunia ketiga ke negara maju. Bagi negara dunia ketiga, perusahaan

3Martina Schuster, Modernization theory and dependencia: Why did they fail?,

4Joseph E Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil,

(6)

multinasional memperkenalkan mereka dengan teknologi dan taraf hidup yang lebih tinggi. Serta nilai dan budaya yang beriringan bersama itu.

Peran perusahaan multinasional di negara dunia ketiga sendiri kemudian berkembang menjadi sedemikian penting. Bagi negara dunia ketiga, perusahaan multinasional tidak hanya memberikan taraf hidup yang layak dan kesempatan bagi produk mereka mencapai negara maju. Perusahaan multinasional juga memberi lapangan kerja, menghidupkan perekonomian, sumber investasi dan penanaman modal asing, serta berbagai penghasilan dan insentif lainnya yang memberi keuntungan. Maka tidak heran apabila perusahaan mutinasional menjadi pondasi ekonomi di banyak negara dunia ketiga.

Negara Dunia Ketiga dan Kegagalannya dalam Penanganan Kerusakan Lingkungan

Dibalik berbagai keuntungan dan manfaat dari perusahaan multinasional diatas, perlulah kita ingat bahwa bagaimanapun juga tujuan utama perusahaan multinasional adalah keuntungan. Perusahaan multinasional pada dasarnya merupakan mesin uang yang bekerja untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya sesuai prinsip kapitalisme. Motif ini pula yang seringkali mendorong perusahaan multinasional untuk melakukan tindakan yang tidak pantas. Hingga menimbulkan akibat buruk bagi negara dunia ketiga dimana perusahaan itu berada.

Sebelumnya perlu kita ketahui, menurut Joseph Stiglitz5, dalam suatu proses produksi dan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, selalu muncul dua jenis biaya yang harus ditanggung. Pertama adalah biaya pribadi, dalam artian biaya murni yang menjadi ongkos dilakukannya proses produksi dan eksploitasi. Kedua adalah biaya sosial yang berasal dari penanggulangan dampak terhadap lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Sebagai contoh dalam perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit tenaga listrik, dibutuhkan biaya dalam proses produksi untuk menyuling minyak dan ongkos produksi lainnya. Namun selain itu juga dibutuhkan biaya yang lebih besar untuk menanggulangi polusi yang dihasilkan oleh proses produksi dan penanggulangan limbah. Kedua biaya ini seharusnya wajib ditanggung oleh perusahaan. Namun sayangnya seringkali perusahaan menolak menanggung biaya sosial tersebut. Jumlah biaya sosial yang sangat besar bagi perusahaan hanya akan mengurangi keuntungan dan menambah beban perusahaan.

Maka perusahaan multinasional dengan modal yang besar dan dilindungi oleh pengaruh politik yang sangat kuat, menghindar dari kewajibannya untuk menanggung dampak dari proses produksi yang mereka lakukan. Untuk itupun mereka tidak segan mengunakan pengaruh politik yang mereka punya demi kepentingan dan keuntungan mereka.

(7)

Penggunaan pengaruh politik ini tidak hanya terjadi di negara dunia ketiga, tapi juga terjadi di negara maju. Sebagai perbandingan perusahaan-perusahaan farmasi Amerika lewat proses lobi yang memakan biaya lebih dari 759 juta Dollar Amerika berhasil mempengaruhi sekitar 1400 keputusan Kongres Amerika agar berpihak pada mereka6.

Situasi yang lebih parah justru terjadi di negara dunia ketiga. Dimana perusahaan multinasional mengunakan pengaruh politiknya untuk mengendalikan kebijakan pemerintah. Salah satu sektor yang mengalami dampak parah adalah sektor lingkungan. Di negara dunia ketiga, kerusakan lingkungan yang terjadi sangat parah. Hal ini disebabkan oleh perusahaan multinasional yang menolak bertanggung jawab atas dampak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat proses produksi dan eksplorasi yang mereka lakukan. Sementara dari pihak pemerintah negara dunia ketiga sendiri menghadapi dilema. Disatu sisi pemerintah harus menegakkan kebijakkan lingkungan yang melindungi kepentingan masyarakatnya, namun disisi lain pemerintah harus melindungi kepentingan modal asing dan perusahaan multinasional yang menopang ekonominya.

Korupsi yang terjadi di negara dunia ketiga juga memperparah kondisi yang terjadi. Perusahaan multinasional memilih untuk menyuap penjabat-penjabat pemerintahan daripada membayar biaya sosial yang lebih besar. Perusahaan multinasional sendiri juga sering mengunakan kekuatan kapitalnya sebagai alat tawar terhadap pemerintah. Termasuk dengan mengancam akan memindahkan kapitalnya keluar dari satu negara ke negara lain.

Hal seperti inilah yang terjadi di Papua Nugini, tambang besar timah dan tembaga Ok Tedi membuang 80.000 ton material beracun setiap hari ke sungai Ok Tedi dan sungai Fly selama dua belas tahun, dalam kegiatan ekstraksi yang bernilai sekitar 6 miliar dollar. Ketika bahan tambang habis, perusahaan yang mayoritas kepemilikannya dipegang oleh Australia itu, begitu saja meninggalkan pertambangan tersebut setelah mengakui bahwa perusahaannya tidak begitu memerhatikan dampak kerusakan lingkungan cukup besar. Perusahaan itu mengalihkan kepemilikannya kepada pemerintah, dan membiarkan pemerintah yang kebingungan mencari dana untuk mengatasi kerusakan yang ditimbulkan. Jumlah pasti kerugian yang dialami sangat sulit untuk ditentukan, tapi sangat jelas bahwa jumlah tersebut sangat besar dan harus ditanggung oleh masyarakat Papua Nugini7.

6Joseph E Stiglitz, Op.cit, p.280 7Joseph E Stiglitz, Op.cit, p.285

(8)

SUMBER UTAMA :

FX Adji Samekto, Dominasi Negara dan Kerusakan Lingkungan ; Harian Suara Merdeka, Rabu 5 Juni 2002

SUMBER PENDAMPING :

1. Wikipedia, the free encyclopedia, Modernization Theory, diambil darihttp://en.wikipedia.org/wiki/Modernization_theory

2. Wikipedia, the free encyclopedia, Modernization, diambil dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Modernization

3. Martina Schuster, Modernization theory and dependencia: Why did

they fail?, diambil dari

http://qahar.wordpress.com/2008/04/03/modernization-theory-and-dependencia-why-did-they-fail

4. Joseph E Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, PT Mizan Pustaka,

Referensi

Dokumen terkait

 Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan desa berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan

Apabila hunian mengalami kerusakan parsial, dan/atau bila tanah tempat hunian didirikan mengalami kerusakan dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk perbaikan supaya rumah tdak

Rumput laut di Kabupaten Sumenep dapat diolah menjadi berbagai produk seperti agar- agar, manisan, krupuk, dan sebagainya, sehingga dapat menimbulkan terciptanya cluster

Dalam perkembangannya, saat ini sistem pengolahan data yang di gunakan oleh koperasi simpan pinjam pada MTs Negeri 1 Kota lubuklinggau masih konvensional yaitu menggunakan buku

Apabila teleskop menjadi semakin canggih – termasuk teleskop yang boleh diterbangkan ke angkasa – ahli astronomi mula memahami satu perkara menakjubkan, hampir tidak

Communication: Behavioral Perspective , (New York: Holt Rinehart and Winstons, 1981), p.. membawa konsekwensi terjalinnya interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan akuntansi zakat pada BAZNAS Provinsi Kalimantan Selatan secara umum telah sesuai dengan PSAK 109, yaitu: dengan

Kedelapan variable tersebut yaitu, Bimbingan pendiri terhadap suksesor, Pemahaman suksesor terhadap bisnis, Kemampuan suksesor dalam menentukan strategi, Suksesor mampu mengelola