• Tidak ada hasil yang ditemukan

D Dinamika Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi Gender pada Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa

Dalam dokumen GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS (Halaman 110-119)

HASIL PENELITIAN IV.A Deskripsi Latar Belakang Subyek

IV. D Dinamika Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi Gender pada Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa

Ibu Lely dan Ibu Olga memperlihatkan bagaimana pengalaman hidup mereka sebagai anak perempuan keluarga Tionghoa membentuk persepsi dan perilaku mereka dalam berbagai keputusan hidup, terutama ketika mendidik anak perempuannya. Ibu Lely dan Ibu Olga sama-sama lahir dan besar di Jakarta pada kurun waktu tahun 1958-1966. Saat itu Indonesia baru memasuki dasawarsa kedua sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat

Indonesia sedang merintis kehidupan di negara ini sehingga mayoritas masyarakat berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini juga dialami oleh keluarga Ibu Lely dan Ibu Olga. Kehadiran mereka sebagai keluarga

keturunan Tionghoa generasi kedua dan ketiga membuat orang tua mereka bekerja keras demi menghidupi kebutuhan keluarga. Pada zaman itu pengendalian jumlah

101 keluarga melalui kontrasepsi belum tersosialisasi seperti sekarang. Ibu Olga lahir sebagai anak dari enam bersaudara, Ibu Lely lahir dari sepuluh bersaudara.

Pendidikan yang rendah membatasi lapangan pekerjaan yang dapat dijalani oleh orang tua mereka. Maka pekerjaan kasar dan berat pun dilakukan untuk menyokong kebutuhan keluarga. Ibu Lely dan Ibu Olga lahir dan tumbuh berkembang dalam kondisi prihatin yang seperti ini. Membantu jalannya kehidupan rumah tangga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik menjadi aktivitas keseharian mereka sejak usia belia sebagai anak perempuan keluarga Tionghoa.

Saudara laki-laki mereka boleh tidak ikut membantu di rumah. Bahkan cenderung tidak diberikan tuntutan untuk membantu pekerjaan rumah tangga dan dibebaskan untuk bermain. Ruang kebebasan dan kesempatan untuk

mengaktualisasikan diri begitu terbatas bagi Ibu Lely dan Ibu Olga. Sebab di mata orang tua mereka yang utama adalah bagaimana menjaga kehidupan keluarga sebagai satu entitas tetap berlangsung. Praktis tak ada ruang privat atau hak sebagai individu.

Di dalam kehidupan keluarga Tionghoa yang kolektif, tak ada kesempatan bagi mereka untuk mengaktualisasikan diri. Otoritas orang tua dan sikap

kepatuhan yang besar membuat mereka mematuhi saja permintaan dan peraturan orang tua tanpa berani untuk membantah. Terasa ada kesenjangan kekuasaan di dalam keluarga di mana orang tua menjadi atasan dan anak hanyalah bawahan

102 yang harus selalu menurut. Namun melalui pengalaman hidup seperti ini

sebenarnya keloyalitasan mereka kepada keluarga sedang dibentuk dan diasah.

Dari tampak luar perilaku mereka, Ibu Lely dan Ibu Olga tampak

menjalani kehidupan sebagai anak perempuan dengan penuh kepatuhan dan rasa tanggung jawab kepada keluarga. Walaupun demikian, di dalam menjalani perannya sebagai anak perempuan mereka menyimpan ketidaknyamanan dan ketidaksetujuan atas pola asuh yang mereka alami. Diri perempuan mereka dalam budaya kolektif menunjukkan bagaimana diri (self) perempuan didefinisikan melalui hubungan mereka dengan orang lain. Meski mereka tidak nyaman dan tidak setuju dengan kehidupan yang mereka jalani tapi mereka tidak begitu saja mengeluarkan protes atau penolakan. Mereka tetap berusaha melakukan segala hal yang diinginkan orang tua mereka.

Mereka menyadari tak ada jalan lain untuk mengaktualisasikan diri dan menjalani hidup berdasarkan kepenuhan hak mereka selain dengan menikah. Menikah dirasakan oleh Ibu Lely dan Ibu Olga sebagai sarana untuk membangun hidup yang baru di atas tangan, kaki dan kehendak mereka sendiri. Ibu Lely dan Ibu Olga tetap berupaya menjalani peran mereka sebagai istri dan partner dari suami. Namun kehidupan keluarga inti mereka yang sekarang terlebih dengan kehadiran anak-anak memberikan mereka ruang gerak baru untuk memaknai kehidupan.

Pengalaman hidup sebagai anak perempuan di keluarga Tionghoa menjadi sarana reflektif untuk mengambil hal-hal baik dan mentransformasi hal-hal negatif

103 yang mereka alami. Kini ketika menjadi ibu, mereka memiliki kuasa dan hak penuh untuk mendidik dan memberikan pengalaman hidup pada anak-anak perempuan mereka sesuai dengan keinginan terpendam mereka.

Ibu Lely yang mendambakan kebebasan untuk beraktualisasi di luar rumah, mendorong dan memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk mengaktualisasikan diri melalui kegiatan organisasi dan gereja. Ibu Lely yang begitu ingin sekolah namun tak memiliki kesempatan dan biaya berusaha sekuat tenaga untuk dapat menyekolahkan ketiga anaknya hingga menjadi sarjana.

Ibu Olga yang mendambakan keterbukaan di dalam keluarga berusaha membangun hubungan yang akrab dengan anak-anaknya. Interaksi dengan anak- anak diisi dengan obrolan, diskusi dan aktivitas yang membuat Ibu Olga merasa dekat dengan anak-anak. Meskipun tetap ada kedisiplinan dan peraturan yang ditegakkan di dalam keluarga namun Ibu Lely maupun Ibu Olga memberi sentuhan personal mereka dalam mengemas interaksi dengan anak-anak.

Melalui penuturan Ibu Lely dan Ibu Olga atas pengalaman hidup mereka terlihat bagaimana proses transformasi atas kehidupan di keluarga Tionghoa. Agen transformasi ini adalah Ibu Lely dan Ibu Olga sendiri yang telah merasakan bagaimana dididik sebagai anak perempuan. Lalu saat mereka memiliki anak perempuan, mereka yang paling tahu hal apa yang ingin mereka ubah dan hal yang yang tetap mereka pertahankan dalam mendidik anak-anaknya.

Secara garis besar, terjadi perubahan pemaknaan diri sebagai perempuan di dalam keluarga Tionghoa. Anak perempuan tidak lagi menjadi warga kelas dua.

104 Mereka kini memiliki hak yang sama seperti anak laki-laki. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan mewujudkan cita-cita. Bibit-bibit kesetaraan di dalam keluarga mulai terlihat meskipun anak perempuan tetap diberikan tuntutan untuk dapat mengurus rumah dan keluarga. Namun implementasinya tidak sekaku pada generasi Ibu Lely dan Ibu Olga.

Hasil analisa ini sesuai perkataan Nani Nurrachman (2011) bahwa proses hamil dan melahirkan adalah proses biologis, namun menjadi ibu adalah sublimasi psikologis. Ibu Lely dan Ibu Olga membuktikan bagaimana tekanan, konflik dan pengalaman yang tidak mengenakkan sebagai anak perempuan mentransformasi pola asuh, penanaman nilai dan sosialisasi gender pada anak-anak perempuan mereka.

Sosialisasi identitas gender yang dialami oleh Retha dan Shinta, anak dari Ibu Lely dan Ibu Olga, dapat dikatakan sebagai sosialisasi gender yang umum. Mereka dipandang sebagai entitas individu, bukan lagi sebagai anak perempuan karena jenis kelamin. Bagi ibunya, Retha dan Shinta adalah individu yang punyak hak penuh untuk mengaktualisasikan diri serta mewujudkan cita-cita yang mereka inginkan. Tak ada lagi batasan mengaktualisasikan diri karena tuntutan untuk segera menikah. Bahkan Ibu Olga berani membebaskan anaknya untuk menikah atau melajang. Baginya yang penting apapun pilihan hidup anaknya memberikan kebahagian bagi diri mereka sendiri.

Ketika kesempatan untuk mengaktualisasikan diri menjadi begitu terbuka lebar dari pihak keluarga inti, Retha dan Shinta ternyata masih mengalami

105 hambatan dari lingkungan masyarakat. Hambatan ini muncul dari identitas etnis mereka sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia. Sampai hari ini stereotipe dan prasangka (prejudice) terhadap etnis Tionghoa secara nyata masih dirasakan Retha dan Shinta dalam interaksi mereka di masyarakat.

Isu kesetaraan bagi mereka bukan lagi berkutat pada identitas gender, tetapi pada identitas keetnisan. Hal ini menjadi suatu penemuan baru dalam penelitian ini. Sebab pada awalnya peneliti melihat fenomena identitas gender menghalangi anak perempuan di keluarga Tionghoa untuk mengaktualisasikan diri. Ternyata pada Retha dan Shinta sebagai subjek penelitian, mereka lebih merasakan ketimpangan pada penerimaan diri mereka di dalam ke-Indonesia-an.

Retha dan Shinta merupakan potret dari segregasi dan diskriminasi etnis Tionghoa dalam masyarakat yang masih terjadi sampai hari ini meskipun rezim Orde Baru sudah berakhir. Ketidaksetaraan di dalam masyarakat ini memberikan ketidaknyamanan bagi mereka. Namun dari hasil observasi sebenarnya tampak adanya represi dan rasionalisasi terhadap ketidaknyamanan ini.

Akhirnya, pengalaman berinteraksi di dalam masyarakat menjadi hal yang tidak nyaman bagi mereka. Hal ini tdialami oleh Ibu Lely, Retha dan Shinta. Bentuk wajah dan ciri-ciri fisik mereka yang menunjukkan identitas ke-Tionghoa-

an memunculkan pelecehan verbal melalui ledekan “Amoy” atau “Mei-Mei” dari

orang “pribumi” atau mereka sebut dengan “abang-abang” saat berpapasan di jalan umum.

106 Dampak dari pelecehan verbal dan prasangka ini secara nyata terlihat pada Ibu Lely yang merasa tidak nyaman jika berada dalam situasi yang mayoritas

adalah “pribumi”. Ia cenderung menghindari tempat-tempat umum seperti

angkutan umum dan pusat perbelanjaan yang mayoritas didatangi oleh “pribumi”. Terlihat bagaimana ketidaknyamanan Ibu Lely yang merasa di-Cina-kan oleh masyarakat mempengaruhi perilaku dan keputusan dalam aktivitas hidupnya.

Berbeda dari yang lain, Ibu Olga merasa sebagai orang Indonesia dan nyaman tinggal di negara ini. Ia merasa seluruh kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan tinggal di negara ini. Saat ini ia juga menikmati kehidupan yang

berkecukupan. Status sosial ekonomi kemungkinan memberikan kontribusi

kenyamanan bagi Ibu Olga. Namun jika dilihat dari generasi migrasi, keluarga Ibu Olga secara turun temurun telah lebih lama menetap di Indonesia. Melalui

penelusuran historis ditemukan nenek dari Ibu Olga sehari-hari menggunakan pakaian kebaya dan ibunya menggunakan rok-kemeja. Sementara nenek dari Ibu Lely masih tinggal di Cina. Nenek dan ibu dari Ibu Lely dalam keseharian masih menggunakan pakaian Cina.

Melalui penelitian ini terlihat bagaimana dinamika peran penghayatan ibu telah mampu mentransformasi sosialisasi gender pada anak perempuan di keluarga Tionghoa. Transformasi ini tergolong cepat sebab terjadi pada satu generasi sesudah para ibu. Terlihat bagaimana ibu menjadi agen sosialisasi yang aktif bagi anak-anak perempuannya. Keberhasilan ibu sebagai transformator tidak terlepas dari kehadiran anak yang melegitimasi kemampuan para ibu merubah

107 pemaknaan hidup secara internal. Perubahan di dalam internal diri mereka

merubah konteks eksternal kehidupan mereka.

Dari segi pendidikan formal, Ibu Lely sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Cina berbahasa Mandarin. Sementara Ibu Olga yang lahir setelah peristiwa G-30S, mengenyam pendidikan di sekolah negeri dan sekolah Katolik. Penelitian ini tidak secara khusus membahas dampak dari sosialisasi identitas yang diperoleh melalui pendidikan formal. Namun dari penuturan Ibu Lely dan Ibu Olga terlihat bagaimana modalitas pribadi mempengaruhi cara coping ketika mengalami diskriminasi.

Pada Ibu Lely yang memiliki ibu yang kaku dan tidak bisa bergaul, ia

kesulitan untuk menyikapi diskriminasi yang ia alami. Akhirnya ia menjustifikasi diri pada label ke-Cina-an yang diberikan oleh lingkungan terhadapnya, meskipun ia sendiri merasa tidak nyaman. Ia merasa tidak berdaya terhadap lingkungan sosialnya, namun ia mentransmisikan rasa tidak suka dan tidak terima terhadap perlakuan ini kepada anak perempuannya. Maka pada Retha ia mengakui lebih merasa Cina ketimbang Indonesia ataupun Cina-Indonesia meskipun dalam praktek kehidupan sehari-hari ia lebih fleksibel dan mampu beradaptasi dibandingkan ibunya.

Pada Ibu Olga, ia juga mengalami diskriminasi saat bersekolah di sekolah negeri. Namun ia tidak larut dalam perasaan sebagai korban. Ia menyikapi diskriminasi ini dengan mendatangi teman-teman sekolah yang mem-bully Ibu Olga. Setelah beberapa kali melakukan proses seperti ini, Ibu Olga akhirnya

108 diterima oleh teman-teman non-Tionghoa, bahkan mereka masih berteman akrab sampai sekarang. Maka, modalitas ibu sebagai individu amatlah penting untuk mendefinisikan diri sesuai pengalaman, penghayatan dan interpretasinya. Serta untuk menghadapi lingkungan sosial yang membedakan mereka.

Para ibu berhasil mensosialisasikan identitas gender yang lebih setara pada anak perempuannya. Namun dari segi budaya Tionghoa para ibu telah mereduksi internalisasi identitas ke-Tionghoa-an. Tradisi dalam budaya Tionghoa yang berkaitan dengan penggunaan nama Tionghoa, ritual dalam merayakan hari besar budaya Tionghoa dan nilai-nilai keluhuran Konfusius yang menjadi dasar

kehidupan keluarga Tionghoa. Sementara di sisi lain, nilai komunal keluarga tetap diharapkan dan dijunjung tinggi.

109 BAB V

Dalam dokumen GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS (Halaman 110-119)