• Tidak ada hasil yang ditemukan

jalu jgn dihapus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "jalu jgn dihapus"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Anselm, berupaya menemukan dalil pasti untuk membuktikan wujud Tuhan.

Berdasarkan apa yang telah ditulis oleh sebagian orang, dikatakan bahwa,

Anselm tidak hanya mencukupkan dirinya dengan membenarkan saja.

Bahkan ia juga menuntut adanya dalil-dalil pasti dan konklusif atas wujud

Tuhan. Hal ini senantiasa mengganggu dan mengusik pikiran Anselm, pada

saat ia menunaikan ibadah.

Dan bahkan tak jarang, hal tersebut telah membuatnya lupa untuk

menyantap makanannya. Hingga akhirnya, pada satu dini hari, setelah

sekian malamnya ia lalui dalam kontemplasi yang mendalam, ia menemukan

apa yang selama bertahun-tahun ini telah mengganggunya.

Akhirnya ia menemukan apa yang ia cari selama ini, yaitu argumen yang

terkenal sebagai “argumen ontologi”. Sebuah argumen untuk membuktikan

wujud Tuhan

1. Penjelasan Anselm

Dalam kitab “Mabâni wa Târikh Falsafe-ye Gharb” (Akar dan Sejarah

Filsafat Barat) disebutkan sebagai berikut:

“Anselm mengatakan: seluruh eksistensi -kurang-lebihnya- senantiasa akan

berhadapan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang

menggambarkan adanya sebuah realitas, dimana tidak ada lagi realitas

yang lebih sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah

konsepsi yang logis. Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan,

berarti Tuhan harus riil. Karena, jika Tuhan hanya merupakan gambaran,

dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti masih bisa

digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu

eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh

karena itu, dan berdasarkan perhitungan logika, mau tidak mau harus

diterima, bahwa realitas dan eksistensi yang kesempurnaannya mutlak

betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”.[2]

Dalam kitab Kuliyyât-e Falsafah (Materi-materi Filsafat), dituliskan:

(2)

ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan.

Karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya.

Lebih dari itu, aku bisa menggambarkan Tuhan, sehingga tidak saja dia

merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai

sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan

pikiranku.

Setelah diketahui bahwa keberwujudan -sebagai sebuah persepsi dan juga

sebagai sebuah realitas- lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai

sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti, Tuhan

harus riil dalam hakikat, dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi

ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud, dimana realitas lain yang

lebih besar darinya tidak bisa dapat digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan

harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari

Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain

mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil).

Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan tersebut, atau melalui wujud yang

superior dan sempurna”.[3]

Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa” (Perjalanan Filsafat di Eropa),

dituliskan:

“Dari semua argumen yang dikemukakan oleh Anselm untuk membuktikan

esensi Tuhan, yang lebih banyak diketengahkan dan subyek pembahasan

yang lebih banyak dimunculkan adalah apa yang terkenal dengan argumen

“ontologi” atau “eksistensial”,??? sebagai berikut:

Setiap orang, bahkan orang yang dungu sekalipun, mempunyai konsepsi

atas dzat (esensi), dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar dari

dzat tersebut. Dzat seperti ini tentu saja ada. Karena jika tidak ada, maka

paling besarnya dzat yang masuk ke dalam konsepsi dan mempunyai

realitas wujud, berarti lebih besar darinya. Dan hal ini keliru.

Dengan demikian, berarti -secara desisif- terdapat sebuah dzat yang dalam

realitas merupakan paling besarnya dzat. Dan dia adalah Tuhan”.

B. Pembuktian Eksistensi Tuhan.

Pencapaian pengertian Tentang Tuhan dilanjutkan dengan sebuah penegasan tentang eksistensi Tuhan. Anselmus menyadari bahwa suatu pencapaian pengertian tentang Tuhan membuktikan bahwa Tuhan itu memiliki eksistensi. Pernyataan tentang IQM haruslah disertai dengan pernyataan bahwa Tuhan itu ada. Sebab sesuatu akan menjadi sempurna jika ia mamiliki eksistensi.

(3)

Bagi Anselmus menyatakan bahwa sesuatu tidak memiliki eksistensi menunjukan sebuah kontradiksi (contradictio interminis). Dalam hal ini dengan mengatakan bahwa sesuatu itu tidak ada menunjukan bahwa sesuatu itu telah bereksistensi dalam intelek. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa IQM tidak memiliki eksistensi.[5] Seseorang bisa saja mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, namun sebenarnya dengan perkataannya ini ia telah mengakui eksistensi Tuhan dalam pikirannnya. Ia bisa saja menolaknya dengan perkataan bibirnya, namun ia tidak bisa menolak objektifitas ide tentang Tuhan.[6] Hal ini jelas dalam gambaran Anselmus tentang si bebal yang mengatakan didalam hatinya bahwa Tuhan itu tidak ada.

Argumen Anselmus ini mendapat penolakan dari Gaunilo, seorang rahib Benediktin. Menurutnya konsep didalam pikiran tidak secara mutlak menunjukan eksistensi objektif dari konsep tersebut.[7] Ia menunjukan dengan analogi ide tentang pulau yang sempurna, namun sebenarnya pulau tersebut tidak memiliki eksistensi mutlak.

Argumen ini ditanggapi oleh Anselmus dengan mengatakan bahwa ide tentang Pulau dan ide tentang Tuhan adalah dua hal yang berseberangan, dalam hal ini Anselmus hendak mengatakan bahwa ide Tuhan tidaklah sama dengan ide-ide yang lain, sebab ide Tuhan adalah ide yang paling sempurna. [8] Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ketika kita berpikir tentang IQM, atau mengatakan sesuatu tentang IQM, otomatis ide tentang IQM telah ada dalam intelek. Jelaslah bahwa Anselmus hendak menunjukan bahwa eksistensi Tuhan bukanlah eksistensi dalam ruang dan waktu.[9]

Hal pertama yang Anselmus lakukan dalam membuktikan eksistensi Tuhan ialah dengan

mengemukakan argumen derajat kesempurnaan yang ia temukan dalam pelbagai mahkluk. Oleh karena itulah Anselmus kemudian menggunakan kata kebaikan sebagai argumen yang pertama untuk membuat perbandingan, setelah itu ia mengemukakan argumen derajat yang sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa, ada derajat tertentu yang menjadi standar dari seluruh kesempurnaan yang tampak dalam realitas itu dan hal itu tidak lain adalah Tuhan sendiri. Anselmus mengambil contoh tentang bagaimana segala sesuatu berpartisipasi dalam suatu kebaikan yang absolut.[33] Berdasarkan hal ini, maka kita bisa melihat bahwa arguumen yang digunakan oleh Anselmus dalam usaha untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah argumen Kebaikan. Hal ini disebabkan karena, bagi Anselmus kebaikan itu bersifat obyektif dan merupakan kebaikan tertinggi yang merujuk pada realitas Tuhan sebagai yang Mahabaik. Setelah argumen yang pertama, Anselmus kemudian menggunakan argumen Derajat sebagai argumen-nya yang kedua untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Hal ini disebabkan karena, bagi Anselmus argumen ini mau menunjukan adanya suatu hirarki yang jelas antara mahkluk hidup yang lain dengan Tuhan sebagai yang utama.[34] Setelah dua argumen ini Anselmus masih meras belum cukup, oleh karena itulah ia kemudian mengemukakan argumen-nya yang ketiga yaitu, argumen Eksistensi. Dalam argumennya ini Anselmus mengatakan bahwa, “Segala sesuatu yang ada, ada melalui sesuatu.”[35] Ini karena bagi Anselmus yang tidak ada itu tidaklah dapat bereksitensi. Sebab yang dapat bereksistensi hanyalah yang ada. Oleh karena itulah yang ada itu ada dan melampaui segala sesuatu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan keberadaanNya tidak dapat diragukan. Hal ini disebabkan karena jika kita meragukan eksistensi Tuhan, kita juga meragukan eksistensi kita sendiri yang adalah ciptaan Tuhan. Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa, kita ada melampaui segala sesuatu, kecuali Tuhan yang adalah realitas dari eksistensi yang sebenarnya. Berkaitan dengan hal ini penulis dapat mengatakan bahwa, memang usaha kita untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah wajar, sebab usaha kita tersebut akan mencerminkan suatu proses yang sedang berlangsung dalam hati kita disaat kita berpikir tentang Tuhan dan eksistensi-Nya. Akan tetapi, apa yang kita lakukan untuk membuktikan eksistensi Tuhan sebenarnya telah

menyimpang dari apa yang sebenarnya harus kita lakukan. Hal ini disebabkan karena, dalam usaha untuk membuktikan eksistensi Tuhan kita selalu menggunakan rasio kita tanpa diimbangi dengan iman. Memang rasio itu perlu akan tetapi rasio tanpa iman adalah sia-sia. Hal ini berbeda jauh dengan usaha Anselmus untuk membuktikan eksistensi Tuhan, di mana Anselmus pertama-tama percaya dan mengerti akan Tuhan yang ia imani tersebut, sehingga dalam usahanya untuk membuktikan eksistensi Tuhan ia bisa memahami dengan lebih jelas akan apa yang ia imani dan meskipun ia tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan ia tetap percaya akan Tuhan.

C. Pemutup

(4)

Tuhan bersifat ekstramental. Dapat disimpulkan bahawa ia hendak menunjukan bahwa tidaklah mungkin Tuhan yang adalah IQM yang melebihi segala kesempurnaan tidak memiliki eksistensi riil sebagai syarat kesempurnaan dari setiap ada. Memang dalam perkembangan selanjutnya pendapat ini tidak hanya mendapat tanggapan dari Gaunilo, tetapi memunculkan suatu perdebatan. Maksudnya bahwa dalam pemikiran para filsuf sesudahnya muncul reaksi pro dan kontra. Namun yang pasti bahwa, pembuktian Anselmus ini menunjukan suatu pembenaran iman, yang dapat diterima sebagai suatu pemikiran filosofis maupun teologis.

Anselmus dalam usahanya untuk membuktikan eksistensi Tuhan pertama-tama sadari bahwa, yang ia lakukan ini bukanlah ia lakukan untuk mengetahui apakah Tuhan itu ada atau tidak. Akan tetapi apa yang ia lakukan ini hanyalah semata-mata untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang Tuhan yang telah ia imani, sehingga ia juga bisa memahami tentang manusia dan dunia.[30] [1] J. Ohoitimur, “Pokok-pokok Sejarah Filsafat: Masa Yunanai Kuno dan Abad Pertengahan” (Traktat Kuliah STF-SP, 2003/2004), hlm, 126.

[2] “Be it mine to look up thy light even from a far, even fro the depths. Teach me to seek thee, and reveal thy self to me, when I seek thee, except thou teach me, nor find thee, except thou reveal thy self.” Anselm, “Proslogium,” terkutip dalam Batista Mondin, A History of Medieval

Philosophy, translated by M. A. Cizdyn, corected and revised by L. M Cizdyn ( Banglore: Theological publication, 1991.), hlm.384.

[3] “….I do not endeavor, O Lord, to penetrate thy sublimity, for in no wise do I compare my

understanding with that; but I long to understand in some degree thy truth, which my heart believes and loves, but I believe to understand. For this also I believe – that unless I believe, I should

understand.” Ibid., hlm. 384-385.

[4] P. J. Glenn, The History of Philosophy: A Text For Undergraduates, 2nd printed (USA: B Werder Book Co, 1958), hlm.195.

[5] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 383.

[6] F. Copleston, History of Philosophy: Medieval Philosophy from Augustine to Bonaventura, vol II, part I, (New York: Image Book, 1962), hlm 183.

[7] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 383.

[8] F. Mayer, A History of Ancient and Medieval Philosophy (USA: American Book Company, 1950), hlm. 249.

[9] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 387.

[10] J. Ohoitimur, “Pokok-pokok Sejarah Filsafat: Masa Yunanai Kuno dan Abad Pertengahan” (Traktat Kuliah STF-SP, 2003/2004), hlm, 126.

[11] “Be it mine to look up thy light even from a far, even fro the depths. Teach me to seek thee, and reveal thy self to me, when I seek thee, except thou teach me, nor find thee, except thou reveal thy self.” Anselm, “Proslogium,” terkutip dalam Batista Mondin, A History of Medieval

Philosophy, translated by M. A. Cizdyn, corected and revised by L. M Cizdyn ( Banglore: Theological publication, 1991.), hlm.384.

[12] “….I do not endeavor, O Lord, to penetrate thy sublimity, for in no wise do I compare my understanding with that; but I long to understand in some degree thy truth, which my heart believes and loves, but I believe to understand. For this also I believe – that unless I believe, I should

(5)

[13] P. J. Glenn, The History of Philosophy: A Text For Undergraduates, 2nd printed (USA: B Werder Book Co, 1958), hlm.195.

[14] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 383.

[15] F. Copleston, History of Philosophy: Medieval Philosophy from Augustine to Bonaventura, vol II, part I, (New York: Image Book, 1962), hlm 183.

[16] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 383.

[17] F. Mayer, A History of Ancient and Medieval Philosophy (USA: American Book Company, 1950), hlm. 249.

[18] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 387.

[19] J. Ohoitimur, “Pokok-pokok Sejarah Filsafat: Masa Yunanai Kuno dan Abad Pertengahan” (Traktat Kuliah STF-SP, 2003/2004), hlm, 126.

[20] “Be it mine to look up thy light even from a far, even fro the depths. Teach me to seek thee, and reveal thy self to me, when I seek thee, except thou teach me, nor find thee, except thou reveal thy self.” Anselm, “Proslogium,” terkutip dalam Batista Mondin, A History of Medieval

Philosophy, translated by M. A. Cizdyn, corected and revised by L. M Cizdyn ( Banglore: Theological publication, 1991.), hlm.384.

[21] “….I do not endeavor, O Lord, to penetrate thy sublimity, for in no wise do I compare my understanding with that; but I long to understand in some degree thy truth, which my heart believes and loves, but I believe to understand. For this also I believe – that unless I believe, I should

understand.” Ibid., hlm. 384-385.

[22] P. J. Glenn, The History of Philosophy: A Text For Undergraduates, 2nd printed (USA: B Werder Book Co, 1958), hlm.195.

[23] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 383.

[24] F. Copleston, History of Philosophy: Medieval Philosophy from Augustine to Bonaventura, vol II, part I, (New York: Image Book, 1962), hlm 183.

[25] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 383.

[26] F. Mayer, A History of Ancient and Medieval Philosophy (USA: American Book Company, 1950), hlm. 249.

[27] Batista Mondin, A History of Medieval Philosoph, hlm. 387.

[28]Kalimat ini dipopulerkan oleh Rene Descartes dan penulis meminjam kata-kata Descartes ini untuk melukiskan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, cetakan ke-10 (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 43.

[29]Ini merupakan fakta yang terjadi di Maluku Tengah pada kerusuhan pertama tanggal 19 January 1998. Di mana hampir semua masyarakat Kristen yang ada di kedua desa tersebut dibantai secara tragis.

(6)

[31]J. Ohoitimur, “Pokok-Pokok Sejarah Filsafat Masa Yunani Kuno dan Abad Pertengahan” (Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa Semester IV Jurusan Filsafat Agama dan Filsafat Kateketik, Pineleng, January 2004), hlm. 122.

[32]Bdk. Frederick Mayer, A History of Ancient and Mediaeval Philosohy (New York: American Book Company, 1950), hlm. 382.

[33]“…, I develops the prove of existence from the degrees of perfection which are found ini creatures. In the first he applies the argumen to goodness and greatness mening, as he tells us, not quantitative greatness, but qualitative size does not prove qualitative superiority. Such qualities are found in varying degress in the objects of experience, so the agrumen proceeds from the empirical observation of degress of. For example, goodness and is therefore an posteriori argumen.” Bdk. Frederick

Copleston, A History of Mediaeval Philosophy: From Augustine to Bonaventure, Vol. II, Part I (New York: Image Books, A Division of Doubleday and Company, 1962), hlm. 180.

[34]Bdk. J. Ohoitimur, “Pokok-Pokok Sejarah Filsafat Masa Yunani Kuno dan Abad Pertengahan.” Hlm. 125.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hadori, Hastuti, dan Puspitawati menunjukkan bahwa self-esteem remaja yang orang tuanya bercerai cenderung rendah, dimana

Sims melakukan do working performance : work hard, di akhir kerja sims mendapat keputusan naik pangkat ke level 2 Sims melakukan do cooking , skill cooking. bertambah 1

(pertanyaan dari mahasiswa yang harus dijawab oleh dosen) baik secara lisan atau tertulis untuk memperluas dan memperdalam penguasaan materi perkuliahan tersebut Penutup

Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra –

yang dibentuk antara obyek dengan mata • Ketajaman penglihatan (visual acuity): sudut9. penglihatan minimum ketika mata masih dapat melihat sebuah obyek

Data kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar kognitif diuji menggunakan uji T-Test (Paired Samples T-Test) dan dihitung dengan N-gain ternormalisasi. Hasil

Penelitian serupa yang menunjukkan keberhasilan penerapan model Accelerated Learning dalam pembelajaran IPA juga telah dilakukan oleh Astri (2011) dengan judul