• Tidak ada hasil yang ditemukan

bagaimana meningkatkan pendanaan daerah untuk penanggulangan hiv dan aids

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "bagaimana meningkatkan pendanaan daerah untuk penanggulangan hiv dan aids"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

M

ASALAH

Sasaran Pokok Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyatakan bahwa target penanggulangan HIV dan AIDS adalah menekan prevalensi HIV pada tahun 2019 tetap di bawah 0,5% sementara prevalensi HIV dan AIDS pada saat ini adalah 0,43%. Komisi Penganggulangan AIDS Nasional (KPAN) merespon target RPJMN 2015-2019 tersebut melalui penyusunan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019, yang diharapkan dapat menjadi arahan bagi pelaksanaan penanggulangan dalam lima tahun mendatang. Sayangnya, hingga saat ini SRAN 2015-2019 belum mendapatkan legalitas dari pemerintah sehingga arah tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS di masa depan menjadi kurang jelas. Meskipun demikian, dokumen SRAN 2015-2109 ini tetap digunakan sebagai acuan untuk pengembangan program-program penanggulangan HIV dan AIDS oleh berbagai pihak termasuk dalam

penyusunan Concept Note for New Funding Model of Global Fund

2015-2017 atau Dokumen Konsep Model Pembiayaan Baru Gobal Fund

2015-2017.

Sebagaimana tercantum dalam SRAN 2015-2019, kebutuhan dana untuk penyelenggaraan program HIV dan AIDS tahun 2015-2019 diperkirakan mencapai Rp. 6,25 triliun atau kurang lebih USD 568 juta. Perkiraan dana yang bisa dihimpun dengan berpedoman pada situasi saat ini hingga tahun 2019 hanya sebesar Rp. 4,42 triliun atau sekitar USD 402 juta yang hampir separuhnya dibiayai oleh dana hibah luar negeri. Perhitungan mengenai ketersediaan dana tersebut menggunakan asumsi pertumbuhan dana pemerintah pusat dan dana pemerintah daerah masing-masing sebesar 20% per tahun. Sementara itu, jumlah kontribusi dana yang berasal dari sektor swasta diperkirakan berkisar antara 3,4% - 4% dari total pendanaan untuk HIV dan AIDS, termasuk didalamnya layanan kesehatan swasta,

bantuan swasta, dan Corporate Social Responsibility (CSR). Ketersediaan

(3)

Berdasarkan proyeksi kebutuhan terhadap potensi ketersediaan pendanaan penganggulangan HIV dan AIDS untuk lima tahun mendatang, terdapat kesenjangan pendanaan yang berkisar antara USD 12.057 pada tahun 2015 hingga USD 55.870 pada tahun 2019. Kesenjangan ini akan semakin membesar setelah tahun 2017 dengan besaran pendanaan yang tersedia diperkirakan hanya sekitar 56%-57% dari kebutuhan (lihat Gambar 1.1). Kesenjangan yang terjadi dalam dua tahun terakhir (2018 dan 2019) disebabkan oleh berakhirnya pendanaan dengan skema pendanaan New Funding Model (NFM) dari Global Fund pada tahun 2017. Pada sisi lain, Pemerintah Australia (DFAT) dan Pemerintah Amerika Serikat (USAID) yang pada tahun 2014 memberikan bantuan sebesar USD 27.816.495 dan USD 24.496.612 akan mulai mengurangi dukungan pendanaannya mulai tahun 2015 sehingga kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan dana untuk lima tahun ke depan jelas akan bertambah besar.

Gambar 1.1: Kebutuhan, Ketersediaan dan Sumber Pendanaan Program HIV dan AIDS 2015-2019

(4)

KPAN telah mempersiapkan rencana untuk mengurangi kesenjangan ini melalui pengembangan beberapa strategi, antara lain: peningkatan efisiensi program, peningkatan pendanaan di tingkat pusat dan daerah dengan bekerja sama dengan sektor swasta dan masyarakat sipil, dan penguatan kelembagaan dan regulasi terkait penganggaran pemerintah daerah. Pertanyaan penting dalam menanggapi berbagai strategi tersebut adalah apakah mungkin strategi-strategi tersebut dilaksanakan ketika sifat pendanaan program HIV dan AIDS yang tengah berjalan selama ini disusun, direncanakan, dianggarkan, dan dikelola secara terpisah di bawah masing-masing pemerintah daerah dan pemerintah pusat? Jika hal ini memungkinkan untuk dilaksanakan, bagaimana penyaluran dana tersebut akan dilakukan dengan adanya berbagai tantangan baik secara kelembagaan maupun teknis dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang harus ditangani terlebih dahulu?

Salah satu tantangan kelembagaan yang utama dan jelas terlihat adalah upaya mendorong para pemangku kepentingan kunci di daerah untuk meningkatkan kontribusi pendanaannya dalam kerangka peningkatan sumber dana dalam negeri. Program penanggulangan HIV dan AIDS selama 20 tahun terakhir ini merupakan program yang dihibahkan secara vertikal dari pemerintah pusat dan belum terintegrasi dengan sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah selama ini lebih sebagai pelaksana program di daerahnya saja, bukan

sebagai perencana program. Hasil dari National AIDS Spending Assessment

(NASA) menunjukkan bahwa dana yang dibelanjakan oleh pemerintah

daerah sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 masih berada pada kisaran 20% dari total dana yang dibelanjakan oleh pemerintah (pusat dan daerah). Dana dari pemerintah daerah ini sebagian besar digunakan untuk komponen pencegahan yang berupa sosialisasi kepada masyarakat,

pengelolaan, administrasi serta pelatihan. Sementara intervensi

(5)

Dengan berkurangnya dukungan pendanaan luar negeri di masa yang akan datang serta keterbatasan pendanaan daerah dan sektor swasta, menjadi sangat penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan program-program yang efektif dan efisien dan dapat didukung sepenuhnya oleh pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan yang relevan di Indonesia. Tantangan teknis yang muncul adalah bahwa semua perencanaan program setelah tahun 2017 harus menggunakan suatu kerangka yang dapat memicu pencarian dana sebagai pengganti pendanaan luar negeri. Kerangka ini harus sejalan dengan pola pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS dan dimasukkan ke dalam proses rutin perencanaan dan penganggaran pemerintah.

Kontribusi organisasi masyarakat sipil (OMS) dan organisasi berbasis masyarakat (OBM) selama ini sangat besar, khususnya dalam upaya pencegahan penularan pada kelompok populasi kunci, dan pendampingan dan dukungan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA). Berkurangnya dana bantuan luar negeri yang selama ini menjadi tumpuan OMS dan OBM dalam penyediaan layanan di lapangan akan menjadi tantangan yang cukup menghambat. Pertama, tidak mudah bagi OMS dan OBM untuk menerima dana dari pemerintah terbentur regulasi terkait proses administrasi keuangan negara dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, adanya keterbatasan kapasitas OMS dan OBM dalam pengelolaan dana kegiatan mereka terutama dalam hal akuntabilitas dan pelaporan keuangan. Ketiga, sulit untuk menjalin komunikasi yang harmonis antara pemerintah, OMS, dan OBM karena perbedaan ideologi antara institusi yang satu dengan lainnya.

O

PSI

K

EBIJAKAN

(6)

mengandalkan sumber dalam negeri setelah 2017, maka pengelolaan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS perlu diintegrasikan ke dalam sistem umum pengelolaan dana sektor kesehatan. Konsep integrasi secara umum merujuk pada pengaturan organisasional dan pengelolaan yang ditujukan untuk mengadopsi sebuah inovasi dalam upaya pembangunan kesehatan, kerja sama, kemitraan, layanan yang berkelanjutan dan terkoordinasi, penyesuaian-penyesuaian, jaringan atau hubungan antar

program (Shigayeva et al., 2010; Coker et al., 2010).

Integrasi dalam aspek pengelolaan dana ke dalam sistem yang ada diyakini dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan sebuah program kesehatan. Keputusan Presiden (Keppres) No. 75 Tahun 2006,

Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat

(Permenkokesra) Tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2007, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 21 Tahun 2013 dan sejumlah peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan payung hukum guna mengintegrasikan penanggulangan AIDS ini ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran yang berlaku. Dalam kenyataannya, aturan dan regulasi

normatif tidak mudah dilaksanakan karena keputusan perihal

(7)

S

TRATEGI

I

MPLEMENTASI

Beberapa strategi yang harus dilaksanakan agar integrasi pengelolaan dana penanggulangan HIV dan AIDS ini bisa berjalan, diantaranya adalah:

Merumuskan kembali kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan pembagian kewenangan pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perumusan kewenangan ini merupakan suatu syarat penting agar semangat kedaulatan dan kebangsaan selain desentralisasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini dapat terwujud. Berdasarkan kewenangan ini, maka skema pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS dapat dikembangkan untuk masing-masing tingkat pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas keuangan di masing-masing daerah.

 Masih banyak daerah yang belum memprioritaskan sektor kesehatan di

dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerahnya. Hal ini dapat dilihat dari minimnya alokasi anggaran untuk sektor kesehatan yang saat ini jumlahnya masih dibawah 10% dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar komponen gaji seperti diamanatkan dalam UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 171 Ayat 2. Peningkatan alokasi dana kesehatan di tingkat daerah perlu ditingkatkan hingga minimal 10% dari APBD di luar gaji sehingga dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi program penanggulangan HIV dan AIDS untuk memperoleh pendanaan dari pemerintah daerah karena program ini merupakan bagian dari pembangunan kesehatan yang wajib dilakukan oleh pemerintah daerah. Sementara bagi pemerintah daerah yang sudah mengalokasikan 10% atau lebih dana untuk sektor kesehatan dapat mengalokasikan dana bagi penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan situasi epidemiologi daerahnya. Adalah penting bagi pemerintah daerah untuk membangun atau memperkuat ketersediaan data epidemiologis di tingkat lokal

(8)

perencanaan dan penganggaran daerahnya. Pengumpulan data epidemiologis melalui survei biologis dan perilaku yang telah dilaksanakan selama ini lebih banyak dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah pusat.

Mengarusutamakan HIV dan AIDS sebagai sebuah permasalahan kesehatan yang tidak dapat dipisahkan dari permasalahan sosial yang lain yang ditangani oleh sektor-sektor lain. Dalam RPJMN 2015-2019 dinyatakan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya lintas sektoral sehingga perlu adanya integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran baik di sektor kesehatan maupun sektor lainnya. Meskipun demikian, hal ini akan sulit dilakukan jika sektor-sektor lain dalam lingkup pemerintah daerah tidak sensitif dan membiarkan integrasi isu-isu HIV dan AIDS ke dalamnya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

͞Kalau untuk dianggarkan di APBD pasti selalu dilihat tupoksi. Jadi kita misalnya di Dinas Sosial, begitu mereka lihat ada kata-kata HIV, mereka langsung bilang mengapa kalian urusi masalah kesehatan (yang bukan tupoksi). Jadi ini yang susah karena kalaupun kita tunjukkan bahwa ini ada aturannya, seperti Perpres 75 ada Permendagri 2007 itu yang menyebutkan ada pasal-pasalnya untuk wajib dianggarkan, tapi Bappeda dan juga DPRD selalu mengatakan penganggaran berbasis tupoksi.͟(DKT, Dinas Sosial Kota Makassar)

Bahkan ketika sudah ada komitmen politik untuk memberikan alokasi anggaran bagi penanggulangan AIDS di daerah, masih diperlukan upaya advokasi dari KPAD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) secara terus-menerus untuk memastikan alokasi ini bisa direalisasikan. Oleh karena itu perlu adanya kepemimpinan dan legitimasi yang kuat dari KPAD agar mampu mengelola integrasi penanggulangan AIDS ke dalam perencanaan dan penganggaran daerah.

(9)

ketepatan dalam mengalokasikan dana untuk kegiatan pada masing-masing program. Kontribusi pemerintah pusat sangat mendominasi program perawatan dan pengobatan khususnya penyediaan ARV (79% dari pembelanjaan pemerintah pusat pada tahun 2012), sementara alokasi untuk program pencegahan lebih banyak ditanggung oleh mitra pembangunan internasional (46% dari pembelanjaan pada tahun 2012) dan pemerintah daerah (47% dari pembelanjaan pemerintah daerah). Meskipun sudah berfokus pada program pencegahan, akan tetapi alokasi kegiatan tersebut belum mampu untuk meningkatkan cakupan program mengingat dana lebih banyak digunakan untuk kegiatan sosialisasi dan pelatihan. Alokasi dana untuk program mitigasi hampir tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah karena hingga tahun 2012 dana yang dibelanjakan untuk program ini hanya sedikit di atas 3%. Dalam pelaksanaannya, alokasi dan distribusi kebutuhan pendanaan ini perlu mempertimbangkan situasi politik, ekonomi, hukum dan epidemi HIV di masing-masing daerah karena

situasi-situasi tersebut lebih dominan dalam menentukan sustainability

(keberlanjutan), opportunity (kesempatan) dan desirability (harapan)

dari integrasi sebuah program kesehatan ke dalam sistem yang lebih besar.

 Salah satu arah kebijakan RPJMN 2015-2019 adalah upaya reformasi

yang berfokus pada penguatan upaya kesehatan dasar yang berkualitas melalui upaya promotif dan preventif sehingga pemerintah secara eksplisit harus mengupayakan sumber dan alokasi pendanaan untuk pencegahan penularan HIV di daerah. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan karena upaya pencegahan selama ini juga dilakukan oleh OMS dan OBM. Namun demikian, mereka tidak memiliki akses kepada pendanaan pemerintah. Pendanaan yang mereka dapatkan melalui mekanisme bantuan sosial tidak akan mencukupi kebutuhan lapangan karena adanya berbagai pembatasan dalam mekanisme tersebut,

khususnya perihal penyediaan layanan yang berkelanjutan.

Terobosannya adalah melaksanakan program-program melalui

(10)

AIDS di daerah tertentu, seperti halnya sebuah kontraktor yang dibayar untuk menyelesaikan konstruksi tertentu milik pemerintah daerah. Namun upaya ini perlu dibarengi dengan alokasi pendanaan untuk peningkatan kapasitas masyarakat sipil agar siap dan secara hukum memenuhi syarat untuk berpartisipasi sebagai peserta lelang pada

instansi-instansi pemerintah terkait. Untuk itu perlu ada suatu

terobosan dalam hal regulasi yang memungkinkan masyarakat sipil untuk memperoleh pendanaan dari pemerintah daerah agar bisa melanjutkan upaya pencegahan baik pada populasi kunci maupun masyarakat umum.

Sejak munculnya epidemik HIV di Indonesia, organisasi-organisasi mitra pembangunan internasional telah berinvestasi pada program-program pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil di berbagai daerah dan investasi ini telah terbukti efektif dalam mendorong perubahan-perubahan perilaku dan perilaku pencarian bantuan kesehatan pada populasi yang marjinal secara sosial maupun ekonomi. Jika upaya pencegahan melalui keterlibatan kelompok masyarakat sipil ini dilanjutkan maka akan berimplikasi positif yaitu pada menurunnya biaya perawatan dan pengobatan ODHA secara keseluruhan.

 Sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019 dan sejalan dengan

(11)

D

AFTAR

P

USTAKA

Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. (2010). Integration of targeted health interventions into health systems: a conceptual framework for analysis. Health Policy and Planning, (November 2009), 104–111. doi:10.1093/heapol/czp055.

Coker, R., Balen, J., Mounier-jack, S., Shigayeva, A., Lazarus, J. V, Rudge, J. W., Atun, R. (2010). A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case studies: HIV and TB control programmes and health systems integration. Health Policy and Planning, 25, 21–31. doi:10.1093/heapol/czq054.

HCPI. (2012). Institutional Assessment and Development – AIDS Response in Indonesia (pp. 1–94).

Shigayeva, A., Atun, R., Mckee, M., & Coker, R. (2010). Health systems, communicable diseases and integration. Health Policy and Planning, 25, 4–20.

Gambar

Gambar 1.1: Kebutuhan, Ketersediaan dan Sumber Pendanaan Program HIV dan AIDS 2015-2019

Referensi

Dokumen terkait

Lebih lanjut, metode hibrid dengan menggunakan JST-GA ini dapat menjadi pertimbangan dalam meningkatkan akurasi, selain seperti yang telah dilakukan oleh [13] yang

Dalam hal penjualan kembali Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS PRIMA UTAMA USD dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Penjualan

Keberhasilan yang dapat dilihat dari program malaria yang dirancang oleh WHO dan dilaksanakan di negara Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI yaitu eliminasi

Fungsi dari perhitungan ketepatan peramalan adalah untuk membandingkan ketepatan dua atau lebih metode yang berbeda, sebagai alat ukur apakah teknik yang diambil

Antara yang berikut, manakah bukan isu yang menjadi perkara penting dalam mewujudkan hubungan etnik yang utuh dalam perlembagaan Malaysia.. Kedudukan Bumiputera 6.2:

Pembekalan juga merupakan sarana untuk menyampaikan materi persiapan mencakup teori dan praktek yang akan dilaksanakan di lokasi terkait beberapa aspek terkait fungsi mahasiswa

dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Dibaw<ah bimbingan Dr. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendiskripsikan kondisi oseanografi