• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia

Dalam dokumen GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS (Halaman 39-43)

LANDASAN TEOR

II. B.2.2 Interaksi Ibu dan Anak Perempuan

II.2.3. Perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia

Paradigma perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya yang melingkupinya.

Pengalaman warga keturunan Tionghoa selama lebih dari tiga puluh dua tahun di masa Orde Baru yang dibedakan menyebabkan penghayatan ke-Indonesiaan yang berbeda dibandingkan dengan etnis lainnya di Indonesia (Tan, 2008). Analisis Mely G. Tan terhadap Wang dalam Tan (2008) mengungkapkan adanya

30 di Indonesia di masa Orde Baru yang masih terasa implikasinya hingga hari ini. Secara de jure, mereka tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka pun tinggal di daerah demografis Wilayah Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun mereka merasa berbeda dari orang Indonesia lainnya maupun dari orang

Cina “yang sebenarnya” (Tan, 2008). Seorang perempuan peranakan dari

Denpasar, Bali pada wawancara dengan Mely G. Tan dalam Tan (2008) berkata

seperti ini “We are Indonesian of Chinese origin; but we also know we are not

Balinese, but then we are not real Chinese either”. Pengalaman perempuan sebagai ‘yang lain’ (the other) seperti yang dipopulerkan oleh Simone de

Beauvoir dalam The Second Sex (1949) tampaknya terjadi berlapis dua kali pada perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada lapisan pertama, ia menjadi

‘yang lain’ karena jenis kelaminnya dan pada lapisan kedua ia menjadi ‘yang lain’

karena keetnisitasannya.

Perlu disadari bahwa kelompok Indonesia Tionghoa merupakan suatu komunitas yang tinggi tingkat keanekaragamannya. Namun sampai saat ini

masyarakat awam cenderung memperlakukan mereka sebagai etnik yang bercorak tunggal (monolitik) (Dawis, 2009). Menurut Tan (2008), terdapat kontinum yang luas di dalam kelompok Indonesia Tionghoa. Di satu sisi kontinum terdapat orang Indonesia Tionghoa yang sudah berakulturasi secara penuh dengan budaya dan komunitas lokal dan di sisi konitum lain masih ada mereka yang secara kultural berorientasi Cina. Sebagian besar di antara mereka adalah para pengusaha papan atas Indonesia.

31 Di tengah-tengah dua kontinum ini mayoritas Indonesia Tionghoa

termasuk dalam kelompok peranakan, yaitu mereka yang secara kultural lebih berorientasi Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal di rumah, tidak lagi berbicara dalam bahasa Cina dan memiliki pengetahuan yang minim tentang agama dan tradisi Tionghoa (Tan, 2008). Kelompok Indonesia Tionghoa seperti ini dapat ditemui di kota-kota besar. Mereka tidak meragukan kewarganegaraan Indonesia mereka namun masih menyadari darah Cina di dalam diri mereka. Bagaimana mereka menghayati identitas diri mereka di tengah keadaan de jure bahwa mereka warga negara Indonesia tapi secara de facto masih mengalami perlakuan dan pandangan yang berbeda dipengaruhi kuat oleh ajaran dan pendidikan di dalam keluarga (Dawis, 2009).

Pada penelitian untuk disertasinya, Dawis melakukan focus group

discussion (FGD) pada orang Indonesia Tionghoa yang berasal dari lima belas

kota berbeda di Indonesia. Ia menemukan keragaman jawaban dari para

respondennya terkait pandangan dan rasa suka (likeness) bergaul dengan orang bukan Tionghoa, pribumi dan hubungan Tionghoa-pribumi. Menurut Dawis (2009) kesadaran mereka sebagai orang Tionghoa juga berbeda-beda tergantung pada tempat di mana mereka dibesarkan dan agama yang dipeluk. Di sisi lain, ada nilai budaya, tradisi dan adat tertentu yang juga menyatukan orang Indonesia Tionghoa. Salah satu faktor penting yang menyatukan respondennya adalah keluarga mereka.

Di dalam keluarga Indonesia Tionghoa terdapat nilai-nilai Konfusius yang masih dianut dan diwariskan kepada anak-cucu. Di antaranya adalah nilai

32 penghormatan terhadap orangtua dan leluhur. Menurut mereka penghormatan pada leluhur memberikan mereka restu untuk mendapatkan keberhasilan (Dawis, 2009). Pada perempuan di keluarga Tionghoa, ajaran untuk hormat dan tunduk pada orang tua lebih ditekankan dan disosialisasikan dibandingkan pada anak laki- laki (Sidharta, 1987). Pada kelompok peranakan Indonesia yang modern seorang anak perempuan atau istri yang baik mampu memenuhi permintaan dari keluarga terutama dari figur maskulin yaitu ayah dan suami. Mereka juga dituntut untuk menjalankan peran tradisional sebagai anak perempuan, istri dan ibu dengan baik (Sidharta, 1987).

Budaya patriarki di dalam keluarga Tionghoa menempatkan perempuan sebagai liyan (Meij, 2009). Tradisi dan budaya memberikan hak istimewa pada laki-laki untuk membawa nama dan kehormatan keluarga padahal perempuan berperan besar untuk meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga. Melalui perempuan nilai-nilai dalam tradisi keluarga diinternalisasikan terutama pada anak perempuan. Terkait dengan nilai penghormatan terhadap orang tua, keputusan- keputusan hidup anak perempuan di keluarga Tionghoa masih sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Misalnya saja dalam memilih jodoh. Orang tua tidak pernah berkeberatan jika anak perempuannya berteman dengan pribumi tapi tidak memperkenankan anaknya menikah dengan pribumi. Agama menjadi salah satu faktor yang menghalangi anak perempuan di keluarga Tionghoa menikah dengan pribumi (Dawis, 2009). Orang tua pun lebih mengharapkan anak perempuannya menikah dengan laki-laki Tionghoa sehingga nilai budaya dan tradisi dapat dipertahankan.

33 Paham Konfusius memunculkan paham mengenai wanita yang sempurna bagi orang Tionghoa, yaitu mengikuti aturan kepatuhan dalam ajaran Konghucu. Menurut Sidharta (1987) sebagai gadis yang belum menikah, ia harus patuh kepada ayahnya dan kakak lelaki tertuanya; kalau sudah menikah ia harus patuh pada suaminya; dan kalau ia janda patuh kepada anak lelakinya. Tuntutan terhadap perempuan di keluarga Tionghoa amatlah tinggi namun mereka tidak diberikan akses dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk membuat keputusan di dalam hidupnya (Meij, 2009). Pada konteks ini, identitas diri mereka sebagai perempuan di keluarga Indonesia Tionghoa pun mengalami pergumulan sekaligus pertumbuhkembangan. Padahal di saat yang bersamaan mereka masih mempertanyakan pula identitas mereka sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Proses pergumulan identitas mereka pun menjadi berlapis-lapis disertai pengalaman menjadi liyan atau the other berlapis ganda. Penelitian ini ingin melihat proses pembentukan identitas perempuan di keluarga Tionghoa terkait dengan konteks dan situasi yang mereka hadapi.

Dalam dokumen GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS (Halaman 39-43)