ANALISIS MAS>>}LAH}AH MURSALAH TENTANG MENIKAH DI
KANTOR URUSAN AGAMA
(Studi Kasus Di KUA Kabupaten Mojokerto Kawasan Selatan)
SKRIPSI
Oleh
Fikri Nurul Khikam
NIM. C31210099
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Program Studi Ahwal al Syakhsiyah
Jurusan Hukum Perdata Islam
Fakultas Syariah dan Hukum
SURABAYA
ANALISIS MAS>>}LAH}AH MURSALAH TENTANG MENIKAH DI
KANTOR URUSAN AGAMA
(Studi Kasus Di KUA Kabupaten Mojokerto Kawasan Selatan)
SKRIPSI Diajukan Kepada
Universitas Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh
Fikri Nurul Khikam NIM. C31210099
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Program Studi Ahwal al Syakhsiyah
Jurusan HukumPerdata Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “ANALISIS MAS{LAH}AH MURSALAH TENTANG MENIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA (Studi Kasus di KUA Kabupaten Mojokerto Kawasan Selatan)“ ini merupakan hasil penelitian lapangan( field research) untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana efektivitas menikah di kantor urusan agama dan bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah tentang menikah di kantor urusan agama?
Teknik analisis yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif induktif yang menganalisis efektivitas menikah di Kantor Urusan Agama setelah adanya PP Nomor 48 Tahun 2014. Kemudian dikemukakan data terkait dengan perubahan jumlah pernikahan yang terjadi di KUA sebelum dan sesudah adanya PP Nomor 48 Tahun 2014 dengan analisis mas}lah}ah mursalah untuk kemudian ditarik kesimpulan.
Dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 disebutkan bahwa apabila melangsungkan akad nikah di kantor tidak dikenakan biaya atau gratis, sedangkan jika melakukan akad nikah di luar kantor dan di luar jam kerja dikenakan biaya sebesar Rp.600.000. setelah diberlakukannya peraturan ini, animo masyarakat untuk melakukan akad nikah di KUA meningkat hingga 80% dengan alasan utama adalah biaya akad nikah di kantor adalah gratis. Dan berdasar analisis mas}lah}ah mursalah peraturan ini dirasa memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I ... PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 11
I. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II PERKAWINAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DALAM TINJAUAN MAS{LAH{AH MURSALAH ... 17
A. Pengertian dan dasar hukum perkawinan ... 17
B. Syarat dan Rukun Perkawinan ... 21
C. Pencatatan Perkawinan ... 20
D. Pelaksanaan Perkawinan ... 31
E. Mas}lah}ah Mursalah ... 36
BAB III EFEKTIVITAS MENIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KABUPATEN MOJOKERTO KAWASAN SELATAN SETELAH ADANYA PP NOMOR 48 TAHUN 2014 ... 43
A. Profil KUA Kabupaten Mojokerto ... 43
1. KUA KecamatanSooko ... 43
2. KUA Kecamatan Puri ... 47
3. KUA KecamatanTrowulan ... 51
B. Efektivitas Menikah di Kantor Urusan Agama Kabupaten Mojokerto Setelah Adanya PP Nomor 48 Tahun 2014 ... 56
BAB IV ANALISIS MAS}LAH}AHMURSALAH TENTANG MENIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA ... 64
A. Efektifvitas Menikah di Kantor Urusan Agama Kabupaten Mojokerto Kawasan Selatan ... 64
BABV PENUTUP ... 69
A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu akad yang suci dan bersifat sakral,
karena perkawinan bukan hanya mempertemukan dua insan, tetapi juga
melibatkan orang tua dan keluarga mereka. Di dalam perkawinan, seorang
laki-laki dan perempuan diberikan wadah supaya bisa menyalurkan
kebutuhan biologisnya secara halal sehingga tercipta keluarga yang
saki>nah, mawa>dda>h dan rah}mah.
Sebagaimana Q.S. al-Ru>m ayat 21 yang berbunyi:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.1
Perkawinan adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup
sebagai suami istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal.2
Perkawinan juga merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan
manusia, karena di samping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk
1 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005), 406.
2
keluarga, perkawinan juga merupakan kodrati manusia untuk memenuhi
kebutuhan seksual. Sebenarnya sebuah perkawinan tidak hanya
mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia yaitu sebagai
hubungan keperdataan, di sisi lain, perkawinan juga memuat unsur
sakralitas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Hal ini terbukti
bahwa semua agama mengatur tentang pelaksanaan perkawinan dengan
peraturannya.3
Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian yang
mengikat antara laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan
biologis antara kedua belah pihak dengan sukarela berdasarkan syariat
Islam. Kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu modal utama untuk
mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridai Allah SWT. Islam
memandang dan menjadikan perkawinan sebagai basis suatu masyarakat
yang baik dan teratur sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh
ikatan lahir saja, melainkan juga dengan ikatan batin.
Islam mengajarkan bahwa perkawinan itu tidak hanya sebagai
ikatan biasa seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa ataupun yang
lainnya, melainkan merupakan suatu perjanjian suci mi>tha>qan ghali>z}an di
3
mana kedua belah pihak dihubungkan menjadi suami istri atau menjadi
pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah SWT.4
Firman Allah SWT. Q.S. Al-Nur: 32:
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagiMaha mengetahui.5
Adapun perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Perkawinan dinyatakan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
tersebut. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan
yang berlaku.7
UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa suatu perkawinan baru
dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
4BadanPenasihatan, PembinaandanPelestarianPerkawinan (BP4) Tuntunan Praktis Rumah Tangga Bahagia, Propinsi Jawa Timur, 8.
5 Departemen Agama RI, …,77.
4
dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, orang-orang yang beragama
Islam, perkawinannya baru dinyatakan sah apabila dilakukan menurut
hukum Islam. Selain itu, terdapat keharusan pencatatan menurut
peraturan dan perundangan yang berlaku.
Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan
suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran
dan kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan
khusus untuk hal-hal tersebut. Pencatatan tersebut perlu dilakukan untuk
kepastian hukum. Oleh karena itu, perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal tersebut yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun
1974 ini berlaku dan dijalankan menurut peraturan perundangan yang
lama adalah sah.8
Pencatatan nikah seperti halnya yang telah dibahas sebelumnya
sangat erat hubungannya dengan instansi Kantor Urusan Agama(KUA)
yang bertugas melayani masyarakat dalam hal Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) yang diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan UU No. 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.9 Adapun mengenai
Peraturan tentang pelaksanaan perkawinan juga mengalami perubahan,
yang mana dalam Peraturan sebelumnya (PMA No. 2 Tahun 1990), biaya
transportasi ditanggung oleh calon pengantin (catin), tapi dalam
8Moh.IdrisRamulyo, HukumPerkawinan Islam suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:1996, Bumi Aksara), 243.
5
peraturan sekarang, yakni Peraturan Menteri Agama (PMA No. 11 Tahun
2007), biaya tersebut tidak dicantumkan. PMA No. 11 Tahun 2007
tentang Pencatatan Nikah Pasal 21. Ayat 1 mengatakan bahwa akad nikah
dilaksanakan di KUA, sedangkan ayat 2 mengatakan bahwa atas
permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat
dilaksanakan di luar KUA.10
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran para kepala KUA terutama
para mudin/PPN yang dalam kebiasaan mereka menikahkan di luar jam
kerja. Karena tidak ada payung hukum atau peraturan perundangan
mengenai ketentuan biaya akad nikah di dalam atau di luar KUA,
sehingga ketika adanya kasus yang dialami oleh pak Romli (Kediri), yang
menyatakan bahwa pak Romli telah salah dalam menarifkan biaya nikah
dan dianggap gratifikasi, sehingga saat ini kasusnya tengah ditangani
Pengadilan Tipikor Surabaya. Setelah beberapa waktu lalu sempat
dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri oleh Kejari
Kota Kediri.11 Seperti yang telah diketahui, saat ini telah terbit Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementrian Agama. Dalam hal ini
adalah Kantor Urusan Agama atau KUA. Hal ini tentu memberikan angin
segar bagi para Petugas Pembantu Pencatatan Nikah atau biasa di
singkat P3N. Dengan adanya peraturan ini apakah animo masyarakat
10PMA No. 11 Tahun 2007.
6
untuk menikah di KUA semakin tinggi karena gratis, ataukah mereka
tetap ingin Menikah di Rumah, Masjid, atau Gedung di luar jam kerja
kantor yang nantinya ada konsekuensi biaya yang harus dibayarkan untuk
pegawai pencatatan nikah atau penghulu sebagai uang transport dan
lain-lain.
Berangkat dari PMA No 11 Tahun 2007 ayat 21 yang berisi bahwa
akad nikah dilaksanakan di KUA dan PP No 48 Tahun 2014 tentang tarif
atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Agama, yang berisi tentang tarif pelaksanaan Nikah atau
Rujuk di KUA dan di luar kantor KUA dan atau di luar jam kantor,
penulis sempat melakukan wawancara tanya-jawab dengan Kepala KUA
Kecamatan Sooko tentang animo masyarakat di lingkungan KUA
Kecamatan Sooko setelah adanya PP Nomor 48 Tahun 2014 tentang
biaya nikah di dalam dan di luar kantor atau di luar jam kerja. Menurut
beliau terdapat perubahan yang cukup signifikan setelah adanya peraturan
terbaru tentang biaya pernikahan tersebut, yaitu sekitar 70% orang-orang
kini mau melakukan akad nikah di dalam dan di jam kantor karena
gratis.12 Sedangkan jika melaksanakan akad nikah di luar kantor dan di
luar jam kantor dikenakan biaya sebesar 600 ribu. Hal ini yang menjadi
alasan paling mendasar masyarakat kini mau melakukan akad nikah di
KUA. Kesadaran masyarakat pun kini mulai meningkat tentang
pentingnya tercatatnya pernikahan mereka dengan baik karena nantinya
7
berhubungan dengan implikasi hukum ketika terjadi kelahiran anak,
perceraian, ataupun kematian salah satu pasangan, hak waris dan hal lain
yang berhubungan dengan akibat hukum dari pernikahan tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian mengenai Pelaksanaan akad nikah di KUA
dengan judul “Analisis Mas}lah}ah Mursalah Tentang Menikah di Kantor
Urusan Agama (Studi Kasus Di KUA kabupaten Mojokerto kawasan
Selatan)”. Untuk meneliti lebih lanjut tentang perubahan grafik animo
masyarakat yang bersedia menikah di kantor KUA sebelum dan sesudah
adanya Peraturan Menteri Agama (PMA No. 11 Tahun 2007), serta
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, beberapa masalah
dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan dalam unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Efektivitas akad nikah di KUA dalam PMA No. 11 Tahun
2007 pasal 21.
b. Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang efektivitas menikah di
8
c. Perubahan Statistik Masyarakat Mojokerto tentang animo
Menikah di KUA sebelum dan sesudah adanya PP Nomor 48
Tahun 2014.
2. Batasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini, maka
peneliti membatasi masalah dalam pembahasan ini dengan:
a. Efektivitas akad nikah di KUA Kabupaten Mojokerto Kawasan
Selatan.
b. Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Menikah di Kantor Urusan
Agama.
C. Rumusan Masalah
Setelah melihat perubahan yang terjadi di KUA Kabupaten
Mojokerto Kawasan Selatan dengan analisis Mas}lah}ah Mursalah, maka
dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Berapakah efektivitas menikah di Kantor Urusan Agama?
2. Bagaimana analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang efektivitas menikah
di Kantor Urusan Agama?
D. Kajian Pustaka
Secara umum, kajian pustaka ini dilakukan supaya terlihat jelas
9
akan dipaparkan beberapa skripsi yang mempunyai keserupaan dengan
kasus ini, di antaranya adalah:
1. Skripsi yang ditulis oleh Isti Astuti Savitri Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta 2011 dengan judul
”Efektivitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi
Utara”13. Skrispi ini membahas tentang masih minimnya kesadaran
masyarakat di kawasan KUA Kecamatan Bekasi Utara tentang
pencatatan perkawinan. Bagi mereka selama pernikahannya sudah sah
di mata Agama. Tidak akan ada masalah, mereka tidak
mengindahkan permasalahan yang muncul di kemudian hari berkaitan
dengan hak waris, hak asuh anak, dan lain-lain.
2. Skripsi yang ditulis oleh Muhalli Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel Surabaya 2008 yang berjudul “Persepsi Masyarakat Desa
Ketapang Daya kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Tentang
Pelaksanan Pencatatan Nikah”.14 Penelitian ini menghasilkan
simpulan tentang alasan masyarakat tidak mencatatkan
pernikahannya di KUA karena menganggap pencatatan hanya sebatas
persyaratan administrasi semata dan bukan menjadikan syarat sahnya
pernikahan. Selain itu mereka menganggap pencatatan tidak menjadi
penting karena tidak diatur dalam al-quran dan hadits. Meski
demikian, ada sebagian yang menganggap penting dengan alasan
13Isti Astuti Savitri, “Efektivitas Pencatatan Perkawinan pada KUA Kecamatan Bekasi Utara”. (Skripsi—UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2011).
10
bahwa pencatatan biasa dijadikan bukti kepastian hukum dan
menjamin hak-hak suami istri.
3. Skripsi yang ditulis oleh Laila Umaroh Syariah IAIN Sunan Ampel
Surabaya 2000 dengan judul“Studi atas Is|bat Nikah Akibat Perilaku
PPN di Pengadilan Agama Tulungagung”.15 Skripsi ini menjelaskan
bahwa adanya Isbat nikah diakibatkan perilaku petugas PPN. Oleh
karena itu, Pengadilan Agama mengesahkan pernikahan melalui Isbat
nikah atas permohonan dari pasangan suami-istri yang sudah menikah
ke hadapan PPN dan belum dicatat dalam akta nikah sehingga
pasangan suami-istri tersebut tidak memiliki akta nikah. Dengan
demikian, tujuan Isbat nikah adalah untuk mendapatkan akta nikah.
Adapun pembahasan kali ini yang akan diteliti oleh penulis
yaitu tentang Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Menikah di KUA.
pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah analisis Mas}lah}ah
Mursalah terhadap menikah di Kantor Urusan Agama berdasar pada
PMA Nomor 11 Tahun 2007 dan PP Nomor 48 Tahun 2014.
E. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
11
1. Untuk mendeskripsikan efektivitas Akad Nikah di Kantor Urusan
Agama.
2. Untuk mendeskripsikan analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Menikah
di Kantor Urusan Agama.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Aspek teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pemikiran di bidang hukum
perkawinan, khususnya mengenai efektivitas akad nikah di KUA
dengan analisis Mas}lah}ah Mursalah.
2. Aspek praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi kepala KUA dalam melaksanakan tugasnya, serta
bagi mahasiswa yang membahas tentang efektivitas akad nikah di
Kantor Urusan Agama .
G. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman mengenai judul skripsi di atas
supaya jelas arah dan tujuannya, maka penulis memberikan penjelasan
sebagai berikut :
1. Analisis Mas}lah}ah Mursalah merupakan sebuah penelitian
12
Mas}lah}ah Mursalah. Mas}lah}ah Mursalah adalah sesuatu yang baik
menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau
menghindarkan keburukan bagi manusia. Dan yang terpenting adalah
sesuatu yang baik ini, tidak bertentangan dengan Shara’ dalam
menetapkan hukum.16
2. Menikah adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami
atau beristri; atau melakukan hubungan kelamin. Menurut UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17
3. Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Mojokerto kawasan selatan:
adalah lembaga atau Instansi Kementerian Agama Republik Indonesia
di Kabupaten Mojokerto yang bertugas melaksanakan sebagian tugas
Kantor Kementerian Agama Kabupaten mojokerto di bidang
pencatatan perkawinan, dalam hal ini meliputi KUA Sooko, Puri dan
Trowulan.
16Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, (Kencana Media Group), 356.
13
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting
dalam penelitian.18Adapun data yang dikumpulkan adalah terkait
dengan Analisis Maslahah Mursalah tentang Menikah di Kantor.
Penulis mencoba mengumpulkan data-data yang relevan, agar dapat
dipertanggungjawabkan. Adapun data tersebut adalah:
a. Data tentang efektivitas akad nikah di kantor KUA sebelum dan
sesudah adanya PP Nomor 48 Tahun 2014.
b. Data tentang Analisis Mas}lah}ah Mursalah.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah asal-usul dari mana data
penelitian tersebut diperoleh. Berdasarkan data yang akan dihimpun di
atas, maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Primer merupakan informasi yang dikumpulkan penulis
langsung dari sumbernya.19 Adapun data primer terdiri atas :
1) Kepala KUA Sooko, Puri dan Trowulan Kabupaten Mojokerto.
2) Pegawai KUA Sooko, Puri dan Trowulan Kabupaten Mojokerto.
b. Sumber Sekunder, yaitu beberapa referensi yang mendukung terhadap
sumber primer yang terdiri atas buku-buku yang membahas tentang
18Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1995), 69.
14
pelaksanaan akad nikah dalam Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Di antaranya adalah:
1) PMA No. 11 Tahun 2007.
2) Kompilasi Hukum Islam.
3) Neng Dzubaidah, pencatatan perkawinan.
4) Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
5) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara No. 20 Tahun 2005 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional penghulu dan Angka Kreditnya.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview) merupakan suatu kegiatan tanya jawab
dengan tatap muka (face to face) antara pewawancara
(interviewer) dengan yang diwawancarai (interviewee) tentang
masalah yang diteliti, di mana pewawancara bermaksud
memperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang diwawancarai
yang relevan dengan masalah yang diteliti.20 Tujuannya yaitu
untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung dan
wawancara dengan Kepala KUA dan para pegawai KUA terkait
dengan efektivitas akad nikah di KUA sebelum dan sesudah
adanya PP Nomor 48 Tahun 2014. Selain itu, penulis juga akan
berusaha menggali informasi dari beberapa tokoh masyarakat dan
15
pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan di KUA
berkenaan dengan hal yang telah disebutkan sebelumnya.
b. Studi Dokumen merupakan salah satu cara pengumpulan data
dalam suatu penelitian. Data-data yang dikumpulkan dengan
teknik dokumentasi cenderung menggunakan data sekunder, baik
dari buku-buku maupun dokumen lain yang berhubungan dengan
penelitian.21 Data sekunder diperoleh dengan cara mencari data
dari beberapa referensi yang memuat tentang efektivitas akad
nikah di KUA, baik dari buku maupun dari peraturan-peraturan
yang berlaku.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan-urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan
uraian data.22 Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis, yaitu menggambarkan fakta-fakta secara sistematis
kemudian dilakukan analisis terhadap fakta-fakta tersebut, sehingga
dapat ditarik simpulan. Penelitian yang menggunakan metode ini
berusaha untuk memaparkan fakta-fakta yang berkaitan dengan
Analisis maslahah Mursalah tentang Pelaksanaan Akad Nikah.
Kemudian data tersebut dianalisis sesuai dengan Yuridis dengan
21Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 73.
16
pola pikir induktif. Hasil penelitian dan pengujian tersebut akan
disimpulkan dalam bentuk deskripsi sebagai hasil pemecahan
permasalahan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah alur pembahasan dalam menganalisis
studi ini maka sistematika pembahasan yang terdiri atas lima bab
ini diperlukan untuk memudahkan dan mengarahkan penelitian.
Adapun isinya sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri atas
beberapa sub bab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi dan
batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat tentang landasan teori. Bab ini akan
menjelaskan tentang pengertian dan dasar hukum perkawinan
berdasarkan UU perkawinan No. 1 tahun 1974, PMA No. 11
Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 21 ayat 1, KHI,dan
PP No. 48 Tahun 2014 tentang tarif atas jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama, yang berisi
tentang tarif pelaksanaan Nikah atau Rujuk di KUA dan di luar
kantor KUA dan atau di luar jam kantor, kemudian menjelaskan
17
pelaksanaan akad nikah. Juga teori tentang Mas}lah}ah Mursalah
dari buku-buku Ushul Fiqh dan sumber-sumber yang lain.
Nantinya juga akan di bahas tentang implikasi peraturan-peraturan
yang telah disebutkan di atas tadi serta efektivitas peraturan
tersebut di masyarakat.
Bab ketiga menguraikan tentang data penelitian, yakni
menjelaskan tentang profil KUA Kabupaten Mojokerto kawasan
selatan yang terdiri atas KUA Sooko, KUA Puri, dan KUA
Trowulan serta efektivitas menikah di KUA. Animo masyarakat
untuk bersedia melakukan Akad Nikah di KUA sebelum dan
sesudah adanya PP Nomor 48 Tahun 2014.
Bab keempat menjelaskan tentang analisis data.
Merupakan analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang efektivitas
menikah di KUA.
Bab kelima sebagai penutup, berupa kesimpulan dan saran
BAB II
LANDASAN TEORI
PERKAWINAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DALAM TINJAUAN MAS{LAH{AH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan
Kata perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nika>h} (حﺎﻜﻧ) dan zawa>j (جاوز).1 Nikah menurut bahasa mempunyai arti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Sedangkan nikah mempunyai arti kiasan yakni wat}a’ yang berarti setubuh atau aqd yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.2 Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan
berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.3
Sebagaimana Firman Allah SWT Q.S. Ya>sin ayat 36
َنﺎَﺤْﺒُﺳ
يِﺬﱠﻟا
َﻖَﻠَﺧ
َجاَوْزﻷا
ﺎَﻬﱠﻠُﻛ
ﺎﱠِﳑ
ُﺖِﺒْﻨُـﺗ
ْرﻷا
ُض
ْﻦِﻣَو
ْﻢِﻬِﺴُﻔْـﻧَأ
ﺎﱠِﳑَو
ﻻ
َنﻮُﻤَﻠْﻌَـﻳ
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 35.
2 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2010), 287.
19
Artinya: “Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”4
Perkawinan ialah akad nikah antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat dan yang dimaksud dengan akad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya, dan kabul dari pihak calon suami atau wakilnya.5
Menurut ahli us}u>l, arti nikah terdapat 3 macam pendapat yakni: 1. Golongan Hanafi, arti hakiki nikah adalah setubuh dan menurut arti
majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita.
2. Golongan Syafii, arti hakiki nikah adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti
majazi adalah setubuh.6
3. Golongan Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh.7
Adapun perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2005), 862.
5 Mawardi Al. Hukum Perkawinan Dalam Islam. (Yogyakarta: BPFE, Cet 3, 1984), 1.
6 Nasrul Umam Syafii dan Ulfi Ulfiyah, Ada apa dengan nikah beda agama, (Tangerang: Agro
Media Pustaka,2007), 24.
20
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8
Sedangkan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan ghali>z}an untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.9 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang diperintah oleh Allah dan merupakan sunnah Rasulullah. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan hal ini adalah:
1. Surat al-Nu>r ayat 32
اﻮُﺤِﻜْﻧَأَو
ﻰَﻣﺎَﻳﻷا
ْﻢُﻜْﻨِﻣ
َﲔِِﳊﺎﱠﺼﻟاَو
ْﻦِﻣ
ْﻢُﻛِدﺎَﺒِﻋ
ْﻢُﻜِﺋﺎَﻣِإَو
ْنِإ
اﻮُﻧﻮُﻜَﻳ
َءاَﺮَﻘُـﻓ
ُﻢِﻬِﻨْﻐُـﻳ
ُﻪﱠﻠﻟا
ْﻦِﻣ
ِﻪِﻠْﻀَﻓ
ُﻪﱠﻠﻟاَو
ٌﻊِﺳاَو
ٌﻢﻴِﻠَﻋ
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.10
8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, (Citra Media Wacana), 8.
9 Kompilasi Hukum Islam Bandung, Nuansa Aulia 2008, 3.
21
2. Surat al-Ru>m ayat 21
ْﻦِﻣَو
ِﻪِﺗﺎَﻳآ
ْنَأ
َﻖَﻠَﺧ
ْﻢُﻜَﻟ
ْﻦِﻣ
ْﻢُﻜِﺴُﻔْـﻧَأ
ﺎًﺟاَوْزَأ
اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘِﻟ
ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ
َﻞَﻌَﺟَو
ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ
ًةﱠدَﻮَﻣ
ًﺔَْﲪَرَو
ﱠنِإ
ِﰲ
َﻚِﻟَذ
ٍتﺎَﻳﻵ
ٍمْﻮَﻘِﻟ
َنوُﺮﱠﻜَﻔَـﺘَـﻳ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.11
3. Surat al-Nah}l ayat 72
ُﻪﱠﻠﻟاَو
َﻞَﻌَﺟ
ْﻢُﻜَﻟ
ْﻦِﻣ
ْﻢُﻜِﺴُﻔْـﻧَأ
ﺎًﺟاَوْزَأ
َﻞَﻌَﺟَو
ْﻢُﻜَﻟ
ْﻦِﻣ
ْﻢُﻜِﺟاَوْزَأ
َﲔِﻨَﺑ
ًةَﺪَﻔَﺣَو
ْﻢُﻜَﻗَزَرَو
َﻦِﻣ
َﺒﱢﻴﱠﻄﻟا
ِتﺎ
ِﻞِﻃﺎَﺒْﻟﺎِﺒَﻓَأ
َنﻮُﻨِﻣْﺆُـﻳ
ِﺔَﻤْﻌِﻨِﺑَو
ِﻪﱠﻠﻟا
ْﻢُﻫ
َنوُﺮُﻔْﻜَﻳ
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah.”12
Selain ayat-ayat al-Quran juga terdapat hadis-hadis Nabi yang menerangkan tentang anjuran untuk menikah dan juga tentang larangan untuk membujang. Di antaranya adalah:
1. Hadis Nabi
ْﻦَﻋ
ِﺪْﺒَﻋ
َﻦ ْﲪَﺮﻟا
ْﻦِﺑ
َلﺎَﻗَﺪﻳْﺮَـﻳ
:
َلﺎَﻘَـﻓ
ﺎَﻨَﻟ
ُلْﻮُﺳَر
ِﻪّﻠﻟا
ﻰﱠﻠَﺻ
ُﻪﱠﻠﻟا
ِﻪْﻴَﻠَﻋ
َﻢﱠﻠَﺳَو
ﺎَﻳ
َﺮَﺸْﻌَﻣ
11 Ibid., 406.
22
ِبﺎَﺒﱠﺸﻟا
ْﻦَﻣ
َعﺎَﻄَﺘْﺳِا
ُﻢُﻜْﻨِﻣ
َةَءﺎَﺒﻟا
ْجﱠوَﺰَـﺘَﻴْﻠَـﻓ
ْﻦَﻣَو
َْﱂ
ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ
َﻌَـﻓ
ِﻪْﻴَﻠ
ﺎِﺑ
ِمْﻮﱠﺼﻟا
ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ
ُﻪَﻟ
ٌءﺎَﺟِو
)
ماوَر
يرﺎﺨﺒﻟا
(
١٣Artinya: Dari ‘Abdillah Ibn Yaryid berkata Rasullah saw bersabda: “Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup di antaramu untuk kawin, maka kawinlah, dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.” (HR.Bukhori).
2. Hadis Nabi
ْﻦَﻋ
َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ
ْﺖَﻟﺎَﻗ
:
َلﺎَﻗ
ُلﻮُﺳَر
ِﻪﱠﻠﻟا
ﻰﱠﻠَﺻ
ُﻪﱠﻠﻟا
ِﻪْﻴَﻠَﻋ
َﻢﱠﻠَﺳَو
ُحﺎَﻜﱢﻨﻟا
ْﻦِﻣ
ِﱵﱠﻨُﺳ
ْﻦَﻤَﻓ
َْﱂ
ْﻞَﻤْﻌَـﻳ
ِﱵﱠﻨُﺴِﺑ
َﺲْﻴَﻠَـﻓ
ﱢﲏِﻣ
اﻮُﺟﱠوَﺰَـﺗَو
ﱢﱐِﺈَﻓ
ٌﺮِﺛﺎَﻜُﻣ
ْﻢُﻜِﺑ
َﻢَﻣُْﻷا
ْﻦَﻣَو
َنﺎَﻛ
اَذ
ٍلْﻮَﻃ
ْﺢِﻜْﻨَـﻴْﻠَـﻓ
ْﻦَﻣَو
َْﱂ
ْﺪَِﳚ
ِﻪْﻴَﻠَﻌَـﻓ
ِمﺎَﻴﱢﺼﻟﺎِﺑ
ِﺈَﻓ
ﱠن
َمْﻮﱠﺼﻟا
ُﻪَﻟ
ٌءﺎَﺟِو
)
ُﻩاَوَر
ُﻦْﺑِا
ُﻪَﺟﺎَﻣ
(
١٤Artinya: Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda, pernikahan merupakan sunahku barang siapa yang tidak melaksanakan sunahku maka bukan dari golonganku, menikahlah sesungguhnya aku bangga dengan jumlahmu yang banyak, barang siapa yang sudah sanggup maka menikahlah dan bagi yang belum dapat maka berpuasalah, sesungguhnya puasa dapat mengekang nafsu.” (HR.Ibnu Ma>jah).
13 Abi> Abdilla>h Muhammad Ibn Isma>’il al-Bukho>ry, S}ah}ih} Bukho>riy , juz V (Beirut: Da>r al-Fikr,
2000), 117.
14 Abu> Abdilla>h Muhammad Ibn Yazi>d al-Quzwainiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Da>r al-Fikr,
23
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
Perkawinan supaya sah hukumnya harus memenuhi beberapa syarat tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak melaksanakan perkawinan maupun yang berhubungan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.15
Syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum16 atau sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) tetapi sesuatu itu tidak termasuk rangkaian pekerjaan itu.17 Sedangkan Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum18 atau sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.19 Rukun-rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu: Shighat (ijab-kabul), calon istri, calon suami, wali (calon suami dan wali inilah yang disebut dengan dua pihak yang berakad) dan dua orang saksi.20
Menurut jumhur ulama’ rukun perkawinan itu ada lima, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut adalah:
15 Ibid., 19.
16 Pedoman Pegawai…, 35.
17 Abd. Rahman Ghazaly…, 45.
18 Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Departemen Agama RI Proyek Peningktan Tenaga
Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: 2003), (PPN), 35.
19 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.II (Jakarta: kencana, 2003), 45.
24
1. Calon suami, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam.
b. Laki-laki. c. Jelas orangnya.
d. Dapat memberikan persetujuan. e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 2. Calon istri, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam. b. Perempuan. c. Jelas orangnya.
d. Dapat dimintai persetujuannya. e. Tidak terdapat halangan perkawinan.21
Di antara pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan yaitu mempelai pria dan wanita harus memenuhi syarat-syarat tertentu supaya perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah:
a. Telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna. b. Berakal sehat.
c. Tidak karena paksaan, artinya harus berdasarkan kesukarelaan kedua belah pihak.
21 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
25
d. Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah satu macam wanita yang haram untuk dikawini.22
3. Wali nikah, syarat-syaratnya: a. Laki-laki.
b. Dewasa.
c. Mempunyai hak perwalian.
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.23 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki. b. Hadir dalam ijab kabul. c. Dapat mengerti maksud akad. d. Islam.
e. Dewasa.24
5. Ijab kabul, syarat-syaratnya :
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai.
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
d. Antara ijab dan kabul bersambungan.
e. Orang yang terkait ijab dan kabul tidak sedang ihram, haji atau umrah.
22 Soemiyati, Hukum perkawinan Islam dan undang-undang perkawinan, (UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan) (Yogyakarta: Liberty,2007), 31.
23 Mardani …, 10.
26
f. Majelis ijab dan kabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.25
Adapun syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat formil dan materiil. Syarat materiil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai yang terdapat dalam KHI Pasal 15 sampai 18.26 Adapun tentang syarat-syarat perkawinan yang lain diatur di dalam Bab II UU No. 1 Tahun 1974, terutama pasal 6 dan 7.27 Sedangkan syarat formil menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Adapun syarat formil, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Nikah.
3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya. 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pecatat Nikah.28
25 Mardani …, 10.
26 Kompilasi Hukum Islam …, 5.
27 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
28 Laila Umaroh, “Studi atas Is|bat Nikah Akibat Perilaku PPN di Pengadilan Agama
27
C. Pencatatan Perkawinan
Di dalam hal pencatatan perkawinan, Hukum Islam tidak mengatur secara jelas apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Akan tetapi pencatatan perkawinan merupakan peristiwa yang penting dan juga mempunyai banyak kegunaannya bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan itu baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat. Misalnya dengan dimilikinya akta perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari istrinya demikian juga sebaliknya seorang istri tidak mungkin mengingkari suaminya.29
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian
(mi>tha>qan ghali>z}an) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing.
28
Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.30
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang tata cara dan tata laksana melaksanakan perkawinan dan pencatatan perkawinan. Di antara Pasal yang dianggap penting untuk dikemukakan, yaitu pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 ayat 1 yang menentukan pencatatan perkawinan bagi orang Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954.31
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan pencatatan suatu perkawinan pada tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya perkawinan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”32
Di samping ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1, bahwa sahnya perkawinan adalah ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, maka menurut Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Di dalam penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 di atas mengatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
30 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 107.
31 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak dicatat menurut Hukum tertulis
di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 2012), 217.
29
dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga muat dalam daftar pencatatan.33
Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.34
Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam Bab II PP No. 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut:
1. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah:
a. Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan Rujuk.
b. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil atau Instansi/Pejabat yang membantunya.
33 Soemiyati, Hukum perkawinan Islam dan undang-undang perkawinan, (UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan) (Yogyakarta: Liberty,2007), 65.
30
2. Tata cara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 Tahun 1975.35
Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah Pegawai Pencatat Perkawinan dan perceraian pada KUA Kecamatan bagi umat Islam dan Catatan Sipil bagi nonmuslim.36 Mengenai hal tentang pencatatan perkawinan, akan dijelaskan dalam ketentuan UU berikut ini:
1. Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.37 Pada penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa: “dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945”. “yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya itu dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU ini.”38
35 Ibid.
36 Abdul Manan, Aneka Masalah hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 14.
37 Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1996), 18.
31
2. Pasal 4 KHI: “perkawinan adalah sah, apabila menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, apabila suatu perkawinan telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya berdasarkan hukum Islam maka perkawinan itu adalah sah karena telah memenuhi ketentuan hukum materiil perkawinan. Namun demikian, perkawinan tersebut belum memenuhi ketentuan hukum formil perkawinan belum dicatat pada Pegawai Pencatat yang berwenang/belum memiliki akta nikah. Oleh sebab itu, meskipun secara materiil perkawinan itu sah tetapi secara formil belum sah, sehingga selamanya dianggap tidak pernah ada perkawinan kecuali jika dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Sehubungan dengan pencatatan perkawinan di atas, dalam UU diatur pada: 1. Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974
32
2. UU No. 22 tahun 1946 pasal 2
Pegawai pencatat nikah dan orang yang tersebut pada ayat 3 pasal 1 membuat catatan tentang segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya, catatan yang dimaksudkan ke dalam buku pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan untuk hal itu dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh menteri agama.
3. KHI pasal 2, pasal 5 ayat 1 dan 2, pasal 7 ayat 1. 4. PP No. 9 Tahun 1975
a. Pasal 2 ayat 1 pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
b. Pasal 11 ayat 2 kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.39
5. PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 26 sampai pasal 27.
D. Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan adalah semua kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para pihak sebelum sampai dengan saat dilakukannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan.40
33
1. Menurut UU No. 1 tahun 1974
Tentang pelaksanaan perkawinan, telah diatur dalam peraturan perundaang-undangan sendiri, sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974. Adapun Peraturan Perundang-undangan sendiri tersebut terdapat di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Adapun tata cara perkawinan tersebut terdapat dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8 peraturan pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
40 Masjkur Anhari, Usaha-Usaha Untuk Memberikan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan,
34
Pasal 11
1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.41
2. Menurut KHI, terdapat dalam Pasal 6 yaitu: Pasal 6
a. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
b. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
3. Menurut PMA 11 tahun 2007
35
Pasal 21 ayat 1 menyatakan bahwa akad nikah dilaksanakan di KUA dan ayat 2 menyatakan bahwa atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan ini sesuai dengan ketentuan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan diatur lebih lanjut dengan perundang-undangan tersendiri.42 Secara umum
tatacara pelaksanaan perkawinan sekarang sudah diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12.
Khusus bagi mereka yang beragama Islam, sesuai dengan penjelasan Pasal 12, maka mereka dalam melaksanakan perkawinan tetap mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954. Adapun ketentuan mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 1954 pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Mereka yang hendak melakukan perkawinan harus membawa surat keterangan dari kepala Kampung atau Kepala Desa masing-masing. b. Orang yang melakukan perkawinan harus lebih dulu menyampaikan
kehendak mereka itu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah di wilayah tempat akan dilangsungkan perkawinan.
c. Pemberitahuan itu dapat dilakukan dengan lisan oleh calon suami dan calon istri atau oleh wakil mereka yang sah.
36
d. (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat pengumuman tentang pemberitahuan kehendak untuk melaksanakan perkawinan tersebut dengan cara menempelkannya.
(2) penempelan pengumuman harus pada tempat-tempat yang mudah dibaca orang.
(3) lama berlakunya penempelan pengumuman kehendak nikah tidak boleh kurang dari 10 hari. Artinya sebelum lewat 10 hari tidak boleh dilepas atau dirobek.
e. Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak nikah, harus memeriksa calon suami istri dan wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya larangan atau halangan nikah dilangsungkan.
f. Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh melangsungkan akad nikah sebelum hari ke sepuluh terhitung dari tanggal pemberitahuan diterimanya dan hari waktu pemberitahuan tidak diperhitungkan. g. Akad nikah dilakukan di muka Pegawai Pencatat Nikah dan calon
suami serta wali harus hadir sendiri pada saat akad nikah dilaksanakan.
h. (1) Akad nikah dilakukan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
37
(3) Pegawai Pencatat Nikah harus mencatat perkawinan itu dalam buku daftar nikah.43
Tata cara proses pelaksanaan pencatatan nikah meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman nikah, akad nikah dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah.44
1. Pemberitahuan kehendak nikah
PPN dan pembantu PPN ataupun Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) dalam memberikan penasihatan dan bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan sebagai berikut:
a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya.
b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan.
c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah tangga, hak dan kewajiban suami istri dan lain sebagainya.
43 Soemiyati…, 74.
38
d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan, calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepala calon mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.
e. Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN/Pembantu PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah, sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
2. Pemeriksaan nikah
Pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikah sebaiknya dilakukan secara bersama-sama, tetapi tidak ada halangannya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang meragukan, perlu dilakukan pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai apabila ketiga-tiganya selesai diperiksa secara benar.
3. Pengumuman kehendak nikah
PPN/Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah (dengan model NC) pada papan pengumuman setelah persyaratan dipenuhi. Pengumuman dilakukan:
39
b. Oleh Pembantu PPN di luar jawa di tempat-tempat yang mudah diketahui umum.
4. Akad nikah dan pencatatan
a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan/dihadapan PPN setelah akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam Akta Nikah rangkap dua (model N).
b. Kalau nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi serta PPN yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat dalam Akta Nikah (model N), dan ditandatangani hanya oleh PPN atau Wakil PPN.
c. Akta Nikah dibaca, kalau perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi kemudian ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN atau Wakil PPN.
d. PPN membuatkan Kutipan Akta Nikah (Model Na) rangkap dua, dengan kode dan nomor yang sama. Nomor tersebut menunjukkan nomor unit dalam tahun, nomor unit dalam bulan, angka romawi bulan dan angka tahun.
e. Kutipan Akta Nikah diberikan kepada suami dan istri.
40
g. Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN, dalam hal Wakil PPN yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah, Wakil PPN hanya menandatangani daftar pemeriksaan nikah, pada kolom 5 dan 6 menandatangani Akta Nikah pada kolom 6.
h. PPN berkewajiban mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan Agama yang mewilayahinnya, apabila folio terakhir pada buku Akta Nikah selesai dikerjakan.
i. Jika mempelai seorang janda/duda karena cerai talak atau cerai gugat, PPN memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Akta Cerai bahwa duda/janda tersebut telah menikah dengan menggunakan formulir model ND rangkap 2. Setelah pemberitahuan nikah tersebut diterima. Pengadilan Agama mengirim kembali lembar 11 kepada PPN setelah membubuhkan stempel dan tandatangan penerima. Selanjutnya PPN menyimpannya bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).45
E. MAS}LAH}AH MURSALAH
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at,
baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar
yang sama artinya dengan dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih.
41
Pengarang Kamus Lisan Al-‘Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-maslahah
yang berarti al-shalah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan penyakit. Semua itu bisa dikatakan maslahah.46
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari shara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum
shara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharan kemadharatan
atau untuk menyatakan suatu manfat, maka kejadian tersebut dinamakan
al-Maslahah al-Mursalah. Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.47
Dibawah ini akan disampaikan tentang hakikat dari mas{lah{ah mursalah, sebagai berikut:48
1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia;
46Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIN, (Bandung: Pustaka
Setia.2007), 117.
47 Ibid., 117.
42
2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan shara’ dalam menetapkan hukum.
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan shara’
tersebut tidak ada petunjuk shara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk shara’ yang mengakuinya.
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu:
a. Mashlahah al-Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh
shara'. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Rasulullah saw hukuman bagi pencuri dengankeharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Shara’ telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
43
harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang disbanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa'ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).
c. Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung shara' dan tidak pula dibatalkan atau ditolak shara' melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Quran, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Mashlahah al-Gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau
44
2. Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil shara' atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash. (ayat atau hadis).49
4949http://abdurrahman.heck.in/makalah-maslahah-mursalah.xhtml, di akses pada 24 juni 2015,
BAB III
EFEKTIVITASMENIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KAB MOJOKERTO KAWASAN SELATAN SETELAH ADANYA PP NOMOR 48
TAHUN 2014
A. Profil KUA Kab Mojokerto
1. KUA KecamatanSooko
a. Profil KUA Kecamatan Sooko
Tanah dan bangunan yang digunakan KUA Kec.Sooko berdiri diatas tanah gendom awal menjalankan tugas dan fungsinya, Kantor Urusan Agama Kec.Sooko berkantor di sebelah utara Masjid Besar` “DarusSalam ” Desa Gemekan Kec. Sooko Kab. Mojokerto milik Negara.Dan pada perkembangan selanjutnya KUA Kec.Sooko harus pindah kantor karena pada kantor sebelumnya akan digunakan untuk pelebaran masjid Besar “Darus Salam” Desa Gemekan Kec. Sooko.Kantor Urusan Agama Kec.Sooko sekarang terletak di jalan Kamas Setyo Adi 66 Desa Kedungmaling Kec.Sooko untuk sementara dalam kegiatannya KUA Kec.Sooko menempati Kantor Diknas Kec.Sooko milik Pemerintah Daerah Kab.Mojokerto.
Dalam pelaksanaan tugasnya Kantor Urusan Agama Kec. Sooko mewilayahi 15 (lima belas) Desa :
NO NAMA DESA
1. Gemekan
2. Blimbingsari
3. Brangkal
4. Kedungmaling
5. Klinterejo
6. Modongan
7. Sambiroto
45
9. Japan
10. Sooko
11. Wringinrejo
12. Karangkedawang
13. Mojoranu
14 Tempuran
15. Ngingasrembyong
Keadaan Geografis Kantor Urusan Agama Kec. Sooko.
Dari segi geografis KUA Kecamatan Sooko merupakan
wilayah Kecamatan paling dekat dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mojokerto. Dengan jarak ± 5 Km dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mojokerto. Dan ± 2 Km dari Masjid Besar “Darus Salam “ DesaGemekan, dan 500 M sebelah utara pasar Kedungmaling.
Adapun batas batas wilayah dari KUA Kecamatan Sookomeliputi :
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Puri Kabupaten
Mojokerto
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Trowulan Kabupaten
Mojokerto
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Prajuritkulon Kota Mojokerto
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jatirejo Kabupaten
Mojokerto
46
Visi, Misi dan Motto.
Visi
Terwujudnya Keluarga Muslim Sooko yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah, sejahtera lahir dan bathin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Misi
1. Meningkatkan kualitas dibidang administrasi,
organisasi dan ketatalaksanaan (Manajemen).
2. Reformasi Birokrasi pada sistem Pelayanan Nikah,
Rujuk, Wakaf, Haji, Pangan Halal, Hisab Rukyat, Ibadah Sosial, dan Kemitraan Umat Beragama.
3. Meningkatkan pemahaman masyarakat dibidang
Munakahat, Keluarga Sakinah, Kemasjidan, Zakat, Wakaf, Ibadah Sosial, Produk Halal, Hisab Rukyat dan Kemitraan Umat serta Haji/Umroh.
4. Menumbuhkan semangat hidup bermasyarakat yang
bermartabat dengan mengamalkan ajaran agama serta menciptakan keharmonisan intern umat beragama (Islam). Antar umat beragama dan antar umat beragama dengan pemerintah.
5. Memanfaatkan IT untuk peningkatan ketertiban
administrasi dan pelayanan publik.
Motto Pelayanan :
47
c. Struktur organisasi
Agar tercapai tujuan yang diinginkan sebagaimana tugas pokok fungsi, visi dan misi tersebut di atas, maka ditetapkan bahwa KUA Kecamatan Sooko, berdasarkan KMA No.18 Tahun 1975 termasuk kategori Tipology A, seharusnya terdiri dari, seorang Kepala, tiga orang Penghulu dan tujuh orang Staf. Namun demikian, KUA Kecamatan Sooko dengan realitas aparat pegawai yang ada hanya terdiri dari seorang Kepala, satu orang penghulu serta lima orang staf ( 3 PNS dan 2 PTT / Honorer ) dan di bantu P3N sebanyak 16 Orang.
Data Pegawai.
No Nama / NIP Golongan Pangkat Jabatan
1. Ahirizzen, SPd. I NIP. 196202061987031002 Penata Tk.I III/d Kepala KUA
2. Mohamad Ibnu Mas’ud NIP. 197110272005011001 Penata III / c Penghulu Muda
3. Siti Halimah NIP. 196411081988032001