• Tidak ada hasil yang ditemukan

B.1.6 Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke Tionghoa-an

Dalam dokumen GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS (Halaman 74-77)

HASIL PENELITIAN IV.A Deskripsi Latar Belakang Subyek

IV. B.1.6 Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke Tionghoa-an

Seiring dengan pertumbuhkembangannya sebagai perempuan, Ibu Lely merasakan bagaimana hidup dengan identitas ke-Tionghoa-an. Pada awalnya Ibu Lely bersekolah di sekolah Cina di daerah Jatinegara. Namun ketika terjadi peristiwa G30S saat ia kelas 1 SD, Ibu Lely berhenti sekolah. Pada masa itu yang masih ia ingat setiap sore ibunya akan mengikatkan kunci ke baju singletnya setiap sore sehabis mandi. Sampai hari ini ia tidak tahu kunci apa yang diikatkan pada bajunya. Kedua orang tuanya juga membakar buku-buku yang bergambar Mao Ze Dong.

Sejak kecil ia merasa sebagai warga minoritasdi mana identitas ke- Tionghoa-an selalu melekat dengan dirinya. Ia berupaya untuk menjadi sama, tetap saja pada kenyataannya tetap terjadi pembedaan. Hal ini ia rasakan sejak kecil dalam lingkungan pergaulan dan masyarakat di mana ia berinteraksi.

Dulu, ketika Ibu Lely lewat di jalan ia sering sekali dikatai dengan sebutan

“Amoy”. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan sebutan ini. Ia pun merasa

adanya tiga nama yang ia miliki membuatnya sudah dijauhi orang dari awal. Oleh karena itu, ia berpikir dengan adanya pergantian nama ia dapat lebih diterima di masyarakat. Namun ternyata setelah pergantian nama dan naturalisasi

65 pengurusan surat kewarganegaraan. Sementara untuk menghilangkan nama marga dari surat-surat kewarganegaraan ini perlu mengurus ke departemen kehakiman. Akhirnya Ibu Lely tetap menggunakan nama marga ini pada surat-surat

kewarganegaraan.

Sampai hari ini pun, Ibu Lely masih merasakan perbedaan perlakuan karena identitas ke-Tionghoaan-nya. Ia merasa tidak nyaman jika menggunakan angkutan umum di daerah dekat rumahnya di mana ia satu-satunya keturunan Tionghoa yang ada di dalam angkot. Kondisinya sangat berbeda ia alami jika menggunakan angkutan umum di daerah Daan Mogot dan sekitar Jakarta Barat dekat kantornya. Di sini ia banyak menemukan orang keturunan Tionghoa yang sama-sama menggunakan angkutan umum. Ia merasa lebih aman, nyaman dan merasa memiliki teman.

Ia juga tidak nyaman jika harus berbelanja di supermarket dekat rumahnya. Sebab jika ia masuk ke dalam supermarket ini, ia merasa dilihat

sebagai orang yang aneh dari atas sampai bawah oleh orang lain. Ia sendiri merasa bahwa orang-orang melihat dirinya sebagai orang aneh berkulit putih dan bermata sipit mau berbelanja ke supermarket itu. Ibu Retha mengatakan bahwa ia lebih menikmati dan merasa nyaman berbelanja di Pasar Baru atau Glodok. Sebab di dua tempat ini, keturunan Tionghoa bukanlah minoritas.

Secara spesifik pembedaan karena identitas Tionghoa ini ia alami sewaktu

peristiwa Kerusuhan Mei’98 dan dalam kepanitian Paskah bulan April 2012 yang

66

Saya tuh temen-temen di kantor juga mayoritas orang Indonesia. Malah waktu saya di proyek, dari karyawan yang sekitar dua ribuan saya tuh Cina sendiri dan Kristen sendiri. Saya sih selama ini nggak pernah merasa berbeda sama mereka, Cuma saya sedikit merasa nggak nyaman dengan mereka pas waktu kerusuhan. Itu di kantor saya kan di pasang parabola, karena salah satu fasiltasnya kan antena parabola. Kalo di Indonesia sendiri kan banyak yang disortir, kalo di CNN kan apa

adanya...di situ saya baru menyadari bahwa ternyata keseharian kita yang udah hampir sepuluh tahun selama ini kita nggak pernah merasa berbeda, nggak tau ya kalo mereka...saya sih ngerasa nggak beda. Mereka bisa

ngomong “Rasain tuh Cina, Dasar Cina”, Buat saya nggak nyaman, tapi saya jadi tau oh itu toh isi perut mereka, yang mereka selama ini pikirin seperti itu. Cuma karena selama ini saya atasan mereka jadi mereka nggak berani. Jadi dia ngomong, dia nggak sadar kalo saya Cina, krn kita sama-sama nonton tivi juga. Nah dia ga sadar kalo yang dikatain Cina- cina itu, saya termasuk bagian di dalamnya. Saya rasa sampe saat ini dia nggak pernah sadar kalo secara nggak langsung dia melukai hati orang.

Pada kepanitian Paskah April 2012 lalu di antara para panitia yang sedang

mempersiapkan acara dan sempat bersitegang, keluar umpatan “Dasar Cina” di

dalam rapat. Umpatan ini ditujukan pada Ibu Lely selaku bendahara dan ketua panitia yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Ibu Lely sebenarnya merasa tidak nyaman dengan peristiwa ini. Namun ia tidak mau memperpanjang masalah sehingga ia menganggapnya sebagai angin lalu saja.

Sementara Retha merasa pada generasinya sekarang ini ia merasa sudah lebih bisa berbaur dengan yang lainnya.

...generasi kita sebenernya kan udah ngeblend, kalo generasi sebelumnya kan masih. Jadi kalo sekarang, aku nggak gitu merasa berbeda.

Retha masih mengalami beberapa peristiwa di mana identitas ke-Tionghoa-annya menjadi bahan ledekan oleh temannya. Pada masa sekolah, teman yang

67 perkuliahan, ledekan menggunakan identitas ke-Tionghoa-an muncul dalam stereotipe yang juga digunakan untuk suku-suku lain. Namun ia memaklumi ini sebagai bagian dari dinamika perkembangan dewasa muda.

Santai-santai aja denger temen diomongin gitu. Anak muda kan becanda- becanda aja. Soalnya mereka nggak cuma ke Cina doang sih, kalo misalkan suka ngomongin orang di belakang, ah biasa Jawa...gitu...jadi lebih buat becanda...kalo yang ngomongnya keras, biasa Batak.

Jadi...yaudah..

Retha merasa dari keluarga terutama oleh ibunya ditanamkan identitas ke- Tionghoa-an ini. Retha menilai hal ini sebagai suatu hal yang baik sebab menurutnya seorang manusia itu harus memiliki akar. Ia merasa kesadaran dan penanaman akan akarnya ini membantunya pada masa SMP-SMA ketika proses pencarian jati diri.

Kayak...kan banyak orang Chinese yang tinggal di Indonesia yang

akhirnya malu kalau dia Chinese, soalnya banyak kan yang “ah lu Cina...lu Cina” gitu kan...kalo aku nggak. Karena aku proud jadi

Chinese...karena memang dididik sama mama ee...dikasih tau gitu makna - maknanya apa, ini tuh bagus...

Dalam dokumen GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS (Halaman 74-77)