BAB III
METODOLOGI
3.1 Metodologi Umum
Tujuan utama dari studi ini adalah menentukan kedalaman penguburan pipa (jika ada) agar resiko pada pipa dapat memenuhi standard internasional.
Ada banyak metodologi yang digunakan dalam studi untuk penilaian resiko terhadap pipa bawah laut, berikut beberapa Metode Risk Assessment pada Industri Pipeline:
1. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Menelusuri urutan kejadian dari kegagalan (akhir) ke penyebab (awal). Pada analisis ini dirumuskan bagaimana pipa bisa gagal (mode) dan apa yang terjadi jika pipa gagal (effect). Untuk membantu menganalisis, biasanya dibangun Failure Tree Analysis (FTA). Sebuah FTA adalah sebuah network-logic yang memperlihatkan hubungan atau urutan kejadian-kejadian yang mengarah pada top-event yang tidak diinginkan. 2. Quantitative Risk Assessment / Probabilistic Risk Assessment (QRA/RRA)
Adalah risk assessment menggunakan metoda/uraian statistik dan probabilistik (reliability) untuk menentukan secara numerik frekuensi kegagalan/kecelakaan. Metoda ini sangat detail dan memakan waktu lama untuk dilakukan.
3. Hazard and Operability Study (HAZOP)
Sebuah teknik untuk mengidentifikasi semua kemungkinan bahaya (hazard) dan kegagalan pipeline. Dilakukan oleh sebuah group expert yang masing-masing memiliki keahlian berbagai fungsi proses. Mereka bertugas mereview semua aspek operasi dan mendokumentasikan semua penyimpangan dari kondisi normal.
4. Indexing System/Scoring System
Metoda ini menggunakan teknik skor dimana pembobotan relatif diberikan pada setiap elemen resiko, kemudian digabungkan kedalam skor resiko total. Lalu hasil skor dibandingkan dengan skor relatif yang ada. Namun untuk tahap awal, metode ini memerlukan:
i) faktor subjektif dan
ii) judgement (pertimbangan) yang diperoleh terutama dari pengalaman lapangan.
5. Risk Based Inspection (RBI)
RBI menggunakan resiko sebagai basis untuk memprioritaskan dan mengelola program inspeksi secara optimum. RBI merupakan gabungan/sinergi dari risk analysis dan mechanical integrity. Pada prakteknya RBI banyak menggunakan metode 1 s/d 4 di atas.
Khusus pada Tugas Akhir ini saya menggunakan metode nomer 4, yaitu Indexing System/Scoring System.Dimana analisa pengerjaannya metode ini merupakan semi-kuantitatif, dengan skor hasil yang didapat dibandingkan dengan skor secara relatif yang ada. Setelah dilakukan perbandingan penilaian resiko, pertimbangan untuk langkah berikutnya disesuaikan dengan hasil yang telah ada, apakah resiko yang ada ALARP atau tidak.
Semua bahaya eksternal didata dan diklasifikasikan untuk kredibilitasnya. Bahaya yang kredibel dianalisis untuk bahaya potensial (atau konsekuensi) pada pipa. Analisis berikut ini dibutuhkan, identifikasi dari bahaya potensial terhadap pipa :
1. Analisis jangkar (atau objek) yang dijatuhkan 2. Analisis seret jangkar
3. Analisis kapal tenggelam 4. Aktivitas nelayan
3.2 Profil Proyek
Proyek instalasi transmisi pipa gas antara Labuhan Maringgai – Cilegon memiliki jarak tempuh sepanjang 105 km. Tujuan utama proyek pemasangan pipa ini adalah menghubungkan antara sumber suplay gas dan cadangan gas di Sumatera Bagian Selatan dengan pusat kebutuhan utama di Jawa Bagian Barat.
Gambar 3.1 Lokasi Jalur Pipa Transmisi Labuhan Maringgai - Cilegon
Berikut merupakan tahapan disain yang dilaksanakan secara rinci berdasarkan Pra-Survey oleh kontraktor:
1. Menetapkan basis disain dan prosedur. 2. Analisa korosi.
3. Pemilihan rute jalur pipeline.
4. Analisa In-place Strength yang diijinkan. 5. Analisa On-bottom Stability.
6. Analisa kekasaran dasar pipeline.
7. Analisa kabel yang memotong jalur pipeline.. 8. Shore Approach Design.
9. Pengkutuban dan Coating System. 10.Spesifikasi semua material.
11.Analisa seismic pipeline.
12.Analisa bahaya yang diakibat dari roda gigi pemancingan. 13.Analisa dampak yang diakibatkan dari roda gigi pemancingan. 14.Disain rawa dan onshore pipeline (analisa fleksibilitas). 15.Onshore ancillary facilities design.
16.Semua spesifikasi konstruksi. 17.Operasi dan Pemeliharaan manual.
18.Analisa bahaya akibat jatuhnya jangkar kapal. 19.Analisa dampak akibat jatuhnya jangkar kapal. 20.Disain pipeline yang saling memotong.
Dari tahapan yang telah disebutkan di atas, dasar utama pada penilaian resiko adalah meliputi analisis konsekuensi dan frekuensi. Untuk setiap ancaman yang digunakan, dampak potensi pada pipa dievaluasi dengan analisis kuantitatif. Empat bahaya eksternal yang kredibel yang teridentifikasi untuk Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1, adalah:
1. Kerusakan karena kapal tenggelam
2. Kerusakan karena jangkar yang dijatuhkan (atau objek besar lainnya) 3. Kerusakan karena seretan jangkar
4. Kerusakan karena pengembangan masa depan
Bahaya-bahaya ini timbul akibat padatnya lalu lintas maritim di Teluk Cilegon, di sekitar rute Jalur Pipa SSWJ II PHASE 1 Konsekuensi potensial dari bahaya-bahaya ini didentifikasikan sebagai berikut:
• Tidak terjadi kerusakan;
• Kerusakan pada selimut beton; • Pipeline denting;
• Pipeline leaking; dan • Pipeline rupture
Ruang lingkup dari studi ini meliputi bagian pipa antara shore crossing point dan kontur kedalaman perairan 13m dari Jalur Pipa Transmisi (SSWJ II PHASE 1) di kedua area, Sumatera Selatan (Labuhan Maringgai) dan Jawa Barat (Teluk Cilegon atau Teluk Banten). Hal ini tidak termasuk bagian jalur pipa transmisi dengan kedalaman perairan lebih dari 13m, dan Jalur pipa darat, sedangkan ruang lingkup dari studi ini adalah untuk:
1. Tambahan dan pengumpulan data dengan mereview desain, spesifikasi, survey, metocean dan laporan ANDAL, statistik perkapalan, kunjungan lapangan yang meliputi wawancara dengan Petugas Administrasi Pelabuhan Banten, Petugas Administrasi Labuhan Mainggai, nelayan serta penyewaan kapal nelayan, pengamatan HAT/LAT dan aktivitas maritim di area Labuhan Maringgai dan teluk Cilegon.
2. Mengidentifikasi bahaya yang dapat menyebabkan kerusakan pada pipa berdasarkan kelengkapan data (meliputi estimasi ukuran kapal dan jangkar yang memungkinkan) serta hambatan-hambatan lainnya.
3. Mengidentifikasi segala jenis kemungkinan kegagalan dari setiap hambatan yang ditemukan untuk Jalur Pipa Transmisi dan mengidentifikasi zona sepanjang jalur pipa dimana hambatan dapat terjadi.
4. Melakukan analisis konsekuensi dari setiap bahaya untuk menentukan skala resiko.
5. Melakukan analisis frekuensi untuk menentukan kemungkinan kegagalan dengan mengestimasi frekuensi bahaya dan mengkombinasikannya dengan konsekuensi dalam sebuah analisis alur kejadian untuk menentukan kemungkinan kejadian untuk konsekuensi yang berbeda. Nilai ini dapat dibandingkan dengan kriteria resiko yang diijinkan dalam kode DNV.
6. Menilai resiko dengan mengkombinasikan konsekuensi dengan analisis frekuensi menggunakan matriks resiko yang diberikan oleh Perusahaan (atau sesuai dengan DnV RP-F107) untuk menentukan apakah resiko As
7. Jika resiko tidak ALARP, tentukan proteksi mekanik tambahan dan membuat rekomendasi tentang bagaimana mengurangi resiko ke tingkat ALARP.
Ruang lingkup dari studi ini terbatas pada ancaman dari gangguan luar yang bisa termitigasi oleh proteksi mekanik pipa. Ancaman lain dari korosi, kerusakan desain/material, aktivitas instalasi/konstruksi, aktivitas pre-commissioning/commissioning, kesalahan operasi, tidak akan dibahas dalam tugas akhir ini.
3.3 Pembagian Zone Resiko
Lokasi bahaya harus spesifik, dialokasikan pada tiap zona resiko. Pipa dibagi dalam empat zona resiko, berdasarkan dari studi untuk kontur kedalaman 0-13m, di sisi Labuhan Maringgai dan di sisi Teluk Cilegon. Zona-zona berikut ini telah digunakan:
1. Zona I: KP 0 – KP 1.1, dimana kontur kedalaman kurang dari 2.5m, perairan relatif dangkal dan ketebalan beton adalah 90mm, tanahnya berjenis soft clay.
2. Zona II: KP 1.1 – KP 12.7, dimana kontur kedalaman lebih dari 2.5m sampai 13m, ketebalan beton adalah 109mm, jenis tanah adalah soft
clay dan ditemukan juga sandy clay.
3. Zone III: KP 12.7 – KP 20.0, dimana kontur kedalaman antara 12.9m dengan 26.9m, dan ketebalan pipa 109mm, jenis tanah adalah muddy
sand.
4. Zone IV: KP 20.0 – 25.0, dimana kontur kedalaman antara 17.25m dengan 24.75m, dan ketebalan pipa 109mm, jenis tanah yang ditemukan pada zone ini adalah very soft clayey silt.
5. Zone V: KP 25.0 – 40.0, dimana kontur kedalaman antara 20m dengan 32m, dan ketebalan pipa 109mm, jenis tanah yang ditemukan pada zone ini adalah medium sand sampai very soft clayey silt.
6. Zone VI: KP 40.0 – 45.0, dimana kontur kedalaman antara 32m dengan 40m, dan ketebalan pipa 61mm, jenis tanah yang ditemukan pada zone ini adalah medium stiff clayey silt.
7. Zone VII: KP 45.0 – 80.0, dimana kontur kedalaman antara 26.13m dengan 70m, dan ketebalan pipa 61mm, jenis tanah yang ditemukan pada zone ini adalah mudy sand, fine coarse sand sampai fine medium
sand.
8. Zone VIII: KP 80.0 – 85.0, dimana kontur kedalaman antara 20m dengan 30m, dan ketebalan pipa 109mm, jenis tanah yang ditemukan pada zone ini adalah fine medium sand.
9. Zone IX: KP 85.0 – 87.9, dimana kontur kedalaman antara 13.65m dengan 21m, dan ketebalan pipa 109mm, jenis tanah yang ditemukan pada zone ini adalah very soft clay
10.Zona X: KP 87.9 – KP 98.8, dimana kontur kedalaman lebih dari 2.5m sampai 13m, dan ketebalan beton adalah 109mm, jenis tanah adalah
fine-medium sand sampai very soft clay dan clay.
11.Zona XI: KP 98.9 – KP 99.91, dimana kontur kedalaman kurang dari 2.5m, daerah perairan dangkal dan ketebalan beton adalah 90mm, jenis tanahnya clay.
Tabel 3.1 Data Pipa Beserta Kondisi Tanah Per Zona ZONE KP RANGE (km) WALL THICKNESS (mm) CONCRETE THICKNESS (mm) CONCRETE DENSITY (kg/m3) WATER DEPTH (m) SOIL TYPE I 0.0 – 1.1 19.05 90 3044 <2.5 Soft Clay
II 1.1 – 12.7 19.05 109 3044 2.5 - 13 Soft Clay to Find Sandy Clay
III 12.7 – 20.0 19.05 109 3044 12.9 - 26.9 Muddy Sand
IV 20.0 – 25.0 19.05 109 3044 17.25 -24.75 Very Soft Clayey Silt
V 25.0 – 40.0 19.05 109 3044 20 - 32 Medium Sand to Very Soft Sandy Silt
VI 40.0 – 45.0 22.225 61 3044 32 - 40 Medium Stiff Clayey Silt
VII 45.0 – 80.0 22.225 61 3044 26.13 - 70 Muddy Sand to Fine Coarse Sand to Fine-Medium
Sand
VIII 80.0 – 85.0 19.05 109 3044 20 - 30 Fine-Medium Sand
IX 85.0 – 87.9 19.05 109 3044 13.65 - 21 Very Soft Clay
X 87.9 – 98.8 19.05 109 3044 2.5 - 13 Fine Medium Sand to Very Soft Clay and Clay
Pipa dikubur sedalam 2m sampai TOP seperti ketentuan MIGAS, kecuali di Zona II (KP 1.1-12.7) yang dikubur kurang dari 2m karena tanahnya yang keras dan pada Zone X (KP 94.76-94.82; KP 94.98-96) yang dikubur kurang dari 2m karena arealnya berupa karang.
Gambar 3.4 Sisi Pulau Jawa bagian Barat (kedalaman 0-13m)
Analisis konsekuensi untuk semua bahaya yang kredibel, dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang akan terjadi. Jenis kerusakan digunakan untuk menghitung nilai Consequence of Failure (CoF). Analisis ini dilakukan pada pipa yang dikubur, sedalam 0.5m, 1.0m, 1.5m and 2.0m dari TOP.
Analisis frekuensi dari bahaya yang sama dilakukan untuk menentukan nilai Likelihood/Probability of Failure (PoF) dari setiap jenis kerusakan. Alur kejadian dikembangkan dan digunakan untuk menghitung kemungkinan kegagalan. Nilai CoF dan PoF ditentukan berdasarkan matriks DnV RP-F107. Kemungkinan kegagalan yang diperbolehkan berdasarkan rekomendasi dalam desain DNV OSF101 [Ref. 5] untuk Accidental Limit State (ALS). Nilai ini ditentukan untuk tiap zona.
Konsekuensi dan frekuensi ini dihitung kembali untuk penguburan sedalam 0.5 dan 1.0m dari TOP. Nilai resiko untuk kedalaman penguburan yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai dari Kasus Dasar, terkubur 2.0m dari TOP. Faktor lain yang terkait harus digarisbawahi. Konsekuensi dan frekuensi harus dinilai kembali untuk pipa tidak terkubur. Hasil dari penilaian ini digunakan untuk mengembangkan proteksi pipa yang direkomendasikan berdasarkan metode yang biasa digunakan di dunia industri.
3.4 Peraturan dan Pedoman Perindustrian 3.4.1 Peraturan
Artikel 13 dari Peraturan MIGAS (300.K/38M.PE/1997) [Ref. 1] menyatakan bahwa untuk kedalaman kurang dari 13 meter, pipa harus dikubur pada kedalaman minimum 2 meter di bawah dasar laut. Tujuan utama dari peraturan ini adalah melindungi pipa dari resiko akibat aktivitas/ kegiatan manusia. Namun, peraturan ‘Safety Case’ akan memperbolehkan operator untuk melakukan pendekatan berbasis resiko dalam menilai fasilitas baru.
ASME B31.8 [Ref. 2] mengatur bahwa trenching and backfilling dapat dilakukan ketika dibutuhkan untuk tujuan kestabilan. Untuk area approach
area, pengeboran atau trenching tetap dibutuhkan. 3.4.2 Pedoman Perindustrian
Desain pengaman pipa seperti disebutkan sebelumnya, pedoman dan metodologinya tercantum pada:
1. DnV RP-F107 “Risk Assessment of Pipeline Protection” [Ref. 3] 2. Muhlbaeuer, W.K. “Pipeline Risk Management Manual” [Ref. 7]
3.5 Sasaran Studi
Sasaran dari studi resiko pada pipa adalah:
1. Mengidentifikasi ancaman potensial terhadap pipa
2. Menilai resiko dari tiap-tiap ancaman potensial dengan melakukan analisis konsekuensi dan frekuensi, dan diikuti oleh pe-rangkingan resiko 3. Merekomendasikan pengendalian agar resiko tetap ALARP, meliputi
3.6 Ancaman Terhadap Pipa
Berasarkan pada informasi desain, tabel angkatan laut, wawancara dengan beberapa petugas pelabuhan di lokasi, serta kunjungan lapangan [Ref. 13];
hazard identification (HAZID) mengidentifikasikan ancaman yang memberikan
dampak terhadap integritas pipa pada Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1. Ancaman-ancaman ini disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Bahaya Potensial Terhadap Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1
Seperti disebutkan dalam Metodologi Penilaian Resiko, ancaman-ancaman berikut ini dicek untuk tidak digunakan dalam analisis:
1. Ancaman-ancaman yang tidak berpengaruh pada pipa walaupun tanpa perlindungan mekanis dan penguburan (tidak relevan).
2. Ancaman-ancaman yang ditemukan tidak kredibel berdasarkan pada penemuan studi-studi sebelumnya pada Jalur Pipa Transmisi SSWJ II
3.7 Asumsi Pendekatan Permasalahan
Batasan dari pipa yang digunakan dalam analisis adalah muka air rendah sepanjang pantai dari KP 0.0 sampai KP 12.7 (sisi Labuhan Maringgai) dan sepanjang pantai shore KP 87.9 sampai KP 99.91 (sisi Teluk Cilegon). Resiko yang dipertimbangkan adalah resiko karena gangguan eksternal karena akan mempengaruhi perlindungan mekanis maupun penguburan pipa. Ancaman karena gangguan internal tidak akan dibahas.
3.7.1 Penggerusan karena Arus Dasar Laut
Kondisi metocean disepanjang jalur pipa relatif tenang, seperti diinformasikan dari Desain Basis, dengan total periode ulang 100 tahunan berkecepatan arus dasar laut 0.78 m/s (Zona I), 0.53 m/s (Zona II), 0.54 m/s (Zona III), 0.76 m/s (Zona IV). Dengan demikian, hal ini dapat dikesampingkan, karena berarti potensi terjadinya penggerusan di dasar laut sangat kecil. Beberapa penggerusan lapisan tanah teratas memang terlihat, namun jika pipa dikubur di bawah dasar laut, penggerusan tidak akan memberikan dampak besar bagi keberadaan pipa.
Sebagai tambahan, beberapa ancaman yang disajikan dalam Tabel 4.1 hanya relevan untuk pipa yang tidak dicover. Ancaman-ancaman berikut ini juga tidak akan diperhitungkan:
• Abrasi karena kabel jangkar; • Seretan dan tarikan jangkar kecil;
• Bentangan, menyebabkan tegangan berlebih pada bagian pipa, dan kerusakan potensial;
• Erosi eksternal
3.7.2 Gempa Bumi
Gempa bumi biasanya menyebakan gerakan tanah yang sangat kuat, dapat menyebabkan pergerakan massa sedimen dasar laut, pergerakan di sepanjang patahan yang ada, likuifaksi, tsunami, pemadatan di sumur minyak/gas.
Gambar 3.5 Peta Potensi Gempa Bumi di Indonesia dalam 300 Tahun (Geological Research and Development Centre, 2001)
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa di Labuhan Maringgai dan Teluk Cilegon memiliki skala intensitas MMI (Modified Mercalli Intensity) IV sampai V (Lihat Tabel 3.3).
Disimpulkan juga bahwa daerah Labuhan Maringgai dan Teluk Cilegon memiliki intensitas dan kerusakan yang rendah. Studi ini juga menyimpulkan bahwa resiko kerusakan karena gempa bumi akan sama untuk pipa yang terkubur, sehingga tidak akan membantu dalam perbandingan pilihan-pilihan penguburan pipa. Kami mengasumsikan bahwa tidak ada potensial gempa yang besar di Labuhan Maringgai dan Teluk Cilegon, karena keterbatasan data. Gempa bumi tidak akan di perhitungkan lebih jauh.
3.7.3 Longsoran Tanah
Dari KP 0 saat diukur dari garis 0m, kami menemukan banyak jenis kemiringan dasar laut sampai kedalaman mencapai 13m, di Labuhan Mainggai (0-13m) kami menemukan kemiringan 1:800; 1:400; 1:1667; 1:130; 1:400 dan di Teluk Cilegon (0-13m) kami menemukan 1:582; 1:267; 1:3800; 1:667; 1:267. Mayoritas dari Zona I dari jalur pipa ini terdapat di dasar laut clay/muddy sand yang relatif datar dengan kemiringan kurang dari 3o. Itulah sebabnya sangat kecil kemungkinan longsoran tanah akan terjadi. Lebih jauh, longsoran dapat terjadi jika terjadi aktivitas seismik. Untuk penilaian resiko pada longsoran tanah akan dibahas kemudian lebih lanjut pada bab berikutnya.
3.7.4 Bahaya Bersilangan Dengan Patahan
Terdapat dua patahan potensial di area studi, yaitu di Teluk Cilegon dan Labuhan Maringgai. Bahaya patahan ini tidak akan dianalisis dalam studi ini.
3.7.5 Aktivitas Penangkapan Ikan
Berdasarkan hasil wawancara, dinyatakan bahwa alat pancing yang digunakan adalah alat pancing biasa. Pukat harimau sudah dilarang sejak tahun 1980, hal ini berarti pemakaian pukat harimau tidak akan terjadi sekarang dan nanti. Pukat harimau biasanya akan berpengaruh pada pipa yang terekspos dibanding yang terkubur, berdasarkan hasil wawancara kami menyimpulkan bahwa tidak ada daerah pemakaian pukat di wilayah Labuhan Maringgai dan Teluk Cilegon. Oleh sebab itulah, pengaruh pukat tidak akan diperhitungkan lebih jauh. Hasil
wawancara menyatakan bahwa penangkapan ikan dengan bahan peledak tidak biasa dilakukan di wilayah Labuhan Maringgai dan Teluk Cilegon. Kegiatan ini sangat dilarang karenanya efeknya akan merusak lingkungan.
3.7.6 Marine Growth
Berdasarkan studi literatur bahwa kejadian ini tidak akan terjadi pada pipa yang dikubur dan tidak akan diperhitungkan dalam analisis selanjutnya.
3.7.7 Korosi Eksternal
Daerah studi yang di kubur tidak akan mungkin terkena korosi ekstenal. Tidak mungkin selimut korosi dan beton terkorosi. Korosi eksternal ini tidak akan digunakan dalam analisis selanjutnya.
3.7.8 Ledakan Ranjau
Selat Sunda adalah kawasan dengan banyak ranjau laut, namun di luar dari wilayah studi.
3.7.9 Pengembangan di Masa Depan
Lalu lintas kapal-kapal besar sangat mempengaruhi kedalaman penguburan pipa dalam studi ini. Dari hasil survey lapangan, diindikasikan bahwa pengembangan di masa depan untuk Teluk Cilegon adalah:
• Pengembangan Pelabuhan Internasional Bojonegara (2002-2025), yang merupakan pelabuhan pertama di Indonesia yang memiliki kapasitas layan sampai draft 16m dengan kapasitas 80,000 DWT, hal ini berarti terdapat kemungkinan pipa akan terkena jangkar seberat 10-13 ton. Posisi astronomisnya adalah 05°53’52.3’’ S dan 106°05’42.7’’ E.
• Power Plant untuk menyediakan energi listrik di Jawa Barat, akan
didesain sampai mencapai tangker 100,000 DWT di Teluk Cilegon
• Pengembangan oleh pemerintah lokal, akan dibangun pelabuhan besar untuk kepentingan pemerintahan dan kebutuhan transportasi laut di
• Berita lain, akan dibangun pelabuhan serta fasilitasnya untuk menampung kapal tangker dari 100,000 DWT sampai 300,000 SWT di dekat fasilitas PGN, dan mengelilingi Pulau Panjang.
Asumsi-asumsi berikut ini digunakan: • Draft dari tanker yang terisi: 15m
• Seabed Clearance (Loaded Tanker): sampai 1m. • Frekuensi tanker : sekali dalam 4 minggu.
3.8 Deskripsi Sistem
Pekerjaan telah dilakukan dengan standard industri tentang tujuan HSE yaitu: 1. Tidak ada kecelakaan
2. Tidak berbahaya bagi manusia 3. Tidak ada kerusakan lingkungan 4. Tidak ada kerusakan pada properti
Pipa harus didesain sangat aman saat digunakan dan bahaya diminimalisasi hingga ALARP.
Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1 akan mengalirkan gas dari sumur pipa di Sumatera Bagian Selatan ke pusat permintaan di Jawa Bagian Barat. Pipa ini dihubungkan oleh pipa lepas pantai dari Labuhan Maringgai ke Teluk Cilegon dan akan didistribusikan di Pulau Jawa khususnya Banten dan Jawa Barat. Layout lapangan, rute jalur pipa, dan profil dasar laut disajikan dalam Lampiran A. Pipa pada Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1 yang memiliki kedalaman kurang dari 13m harus dikubur sedalam 2m dari TOP menurut ketentuan MIGAS.
3.8.1 Informasi Desain Pipeline
Untuk penilaian resiko, data pipa disimpulkan dalam Tabel 3.4 Tabel 3.4 Informasi Umum Desain Pipa
Catatan:
• Asumsinya adalah kasus setelah dikubur. Jika beton final lebih kecil dari harga yang ada pada tabel, resiko harus dievaluasi kembali. Untuk penambahan selimut beton, hasil dari penilaian ini diperhitungkan untuk hasil yang lebih konservatif.
Tabel 3.5 Kasus Pembebanan Analisis Resiko
Untuk kepentingan analisis konsekuensi, Kasus Dasar-nya adalah:
• Tahap operasi: Pipa dikubur sedalam 2m dari TOP dengan material insitu, jika kedalaman perairan kurang dari 13m kecuali Zone II dimana tanahnya adalah tanah keras dari KP 94.74 sampai KP 96.04. Resiko selama masa operasi harus diperhitungkan untuk durasi dari masa layaknya untuk pipa yang terkubur.
3.8.2 Data Operasional
Data operasional pipa berikut ini digunakan dalam studi ini. Tabel 3.7 Data Operasional
3.8.3 Data Metocean
Untuk tujuan penilaian resiko, kondisi metocean terburuk diasumsikan untuk analisis kondisi instalasi serta operasi. Data yang digunakan adalah data dengan periode ulang 100 tahunan yang bekerja tegak lurus terhadap pipa.
3.8.4 Data Survey Kapal
Kunjungan lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data dari Pelabuhan Labuhan Maringgai, Pelabuhan Banten, Pelabuhan Merak, Pelabuhan Serang, patroli kapal di sisi Labuhan Maringgai dan Teluk Cilegon, serta diskusi dengan Petugas Kelautan Karangantu, penduduk setempat, dan nelayan yang tingaal di sekitar lokasi. Rangkuman dari statistik aktivitas maritim disajikan pada Lampiran B.
Hasil survey menunjukkan bahwa aktivitas maritim yang tinggi di Teluk Cilegon, sebagai lokasi utama transit kapal antara Laut Jawa dengan Pelabuhan Merak, dan pusat Industri Kimia di dekat pantai Teluk Cilegon. Di Pelabuhan Merak ada beberapa sandaran Ferry Penumpang untuk mengangkut penumpang, barang, kendaraan Merak-Bakauheni, yang dioperasikan oleh ASDP.
Tipe kapal medium sampai besar yang biasanya melewati Labuhan Maringgai adalah:
• Kapa-Kapal Ikan (komersial), dari ukuran kecil sampai ukuran besar. • Kapal cepat untuk penumpang
• Kapal Kargo
• Kapal Ferry penumpang
• Kapal tangker, untuk gas, minyak, oli, dan kebanyakan transportasi kimiawi.
• Kapal penarik
Tipe kapal sedang sampai besar yang melalui Teluk Cilegon adalah: • Kapal-kapal ikan (komersial)
3.8.5 Pengembangan di Masa Depan
Survey lapangan menunjukan bahwa kemungkinan pengembangan dari Teluk Cilegon adalah:
• Pengembangan Pelabuhan Internasional Bojonegara (2005-2025), pelabuhan pertama di Indonesia yang memiliki kemampuan layan sampai kedalaman draft 16m dengan kapasitas 80,000 DWT. Posisi astronomisnya adalah 05°53’52.3’’ S dan 106°05’42.7’’ E.
• Power Plant untuk menyediakan energi listrik di Jawa Barat, akan
didesain sampai mencapai tangker 100,000 DWT di Teluk Cilegon.
• Pengembangan oleh pemerintah lokal, akan dibangun pelabuhan besar untuk kepentingan pemerintahahan dan kebutuhan transportasi laut di Teluk Cilegon.
• Akan dibangun pelabuhan serta fasilitasnya untuk menampung kapal tangker 100,000 DWT sampai 300,000 SWT di dekat fasilitas PGN, dan mengelilingi Pulau Panjang.
Asumsi-asumsi berikut ini digunakan: • Draft dari tanker yang terisi: 15m
• Seabed Clearance (Loaded Tanker): sampai 1m. • Frekuensi tanker : sekali dalam 4 minggu.
Diasumsikan juga bahwa tanker dengan kapasitas 100,000 DWT akan ditarik dengan tugboats dari zona penjangkaran.
3.8.6 Fitur Maritim dan Lalu Lintas Kapal
Sebagai daerah dengan lalu lintas perairan yang padat, Teluk Cilegon memiliki beberapa fitur maritim yang unik, seperti dibahas dalam bagian ini. Penemuan ini disusun dari informasi yang dikumpulkan dari survey lapangan [Ref. 13], Laporan Tahunan Petugas Administrasi Pelabuhan Banten serta statistik [Ref. 13] serta review dari Tabel Angkatan Laut.
• Ranjau Laut (Unexploded Ordnance, UXO).
Area yang meliputi Pulau Sangiang memiliki ranjau laut yang tidak diketahui jumlahnya sisa dari Perang Dunia II (menurut petugas Pelabuhan Karangantu). Lokasi ranjau ini jauh dari lokasi proyek. Jadi dapat dikatakan bahwa pipa akan aman dari bahaya ranjau laut.
• Daerah-Daerah Terbatas.
Tidak ada daerah yang ditemukan di dekat Labuhan Maringgai atau teluk Cilegon.
• Daerah Penjangkaran dan Jalur Pelayaran.
Terdapat daerah penjangkaran di tenggara Pulau Panjang. Kapal-kapal harus dijangkar di sini selama masa perbaikan dan istirahat. Daerah ini saling menyilang dengan Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1.
3.8.7 Pipeline Crossing
Adanya perbedaan Grade Pipa, akan menandai adanya perbedaan beda potensial untuk tiap pipa. Beda potensial yang tinggi akan menjadikan pipa rentan untuk korosi, hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk mengurangi adanya pipeline crossing. Sebagai tambahan engineer pipeline juga lebih mengurangi pipeline crossing dibandingkan dengan kabel, hal ini dikarenakan beda potensial antar pipa lebih tinggi dibandingkan dengan kabel. Sedangkan pada kasus ini, ditemukan pipeline crossing pada zone VII, diberikan pada Gambar 3.7.
3.9 Penilaian Frekuensi Jangkar yang dijatuhkan
Frekuensi ini meliputi kapal-kapal yang seharusnya menjangkarkan kapalnya pada zona tertentu tapi tidak dilakukan. Terdapat satu zona penjangkaran pada jalur pipa studi. Zona penjangkaran ini diperluhatkan pada Gambar 4.8. Kondisi dari zona penjangkaran dengan jalur pipa studi adalah bersilangan. Lokasi zona ini adalah di selatan dari Pulau Panjang.
Gambar 3.8 Area Penjangkaran Dekat Teluk Cilegon
Kapal-kapal besar yang melalui Teluk Cilegon memiliki alur pelayaran yang dekat dengan Pulau Panjang utara dan Pulau Tunda, dimana lokasi tersebut
adalah perairan dalam. Alur pelayaran yang biasa untuk kapal kecil sampai sedang (khususnya kapal nelayan) memotong rute Jalur Pipa Transmisi SSWJ II PHASE 1 di Labuhan Maringgai dan di Teluk Cilegon (lihat Gambar 3.9 dan Gambar 3.10).
Gambar 3.10 Daerah nelayan dan lalu lintas kapal di Teluk Cilegon Asumsi dasar yang digunakan untuk PoF dari jangkar jatuh yaitu:
• Kecepatan kapal di Labuhan Maringgai, perairan terbuka (Zona I-II) = 12 knots.
• Kecepatan kapal di Teluk Cilegon, dekat perairan terbuka (Zona III) = 20 knots.
• Kecepatan kapal di Teluk Cilegon (Zona IV) = 12 knots.
• Kemungkinan kapal menyimpang dari jalur pelayaran di perairan terbuka (Zona I-II) = 75%.
• Kemungkinan kapal menyimpang dari jalur pelayaran di Teluk Cilegon (Zona I-IV) = 15%.
• Kapal-kapal menggunakan jangkar standard Stockless
• Kapal-kapal besar seperti tangker hanya menjangkar di tempat yang diijinkan. Kapal tersebut bersandar pada jetti/pelabuhan industri ditambat, tapi tidak dijangkar.
Tabel 3.6 Environmental Load 100 yrs
Steady Current (U) (m/s)
Zone KP Range Wall Thickness (mm) Steel Grade Concrete Coating (mm) Hs (m) Ts
(sec) @1mASB @0.75WD @0.5WD @0.25WD @Surface
Max WD (m) Anchor Weights I 0.0 – 1.1 19.05 Idem 90 4.10 8.18 0.78 0.81 0.83 0.84 0.94 2.5 II 1.1 – 12.7 19.05 Idem 109 4.13 8.21 0.53 0.6 0.64 0.67 0.76 2.5-13 III 87.9 – 98.9 19.05 Idem 109 4.31 8.38 0.54 0.6 0.62 0.64 0.74 2.5-13 IV 98.9 – 99.91 19.05 Idem 90 4.23 8.30 0.76 0.82 0.85 0.87 0.89 2.5 V 12.7 – 20.0 19.05 Idem 109 4.13 8.21 0.53 0.6 0.64 0.67 0.76 26.9; 14.8 average All VI 20 -25 19.05 Idem 109 4.13 8.21 0.53 0.6 0.64 0.67 0.76 24.75; 14.86 average All VII 25 – 40 19.05 Idem 109 4.49 8.55 0.44 0.56 0.63 0.68 0.76 32; 27.59 average All
VIII 40.0 – 45.0 22.225 Idem 61 4.49 8.55 0.44 0.56 0.63 0.68 0.76 32; 27.59 average All
IX 45 – 80 22.225 Idem 61 4.54 8.59 0.42 0.56 0.64 0.69 0.75 70; 29.84
average All
X 80 – 85 19.05 Idem 109 4.54 8.59 0.42 0.56 0.64 0.69 0.75 70; 29.84
average All