• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

i

GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM

SOSIALISASI IDENTITAS GENDER ANAK PEREMPUAN

KELUARGA TIONGHOA

Oleh

Anastasia Setyaning A.S. 2008-070-048

Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta pada tanggal...

Menyetujui, Pembimbing Skripsi

Dr. Nani I.R. Nurrachman, Psikolog.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya

Dr. phil. Juliana Murniati

Fakultas Psikologi

(2)

ii ABSTRAK

Anastasia Setyaning A.S. 2008-070-048

Gambaran Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi Identitas Gender Anak Perempuan Keluarga Tionghoa

ix + 112 halaman, 11 tabel, 2 gambar Bibliografi 49 (1978-2012)

Relasi paling awal yang dialami seorang manusia adalah hubungan dengan ibunya (Chodorow, 1978). Melalui relasi dengan ibu, self anak terbentuk dan anak memahami self-nya berdasarkan hubungan dirinya dengan ibu. Diri seorang ibu sebagai perempuan adalah self-in relation (Chodorow, 1978). Maka secara bersamaan ibu pun membentuk self dan pemahaman dirinya tentang self melalui interaksi dengan anak-nya. Pada anak perempuan yang memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu, perkembangan dirinya dibangun melalui connectedness

dengan ibu. Di pihak ibu, kesamaan ketubuhan ini menyebabkan hadirnya kembali seluruh pengalaman hidup ibu sebagai perempuan. Berbeda dari psikologi arus utama yang memandang self terbentuk melalui otonomi dan keterpisahan dari pengasuh utama, psikologi perempuan melihat diri perempuan terbentuk melalui relasi ibu dan anak perempuan.

Pada keluarga Tionghoa yang patriarkis, ibu dan anak perempuan

memiliki pengalaman dibedakan yang sama. Sebab perempuan dipandang sebagai warga kelas dua dalam budaya Tionghoa (Meij, 2009). Pada konteks kehidupan masyarakat Indonesia, perempuan Tionghoa bahkan mengalami dibedakan dua kali. Pertama, dibedakan karena gendernya, kedua, dibedakan karena etnisnya. Sementara perempuan keluarga Tionghoa tetap bertahan hidup dan menjalani kehidupannya sehari-hari dari generasi ke genarasi. Setiap hari dalam keseharian hidupnya, mereka mengalami pembedaan ini dari lingkungan sosial. Maka dalam kondisi seperti ini, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan di keluarga Tionghoa. Sebab dengan mengetahui peran ibu, dapat diketahui gambaran pembentukan identitas gender yang dilakukan ibu kepada anak perempuan yang notabene memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu. Selain itu, dengan mengetahui pengalaman ibu sebagai anak dan perempuan, dapat ditelusuri bagaimana seorang ibu menginternalisasi, merefleksikan, menginterpretasikan dan menghayati hidupnya. Pada akhirnya keseluruhan proses ini mempengaruhi Ibu saat menjalani perannya.

Untuk memperoleh gambaran penghayatan peran ibu ini, dilakukan

penelitian dengan metode kualitatif, yaitu melalui wawancara mendalam (in-depth

interview) pada dua pasang ibu dan anak perempuan keluarga Tionghoa yang

berdomisili di Jakarta. Subjek dikontrol melalui pembatasan usia anak perempuan yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu dewasa muda (early adulthood).

(3)

iii KATA PENGANTAR

Penelitian ini berawal dari kepedulian dan keingintahuan pribadi yang tak dapat dilepaskan dari stimulus orang-orang dan lingkungan yang ada di sekitar peneliti. Maka pertama-tama peneliti ingin berterima kasih pada (Alm.) Emak Maria Gouw Giok Eng (1917-2005) yang memberikan paparan (exposure) pertama bagaimana menjalani hidup sebagai perempuan peranakan Tionghoa-Indonesia. Serta fasilitasi pembelajaran luar biasa yang telah diberikan oleh kedua orang tua peneliti sampai hari ini, Stephanus Djoko Satriyo dan Anselma Wiwiek Widiarti.

Pada saat menjalani proses penelitian, peneliti mengalami banyak proses pembelajaran melalui kendala literatur, subyektivitas pribadi dan faktor individual peneliti. Maka peneliti juga ingin berterima kasih pada orang-orang yang telah berkontribusi secara akademis maupun moril dan emosional terhadap peneliti sepanjang penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Dr. Nani I.R.Nurrachman, Psikolog., pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi peneliti. Terima kasih untuk relasi menghidupkan yang menstimulus rasa ingin tahu dan pembelajaran akan dinamika dan kearifan hidup, dimulai dari diri sendiri.

2. Dra. Prilyani Pranaya. Terima kasih telah memberikan bantuan literatur dan koneksi untuk menghubungi Ibu Myra Sidharta dan Prof. Dr. Melani Budianta. Untuk Ibu Myra Sidharta dan Prof. Dr. Melani Budianta, terima kasih untuk bantuan literatur dan pemikiran pada tahap awal penelitian ini.

3. Dr. Sherley-Lim dari Gender Studies, University of California. Pertemuan penuh kesan di Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober 2011, dilanjutkan pertemuan pada Biennale Sastra Komunitas Salihara, yang memberikan kontribusi pemikiran dan bantuan literatur.

4. Aquino Hayunta, S. Sos. Terima kasih telah memfasilitasi perkenalan dengan Diyah Wara, M.Si, ketua komunitas pemuda Ikatan Indonesia-Tionghoa (INTI). Tempat peneliti berdiskusi menjelang pengambilan data responden.

5. Perpustakaan Kajian Wanita Universitas Indonesia, Salemba yang menyediakan berbagai literatur yang dibutuhkan peneliti untuk menyusun kerangka penelitian.

6. Anggita Hotna Panjaitan yang memfasilitasi perkenalan dengan Farid Hanggawan, S.H.. Terima kasih untuk kesedian berdiskusi dan bantuan literatur tentang filsuf perempuan.

7. Ibu dan anak perempuan yang menjadi subjek penelitian ini. Mereka menjadi pionir usaha dan kerinduan untuk memotret kehidupan ibu-anak perempuan keluarga Tionghoa masa kini.

(4)

iv - Sebastian Partogi, S.Psi, Raina Paramitha, S. Psi, Rebeka Pinaima,

S.Psi, Pithe Lim, S.Psi., dan Okki Sutanto, S.Psi.

- Grace Maria Sininta, S.Psi, Amelia Hartono, S.Psi, Kenny Ahldrin, S.Psi, Anastasia Primasari, S. Psi, Cendy Sanada, Silvyana,

Griselda Jane, Marius Dion dan Almira Rahma. - Sylvia Dewi Suryaganda dan Nadya Regina Pryana.

- Inez Kristanti, Tesar Gusmawan, Arnold Lukito, Gabriela Angie, Edwin Nathaniel.

9. Stephani Fitria Winda Satriyo dan Maria Yohanna Widianti Satriyo. Kedua adik peneliti, sparing partner tumbuh berkembang sebagai perempuan, yang memberi ruang pemakluman dan pembelajaran selama menyelesaikan skripsi. Keluarga besar Akong Lim Bun Jie yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

10.Bontor Humala, S.T.. Terima kasih untuk kesegaran, ketenangan, keteguhan dan semangat yang peneliti peroleh melalui interaksi bersama.

Hidup adalah proses bertanya. Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita (Dee, 2011). Pada titik persinggahan saat ini, penelitian ini menjadi kulminasi pencarian dan pertanyaan saya. Terima kasih yang dalam untuk transendensi yang

mengejewantah dalam Allah, Cinta dan alam semesta yang memungkinkan diri saya untuk menjadikan ini ada.

Exploration is really the essence of the human spirit (Frank Borman). Who looks outside, dreams. Who looks inside, awaken (Carl Jung).

Jakarta, Juli 2012

(5)

v DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan... i

Abstrak Skripsi... ii

Kata Pengantar... iii

(6)
(7)

vii DAFTAR TABEL

Tabel IV.A.1. Deskripsi Latar Belakang Subyek...52

Tabel IV.C.1.1. Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Ibu...85

Tabel IV.C.1.2. Perbandingan Usia Menikah Ibu...88

Tabel IV.C.1.3. Perbandingan Pendidikan Akhir Ibu...88

Tabel IV.C.2.1. Perbandingan Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan Keluarga Tionghoa...89

Tabel IV.C.3.1. Perbandingan Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan...92

Tabel IV.C.3.2. Perbandingan Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan pada Anak Perempuan...93

Tabel IV.C.4.1. Perbandingan Sosialisasi Identitas Gender dari Ibu...95

Tabel IV.C.4.2. Perbandingan Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan...97

Tabel IV.C.5.1. Perbandingan Pengalaman Ibu dengan Identitas Ke-Tionghoa-an ...98

(8)

viii DAFTAR GAMBAR

(9)

ix DAFTAR LAMPIRAN

Surat Pernyataan Kesediaan Subjek

Panduan Pertanyaan

(10)
(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Know Thy Self~Socrates (469-399 SM)

Manusia adalah makhluk yang senantiasa mempertanyakan dirinya, yang selalu “menjadi” (becoming). Perjalanan manusia dalam mempertanyakan dan mengenal dirinya dapat dilihat dari perjalanan sejarah manusia (Wibowo, 2009). Di dalam ilmu psikologi, perjalanan sejarah seorang manusia dari konsepsi sampai kematian dipelajari pada Psikologi Perkembangan. Pembelajaran mengenai life-span development berisi informasi mengenai siapa diri kita, mengapa kita menjadi seperti saat ini dan bagaimana seluruh pengalaman hidup mempengaruhi masa depan kita (Santrock, 2008). Proses pembelajaran ini dapat memunculkan isu dan pertanyaan terkait perkembangan diri manusia.

Pada diri peneliti, pertanyaan muncul dari hasil refleksi diri terhadap

pengalaman hidup selama dua puluh tahun sebagai perempuan dikaitkan dengan materi Psikologi Perkembangan. Peneliti menyadari adanya perbedaan identitas feminin yang diperoleh dalam interaksi di keluarga inti dengan ekspektasi identitas feminin yang ada di lingkungan masyarakat.

(12)

2 seluruh potensi diri dan talenta perlu dikembangkan dengan maksimal

(komunikasi pribadi, 9 April 2011). Segala usaha untuk memaksimalkan potensi dan kemampuan diri dikaitkan dengan kebergunaan bagi sesama, lingkungan sekitar, bangsa dan tanah air. Sementara di lingkungan masyarakat ada batasan bagi anak perempuan untuk mengaktualisasikan diri karena identitas gendernya

(“Nasib Kartini”, 2012). Anak perempuan terikat oleh nilai-nilai kultural yang

membatasi pilihan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri.

Melalui interaksi dengan teman sebaya sejak tingkat sekolah dasar hingga hari ini yang dilegitimasi melalui komunikasi pribadi (12 April 2011), peneliti

memperoleh informasi bahwa pemahaman dan keyakinan yang dimiliki oleh teman-teman perempuan mengenai bagaimana harus berpikir dan bertingkah laku sebagai perempuan diperoleh dari ibu mereka. Seorang teman, Bunga (bukan nama sebenarnya) memperoleh pengajaran dari ibunya bahwa seorang perempuan semandiri apapun tetap harus mengurus dan memikirkan keluarganya. Sedangkan teman lain, sebut saja Citra memperoleh pengajaran dari ibunya bahwa sebagai perempuan harus bisa menjadi orang yang mandiri dan bisa berdiri di atas kaki sendiri sehingga kehidupannya terutama dari segi keuangan tidak tergantung pada suami. Teman lain bernama Sari diajari ibunya sejak kecil untuk bangun pagi dan rajin membereskan kamar sebab ia seorang anak perempuan.

(13)

3 anaknya lecet dan menjadi jelek karena digaruk akibat gatal. Menurut ibunya, salah satu aspek kecantikan perempuan adalah kebersihan dan kehalusan kulit. Ada juga Jane yang sering diributkan oleh ibunya untuk menjaga berat badan. Tapi jika ibunya melihat Jane makan terlalu sedikit, ia pun akan meributkannya juga.

Melalui wawancara lebih lanjut, diketahui pengajaran para ibu kepada anak perempuannya ini diperoleh dari pengalaman ibu sebagai perempuan. Pengalaman yang berbeda-beda dari para ibu memunculkan pengasuhan yang berbeda pada anak perempuan. Pengalaman ibu di budaya patriarki diwariskan kepada anak perempuan yang memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu. Maka, Ibu akan merasa tegang dan sangat khawatir bila anak perempuannya gagal memenuhi tuntutan peran yang diharapkan oleh budaya patriarki (Poerwandari, 2011).

Seorang sosiolog dan psikoanalis feminis, Nancy Chodorow (1978) berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki mengalami perkembangan dan sosialisasi berbeda karena pengalaman hidup mereka terkait dengan jenis kelamin. Maka untuk memahami perkembangan manusia secara penuh hanya bisa dicapai dengan memahami pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan secara spesifik (Surrey, 1985).

(14)

4 relasi paling awal yang dialami manusia, yaitu hubungan dengan ibu. Selama sembilan bulan di awal masa kehidupannya anak menjadi bagian (a part) dari ketubuhan ibunya. Seiring dengan pertumbuhkembangan anak di dalam

kandungan ini eksistensi ibu mulai muncul, demikian telaah Nurrachman (2011) terhadap Freud & Chodorow.

Secara spesifik, ibu dan anak perempuan memiliki ikatan yang lebih khusus dibandingkan ibu dengan anak laki-laki (Chodorow, 1978). Dari segi biologis ibu dan anak perempuan memiliki aspek ketubuhan yang sama sehingga identitas feminin anak perempuan berkembang dalam konteks keterikatan dengan ibunya, demikian telaah Nurrachman (2011) terhadap Chodorow. Identitas feminin anak perempuan dipengaruhi oleh sosialisasi yang dialami dalam hidupnya. Salah satu agen sosialisasi yang berperan bagi anak perempuan adalah ibunya sendiri. Hal-hal yang ditransmisikan ibu terhadap anak perempuan di dalam proses sosialisasi tersebut amat dipengaruhi oleh bagaimana ibu menginternalisasikan nilai budaya dan masyarakat di mana ia berada (Chodorow, 1978).

Menariknya, jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat peran menjadi ibu telah dipersiapkan dan disosialisasikan kepada perempuan sejak ia masih kanak-kanak (Hidajadi, 2010). Chodorow (1978) bahkan memaparkan

bahwa kemampuan untuk menjadi ibu “direproduksi” dari ibu kepada anak

(15)

5 serta munculnya berbagai peraturan dan larangan agar perempuan tetap

mempunyai sikap yang diangggap pantas bagi seorang perempuan (Hidajadi, 2010). Terlihat bahwa secara psikologis perempuan dipersiapkan untuk menjadi ibu melalui perkembangan situasi di mana ia bertumbuh kembang bersama dengan perempuan yang mengasuhnya (Chodorow, 1978).

Ketika seorang perempuan menjadi ibu yang membesarkan anak perempuan, ia akan bercermin pada dirinya sendiri dengan harapan bahwa anak perempuannya memperoleh tempat di masyarakat yang patriarki ini (Hidajadi, 2010). Walaupun demikian, pemahaman dan penghayatan konsep perempuan akan dipersepsi berbeda-beda oleh perempuan itu sendiri. Perbedaan biopsikologis dan

pengalaman hidup yang melekat pada perempuan membawa konsekuensi pada cara perempuan mempersepsi dan menghayati dunia realitas serta melakukan aktivitas di dalamnya (Nurrachman, 2011). Akhirnya, muncul sosok Ibu sebagai suatu peran dengan dua sisi identitas, yaitu sisi personal berupa konsep diri dan sisi sosial di mana peran ibu dipengaruhi oleh mitos-mitos dan harapan

masyarakat. Hal ini merupakan telaah Nani Nurrachman terhadap Rubin (2011).

(16)

6 Maka, pembentukan gender bukan hanya terjadi secara alamiah tetapi

dipengaruhi oleh sosialisasi ibu di dalam keluarga yang merupakan sistem sosial pertama bagi anak (Gerungan, 2004). Konsep gender sendiri berada di tiga tahap analisis, yaitu individual, interaksional, dan struktural (Risman, 1998).

Kajian terhadap berbagai penelitian mengenai gender dengan paradigma psikologi sosial, memberikan pemahaman bahwa gender bukanlah sebuah atribut menetap melainkan sebuah proses interaksi yang terus menerus terjadi (West & Zimmerman, 1987). Gender juga dilihat sebagai suatu sistem yang multi-level (Shelley, 2007). Dengan demikian, gender di tataran individu merupakan suatu identitas yang diperoleh melalui interaksi sehari-hari di masyarakat berdasarkan ekspektasi gender yang ada.

Terkait dengan interaksi, munculnya interaksi yang tidak seimbang secara berulang antara laki-laki dan perempuan memunculkan keyakinan kultural

mengenai perbedaan gender (Eagly & Steffen, 1984 dan Ridgeway dalam Shelley, 2007). Keyakinan kultural mengenai perbedaan gender ini dibawa dan

ditransmisikan oleh ibu dalam interaksinya dengan anak perempuan. Selain pengaruh keyakinan kultural, cohort kelahiran dan generasi di mana ibu tumbuh dan berkembang juga akan mempengaruhi bagaimana ia menunjukkan perannya sebagai ibu dan mentransmisikan sosialisasi gender kepada anak perempuannya (Fischer, 1991).

(17)

7 utama di dalam hidup mereka. Secara langsung maupun tidak langsung, hubungan ini menjadi penghubung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini dapat dilihat dalam dinamika sebagai berikut.

Bio Psiko Sosio

Ibu

Agama lingkungan

Bio Psiko Sosio

Media

Anak Perempuan

Budaya

Tradisi

Ibu

Bio Psiko Sosio

Lingkungan

Agama

Anak

Bio Psiko Sosial Media

Gambar 1.A.1. Dinamika relasi ibu dan anak perempuan dalam sosialisasi Pembelajaran, Penghayatan &

Kesadaran

(18)

8 Seperti yang telah dipaparkan di atas, perlu ditengarai bagaimana proses

sosialisasi peran gender dilakukan oleh ibu sebagai pengasuh pertama dan utama anak perempuan. Hal ini perlu dilakukan untuk semakin memahami diri

perempuan sebagai manusia dengan keunikan dan karakteristik yang khas. Sosialisasi peran gender yang diperoleh dari interaksi antara ibu dengan anak perempuannya akan memberikan gambaran yang lebih kontekstual dan komprehensif mengenai dinamika perempuan sebagai manusia.

Menurut Fischer (1991) ada beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penelitian antara ibu dan anak perempuan. Variabel tersebut antara lain, cohort generasi ibu maupun anak perempuan seperti yang sudah dipaparkan di atas, kelas sosial dan kultur. Woehrer dalam Fischer (1991) memaparkan adanya perbedaan ekspektasi keluarga dan perilaku terkait dengan etnisitas.

Indonesia sebagai negara multikultural memiliki keunikan dan kekhasan etnis yang beragam. Setiap etnis memiliki karakteristiknya masing-masing. Interaksi dan persinggungan antar etnis pun juga memunculkan dinamika dan karakteristik yang unik. Di dalam penelitian terhadap peran ibu dalam sosialisasi gender terhadap anak perempuan ini, penelitian akan difokuskan kepada satu etnis yaitu etnis Tionghoa. Pemilihan ini berdasarkan kenyataan adanya pelekatan stereotipe dua kali pada perempuan beretnis Tionghoa (Meij, 2009). Pertama pada

(19)

9 Pelekatan stereotipe dua kali pada perempuan beretnis Tionghoa menyebabkan munculnya perasaan didiskriminasi. Merasa berbeda dan didiskriminasi

mempengaruhi pemaknaan self pada perempuan Tionghoa seperti yang

dipaparkan Mely G. Tan (2008) dari hasil wawancara terhadap perempuan berusia 31 tahun yang berdomisili di Bali, "We are Indonesians of Chinese origin, but we also know we are not Balinese. We are different from the Balinese, but then we are not real Chinese either". Pada generasi muda Tionghoa di Indonesia juga muncul kebingungan sebab mereka lebih melihat diri sebagai orang Indonesia ketimbang Tionghoa. Mereka menyadari darah Tionghoa mereka walaupun memiliki pengetahuan yang minim tentang tradisi dan budaya Tionghoa. Namun mereka merasa diperlakukan berbeda dari mayoritas etnis lain yang ada di Indonesia. Kondisi ini juga dirasakan oleh dua belas orang mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya dalam komunikasi pribadi (22 November 2011).

(20)

10 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penghayatan peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan keluarga Tionghoa. Jika tujuan penelitian ini tercapai maka ilmu psikologi yang bertujuan untuk memahami manusia (dirinya sendiri) berdasarkan interaksi antar manusia dapat semakin terwujud dan dikembangkan. Terlebih tujuan dari psikologi perempuan secara khusus, yaitu untuk memahami realitas kehidupan perempuan yang bersumber dari pengalaman hidup individu perempuan. Secara bersamaan terjadi proses refleksi atas pengalaman serta interaksi yang reflektif untuk menghasilkan temuan serta pengetahuan ilmiah yang berspektif perempuan, serta lebih realistis dan humanis (Nurrachman, 2011).

Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, maka penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian akan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) yang akan dilakukan pada ibu dan anak perempuan usia dewasa muda yang berada dalam satu ikatan keluarga kandung dan tinggal bersama di satu rumah.

I.B. Perumusan Masalah

“Bagaimana gambaran penghayatan peran Ibu dalam sosialisasi identitas gender

anak perempuan keluarga Tionghoa?

(21)

11 I.C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memahami secara mendalam mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan. Dengan demikian tercipta usaha memahami realitas kehidupan perempuan yang bersumber dari pengalaman hidup individu perempuan.

I.D. Manfaat Penelitian

I.D.1. Manfaat Teoritis

Perolehan gambaran mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan diharapkan memberi referensi dalam perkembangan psikologi perempuan di Indonesia. Terutama mengenai pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika peran ibu dalam proses sosialisasi para calon ibu untuk generasi selanjutnya, yaitu para anak perempuan.

1.D.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan pemahaman kepada psikolog, aktivis dan konselor mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan

2. Memberikan kesadaran pada ibu dan anak perempuan yang terlibat dalam siklus ibu-anak secara berkelanjutan dalam memahami dinamika relasi dan peran masing-masing di dalam relasi tersebut.

A. Sistematika Penulisan

(22)

12 diberikan pemaparan mengenai perlunya melakukan penelitian mengenai

(23)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Psikologi Perempuan Berbeda dengan Psikologi Laki-laki

Psikologi arus utama yang berkembang dewasa ini seringkali

menyamaratakan pengalaman hidup laki-laki dan perempuan, terlebih jika hal ini dikuantifikasikan ke dalam angka. Laki-laki dan perempuan hanya menjadi simbol jenis kelamin yang tak bermakna apa-apa pada hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan. Padahal jika ingin memahami manusia secara utuh, diperlukan usaha untuk menyelami kehidupan perempuan maupun laki-laki secara holistik pula (Nurrachman, 2011). Psikologi yang berkembang di Barat menurut

Nurrachman (2011) cenderung mengarah ke sifat andosentris di mana konsep-konsep yang terbentuk memerlukan usaha rekonstruksi agar sesuai dengan pemaknaan yang lebih tepat bagi perempuan.

Psikologi perempuan berbeda dari psikologi laki-laki, sebab perlu disadari bahwa perbedaan pengalaman hidup perempuan tidak bisa dilepaskan dari faktor biologis dirinya yang dikenai persepsi sosial-budaya lingkungannya. Perjalanan perempuan untuk memahami dirinya masih berada dalam batasan-batasan objektif ketubuhan dan lingkungan sosial budaya. Hal ini sangat jauh berbeda dari

(24)

14 telah disosialisasikan pada anak perempuan sejak usia dini dan kemudian

dialaminya secara langsung, memunculkan diri (self) perempuan yang senantiasa

berada dalam bentuk ‘diri-dalam-relasi’ yang saling tarik menarik dengan diri

sebagai ‘aku’ yang mandiri (Nurrachman, 2011).

Melalui perspektif psikologi perempuan, diharapkan perempuan dapat dipandang dan dipahami sebagai manusia dengan segala dinamika psike yang dialaminya. Kecenderungan yang ada selama ini tinjauan mengenai perempuan

cenderung dilihat sebagai ‘yang lain’ oleh konstruksi sosial budaya masyarakat.

Oleh karena itu, tinjauan menggunakan faktor biospikososiokultural yang

berperan di dalam kehidupan perempuan diharapkan mampu memberikan konteks untuk memahami perempuan sebagai subjek (Nurrachman, 2011) sekaligus untuk memperoleh gambaran bagaimana perempuan “menyatakan diri” melalui

penghayatan dirinya.

Peneliti mengambil posisi sebagai perempuan dengan menggunakan perspektif psikologi perempuan untuk melihat diri ibu dan anak perempuan dalam keluarga Tionghoa secara holistik dan reflektif melalui penuturan mereka akan pengalaman hidup sebagai perempuan. Perkembangan psikologi perempuan secara teoritis akan dipaparkan di bawah ini.

II.B. Psikologi Perkembangan Perempuan

II.B.1. Perkembangan Diri Sendiri

(25)

15

One is born female or male, but one is socialized to be feminine or masculine

(Cobb, 2000)

Gender merupakan salah satu bagian penting di dalam pembentukan konsep diri (self concept) sebab gender memainkan peran penting dalam usaha manusia untuk mendefinisikan dan menjalani dunia mereka (Sroufe, 1996). Salah satu sarana penting untuk memahami diri adalah melalui pemahaman mengenai gendernya. Proses identifikasi gender ini dimulai dari umur dua tahun (Cobb, 2000) di mana anak dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Proses ini disebut sebagai labelisasi gender (gender labeling). Sebagian besar anak-anak usia dini, kesulitan membedakan jenis kelamin (sex)

dengan gender. Jika jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis seperti sistem reproduksi (Cobb, 2000), maka gender lebih menekankan pada pemahaman dan pembentukan kultural mengenai apa yang disebut sebagai maskulin dan feminin. Perbedaan gender ditentukan secara sosial melalui proses sosialisasi.

(26)

16 orang dewasa. Hal-hal seperti ini berkontribusi pada perkembangan identitas gender anak sesuai dengan pengalaman mereka sebagai laki-laki maupun perempuan (Cobb, 2000).

Perkembangan stereotipe gender pada anak terjadi melalui berbagai cara. Secara umum ada tiga pandangan mengenai terbentuknya stereotipe gender, yaitu perspektif social-learning-theory, perspektif psikodinamika dan perspektif

developmental constructive (Cobb, 2000).

II.B.1.1.1. Perspektif social-learning-theory

Social-learning-theory menekankan pentingnya peran kekuatan eksternal

dalam membentuk perilaku yang sesuai dengan gender di mana perilaku-perilaku tersebut merupakan hasil dari suatu pembelajaran. Orang tua memiliki peran penting dalam proses pembelajaran, baik sebagai model yang diimitasi oleh anak maupun sebagai pemeran aktif dalam membentuk perilaku anak-anak mereka. Secara sadar pada umumnya orang tua merasa tidak membeda-bedakan perilaku dalam bersikap terhadap anak laki-laki dan anak perempuannya. Namun pada sebuah penelitian yang mengobservasi perilaku ibu (Will, Self & Datan dalam Cobb, 2000) ditemukan bahwa ibu akan memberikan mainan yang berbeda saat berinteraksi dengan balita yang dianggap sebagai laki-laki dan perempuan.

Para ibu yang terlibat dalam penelitian ini berkata pada para peneliti bahwa mereka tidak akan bersikap berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan mereka. Pada masa ini pula perilaku sesuai dengan jenis kelamin (sex-typed

(27)

17 awalnya anak memiliki pemahaman yan terbatas mengenai perilaku sesuai gender, namun pada usia tiga sampai empat tahun anak akan semakin mengetahui objek dan aktivitas yang sesuai dengan gender serta semakin memunculkan perilaku sesuai dengan jenis kelamin (sex-typed behavior).

II.B.1.1.2. Perspektif psikodinamika

Perspektif psikodinamika berawal dari pandangan aliran psikoanalisa mengenai proses internalisasi mengenai perilaku melalui proses identifikasi. Melalui identifikasi pada orang tua berjenis kelamin yang sama dengan dirinyaa (same-sex parent), anak menginternalisasikan semua perilaku dan sikap dari orang tuanya. Keinginan yang kuat untuk menjadi sama seperti orang tua dari gender yang sama menyebabkan anak akan mengadopsi perilaku, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tuanya (Soufre, 1996). Proses pengadopsian ini melibatkan elemen kognitif karena membutuhkan kemampuan anak untuk mengenali persamaan gender antara dirinya dengan salah satu dari kedua orang tuanya, lalu membuat abstraksi yang membantunya menggolongkan orangtuanya sebagai laki-laki atau perempuan.

Chodorow (1978) melihat bahwa anak perempuan mendefinisikan

femininitasnya melalui persamaan yang dimiliki dengan ibunya. Teori Chodorow berdasar pada asumsi Freudian di mana laki-laki dan perempuan memiliki

hubungan yang paling kuat dalam relasi dengan ibunya. Anak laki-laki

(28)

18 identifikasi ini menjadi dasar dari perbedaan gender dan seksualitas pada masa dewasa di kemudian hari. Perempuan akan cenderung mendefinisikan dirinya dalam keterhubungan dengan orang lain, melihat orang lain dari kesamaan yang dimilikinya serta memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merasakan perasaan orang lain (Soufre, 1996).

II.B.1.1.3. Perspektif developmental constructive

Pendekatan ini mengasumsikan anak-anak mengkonstruksikan identitas seksual mereka dengan meniru perilaku orang lain yang sesuai gender secara selektif, baik perilaku gender yang dilakukan oleh orang tuanya maupun oleh orang lain. Persepsi selektif dan bukan identifikasi dianggap sebagai proses yang bertanggung jawab pada perkembangan perilaku gender yang diharapkan (Marin & Helverson, Bem dalam Cobb, 2000).

(29)

19 melakukan kesalahan pada jenis kelamin karakter yang sesuai dengan aktivitas pada gambar yang mereka ingat kembali.

Sandra Bem dalam Cobb (2000) berpendapat bahwa gender memiliki

cognitive primacy melebihi kategori sosial lainnya karena pentingnya gender di dalam suatu masyarakat. Perkembangan anak-anak menggunakan skema gender dalam memproses informasi mengenai diri mereka dan anak-anak lain sedikit banyak bergantung pada bagaimana gender dikembangkan dalam proses sosialisasi di masyarakat. Selain itu, perkembangan konsep mengenai peran gender juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan kognitif serta berbagai

pengalaman yang diceritakan maupun diperlihatkan sebagai perilaku yang sesuai untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Penelitian ini akan menggunakan perspektif social-learning theory dan perspektif psikodinamika. Kedua perspektif ini digunakan untuk lebih memahami permasalahan penelitian secara lebih komprehensif dan holistik. Sesuai dengan teori Chodorow (1978) bahwa pembentukan identitas antara ibu dan anak perempuan terbentuk dari interaksi di dalam relasi mereka. Ibu menjadi seorang ibu dan berperilaku seperti ibu karena adanya kehadiran dari anak perempuan dan anak perempuan berperilaku seperti perempuan karena adanya kehadiran ibu.

(30)

20 dengan ibu dan penghayatan terhadap diri pribadi (self) atas seluruh peristiwa hidup yang dialami menjadi suatu proses tersendiri di dalam diri mereka masing-masing. Dengan demikian, perspektis social learning theory dan psikodinamika diperlukan dan relevan untuk memahami penelitian ini.

II.B.1.2. Sosialisasi Identitas Gender

Setelah mengetahui bagaimana gender dipahami anak sejak usia dini, perlu dipahami pula bagaimana sosialisasi gender terjadi di dalam keluarga sebagai lingkup sosial yang terkecil. Psikologi sosial tentang gender mempelajari bagaimana gender dibentuk dan dipengaruhi melalui interaksi sosial (Correl, 2007). Selain dipengaruhi oleh interaksi sosial, sosialisasi gender juga melibatkan proses kognitif (Correl, 2007). Gender mempengaruhi bagaimana kita menerima, menginterpretasi dan memberikan respon pada dunia sosial di sekitar kita. Sosialisasi gender juga melibatkan mekanisme bagaimana interaksi tersebut didefinisikan dalam rangka transmisi makna mengenai gender. Oleh karena itu, gender bukanlah semata-mata trait dari seorang individu saja melainkan prinsip yang terorganisir di dalam semua sistem sosial, termasuk keluarga, pekerjaan, sekolah, ekonomi, sistem hukum dan interaksi sehari-hari (Correl. 2007).

Para ilmuwan mengkonseptualisasikan gender sebagai institusi di dalam tiga tingkatan analisis, yaitu tingkat individual, interaksional dan struktural (Risman dalam Correl, 2007). Tingkat individual merujuk pada trait yang stabil dari laki-laki dan perempuan yang muncul selama kurun waktu tertentu.

(31)

21 pada sosialisasi anak-anak di usia dini. Pada tingkat interaksional, dikaji

bagaimana perilaku sosial difasilitasi atau dibatasi oleh ekspektasi dari orang-orang sesuai dengan trait mengenai laki-laki dan perempuan yang mereka miliki di masyarakat mereka. Sedangkan pada tingkat struktural dikaji bagaimana pola di tingkat makro, seperti posisi yang diharapkan orang di masyarakat atau imbalan yang diperoleh dari posisi tersebut mengarahkan pada perbedaan-perbedaan perilaku atau pengalaman yang dialami perempuan dan laki-laki. Perkembangan penelitian akhir-akhir ini di dalam psikologi sosial mengenai gender sebagian besar berfokus pada tingkat interaksional untuk melihat bagaimana ekspektasi gender membentuk perilaku (Correl, 2007).

Penelitian ini akan menggunakan tingkatan analisis individual dan interaksional. Tingkatan analisis individual diperlukan untuk memahami

karakteristik individu ibu dan anak perempuan, sedangkan tingkatan interaksional diperlukan untuk memahami bagaimana interaksi antara anak maupun ibu di dalam relasi mereka maupun dengan lingkungan sosial di sekitarnya membentuk pola perilaku gender tertentu berdasarkan pandangan yang dimiliki oleh keluarga Tionghoa mengenai perempuan sebagai ibu maupun anak.

II.2.2. Reproduksi Peran Ibu

II.2.2.1. Peran Ibu

(32)

22 dan menjadi sumber vital bagi dukungan emosional dan keibuan (Kraemer, 2006). Melalui diri ibu sebagian besar manusia pertama kali belajar mengenal cinta, kekecewaan, kekuatan dan kelembutann (Rich dalam Hirsch, 1981). Relasi ibu dengan anak menstimulus pertumbuhkembangan anak sejak masa awal

pertumbuhkembangannya. Pada anak perempuan proses identifikasi terhadap ibunya berlanjut sepanjang hidupnya, sementara anak laki-laki sejak masa awal kehidupannya berusaha memisahkan diri dan menjadi berbeda dari ibunya.

Boyd dalam Bickmore (1995) mengatakan bahwa ibu menjadi role model

utama dan pendidik dalam nilai-nilai budaya (cultural values). Pengalaman ibu bertahan hidup di dunia yang patriarki menjadi landasan baginya untuk

mentransmisikan nilai dan aturan terkait keperempuanan pada anak

perempuannya sehingga anak perempuannya juga dapat bertahan (survive) di dunia ini (Gilbert & Webster dalam Bickmore, 1995). Pada ibu di kelompok masyarakat (society) yang memberikan pengasuhan eksklusif serta menjadikan hubungan ini paling bermakna bagi anaknya maka anak mampu

menumbuhkembangkan sense of self bertitik tolak pada hubungan dengan ibunya (Chodorow, 1978). Cara ibu mengasuh melalui interaksi dengan anak menjadi landasan bagi anak di kemudian harinya untuk mengembangkan hubungan intim dan romantik berdasarkan pengalaman bersama ibu. Anak mendambakan

(33)

23 oleh sejarah pengalaman di masa kecilnya, relasinya terdahulu dan relasinya saat ini (Chodorow, 1978).

Ibu menjadi simbol ketergantungan, regresi, pasivitas dan minimnya adaptasi terhadap realita. Menurut Chodorow (1978) dengan berbalik dari diri ibu seseorang dapat menjadi wanita dan laki-laki dewasa. Sayangnya ibu seringkali merasa bahwa dirinya memiliki kebersatuan (oneness) dengan anak. Anak juga dipandangnya sebagai perluasan dari dirinya (extension of the self). Ibu perlu mengetahui kapan saat yang tepat untuk membiarkan anaknya berdiferensiasi dari dirinya dan mulai memisahkan diri. Pada situasi seperti ini ibu menciptakan ambivalensi pada anak.

Di satu sisi ia harus memberikan kesempatan pada anaknya untuk memisahkan diri dan berbeda dari dirinya tapi di sisi lain ia juga masih harus membimbing anaknya hingga mencapai tahap pertumbuhkembangan yang maksimal. Ibu menjadi figur yang sangat kuat tampil sebagai stimulus dalam kognisi anak, khususnya pada anak perempuan secara ketubuhan, cara berpikir, konsep, maupun dalam nilai simbolik (Nurrachman, 2011).

II.B.2.2. Interaksi Ibu dan Anak Perempuan

Ibu tercipta karena adanya kehadiran anak, anak pun terlahir karena adanya ibu. Maka eksistensi Ibu dan anak sama-sama muncul di saat yang bersamaan melalui interaksi mereka. Interaksi ibu dan anak memiliki kekhasan sebab selama sembilan bulan pertama anak menjadi bagian (a part) dari

(34)

24 terhadap Freud & Chodorow. Lalu setelah anak lahir, ia muncul dalam sosok tubuh yang berbeda dan terpisah dari ibu secara ketubuhan. Maka melalui proses pertumbuhkembangan selanjutnya, anak akan belajar membentuk dan

mengembangkan diri pribadi yang secara fisik dan psikologis ‘terpisah’ (apart)

dari ibunya.

Proses ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi ibu, sebab secara sadar maupun tidak sadar ibu sering menganggap ada kemenyatuan (oneness) antara dirinya dengan anak dan anak merupakan perluasan dari diri ibu (extension of the

self) (Chodorow, 1978). Anak perempuan yang memiliki aspek ketubuhan yang

sama dengan ibu akan semakin merasa sulit memisahkan diri dari ibu dalam proses identifikasi yang dimulai sejak usia empat tahun ini (Nurrachman, 2011). Memahami hubungan di antara mereka menjadi hal yang penting sebab ikatan antara anak perempuan dengan ibunya merupakan relasi yang kompleks dan saling ketergantungan. Ikatan ini seringkali menghambat anak perempuan untuk membangun identitas dirinya sendiri (Bickmore, 1995). Dari sisi ibu, ia

mengembangkan hubungan dan identitas yang lebih kuat dengan anak

perempuannya sebagai perluasan dari dirinya sendiri. Menurut Carol Boyd dalam Lucy Fisher pada Journal of Mother-Daughter Relationship (1995) sepanjang hidupnya anak perempuan akan bergumul untuk memisahkan diri dari ibunya.

(35)

25 dan perhatian, tidak terlihat lebih menonjol secara intelektual dibandingkan laki laki dan selalu mencari penerimaan dari orang lain. Ikatan antara ibu dan anak perempuan merupakan ikatan pertama dan paling mendasar dalam kehidupan perempuan yang saling membentuk satu sama lain. Interaksi di dalam hubungan ini seringkali menjadi kompleks, namun perempuan dewasa muda memiliki kebutuhan untuk memahami ibunya sehingga dapat memahami dirinya sendiri (Notar & McDaniel dalam Bickmore, 1995).

Pada interaksi yang kompleks ini masing-masing pihak memiliki pemaknaan tersendiri terhadap interaksi mereka sehingga mereka pun memiliki persepsi masing-masing yang berbeda di dalam relasi ini (Kraemer, 2006). Teori psikoanalisa memandang interaksi ibu dan anak perempuan secara tidak sadar menginternalisasikan nilai-nilai pengasuhan ibu (maternal values) dan pemaknaan terhadap nilai dan perilaku yang dimunculkan ibu pada diri anak perempuan (Boyd, 1989). Sementara teori social learning melihat bahwa anak perempuan belajar menjadi ibu dan menjadi seperti ibunya melalui konsistensi dan penguatan perilaku (reinforcement) yang diberikan ibu ketika ia meniru perilaku ibunya (Weitzman dalam Boyd ,1984).

(36)

26 mendominasi keseluruhan hidup perempuan, terutama dalam relasinya dengan suami atau orang yang dicinta.

Sampai masa dewasa, ibu masih menjadi inner object yang penting bagi anak perempuan dalam telaah object-relation psychologist. Dalam relasi ibu dengan anak perempuannya, sebenarnya ibu juga sedang mengurai relasinya yang belum terselesaikan dengan ibunya sendiri (Boyd, 1989). Interaksi antara ibu dan anak perempuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan

berkelanjutan. Menurut Jung dalam Boyd (1989), di dalam diri setiap ibu bersemayam anak perempuan di dalam dirinya dan setiap anak perempuan

memiliki diri ibunya. Setiap perempuan mengalami proses putar balik ke belakang terhadap ibunya dan ke depan menghadapi anak perempuannya.

Nurrachman (2011) dalam telaah terhadap teori Chodorow mengatakan bahwa penghayatan keibuan merupakan sublimasi psikologis. Bagaimana perempuan mengkonstruksi dan menghayati perannya sebagai ibu tidak terlepas dari figur ibunya sendiri. Ibu menjadi aktor utama dalam dasar pembentukan pribadi anak perempuan. Proses diferensiasi antara anak perempuan dengan ibunya, akan menjadi landasan bagi anak perempuan untuk menjadi perempuan yang berbeda dari ibunya (Nurrrachman, 2011).

(37)

27 anak perempuan yang berkisar pada boneka-bonekaan dan alat-alat memasak serta berbagai peraturan dan larangan yang dikenakan pada perempuan untuk tetap mempunyai sikap yang dianggap pantas bagi seorang perempuan (Hidajadi, 2010). Jadi, anak perempuan sudah disosialisasikan sejak dini untuk menjadi seorang perempuan dan bahkan seorang ibu di masa-masa mendatang.

Ketika seorang perempuan menjadi ibu yang harus membesarkan anak perempuannya, ia akan bercermin pada dirinya sendiri dengan harapan bahwa anak perempuannya memperoleh tempat di masyarakat yang patriarki ini (Hidajadi, 2010). Pemahaman dan penghayatan konsep perempuan akan

dipersepsi berbeda-beda oleh perempuan itu sendiri. Perbedaan biopsikologis dan pengalaman hidup yang melekat pada perempuan membawa konsekuensi pada cara perempuan mempersepsi dan menghayati dunia realitas serta melakukan aktivitas di dalamnya (Nurrachman, 2011).

(38)

28 berusia lima tahun, ia berkaca dari pengalamannya dahulu sebagai anak. Dulu, orang tuanya tidak mengizinkan Titi menjadi musikus.

Padahal menurutnya setiap anak berhak memiliki kebebasan memilih cita-cita. Maka ketika saat ini ia menjadi ibu bersama dengan suami yang berprofesi sebagai musikus, ia merasa wajib memperkenalkan pengetahuan dasar musik pada Miyake. Tetapi kalau anaknya tidak tertarik, ia tidak akan dipaksa. Walaupun sejauh ini, anaknya senang musik dan sudah pandai bernyanyi. Dari pengalaman Titi, dapat dilihat bahwa pengembangan diri pribadi perempuan mengacu pada refleksi atas sosialisasi dan pengalaman yang diperolehnya semasa ketika ia menjadi anak perempuan sampai akhirnya ia sendiri menjadi ibu dan kini melihat ibunya melalui kacamata perempuan dewasa (Nurrachman, 2011).

(39)

29 Melalui pembahasan pada teori gender, teori peran ibu dan interaksi antara ibu dan anak perempuan terlihat bahwa proses identifikasi gender pada diri anak perempuan tidak dapat dipisahkan dari interaksi dengan ibunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Chodorow (1978) bahwa diri perempuan merupakan diri dalam relasi. Penelitian yang ingin melihat bagaimana proses identitas gender pada anak perempuan terbentuk ini tidak dapat dilepaskan dari interaksi ibu dan anak

perempuan melalui pola asuh yang disosialisasikan sejak kecil.

Oleh karena itu perspektif psikodinamika dan teori social learning serta tingkatan analisis individual dan interaksional akan menjadi kerangka berpikir dalam penelitian ini. Untuk dapat melihat terjadinya social learning secara lebih kontekstual maka digunakan konteks sosial budaya di dalam keluarga Tionghoa. Konteks sosial budaya ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi paradigma dalam memandang perempuan, sebagai entitas gender maupun dalam peran sebagai ibu dan anak perempuan serta interaksi di antara mereka.

II.2.3. Perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia

Paradigma perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya yang melingkupinya.

Pengalaman warga keturunan Tionghoa selama lebih dari tiga puluh dua tahun di masa Orde Baru yang dibedakan menyebabkan penghayatan ke-Indonesiaan yang berbeda dibandingkan dengan etnis lainnya di Indonesia (Tan, 2008). Analisis Mely G. Tan terhadap Wang dalam Tan (2008) mengungkapkan adanya

(40)

30 di Indonesia di masa Orde Baru yang masih terasa implikasinya hingga hari ini. Secara de jure, mereka tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka pun tinggal di daerah demografis Wilayah Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun mereka merasa berbeda dari orang Indonesia lainnya maupun dari orang

Cina “yang sebenarnya” (Tan, 2008). Seorang perempuan peranakan dari

Denpasar, Bali pada wawancara dengan Mely G. Tan dalam Tan (2008) berkata

seperti ini “We are Indonesian of Chinese origin; but we also know we are not

Balinese, but then we are not real Chinese either”. Pengalaman perempuan

sebagai ‘yang lain’ (the other) seperti yang dipopulerkan oleh Simone de

Beauvoir dalam The Second Sex (1949) tampaknya terjadi berlapis dua kali pada perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada lapisan pertama, ia menjadi

‘yang lain’ karena jenis kelaminnya dan pada lapisan kedua ia menjadi ‘yang lain’

karena keetnisitasannya.

Perlu disadari bahwa kelompok Indonesia Tionghoa merupakan suatu komunitas yang tinggi tingkat keanekaragamannya. Namun sampai saat ini

(41)

31 Di tengah-tengah dua kontinum ini mayoritas Indonesia Tionghoa

termasuk dalam kelompok peranakan, yaitu mereka yang secara kultural lebih berorientasi Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal di rumah, tidak lagi berbicara dalam bahasa Cina dan memiliki pengetahuan yang minim tentang agama dan tradisi Tionghoa (Tan, 2008). Kelompok Indonesia Tionghoa seperti ini dapat ditemui di kota-kota besar. Mereka tidak meragukan kewarganegaraan Indonesia mereka namun masih menyadari darah Cina di dalam diri mereka. Bagaimana mereka menghayati identitas diri mereka di tengah keadaan de jure bahwa mereka warga negara Indonesia tapi secara de facto masih mengalami perlakuan dan pandangan yang berbeda dipengaruhi kuat oleh ajaran dan pendidikan di dalam keluarga (Dawis, 2009).

Pada penelitian untuk disertasinya, Dawis melakukan focus group

discussion (FGD) pada orang Indonesia Tionghoa yang berasal dari lima belas

kota berbeda di Indonesia. Ia menemukan keragaman jawaban dari para

respondennya terkait pandangan dan rasa suka (likeness) bergaul dengan orang bukan Tionghoa, pribumi dan hubungan Tionghoa-pribumi. Menurut Dawis (2009) kesadaran mereka sebagai orang Tionghoa juga berbeda-beda tergantung pada tempat di mana mereka dibesarkan dan agama yang dipeluk. Di sisi lain, ada nilai budaya, tradisi dan adat tertentu yang juga menyatukan orang Indonesia Tionghoa. Salah satu faktor penting yang menyatukan respondennya adalah keluarga mereka.

(42)

32 penghormatan terhadap orangtua dan leluhur. Menurut mereka penghormatan pada leluhur memberikan mereka restu untuk mendapatkan keberhasilan (Dawis, 2009). Pada perempuan di keluarga Tionghoa, ajaran untuk hormat dan tunduk pada orang tua lebih ditekankan dan disosialisasikan dibandingkan pada anak laki-laki (Sidharta, 1987). Pada kelompok peranakan Indonesia yang modern seorang anak perempuan atau istri yang baik mampu memenuhi permintaan dari keluarga terutama dari figur maskulin yaitu ayah dan suami. Mereka juga dituntut untuk menjalankan peran tradisional sebagai anak perempuan, istri dan ibu dengan baik (Sidharta, 1987).

(43)

33 Paham Konfusius memunculkan paham mengenai wanita yang sempurna bagi orang Tionghoa, yaitu mengikuti aturan kepatuhan dalam ajaran Konghucu. Menurut Sidharta (1987) sebagai gadis yang belum menikah, ia harus patuh kepada ayahnya dan kakak lelaki tertuanya; kalau sudah menikah ia harus patuh pada suaminya; dan kalau ia janda patuh kepada anak lelakinya. Tuntutan terhadap perempuan di keluarga Tionghoa amatlah tinggi namun mereka tidak diberikan akses dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk membuat keputusan di dalam hidupnya (Meij, 2009). Pada konteks ini, identitas diri mereka sebagai perempuan di keluarga Indonesia Tionghoa pun mengalami pergumulan sekaligus pertumbuhkembangan. Padahal di saat yang bersamaan mereka masih mempertanyakan pula identitas mereka sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Proses pergumulan identitas mereka pun menjadi berlapis-lapis disertai pengalaman menjadi liyan atau the other berlapis ganda. Penelitian ini ingin melihat proses pembentukan identitas perempuan di keluarga Tionghoa terkait dengan konteks dan situasi yang mereka hadapi.

II.2. 3.1.Terbentuknya Identitas Diri pada Perempuan di Keluarga Tionghoa

(44)

34 lingkungan sosialnya yang berinteraksi secara fisik dan psikologis pada individu. Oleh karena itu, ada suatu interaksi timbal balik (mutual) antara individu dan lingkungannya sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam mempersiapkan seorang individu menjadi bagian dari budaya yang sedang berjalan (ongoing culture).

Pada anak perempuan di keluarga Tionghoa, terdapat berbagai nilai dan ajaran utama Konfusius yang mempengaruhi bagaimana perempuan diasuh, dididik dan dipersiapkan untuk memenuhi pandangan mengenai perempuan tersebut (Meij, 2009). Pada ajaran Konfusianisme sendiri menurut Meij (2009), identitas diri seseorang merupakan hasil relasinya dengan orang lain sehingga tidak ada diri yang berdiri sendiri. Dengan demikian, semua tindakan individu harus berada dalam sebuah bentuk interaksi antara manusia dengan manusia lainnya. Di dalam ajaran Konfusianisme secara khusus, fungsi dan peran perempuan adalah subordinat laki-laki.

Pe-nomor-duaan perempuan merupakan sesuatu yang normal dalam tradisi keluarga Tionghoa. Perempuan pada umumnya tidak dipandang sebagai anggota keluarga yang berharga bila dibandingkan dengan laki-laki. Budaya patriarki

dalam tradisi keluarga Tionghoa menempatkan perempuan sebagai “liyan” (Meij,

(45)

35 Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Chodorow (1978) dalam “The

Reproduction of Mothering”. Hubungan ibu dan anak perempuannya memiliki

kontinuitas antar generasi yang lebih besar dibandingkan ayah dengan anak laki-lakinya. Untuk menjaga kontinuitas ini, maka anak perempuan di dalam keluarga Tionghoa sejak kecil dipersiapkan untuk menghadapi pernikahan serta tunduk pada otoritas ayahnya dan kemudian pada suaminya ketika sudah menikah (Sidharta, 1987). Walaupun keluarga Tionghoa di Indonesia pada saat ini sudah lebih modern daripada masa beberapa puluh tahun yang lalu, namun fokus terhadap peran tradisional sebagai anak perempuan, istri maupun ibu masih terus berlanjut sampai sekarang (Sidharta, 1987).

Di masa modern ini, peran tradisional perempuan sebagai anak, istri maupun ibu di keluarga Tionghoa pun masih tidak dapat dilepaskan dari ajaran Konfusius. Sikap patuh (obedient) masih dijunjung tinggi dan diharapkan dimiliki oleh anak perempuan. Oleh karena itu, sikap ini pula yang disosialisasikan pada anak perempuan dengan harapan akan terinternalisasi di dalam dirinya. Pada proses sosialisasi dan internalisasi ini, setiap perempuan akan mengacu pada pengalamannya sebagai anak yang tidak dapat dilepaskan dari peran ibu dalam mendidiknya. Menurut Chodorow (1978) hubungan antara ibu dan anak

perempuan dapat dideskripsikan sebagai berikut, “the mother experience of her

child and the child’s experience of its mother”

(46)

36 (Chodorow, 1978). Penghayatan seperti ini tentunya akan mempengaruhi fondasi awal perkembangan psikososial anak yang di dalam teori Erikson disebut sebagai tahap basic trust vs basic mistrust (Cobb, 1992). Di tahap ini anak sedang belajar membuat basis atau landasan dari identitas psikososialnya. Melalui relasi dengan anak perempuan belajar mendefinisikan diri melalui relasi dengan ibunya

(Chodorow, 1978). Bahkan menurut Chodorow (1978) sepanjang kehidupan anak perempuan nantinya, ia akan terus berusaha menciptakan pengalaman kedekatan awal dan kebersatuan dengan ibunya. Kualitas dari relasi ibu dengan anak perempuannya juga akan menjadi penentu sekaligus berinteraksi dengan seluruh relasi anak perempuan di seluruh tahap perkembangan hidupnya. Chodorow mengutip kalimat Fairbarn dalam Chodorow (1978) mengenai relasi anak dengan

ibunya sebagai berikut, “the foundation upon which all his/her future relationships

with love objects are based”.

(47)

37 membimbing anak perempuannya untuk berpisah dan berbeda dari dirinya.

Namun hal ini tidaklah mudah. Terkadang, ibu memunculkan ambivalensi di dalam diri anak perempuan karena secara tidak langsung mengarahkan anak perempuan untuk menolak dirinya sekaligus menerima perhatian yang diberikan oleh ibunya.

Pada tahap-tahap perkembangan anak perempuan selanjutnya pun, ibu masih tetap berperan penting baginya. Sebab ibu harus peka dan tahu apa yang dibutuhkan oleh anak perempuannya sekaligus apa yang bisa diperoleh anak perempuan dari dirinya maupun relasi mereka (Chodorow, 1978). Ibu perlu mengetahui kapan anak perempuannya sudah siap untuk berjarak dengan dirinya dan mulai memiliki inisiatif untuk mengurus dirinya sendiri. Transisi pada masa ini dapat menjadi suatu tahap yang sulit dan membingungkan. Di mana menurut Erikson, pada tahapan ini anak sedang belajar mengenai initiative vs guilt. Inisiatif dan otonomi akan memberikan anak perempuan kesempatan untuk memiliki determinasi dan tujuan. Namun, tanpa memiliki pemahaman yang memadai tentang tujuan (purpose) dari apa yang dilakukannya terlebih hanya dengan meniru apa yang dilakukan ibu sebagai perempuan dewasa anak perempuan akan terjebak dalam ritualisme (Cobb, 1992). Hal ini dapat berlanjut hingga usia dewasa di mana perempuan sebagai wanita dewasa berusaha menampilkan gambaran diri yang tidak sesuai dengan diri sejatinya (real-self).

(48)

38 ekspetasi peran sebagai ibu jika mampu melakukan pengasuhan yang baik di mata lingkungan sosialnya. Ibu berperan ganda sebagai pemberi maupun penerima dari ekstensi dirinya yang ada pada anak perempuannya (Chodorow, 1978).

Pada lingkungan keluarga Tionghoa yang mengharapkan ibu berperan penuh dan utama dalam mengasuh dan membesarkan anak, maka anak perempuan menjadi titik tolak keberhasilan ibu menjalani perannya. Demi penghargaan akan keberhasilan ini, mungkin saja ibu melakukan apa yang mestinya dilakukan anak sebagai dirinya sendiri bukan sebagai ekstensi dari diri ibu. Secara langsung maupun tidak langsung, hal ini akan mempengaruhi tahapan perkembangan psikososial anak perempuan di masa industry vs inferiority (Hall, 1992).

Di saat yang bersamaan di mana anak perempuan seharusnya

mengembangkan rasa mampu dan kompeten terhadap dirinya sendiri, ibu juga sedang berusaha untuk menunjukkan kemampuan dan kompetensinya sebagai ibu baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Selain hubungan dengan anaknya, peran pengasuhan ibu juga dipengaruhi oleh hubungannya dengan suami, pengalaman memiliki ketergantungan finansial, harapan terhadap

keseimbangan dalam perkawinan dan harapannya tentang peran gender itu sendiri (Chodorow, 1978).

Proses ini terus berlanjut sampai pada tahap di mana anak perempuan semakin berusaha untuk memantapkan identitas dirinya. Masa ini disebut oleh Erikson dalam tahapan psikososialnya sebagai identitiy vs identity confusion

(49)

39 sendiri, yaitu bahwa dirinya adalah pribadi yang unik dan sedang dipersiapkan untuk menjalani suatu peran yang bermakna di dalam lingkungan masyarakat. Peran ini dapat dijalaninya dengan menyesuaikan diri ke dalam peran itu atau melakukan inovasi untuk peran tersebut. Pada perempuan di keluarga Tionghoa yang telah mengalami sosialisasi identitas sejak masa kecilnya memunculkan pengalaman sadar (conscious) maupun tidak sadar (unconscious) sepanjang pengalaman hidupnya. Di masa ini ia memiliki kebebasasn untuk memilih ingin mendefinisikan dirinya seperi apa di masa sekarang dan apa yang ia harapkan mengenai dirinya di masa yang akan datang.

Apa yang ia inginkan di masa saat ini maupun di masa yang akan datang, tidak terlepas dari sejarah dirinya, relasi dirinya dengan ibunya, sejarah ibunya sendiri maupun sejarah keluarga sebagai bagian dari suatu kelompok kolektif. Persinggungan dari berbagai elemen ini dapat memunculkan suatu kebingungan mengenai peran maupun identitas (Hall, 1992). Mudah sekali muncul perasaan terisolasi, kosong, cemas dan tak berkeputusan terlebih jika ia menuruti dan menghayati sikap kepatuhan yang disosialisasikan kepadanya sejak ia kecil. Bahkan terkadang lingkungan sosial terasa menekan mereka untuk membuat keputusan disertai dengan pertimbangan bagaimana orang lain memandang diri mereka.

(50)

40 menjadi bagian atau milik dari suatu kelompok (Hall, 1992). Di dalam hal ini perempuan di keluarga Tionghoa memiliki pilihan ingin menjadikan dirinya bagian dari kelompok apa dan kelompok yang mana. Termasuk apakah ia dan anak perempuannya berada dalam satu kelompok yang sama atau berbeda.

Penelitian ini ingin menelaah secara eksploratif mengenai proses pembentukan identitas termasuk krisis identitas yang dialami perempuan di keluarga Tionghoa Indonesia sebagai ibu maupun anak perempuan yang

mengalami perilaku berbeda secara ganda, pertama karena keperempuanannya di dalam budaya patriarki Tionghoa dan kedua karena ke-Tionghoan-nya di dalam konteks kehidupan di Indonesia.

II. B. Kerangka Penelitian

(51)

41 Gambar II.B.1. Dinamika Teori Penelitian

(52)

42 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola asuh membentuk identitas gender ibu-anak perempuan di keluarga Tionghoa. Gambaran pola asuh antara ibu-anak perempuan merupakan konteks dari pengalaman hidup ibu sebagai perempuan yang memunculkan identitas gender sebagai salah satu hasil dari pola asuh tersebut. Pengalaman hidup yang

diimplementasikan dalam pola asuh akan terus berulang dan terjadi terus menerus di dalam keluarga dan masyarakat yang bersumber dari pengalaman hidup

individu.

Penelitian ini ingin melihat bagaimana pemaknaan ibu dan anak perempuan di keluarga Tionghoa terhadap identitas gendernya yang

ditransmisikan melalui interaksi di dalam pola asuh. Penelitian ini menggunakan keluarga Tionghoa sebagai konteks sosial budaya yang mempengaruhi paradigma identitas gender di kelompok masyarakat tersebut. Proses pola asuh dan

pembentukan identitas gender dilihat sebagai suatu proses yang

(53)

43 Berdasarkan penjelasan di atas mengenai penelitian yang ingin melihat makna di dalam konteks dan cara berpikir holistik, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2008), penelitian

kualitatif memungkinkan munculnya pemahaman mengenai kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebab di dalam penelitian kualitatif, peneliti memperlakukan manusia secara empatis sebagai makhluk yang memiliki

kesadaran dan pemahaman mengenai hidupnya sendiri. Menurut Creswell (2009) penelitian kualitatif mengandung pengertian adanya penggalian dan pemahaman makna terhadap apa yang terjadi pada individu maupun kelompok.

Selain itu, ciri-ciri dari penelitian kualitatif yang dipaparkan oleh

Poerwandari (2008) sesuai dengan karakteristik dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Ciri-ciri penelitian kualitatif antara lain mendasarkan diri pada kekuatan narasi, melakukan studi dalam situasi alamiah, analisis bersifat induktif karena berorientasi pada eksplorasi, penemuan dan logika induktif sehingga pada akhirnya ditemukan pola hubungan dari kategori yang ada (Patton dalam Poerwandari, 2008). Penelitian kualitatif juga bertujuan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh mengenai fenomena yang diteliti dengan mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena adalah suatu sistem yang kompleks.

(54)

44 diperlukan proses penelitian sirkuler sehingga proses penelitian mengenai peran ibu dalam proses sosialisasi peran gender ini dapat ditelaah dengan baik.

Penelitian dengan topik ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia sehingga pertanyaan-pertanyaan khas pendekatan kualitaitf yang terbuka (

open-ended) diharapkan dapat menampung kekayaan dan kedalaman informasi yang

diperoleh dari para narasumber untuk diteruskan pada penelitian-penelitian selanjutnya.

Penelitian kualitatif ini akan menggunakan paradigma kritikal sebab peneliti menyadari bahwa berbagai kondisi sosial ekonomi mempengaruhi kehidupan perempuan dalam usahanya untuk menghayati proses kehidupannya. Pada paradigma ini, manusia dilihat memiliki kemampuan untuk memberikan

(menciptakan) arti terhadap kehidupan yang dialami, bahkan mampu mengubah arti tersebut (Poerwandari, 2008). Dengan demikian, peneliti menyadari bahwa ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang hidup di dalam masyarakat. Menurut Poerwandari (2008), paradigma kritikal merupakan pendekatan yang cocok digunakan untuk penelitian tentang perempuan.

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (Kumar, 1999). Sebab penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu

(55)

45 III.B. Instrumen Penelitian

Berdasarkan jenis dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data untuk penelitian ini akan menggunakan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2008), wawancara dengan pedoman terstandar terbuka adalah wawancara yang ditulis rinci lengkap dengan set pertanyaan. Peneliti melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum dan menanyakan dengan cara yang sama pada responden yang berbeda. Namun untuk menggali jawaban yang terbatas digunakan

keluwesan peneliti untuk menggali data lebih dalam sesuai dengan karakteristik responden. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pemahaman dan penghayatan subyek terhadap tema-tema yang terkait dengan penelitian ini.

Selain wawancara terstandar terbuka, instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam. Alat perekam ini akan digunakan selama proses wawancara berlangsung dan akan digunakan sesuai dengan izin subjek. Sebelum dilakukan proses perekaman wawancara, subjek akan diminta untuk mengisi lembar informed consent sebagai pernyataan kesediaan berpartisipasi di dalam penelitian ini serta bersedia dilakukan proses perekaman terhadap

pengambilan data menggunakan teknik wawancara ini.

Menggunakan pendekatan dan paradigma seperti ini, maka metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berfokus pada pemahaman (verstehen) daripada pengukuran (Poerwandari, 2008).

(56)

46 III. C.1. Karakteristik Subjek

Subjek di dalam penelitian ini adalah ibu dan anak perempuan dari keluarga Tionghoa Indonesia peranakan yang tinggal di Jakarta dengan kriteria sebagai berikut :

 Berbahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari antara ibu dan anak

perempuan.

 Usia anak perempuan adalah dewasa muda (early adulthood) yaitu antara

20-25 tahun (Santrock, 2008).

Pada usia dewasa muda, perempuan sedang memasuki tahap persiapan untuk menikah dan menjadi ibu. Selain itu, identitas gender yang terbentuk relatif sudah lebih kokoh dibandingkan remaja perempuan. Diharapkan hal ini membuat subjek dapat lebih merefleksikan hidupnya.

 Ibu dan anak perempuan tinggal bersama di dalam satu rumah dan dipastikan

bahwa ibu merupakan pengasuh utama anak

 Ibu dari anak perempuan tersebut merupakan ibu rumah tangga.

III.D. Prosedur Penelitian

III.D.1. Tahap Persiapan

Pada bulan Januari 2012, peneliti mulai membuat panduan wawancara berdasarkan kerangka teori yang telah dikumpulkan. Panduan wawancara memuat pertanyaan peneliti yang terdiri dari latar belakang kehidupan subjek dan

pertanyaan-pertanyaan yang dibagi dalam empat aspek, yaitu gender,

(57)

47 responden dengan karakteristik serupa subjek penelitian dan umpan balik dari dosen pembimbing dilakukan revisi pada panduan wawancara.

Akhir bulan Januari 2012 dihasilkan panduan wawancara yang telah diperbaharui. Panduan wawancara ini menggunakan tahapan atau fase kehidupan (sequence of life) untuk menggali data dari subjek. Alur pertanyaan menjadi lebih kronologis dan mudah dipahami subjek. Panduan wawancara yang telah

diperbaharui ini diuji-cobakan pada pasangan ibu dan anak perempuan yang sesuai dengan karakteristik penelitian ini.

Pencarian subjek penelitian telah dilakukan sejak bulan Desember 2012. Pada pertengahan bulan Februari hingga pertengahan bulan April 2012 dilakukan pengambilan data yang akhirnya menghasilkan data dari dua pasang ibu dan anak perempuan keluarga Tionghoa. Peneliti melakukan initial contact dengan para subjek penelitian dan menyiapkan informed consent sebagai bukti kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini serta menyiapkan alat perekam.

III.D. 2. Cara Memperoleh Subjek

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini pada akhirnya adalah dua pasang ibu dan anak perempuan. Pencarian subjek dilakukan dengan bertanya pada orang-orang di sekitar peneliti yang terdiri dari ibu, keluarga dan teman-teman peneliti. Dari rekomendasi dan pertimbangan yang diberikan, peneliti melakukan

(58)

48 Sebagian besar kendala ada pada ibu di mana mereka merasa keberatan untuk menjadi subjek penelitian, sementara anak perempuan mereka sudah

bersedia untuk diwawancara. Ada juga ibu yang keberatan karena ia merasa sudah tidak terlalu lekat dengan budaya Tionghoa sehingga takut tidak

merepresentasikan keluarga Tionghoa pada umumnya. Selain itu menentukan waktu untuk mewawancarai subjek juga menjadi kendala tersendiri. Akhirnya peneliti mengubah cara mencari subjek penelitian, yaitu dengan menghubungi para ibu terlebih dahulu.

Di tengah kesulitan mencari subjek penelitian, ibu peneliti berinisiatif melakukan rekomendasi dan initial contact pada orang-orang yang dirasa sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Selanjutnya peneliti yang melakukan

initial contact dan membuat janji untuk mewawancarai. Peneliti menyadari ibu

peneliti memberikan akses untuk membuat para subjek penelitian bersedia terlibat dalam penelitian ini. Hal ini bisa disebabkan karena kesamaan latar belakang etnis maupun hubungan interpersonal yang telah lebih lama terjalin.

Subjek pertama, Ibu Lely merupakan ibu dari teman kerja ibu peneliti yang kebetulan memiliki karakteristik sesuai dengan penelitian ini. Ibu Lely juga

memiliki anak perempuan, Retha, sesuai dengan karakteristik usia anak

perempuan dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan terlebih dahulu pada Ibu Lely kemudian dengan Retha pada waktu dan tempat yang terpisah.

(59)

49 perempuan, Shinta, sesuai dengan karakteristik usia anak perempuan dalam

penelitian ini. Wawancara dilakukan di rumah Ibu Olga pada waktu yang terpisah.

III.D.3. Tahap Pelaksanaan

Setelah subjek menyatakan kesediaannya untuk diwawancarai, peneliti dan subjek membuat janji untuk melakukan wawancara sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati. Sebelum wawancara, peneliti melakukan konfirmasi kembali mengenai janji wawancara. Peneliti juga menyiapkan alat perekam,

informed consent dan panduan wawancara. Saat bertemu subjek, peneliti menjalin

rapport terlebih dahulu, meminta izin menggunakan alat perekam selama

wawancara lalu memulai wawancara menggunakan panduan yang telah dibuat sebelumnya.

Adapun pelaksanaan wawancara adalah sebagai berikut :

Subjek Hari/Tanggal Tempat Durasi

(60)

50

Shinta Minggu, 18 Maret 2012

Pada wawancara terakhir dengan Ibu Lely dan Retha, peneliti

(61)

51 santai dengan Ibu Lely maupun Retha. Pada wawancara terakhir dengan Ibu Olga dan Shinta, peneliti menghabiskan setengah hari di rumah keluarga Ibu Olga dan diakhiri dengan makan bersama keluarga Ibu Olga.

III.E. Metode Analisis Data

Tahap analisis dan interpretasi data dilakukan dengan membuat transkrip verbatim dari rekaman wawancara. Data verbatim ini berguna untuk mengolah data lebih lanjut. Selain membuat verbatim, peneliti juga membuat timeline

kehidupan para subjek sehingga dapat mengetahui urutan kronologis peristiwa hidup subjek. Setelah semua rekaman wawancara selesai dibuat dalam bentuk verbatim, peneliti mengelompokkan dan membuat coding dari data yang ada.

Coding ini menghasilkan tema-tema sesuai dengan teori.

(62)

52 BAB IV

HASIL PENELITIAN IV.A. Deskripsi Latar Belakang Subyek

Berdasarkan kode etik penelitian, maka identitas subyek ibu dan anak perempuan dalam penelitian ini dirahasiakan dan ditulis menggunakan nama samaran. Secara umum, gambaran karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel IV.A.1. Deskripsi Latar Belakang Subyek

Subyek Pertama

Ibu Anak Perempuan

Nama Samaran Lely Retha

Tempat/Tgl

Lahir Jakarta, 16 Mei 1958 Jakarta, 9 April 1990

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

Suku Bangsa Tionghoa, generasi ke-2 Tionghoa, generasi ke-3 Agama Katolik, dibaptis umur 24 tahun Katolik, dibaptis bayi

Pendidikan D1 Bahasa Mandarin S1 Desain Komunikasi Visual Pekerjaan Karyawan accounting Freelance

Domisili Pamulang Pamulang

Anak ke- 4 dari 11 bersaudara 2 dari 3 bersaudara

Hobi Bercocok tanam Fotografi, melukis

Subyek Kedua

Ibu Anak Perempuan

Nama Samaran Olga Shinta

Tempat/Tgl

Lahir Jakarta, 8 Oktober 1966 Jakarta, 6 April 1988

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

Suku Bangsa Tionghoa, generasi ke-3 Tionghoa, generasi ke-4

Agama Katolik Katolik, dibaptis bayi

Pendidikan SMK Pariwisata S1 Financial Accounting

Pekerjaan Wirausaha Karyawan

Domisili Kelapa Gading Kelapa Gading Anak ke- 5 dari 6 bersaudara 1 dari 3 bersaudara

(63)

53 IV.B. Hasil Temuan Data Penelitian

IV.B.1. Subyek Pertama

IV.B.1.1 Latar Belakang Ibu Subyek Pertama

Ibu Lely merupakan anak ke-4 dari sebelas bersaudara keluarga Tionghoa generasi kedua bermarga Tjong di Indonesia dari garis ayahnya. Ibu dari Ibu Lely menghabiskan masa kecilnya di Cina daratan dan baru tinggal di Jakarta sejak usia 18 tahun. Ayahnya memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan di warung dekat rumah sementara ibunya secara penuh menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus kesebelas anaknya (satu meninggal sewaktu bayi).

Ibu Lely menghabiskan masa kecil di daerah Jatinegara sampai sebelum ia menikah di usia 24 tahun. Saat masih remaja, Ibu Lely menilai ibunya sebagai orang yang terlalu keras karena terlalu banyak melarang, galak dan sering mengomel. Oleh ibunya, sejak masih usia sekolah Ibu Lely diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah tangga mengurus dan membersihkan rumah bersama dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Sementara saudara laki-lakinya diperbolehkan tidak mengurus rumah dan bermain di luar rumah.

Gambar

Gambar 1.A.1. Dinamika relasi ibu dan anak perempuan dalam sosialisasi
Gambar II.B.1. Dinamika Teori Penelitian
Tabel IV.A.1. Deskripsi Latar Belakang Subyek
Tabel IV.C.1.1. Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Ibu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini dapat diketahui bahwa peran ibu dalam pembentukan kemandirian anak keluarga nelayan di awali dengan proses pembentukan

Dengan peran ibu yang dominan dan optimal dalam suatu keluarga yang mencakup tugas pokok seorang ibu sebagai pengurus rumah tangga dan juga perannya dalam

Seorang ibu yang bekerja artinya harus melakukan peran ganda yaitu sebagai seorang perempuan yang bekerja membantu menambah penghasilan suami dan sebagai seorang ibu

Seorang ibu yang bekerja artinya harus melakukan peran ganda yaitu sebagai seorang perempuan yang bekerja membantu menambah penghasilan suami dan sebagai seorang ibu

Disimpulkan bahwa faktor yang mendukung pencapaian peran ibu pada perempuan dengan HIV/AIDS meliputi komitmen ibu terhadap anak, dukungan suami, keluarga dan masyarakat,

KEDUDUKAN IBU DALAM KELUARGA (Studi Para Ibu Yang Bekerja Dan Tidak Bekerja Di Dusun Glodogan, Kelurahan Harjosari, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang).. Nama

Kesimpulan dari artikel ini bahwa bahwa Hak Asasi Perempuan dalam hukum keluarga perspektif Al-Qur’an adalah hak dasar yang melekat pada diri perempuan sebagai

0761-63277 Abstrak Keluarga merupakan suatu unit atau lembaga yang paling kecil ditengah-tengah masyarakat, Keluarga umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak, namun ada juga keluarga